Kampungku lumayan pedalaman, walaupun tidak pedalaman-pedalaman amat. Untuk menjangkaunya harus naik sebuah angkutan umum kelas bawah yang oleh orang-orang biasa disebut colt. Disebut demikian karena pada mulanya mobil yang digunakan untuk angkutan umum ini adalah merk colt.
Saat itu minggu sore, sehabis sholat ashar saya diantarkan kakak naik motor ke jalan raya untuk menunggu colt tadi. Saya sudah harus balik ke
Lama ditunggu akhirnya yang ditunggu dating juga. Angkutan itu berhenti tepat di depan saya, dan saya masuk. Saya sedikit terkaget karena untuk range waktu yang cukup lama menunggu ternyata colt tadi hanya berisi dua orang, tiga sama saya. Di masa yang serba sulit begini tak banyak orang desa yang bepergian. Mobilitas penduduk sangat rendah, kalaupun harus bepergian lebih banyak memakai motor yang memang sangat luat biasa banyaknya memenuhi jalanan, terutama di pagi hari.
Kenek angkutan tersebut adalah seorang yang sudah sangat familiar bagi saya karena sejak saya masih sekolah dimana tiap hari harus naik colt untuk menjangkau sekolah, ia sudah menjadi kenek colt. Pelajaran yang bisa saya ambil adalah di saat semua sepertinya telah berubah ternyata masih banyak hal yang masih sama seperti dulu.
Sepanjang perjalanan tak banyak penumpang yang bisa diangkut oleh colt tadi.
Tapi kemudian ada satu orang penumpang masuk. Saya ikut bahagia. Sungguh jarang sekali saya ikut bahagia untuk sunggingan senyum si kenek. Lima ratusan meter kemudian tiga orang penumpang masuk. Si kenek mulai terlihat sumringah wajahnya. Tiga orang penumpang adalah jumlah yang cukup berarti untuk menutupi kejaran uang setoran. Penumpang yang baru masuk itu kelihatannya bukanlah orang sini terbukti ia harus bertanya pada sopir dimana ia seharusnya berhenti untuk ganti naik bus ke Surabaya. Salah seorang dari tiga penumpang itu kemudian terlihat akrab dengan sopir. Mengobrol. Saya sesekali ikut menikmati obrolan mereka. Sampai seorang yang akrab dengan sopir tadi menanyakan tariff. “ berapa pak tiga orang?”, ia tidak menyebutkan tujuannya karena si kenek pastilah sudah tahu tujuan dia dari pertanyaan yang pertama tadi. Sejenak kenek terdiam mendapat pertanyaan itu. Adalah suatu yang sangat tidak biasa bagi si kenek untuk berpikir dulu berapa tarif yang harus dibayar penumpang mengingat ia sudah menjalani profesinya hampir satu dasa warsa. Saya menduga pasti ada perang batin pada diri sang kenek. Penumpang yang bertanya berapa tarif yang harus dibayar adalah orang yang tidak tahu berapa patokan harga naik colt. Colt adalah salah satu jenis angkutan yang tarifnya bergantung pada jarak tempuh.
Dan jawaban si kenek betul-betul mengagetkan saya, “enam ribu pak”. Saya kaget. Duh hilang sudah simpati buat si kenek itu. Saya tahu, tahu dengan pasti bahwa ongkos untuk jarak segitu hanya seribu rupiah perorang.
Sungguh ia telah kalah dengan terpaan hidup yang mungkin begitu keras menggerogotinya.
Dan hati saya tambah ngilu membayangkan betapa dulu ia adalah kenek yang suka menerapkan tarif yang rendah buat pelajar.
No comments:
Post a Comment