Pernahkah kita berpikir : adilkah kita, setelah dibesarkan orang tua kita, kita begitu saja meninggalkan orang tua kita itu , oleh sebab kuliah mungkin. Karena seseorang teman pernah bertanya tentang itu. Begini kira-kira pertanyaannya:
“gimana ya bie perasaan orang tua kita saat tiba-tiba kita harus meninggalkan mereka, harus pergi? Apa yang ada di pikiran mereka?
“adil nggak? Jahat nggak? Setelah mereka membesarkan kita, kita begitu saja pergi”.
Pertanyaan di atas disampaikan oleh seorang teman, cewek lagi, yang sejak SMA sudah harus meninggalkan orang tuanya karena harus sekolah di luar kota. Selama tiga tahun. Dilanjutkan dengan kuliah empat tahun. Selesai? Pulang? Belum! Karena di sinilah kemudian letak permasalahannya. Ketika sudah tujuh tahun ia sering meninggalkan orang tuanya itu, ia masih harus melanglangbuana lagi. Tak tanggung-tanggung, kali ini ke luar negeri. Dua bulan kemarin sudah harus ke inggris untuk ikut course bahasa inggris, sabtu besok terbang lagi ke taiwan untuk gabung dalam sebuah proyek penelitian. Nanti-nanti, kalau sudah kelar dari taiwan, ia sudah harus ke arab saudi melanjutkan S2 dan S3-nya di sana. Kelihatannya sebuah perjalanan yang menyenangkan. Ah siapa yang tak ingin keliling dunia seperti itu. Tapi, ternyata tak selamanya itu yang ada di hati teman saya itu. Ada rasa asing, gamang, dan sendiri. Kesepian mungkin. Dan tentu saja, pertanyaan mengganggu di atas tadi.
Saya terdiam sebentar kala menerima pertanyaan di atas. Sebenarnya banyak contoh yang lebih ekstrim dari teman saya itu. Banyak orang tua yang sudah harus merelakan anaknya pergi bahkan ketika anaknya itu masih teramat belia. Tapi kemudian, jawaban sok tahu saya muncul juga:
“saya yakin, saat kita berpamitan untuk pergi, ada pertarungan besar di hati mereka. Pertarungan antara keinginan untuk selalu bersama kita, melihat kita terus, dengan keinginan untukmelihat kita lebih baik, melihat kita bahagia dengan pilihan kita. Tapi saya juga yakin, mereka pada akhirnya akan memenangkan yang kedua, mereka akan selalu memenangkan yang terbaik bagi kita, mengorbankan perasan mereka sendiri”.
Entah puas atau tidak dengan jawaban saya itu tadi, tapi semoga saja jawaban itu cukup untuk mengurangi gundahnya. Membuat dia mantap dengan pilihannya itu. Bahwa orang-orang yang mencintainya akan selalu menginginkan yang terbaik baginya. Bahwa yang terbaik baginya, terbaik juga bagi mereka.
Lalu kemudian semalam, tiba-tiba saya berpikir, betapa beruntungnya teman saya itu jika masih ada pertanyaan itu di kepalanya. Itu artinya, wajah kedua orangtuanya itu masih terus ada di hatinya. Orang-orang yang mencintainya itu masih senantiasa membersamainya. Dan itu akan sangat banyak sekali efeknya. Karena saat kau sadar bahwa masih banyak orang-orang yang mencintaimu, maka itu cukup sudah membuatmu untuk selalu menjadi baik. Itu sudah menjadi driving force yang ampuh. Itu bahkan sanggup menyelamatkan kau pada detik-detik akhir dimana kau akan saja melangkah ke jurang keterpurukan.
Maka kawan, sering-seringlah menghadirkan wajah orang-orang yang mencintaimu (dan kau mencintainya) dalam hari-harimu. Seringkanlah menghadirkan wajah teduh kedua orang tuamu (kau akan kembali ingat betapa sudah terlalu banyak yang mereka lakukan),atau wajah penuh pengorbanan kakak-kakakmu (ah dengan apa kan membalasnya), atau wajah imut nan lugu adik-adikmu (bahwa mereka butuh teladan kan?), atau wajah bening sahabat-sahabat terbaikmu ( bukankah kau masih ingin merangkai cita bersama mereka?). Karena jika kau terasa malas maka kau akan cepat sadar, dulu orang tuamu tak pernah malas mengasuhmu.
Ada banyak sekali orang-orang di luar sana yang menginginkan kita menjadi baik. Itu yang harus kita yakini. Itu yang harus selalu kita hadirkan. Terus-menerus.
Teruslah hadir dalam hari-hariku kawan!
*untuk nina yang akan kembali terbang jauh*