Sudah lama saya tinggal di sini, tapi baru beberapa waktu yang lalu saja saya pertama kali melihatnya. Suasana memang sedang sepi, hari aktif, dan orang-orang sudah berada di tempat kerjanya. Kebetulan, waktu itu saya sedang off. Dan inilah mungkin yang disebut dengan cinta pada pandangan pertama. Seketika itu saya tertarik. Benar-benar tertarik.
Ia sendiri saja kala saya pertama kali melihatnya. Dan begitulah memang seterusnya ketika saya melihatnya untuk kali kedua, ketiga, dan kesekian kalinya. Seolah ia memang menyukai kesendirian, atau memang tak ada lagi yang mau menemaninya. Saya melihatnya juga selalu di tempat yang sama, di titik yang sama, di bibir danau pinggir jalan itu. Tapi ia berada di sisi yang jauh dari jalan. Saat melewati jalan itulah saya menemukannya sendiri.
Dia memang sedikit hitam. Atau memang hitam. Tapi manis. Tentu saja saya tidak sedang membual kala menyebutnya manis. Ia memang manis. Membuat yang melihatnya akan langsung lekat menatap. Bila sedang berjalan, maka relalah memperlambat jalan untuk sekedar berlama-lama menatap. Lehernyapun jenjang, bahkan teramat jenjang untuk ukuran tubuhnya. Tapi itu, lagi-lagi justru membuatnya kian menyihir. Benar-benar sebuah penciptaan yang sempurna.
Hmmm, saya sedang berbicara tentang bangau. Di desa saya dulu, saya sudah sering melihat bangau di persawahan berkelompok dalam hitungan jari, atau dalam kesempatan lain bisa berpuluh-puluh kala ada sawah yang dibajak. Kesehariannya memang lebih sering bergerombol dan hampir semuanya berwarna putih. Tapi di sini, saya menemukan sebuah spesies yang saya duga sebagai bangau dengan warna hitam pekat sendirian saja. Hitam, benar-benar hitam hingga sepertinya tak ada warna lain yang ikut memeriahkan bulu-bulunya. Sendiri, benar-benar sendiri hingga sepertinya tak ada lagi teman yang bisa diajak membersamainya.
Seperti saya kemukakan di atas, saya menemukannya di pinggir danau. Atau lebih tepatnya telaga. Atau lebih tepatnya lagi semacam kubangan agak lebar tempat penampungan air. Tak jauh dari tempat saya tinggal letaknya. Sepertinya ia sedang mencari minum, atau mungkin makan, atau seperti saya, sedang menikmati pemandangan ini. Saya tak tahu dengan pasti.
Begitulah, perkara burung bangau ini, adalah satu dari beberapa hal yang membuat saya menyukai lingkungan baru saya ini. Lingkungan alami dengan pepohonan yang masih merimbun, juga satwa-satwa unik. Lingkungan seperti ini, sepertinya sudah langka ditemui di jawa, apalagi di daerah perkotaan yang miskin lahan hijau. Saya bisa dikatakan beruntung menemukannya di sinii.
Suatu waktu, saya menemukan sekelompok primata sedang menjarah pohon mangga tetangga. Pertama kali saya terkejut. Takut-takut. Tapi kemudian tertarik. Ketertarikan ini, ditimbulkan oleh sebab primata ini bukanlah primata umum yang sering ditemui di hiburan topeng monyet. Tubuhnya terlihat gendut dengan bulu sedikit lebih terang kemerahan. Lucu. Di perutnya, nampak juniornya bergelajutan mesra mencari perlindungan.
Dan masih banyak lagi. Kicau burung sepertinya sudah menjadi kesehariaan. Di sinilah akhirnya saya menemukan kembali sebuah spesies burung yang sepertinya tahun-tahun belakangan ini tak lagi saya lihat beterbangan di antara hamparan padi di kampung halaman saya. Tupai-tupai bergerilya membolongi kelapa, sepertinya juga menjadi pemandangan yang lumrah. Tupai-tupai ini, tiap paginya selalu berisik. Ramai berkejaran meniti kabel disusul melompat lincah dari satu dahan ke dahan lain. Layaknya sebuah sirkus. Layaknya sebuah orkestra. Benar-benar seperti sorak penyemangat bagi orang-orang yang hendak memulai kerja-kerja. Dan barisan pohon-pohon tinggi itu…
Ah, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan.
11 comments:
Dimanakah ini mas? Sepertinya asik sekali berada di sini....
Di pesisir timur kalimantan mbak. Di bontang tepatnya...
hamburg keren pastinya (bener hamburg g yah??)
Wih....pesisir timur Kalimantan....kapan yah saya kesana..Hampir semua teman yg ke Kalimantan cerita indah ttg pulau itu...langitnya biasanya indah ya di sana?
^_^ Hamburg keren tapi beda tentu..rasanya, cantiknya Bontang ga kalah kalau dilihat dari sudut pandang apa yg diceritakan di sini..
kebetulan saja kompleks tempat tinggal saya didesain alami...banyak pepohonan dan satwa liar bebas berkeliaran tanpa ada yg memburu..... karena memang punya perusahaan,,,,,
saya masih belum jalan2 ke pulau2 kecilnya tapi
Deuh.. Ceritanya lafs neh? Kenalin donk om, tante buatku. Hehe..
Nanti, kalo ketemu tante lagi, coba dicek warna 'kaos kaki' dan 'lipstick'nya.. Tubuhnya tinggi dan berdiri anggun atau agak pendek?
Mungkin aku bisa tebak dia keturunan mana :D
oia, primata berambut coklat itu, orang utan atau bekantan?Sudahkah kau amati?
nanti tak foto deh.. Tak pinjamkan kamera... (tp gtw juga kapan dy muncul)
primatanya...sdh lama tdk bersua pasca kejadian itu. Mungkin di hutan sdh banyak makanan, jd g keluar lg
(twkah anda....sy sempet bingung apa itu lafs.. Pas di googling, ealah!)
Haha~
kan dirimu sendiri yg bilang kalo mungkin merasakan lafs..
Kalo foto tak kunjung muncul, tolong deskripsikan saja yaa! ^^
that's one of d reason I love bontang ^^
Senang deh membaca petualangan2 seru teman2 di wilayah yang baru di jelajahi...huehehhe...
Suatu hari nanti aku juga ingin berpetualang ke tempat lain...Insya Allah.... ^_^
kernjnghrpn..>>kayknya di puring jarang ada monyet deh ya, mb??
birugtlho...>> amin..amin..
(*seneng deh baca komennya..he he*)
paragraf deskripsi yang sangat manis...mengingatkanku pada seorang kawan Ernest Hemingway...
Post a Comment