Dosen itu tiba-tiba menghentikan penjelasannya. Mukanya terasa menegas seolah ada sesuatu hal besar yang tiba-tiba menyergap pikirannya, dan mendesak untuk segera disampaikan.
“Dunia sekarang bergerak ke kutub-kutub ini: optimis, pesimis, juga antisipatif”, begitu mulainya. Tentu saja ini melenceng jauh dari pembahasan training kali ini. “Yang optimis, menganggap sumber daya alam ini tak akan pernah habis, akan cukup melimpah untuk memnuhi kebutuhan manusia. Maka mereka mengeksploitasi dengan gila-gilaan sumber daya yang ada tanpa sekalipun memikirkan apakah akan ada yang tersisa bagi generasi berikuntnya.”
Percayalah! Taka da satu hal kecil sekalipun yang sedang kami bicarakan sebelumnya yang menyinggung permasalahan ini. Jika kemudian Pak Dosen ini tiba-tiba melontarkan kalimatnya tersebut, pasti ada sesuatu hal besar yang harus ia sampaikan. Semacam tanggung jawab moral. Saat itu kami training Computational fluid dynamic, sebuah software yang dapat digunakan untuk mengetahui pola aliran sebuah fluida, ataupun panas.
“Yang pesimis, adalah mereka yang berpikir sebaliknya. Mereka yang percaya bahwa sumber daya ini akan segera habis. Tapi mereka tak melakukan satu halpun untuk mencoba mencari penyelasaian atas apa yang ia percayai itu”
Saya terdiam. Manggut-manggut. Tema ini terlalu menarik untuk diabaikan.
“Nah, yang berdiri di antara keduanya, adalah orang-orang yang kita sebut dengan golongan antisipatif. Mereka percaya bahwa sumberdaya ini bakalan habis, maka mereka melakukan banyak hal agar itu tidak terjadi, atau minimal tertunda. Mereka melakukan penghematan, mereka melakukan penelitian-penelitian untuk substitusi-substitusi.”, ada antusiasme terpancar di wajah dosen itu.” Sekarang, tinggal kita. Kita sedang berdiri di barisan mana. Keyakinan kita itu, akan menentukan tindakan kita selanjutnya”
Sebuah pertanyaan yang tak perlu dijawab, saya tahu itu. Sejak dulu, kami sudah diajarkan bahwa sumber daya alam ini suatu saat akan habis. Maka, bagi saya, tiga golongan di atas sebenarnya menjadi dua saja; yang peduli, dan yang masa bodoh.
“Saya yakin kalian yang hadir di sini termasuk golongan yang percaya bahwa sumber daya alam ini suatu saat akan habis. Tentu saja yang saya maksud di sini adalah minyak, gas alam, batu bara, serta barang tambang lain”
Kami masih diam.
“Pernahkah kalian sadari, bahwa permintaan akan sumber daya alam ini nyatanya tak bergerak segaris dengan pertumbuhan penduduk. Kian menuju kemari, dengan kian bertambahnya manusia –spesies pengeksploitasi sumber daya alam itu, ternyata kebutuhan akan sumber daya bukan sekedar bertambah, tapi justru bertambah berlipat-lipat. Artinya apa? Jika dulu satu orang , taruhlah, rata-rata menghabiskan satu satuan sumber daya dalam tiap satu periode waktu, manusia sekarang bisa menghabiskan dua, atau tiga, atau bahkan sepuluh”
Kebutuhan, saudara-saudara. Betapa tema ini sudah sering kali diulas. Betapa kebutuhan jaman sekarang kian mengabur dengan sebuah keinginan-keinginan kita.
“Apa sebenarnya kebutuhan kita? Pangan, papan, pakaian. Itu saja”, ada bulatan-bulatan yang kemudian digambar oleh pak dosen itu di papan. “Mari kita tinjau tentang pangan ini. Orang-orang dulu membutuhakan makanan secukupnya saja, cukup untuk menghilangkan lapar. Tak lebih. Lebih banyak memanfaatkan sumber pangan di sekitarnya. Tapi sekarang, hal seperti itu tidak lagi cukup. Kita tak hanya makan tiga kali sehari, tapi juga memerlukan cemilan-cemilan di antara ketiganya. Bahkan sekedar makan tiga kali pun belum cukup. Harus enak. Harus dengan lauk banyak. Harus dengan porsi besar. Tidak cukup dengan sekedar menghilangkan lapar, tapi juga mesti kenyang, kalau perlu kekenyangan. Maka jadinya apa? Kian menuju kemari, kebutuhan akan makanan ini kian berlipat-lipat. Sementra bumi, tempat makanan itu tumbuh dan berkembang, ya tetap itu-itu saja sejak dulu.”
Ah, saya tahu, ini perkara tanggung jawab. Ini tentang kewajiban menyampaian apa yang diketahuinya.
“Maka karena kebutuhannya yang memang berlipat-lipat, ketersediaan bahan makanan itu juga mesti berlipat-lipat. Jika kita bicara tentang beras, maka sawah-sawah mesti ditambah, kalau perlu menebangi hutan untuk membuka lahan. Jika tak bisa, maka harus diupayakan agar sawah-sawah yang ada bisa berproduksi jauh lebih banyak, dengan waktu panen yang semakin singkat. Jadilah kita kemudian mengenal urea untuk menggenjot produktivitas. Bila orang-orang jaman dulu memupuk sawahnya cukup dengan kotoran hewan, itupun juga tak sering-sering amat, maka petani sekarang memerlukan berkarung-karung urea untuk menyuburkan lahannya. Tanpa urea itu, padi-padinya seakan mandul hingga tak mampu lagi membulirkan biji-biji padi. Tentu saja, urea-urea itu telah mematikan kemampuan tanah untuk bisa menyuburkan dirinya sendiri. Ada mekanisme yang terputus, atau diputus”
Saya menelan ludah. Ini kiranya point yang ingin disampaikan itu. Permasalahan lingkungan yang sedang dipaparkan pada orang-orang yang bertanggung jawab atas ketersediaan pupuk nasional.
“Dan urea itu, kita semua tahu, diproduksi dari gas alam. Memang bahan makanan itu dapat kita perbarui, tapi yang tidak kita sadari, pembaruan itu mesti harus mengkonsumsi sumber daya alam yang sama-sama kita pahami sebagai sumber daya terbatas. Inilah masalahnya”
Hmmm. Pilihan sulit.
“Sebenarnya, apa, sih yang dibutuhkan tanaman dari urea itu? Dari unsur C, O, N, dan juga H yang ada pada urea, sebenarnya hanya unsur N dan O saja yang dibutuhkan. Tanaman-tanaman itu hanya membutuhkan nitrat. Nitrat yang sebenarnya bisa dihasilkan oleh bakteri pada tanaman kacang-kacangan, atau petir”, dosen itu sejenak menjeda kalimatnya. Menarik nafas dan mengedarkan pandangannya kea rah kami. “N dan O itu, seperti kita ketahui, pada produksi urea memang ditambahkan dari udara. Sedangkan C dan H, yang sebenarnya tidak diperlukan oleh tanaman dari urea itu, ironisnya yang justru berasal dari gas alam. Artinya, gas alam yang kita pakai untuk memproduksi urea itu, sebenarnya hanya sebagai carrier saja, agar N dan O itu bisa sampai ke tanaman, agar N dan O itu bisa terlarut dan bisa diserap akar tanaman. Artinya gas alam itu kita pakai untuk kemudian kita buang ke lingkungan begitu saja”
Sudah dua tahun lebih saya bekerja di pabrik urea ini, tapi baru sekarang saya menyadari fakta ini.
“Tugas kita sebagai orang proses sebenarnya yang mesti mencari solusi untuk ini. Anda-anda yang ada di sini, mesti bisa memikirkan agar bagaimana granulator-granulator yang sekarang ada, pililing-prilling tower yang sekarang berdiri, suatu saat akan menghasilkan pupuk kompos granule atau pupuk kandang prill. Tak bisa tidak. Masa depan bumi tidak terletak pada urea prill atau granule yang sekarng, tapi terletak pada pupuk organic. Kita sedang berpacu dengan waktu, kapankah saatnya pupuk ramah lingkungan itu bisa mensubstitusi pupuk urea yang sekarang. Bumi kita tak bisa menunggu lama “
Dan inilah pointnya . inilah ujung dari semua itu.
Sesi computational fluid dynamic pun dilanjutkan kembali.
2 juni 2012
Kecubung 17
“Dunia sekarang bergerak ke kutub-kutub ini: optimis, pesimis, juga antisipatif”, begitu mulainya. Tentu saja ini melenceng jauh dari pembahasan training kali ini. “Yang optimis, menganggap sumber daya alam ini tak akan pernah habis, akan cukup melimpah untuk memnuhi kebutuhan manusia. Maka mereka mengeksploitasi dengan gila-gilaan sumber daya yang ada tanpa sekalipun memikirkan apakah akan ada yang tersisa bagi generasi berikuntnya.”
Percayalah! Taka da satu hal kecil sekalipun yang sedang kami bicarakan sebelumnya yang menyinggung permasalahan ini. Jika kemudian Pak Dosen ini tiba-tiba melontarkan kalimatnya tersebut, pasti ada sesuatu hal besar yang harus ia sampaikan. Semacam tanggung jawab moral. Saat itu kami training Computational fluid dynamic, sebuah software yang dapat digunakan untuk mengetahui pola aliran sebuah fluida, ataupun panas.
“Yang pesimis, adalah mereka yang berpikir sebaliknya. Mereka yang percaya bahwa sumber daya ini akan segera habis. Tapi mereka tak melakukan satu halpun untuk mencoba mencari penyelasaian atas apa yang ia percayai itu”
Saya terdiam. Manggut-manggut. Tema ini terlalu menarik untuk diabaikan.
“Nah, yang berdiri di antara keduanya, adalah orang-orang yang kita sebut dengan golongan antisipatif. Mereka percaya bahwa sumberdaya ini bakalan habis, maka mereka melakukan banyak hal agar itu tidak terjadi, atau minimal tertunda. Mereka melakukan penghematan, mereka melakukan penelitian-penelitian untuk substitusi-substitusi.”, ada antusiasme terpancar di wajah dosen itu.” Sekarang, tinggal kita. Kita sedang berdiri di barisan mana. Keyakinan kita itu, akan menentukan tindakan kita selanjutnya”
Sebuah pertanyaan yang tak perlu dijawab, saya tahu itu. Sejak dulu, kami sudah diajarkan bahwa sumber daya alam ini suatu saat akan habis. Maka, bagi saya, tiga golongan di atas sebenarnya menjadi dua saja; yang peduli, dan yang masa bodoh.
“Saya yakin kalian yang hadir di sini termasuk golongan yang percaya bahwa sumber daya alam ini suatu saat akan habis. Tentu saja yang saya maksud di sini adalah minyak, gas alam, batu bara, serta barang tambang lain”
Kami masih diam.
“Pernahkah kalian sadari, bahwa permintaan akan sumber daya alam ini nyatanya tak bergerak segaris dengan pertumbuhan penduduk. Kian menuju kemari, dengan kian bertambahnya manusia –spesies pengeksploitasi sumber daya alam itu, ternyata kebutuhan akan sumber daya bukan sekedar bertambah, tapi justru bertambah berlipat-lipat. Artinya apa? Jika dulu satu orang , taruhlah, rata-rata menghabiskan satu satuan sumber daya dalam tiap satu periode waktu, manusia sekarang bisa menghabiskan dua, atau tiga, atau bahkan sepuluh”
Kebutuhan, saudara-saudara. Betapa tema ini sudah sering kali diulas. Betapa kebutuhan jaman sekarang kian mengabur dengan sebuah keinginan-keinginan kita.
“Apa sebenarnya kebutuhan kita? Pangan, papan, pakaian. Itu saja”, ada bulatan-bulatan yang kemudian digambar oleh pak dosen itu di papan. “Mari kita tinjau tentang pangan ini. Orang-orang dulu membutuhakan makanan secukupnya saja, cukup untuk menghilangkan lapar. Tak lebih. Lebih banyak memanfaatkan sumber pangan di sekitarnya. Tapi sekarang, hal seperti itu tidak lagi cukup. Kita tak hanya makan tiga kali sehari, tapi juga memerlukan cemilan-cemilan di antara ketiganya. Bahkan sekedar makan tiga kali pun belum cukup. Harus enak. Harus dengan lauk banyak. Harus dengan porsi besar. Tidak cukup dengan sekedar menghilangkan lapar, tapi juga mesti kenyang, kalau perlu kekenyangan. Maka jadinya apa? Kian menuju kemari, kebutuhan akan makanan ini kian berlipat-lipat. Sementra bumi, tempat makanan itu tumbuh dan berkembang, ya tetap itu-itu saja sejak dulu.”
Ah, saya tahu, ini perkara tanggung jawab. Ini tentang kewajiban menyampaian apa yang diketahuinya.
“Maka karena kebutuhannya yang memang berlipat-lipat, ketersediaan bahan makanan itu juga mesti berlipat-lipat. Jika kita bicara tentang beras, maka sawah-sawah mesti ditambah, kalau perlu menebangi hutan untuk membuka lahan. Jika tak bisa, maka harus diupayakan agar sawah-sawah yang ada bisa berproduksi jauh lebih banyak, dengan waktu panen yang semakin singkat. Jadilah kita kemudian mengenal urea untuk menggenjot produktivitas. Bila orang-orang jaman dulu memupuk sawahnya cukup dengan kotoran hewan, itupun juga tak sering-sering amat, maka petani sekarang memerlukan berkarung-karung urea untuk menyuburkan lahannya. Tanpa urea itu, padi-padinya seakan mandul hingga tak mampu lagi membulirkan biji-biji padi. Tentu saja, urea-urea itu telah mematikan kemampuan tanah untuk bisa menyuburkan dirinya sendiri. Ada mekanisme yang terputus, atau diputus”
Saya menelan ludah. Ini kiranya point yang ingin disampaikan itu. Permasalahan lingkungan yang sedang dipaparkan pada orang-orang yang bertanggung jawab atas ketersediaan pupuk nasional.
“Dan urea itu, kita semua tahu, diproduksi dari gas alam. Memang bahan makanan itu dapat kita perbarui, tapi yang tidak kita sadari, pembaruan itu mesti harus mengkonsumsi sumber daya alam yang sama-sama kita pahami sebagai sumber daya terbatas. Inilah masalahnya”
Hmmm. Pilihan sulit.
“Sebenarnya, apa, sih yang dibutuhkan tanaman dari urea itu? Dari unsur C, O, N, dan juga H yang ada pada urea, sebenarnya hanya unsur N dan O saja yang dibutuhkan. Tanaman-tanaman itu hanya membutuhkan nitrat. Nitrat yang sebenarnya bisa dihasilkan oleh bakteri pada tanaman kacang-kacangan, atau petir”, dosen itu sejenak menjeda kalimatnya. Menarik nafas dan mengedarkan pandangannya kea rah kami. “N dan O itu, seperti kita ketahui, pada produksi urea memang ditambahkan dari udara. Sedangkan C dan H, yang sebenarnya tidak diperlukan oleh tanaman dari urea itu, ironisnya yang justru berasal dari gas alam. Artinya, gas alam yang kita pakai untuk memproduksi urea itu, sebenarnya hanya sebagai carrier saja, agar N dan O itu bisa sampai ke tanaman, agar N dan O itu bisa terlarut dan bisa diserap akar tanaman. Artinya gas alam itu kita pakai untuk kemudian kita buang ke lingkungan begitu saja”
Sudah dua tahun lebih saya bekerja di pabrik urea ini, tapi baru sekarang saya menyadari fakta ini.
“Tugas kita sebagai orang proses sebenarnya yang mesti mencari solusi untuk ini. Anda-anda yang ada di sini, mesti bisa memikirkan agar bagaimana granulator-granulator yang sekarang ada, pililing-prilling tower yang sekarang berdiri, suatu saat akan menghasilkan pupuk kompos granule atau pupuk kandang prill. Tak bisa tidak. Masa depan bumi tidak terletak pada urea prill atau granule yang sekarng, tapi terletak pada pupuk organic. Kita sedang berpacu dengan waktu, kapankah saatnya pupuk ramah lingkungan itu bisa mensubstitusi pupuk urea yang sekarang. Bumi kita tak bisa menunggu lama “
Dan inilah pointnya . inilah ujung dari semua itu.
Sesi computational fluid dynamic pun dilanjutkan kembali.
2 juni 2012
Kecubung 17
4 comments:
baru tahu cara kerja dan pembuatan urea. dulu pernah lihat urea, tapi nggak begitu memperhatikan
wah, engineer yang penulis sudah kembali. :D
dosennya keren!
Setuju sama kak ai! *ehem
hmmm. dilema ya pak? jika idealisme beradu dengan tuntutan dan realita. Itu pula yang pernah dirasakan suami saya yang berkecimpung di dunia pertambangan
Post a Comment