Marilah sejenak kita merenung, ada berapa banyak kiranya, berita-berita kematian lalu lalang di hadapan kita. Memberi variasi dalam gegap gempita informasi yang begitu deras menyergap hari-hari kita. Baik itu kematian orang-orang yang kita kenal—keluarga, teman, rekan kerja, atau bahkan orang-orang yang sama sekali tak kita kenal. Entah melalui sms, pengumuman-pengumuman, berita tv, atau pembicaraan orang-orang. Agaknya, jawaban untuk itu adalah ini; amat banyak.
Seperti juga jawaban itu, berita kematian itu juga teramat sering menyapa saya. Sistem paging via pengeras suara di tempat saya kerja memungkinkan untuk tiap ada karyawan yang meninggal, atau orang tua nya, untuk di informasukan ke semua unit kerja, pabrik dan non pabrik. Menyela setiap aktivitas untuk sekejap terhenti. Bahkan meeting sekalipun.
Namun kemudian, pertanyaannya lagi, dari sekian banyak berita-berita kematian itu, berapa banyak sih yang benar-benar membangunkan kesadaran kita. Membuat kita tertunduk dalam, benar-benar ternasehati, untuk kemudian memikirkan banyak hal. Bukan hanya ucapan spontan ‘inna lillahi wainna ilayhi roji’un’ yang boleh jadi tak meresap sama sekali esensinya. Kalau saya boleh sok tahu, barangkali jawaban untuk itu adalah tak banyak, atau bahkan amat sedikit.
Saya pun, seperti halnya jawaban itu, mungkin juga begitu. Berita-berita kematian itu lebih banyak lalu lalang saja. Tak ada bedanya. Tak ada spesial-spesialnya. Hilang begitu saja, tak membekas.
Entahlah, mungkin hati ini yang telah membatu, yang begitu bebalnya hingga mengabaikan begitu saja paket-paket nasehat yang secara periodik disiapkan Allah. Tak merasa perlu menjengkali diri. Tak merasa penting menafakuri keadaan. Berita-berita itu datang, untuk kemudian berlalu tanpa makna.
Padahal kematian adalah sebenar-benar nasehat. Jika itu tak mampu lagi menasehati kita, apa lagi yang kita harapkan mampu mengetuk nurani kita. Jika sebuah kepastian yang harusnya menyadarkan kita atas tujuan hidup kita, tak lagi memberi dampak atas kehidupan kita, apalagi yang lain. Bukankah tak benar-benar hidup, orang yang tak mengingat mati.
Astaghfirullah.
o0o
ah, tulisan ini mungkin harus membelok. Tentang kematian Nurul F Huda lah awalnya saya menuliskan ini. Tentang sedikit orang yang kematiannya membuat saya tertunduk, merangkai kejadian-kejadian, untuk kemudian ternasehati. Tentang sedikit orang-orang yang kematiannya, tak hanya hidupnya, mampu memberi kebaikan pada sesamanya.
Tapi mungkin ini lah jalannya. Lepas kata ‘astaghfirullah’ sempurna terketik, ketika saya masih merangkai-kata lanjutan untuk membuka paragraph lanjutannya, sebuah sms masuk. Mungkin balasan atas sms yang beberapa menit sebelumnya yang saya kirimkan, pikir saya. Dan benar, dari orang yang baru saja saya kirimi sms. Tapi ternyata tidak, isinya bukan tanggapan atas sms yang saya kirimkan. Sama sekali tak ada sangkut pautnya. Isinya tentang , sekali lagi, berita kematian. Kali ini berita tentang kematian seorang mujahidah dakwah kita, seorang yang kiprahnya begitu menginspirasi banyak orang, seorang ibu yang luar biasa bagi ketiga belas anaknya, ustadzah Yoyoh Yusroh. Maka heninglah seketika.
Allah sekali lagi memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan . Bahwa, jika kau ingin kematianmu menghunjam begitu dalam, membuat orang-orang di sekitarmu tertunduk dalam memuhasabai diri, bukan hanya air mata yang meleleh menuruni pipi, yang perlu kau lakukan adalah memperbaiki hidupmu. Itu saja. Jika kau telah meninggalkan jejak kebaikan pada orang-orang, maka kabar kematianmu akan menghasilkan jenak-jenak untuk orang itu terhenti. Untuk kemudian mengingat kebaikan-kebaikan itu. Merangkainya. Dan hanya tinggal menunggu waktu saja lah mereka melihat dirinya sendiri. Tentang apa yang sudah mereka perbuat.
Dan kaidah itu juga berlaku kebalikannya. Jika ada sebuah kematian begitu dalam membekas di hati orang-orang, maka sudah jelaslah bagaimana si jenazah di masa hidupnya. Pasti, kebaikanlah mengisi hari-harinya. Maka tentang ustadzah Yoyoh Yusroh ini, sms-sms yang begitu ringan disebar, status-status dalam yang seketika dibuat, atau tulisan-tulisan menghunjam yang diketik, tergambarlah sudah bagaimana sosoknya. Ia orang baik, ia orang baik, ia orang baik.
Dari Umar (bin Khaththab) ra, katanya Rasulullah Saw bersabda : ”Seorang muslim yang disaksikan oleh empat orang bahwa ia baik, maka orang itu dimasukkan Allah ke surga.”
Kami bertanya,”Bagaimana kalau tiga orang?”
Jawab Nabi, ” Ya, tiga orang juga.”
Tanya kami lagi, ”Kalau dua?”
Jawab Nabi, ”Ya, dua juga.”
Sesudah itu kami tidak menanyakan lagi tentang seorang.”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
syahidah..
Post a Comment