sudah lama sebenarnya saya pingin nulis tentang ini, namun entah mengapa baru terealisasi sekarang. insyaAllah ini akan berlanjut.
Agustus 2004.
Aku berjalan dalam tergesa. Mataku berat, semalaman penuh aku tak tidur. Tapi aku tak mengantuk, mana mungkin dalam suasana seperti ini aku bisa mengantuk. Ini hari kedua, hari yang selalu dituntut harus lebih baik dengan hari pertama. Aha, aku tak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi beberapa saat lagi, kata-kata apa lagi yang bakal terucap, hukuman apalagi yang bakal tercipta,dan teriakan-teriakan itu. Beberapa saat lagi aku sampai, dan beberapa saat lagi aku tahu jawaban dari semua itu. Ya, saat portal pembatas antara kekuasaan dan ketidakberdayaan itu dibuka. Saat aku (dan juga teman-teman) berjalan dag dig dug menuju ladang pembantaian bernama lapangan parkir.
Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hanya ada teriakan. Apa sebenarnya yang salah. Mengapa tak ada satupun dalam diri kami yang benar. Mengapa semua kerja keras itu hanya berbuah cacian, tanpa penghargaan. Mengapa, mengapa dan mengapa waktu yang sudah kualokasikan semalaman (tanpa tidur) untuk menyelesaikan itu semua (yang pada akhirnya mentok tak bisa kami selesaikan)hanya menghasilkan sebuah ketidakberdayaan dari kami untuk mempertahankan apa yang sudah kami buat. Dimanakah letak semboyan bahwa semuanya itu tergantung pada proses, bukan hasil. Omong kosong itu semua. Aku ingin ngomong, berbicara apa yang kuyakini, tapi mana mungkin bisa, karena sebelum aku selesai menyelesaikan kalimatku, tiga mulut lain akan sempurna mencecarku dengan kalimat sarkasme. Menusuk. Membungkamku, menyisakan kalimat pembelaan yang menggantung dalam bibirku. Tak akan ada yang benar dalam diriku (juga teman-temanku).
Monster itu bernama instruktur, berjaket oranye menyala. Sedang aku hanyalah maba, berkaos putih polos.
Sedang nanti akan ada orang bijak dengan senyum selalu mengembang. Dialah SC.
Ada satu lagi : OC. Komponen nggak jelas dari episode pembantaianku ini.
Agustus 2005.
Episode setahun yang lalu seolah diputar kembali. Di depanku. Aku seolah melihat kembali diriku yang setahun lalu berjalan takut-takut. Merasa bersalah apakah bergerak atau stagnan, tak tahu apakah harus bicara atau diam. Ya, itu aku yang dulu.
Ini masih pagi, baru jam enam lewat. Tapi tadi aku tak tergesa. Iya, mungkin saja aku tadi tergesa, tapi ketergesaan tanpa ketakutan, tanpa kekhawatiran. Justru sebaliknya, ada antusiasme. (Apakah ini balas dendam?). Karena sesaat lagi aku akan bisa menyaksikan pembantaian itu.
Benar saja, teriakan-teriakan itu masih sama. Kosakata-kosakata sarkasme itupun tetap saja. Aku masih hafal, masih hangat dalam telingaku. Tapi aku menikmatinya kali ini, ada sensasi . Karena aku hanyalah penonton saja, tinggal asyik menyaksikan pembantaian itu, pembelaan-pembelaan tak berarti itu. Ah sekarang aku bisa berkomentar mengapa maba-maba itu banyak sekali salahnya, mengapa banyak pula yang pingsan (*badan aja yang gede*) atau bahkan mengapa para instruktur itu kok begitu, harusnya begini, alurnya kan bisa lebih terjaga, lebih cerdas, lebih natural, dan tidak sekedar mengada-ada.
Aku kini menjadi OC. Kata orang ini kepanjangan dari orang curuhan, karena pekerjaannya memang hanya disuruh-suruh. Setahun kuliah di sini sedikit banyak aku telah tahu apa di balik layar pengaderan ini.
Orang-orang bijak berjas biru juga masih tetap ada. Kini aku jadi tahu, ternyata mereka sering sekali ngobrol intens dengan orang-ortang berjaket oranye. Ada apa ini. Apakah ternyata... ah kukira aku mendapatkan sedikit kesimpulan.
Agustus 2006.
Aku harus datang pagi sekali, bahkan lebih pagi dari orang-orang berbaju putih polos itu. Sekarang tak ada rasa takut, tak ada kekhawatiran, tak ada dendam, tak ada rasa hanya untuk sekedar main-main. Yang ada hanya tanggung jawab. Titik. Dedikasi. Dan jaket oranyeku tak begitu menyala. Hanya warna oranye lembut.
Tapi mengapa harus ada gentar. Mengapa jantung ini berpacu. Dag dig dug. Padahal semuanya sederhana saja : tinggal teriak (*bukankah itu yang dulu aku pikir*). Atau cuma tinggal pasang tampang serem, atau berlagak marah. Aku tinggal memencet salah satu tombol dalam megaphone ini, mengitung hingga sepuluh, lalu pasukan biru putih itu akan tunggang langgang menghampiriku. Tapi aha, itu tak sesederhana kelihatannya, itu tak segampang kedengarannya, dan itupun tak seindah cerita-cerita dulu. Saat kau berdiri di depan, saat kau harus bisa menjadi apa yang kau cekokkan pada mereka, saat kaulah penentu alur dari episode marah-marah ini, maka saat itu kau barulah tahu bahwa ini bukanlah main-main kawan! Ada tanggung jawab abstrak yang menekan pundakmu. Bertarung melawan rasa dendam. Dan mengapa dalam posisi ini aku berpikir lebih enak jadi pasukan biru putih saja (*padahal... padahal dulu aku berpikir betapa enaknya menjadi mas-mas berjaket oranye itu, diriku saat ini*).
****
Aku sudah teriak, aku sudah marah, aku sudah mengeluarkan semua kata-kata provokatif yang aku punya. Tapi mengapa semuanya hanya diam, mengapa semuanya mematung seolah menunggu apa yang ingin kami lakukan selanjutnya. Apa yang harus aku lakukan sekarang. Dan semua teman-temanku sepertinya juga sudah kelelahan, tak tahu ingin berbuat apa lagi untuk mengatasi ini semua. Satu lagi: mereka juga sudah panas, emosi sudah sampai ubun-ubun (*padahal itu tak boleh*). Maka, maka beberapa saat kemudian ketakutan itupun terjadi, tiba-tiba saja semauanya tak terkontrol, tiba-tiba saja buku-buku berhamburan, tiba-tiba semua buku terinjak-injak. Oh tidak, ini tidak ada dalam rencana, ini tak ada dalam pembahasan kita semalam dan pagi tadi. Dimana penghargaan itu, dimana tanda tanya yang dulu menggantung dalam kepalaku itu. Bagaimankah aku harus mempertanggungjawabkan ini semua. Tuhan, aku ingin menangis. Aku gagal.
Saat ini aku jadi pemimpin orang-orang berjaket oranye itu, kini aku tahu semua yang ada di balik pengkaderan ini. Orang-orang berjas biru itu (*yang teman-temanku juga*) tetaplah jadi orang yang penuh senyum di depan pasukan putih itu. Mengeluarkan kata-kata bijak yang memotivasi. Menginspirasi. Ah berkebalikan sekali dengan kami, bertampang galak, tanpa senyum, yang bahkan dalam pikiran maba-maba itu pasti kami tak ubahnya monster yang tak punya sisi kebaikan dalam diri (*minimal itu yang tergambar dalam aku dulu*). Padahal merekalah di balik ini semua, merekalah yang selalu cerewet menguliahi kami tentang ini itu, tentang ketidakbisaan kami membawakan alur, tentang ketidaknaturalan marah-marah kami, tentang semua. Bahkan mereka jugalah yang sebenarnya mengajari kami cara untuk menjadi diri kami saat itu. Saat siang hanya dipenuhi teriakan-teriakan memekakkan. Itu tak ubahnya SC berwujud kami.
Dan di sore hari, kamilah yang paling banyak dievaluasi. Kadang sedikit menusuk. Kami kurang ini kurang itu. Harusnya begini harusnya begitu. Seolah kami tak pernah benar. Aku muak, mereka yang bicara itu belum pernah berada di posisi kami. Mudah sekali kalau sekedar bicara. Coba turun langsung. Hadapi langsung. Ciumi aromanya. Setelah itu bicara.
Bahkan untuk marahpun tidak gampang kawan! Lebih mudah untuk mengulum senyum.
Agustus 2007.
Dan entah takdir apa yang masih membawaku tetap di sini. Aku sudah terlalu tua untuk masih berada di sini sebenarnya.
Aku datang begitu pagi. Berpakaian anggun. Berjas biru. Sang orang baik. Si tukang senyum.Orang yang tiga tahun lalu kuanggap sebagai malaikat penolongku, dua tahun lalu kuanggap (*masih meraba-raba*)perencana ini semua, serta setahun lalu kucap sebagai actor intelektual dibalik pembantaian ini. Tapi kini, aku mencap diriku sendiri sebagai sekumpulan orang-orang yang mempunyai idealisme, yang menginginkan adik-adiknya berkembang, yang berjuang mencetak kader-kader tangguh pewaris peradaban. Penerus generasi oranye.
Maka kemudian entahlah. Anehnya, semuanya tidak lagi punya greget. Tak ada dendam, sumpah tak ada. Aku mengikuti alur ini semua dengan kedewasaan, tak ada lagi gerutuan tentang maba yang begitu banyak salahnya (*aku juga begitukan dulu*), tak begitu ada cemoohan bagi instruktur yang kurang sempurna menjalankan instruksi (*aku juga tahu betapa sulitnya menjadi instruktur*), dan OC, ah mereka hanyalah sekumpulan orang yang baru saja merayakan euphoria terbebas dari julukan maba.
Aku hanya perlu senyum. Duduk manis dikitari wajah-wajah polos yang mengharapkan naungan. Seperti itukah wajahku dulu. Oh betapa mereka sebenarnya putih bersih. Aku, atau kamilah yang kemungkinan menjadi goresan pertama dalam lembar itu. Bagaimanakah kalau goresan itu kemudian adalah goresan buruk. Bagaimanakah kalau seandainya mereka mempersepsikan ini semua dengan sebuah kesia-siaan, hanya main-main para senior. Bagaimanakah aku selanjutnya harus mempertanggungjawabkan setiap tinta yang kugoreskan itu. Bukan pada manuasia.
Mereka tulus berbagi. Mereka tulus tersenyum. Mereka percaya padaku. Mereka tak punya pikiran buruk padaku. Mereka putih ya ALLah.
Tapi aku (atau kami), menyuruh kumpulan jaket oranye memarahi mereka. Aku membocorkan segala keluh kesah mereka. Aku musuh dalam selimut. Aku pagar makan tanaman. Benarkah begitu?
Teriakan-teriakan menguar dalam panas yang membakar. Aku hanya memandang nanar dari kejauhan. Seperti itukah aku setahun yang lalu?
Maret 2008.
Banyak sudah yang telah kupelajari. Kadang, untuk menjadi arif kita memang harus mampu memposisikan diri dalam berbagai posisi. Dan aku baru menyadarinya saat aku telah menjadi keempat macam dalam komponen pengaderan. Aku pernah berseragam kaos putih, seragam bebas, berjaket oranye, serta terakhir berjas biru.
Terima kasih kepada semuanya yang telah memberiku kesempatan menjadi itu semua.