Entah mengapa saya ingin menampilkan tulisan ini lagi. Ada semacam yang mengusik dalam diri saya.Tulisan dibawah yang saya cetak tebal adalah tulisan saya sekitar lebihdDua tahunan yang lalu. Tulisan ini saya buat sambil antri di loket pembayaran SPP semester lima waktu itu.
Yang Terbersit Dari Kegiatan Pamaba
Surabaya, Di Kejauhan
Apakah semuanya mesti berhenti di sini
Mencermati kembali harapan itu, mimpi itu
Seakan dunia telah melaju sendiri
Dan separuh hati ini runtuh di pertengahan jalan yang masih panjang
Ah, jangan pernah patahkan mata pena yang terlanjur tajam
Berikan kami sebidang ruang untuk kami hirup udara kami
Kami tak mampu lagi penuhi apa yang kau minta
Kami tak cukup kaya untuk kenakan almamatermu
Dua bait di atas saya tulis sekitar 2 tahun yang lalu. Tepat seperti hari-hari sekarang, hari disaat saya begitu bahagia mendapati nama saya tercantum dalam deretan nama-nama yang diterima dalam pengumuman SPMB 2004, namun juga hari dimana impian untuk melanjutkan pendidikan hampir berantakan mengetahui orang tua saya tak mampu membayar biaya daftar ulang yang selangit kala itu. Saya tercenung, gelisah. Impian masa SMA, wajah sendu bapak dan kakak yang meminta keikhlasan saya melepas kesempatan ini, cita-cita masa kanak-kanak, dan wajah polos ibu saya bergantian menyeruak dalam memori saya. Saya masih ingat kalimat bijak yang diucapkan kakak kala itu yang saya tahu dengan berat hati beliau ucapkan : Dik masa depan tak akan terberangus hanya karena kau melepas kesempatan ini, akan ada kesempatan-kesempatan lain yang jauh lebih baik dari ini.
Kala itu saya hanya bisa pasrah, berdo’a memohon yang terbaik. Dan (semoga anggapan saya ini benar) kelihatannya inilah jalan terbaik saya. Bersamaan dengan datangnya rezeki, setelah melalui perjuangan, saya mendapat keringanan membayar biaya daftar ulang. Dan Surabaya itupun tak lagi di kejauhan.
Kini, setelah dua tahun berlalu, melihat biaya daftar ulang yang gila-gilaan, bayangan yang cukup menyesakkan itu kembali muncul . Saya tak bisa membayangkan berapa banyak orang-orang yang bernasib seperti saya, atau malah yang hanya termenung di rumah memandang kosong namanya dalam pengumuman SPMB, menyadari dirinya tak akan mampu membayar biaya daftar ulang. Atau kalau mau lebih parah lagi, berapa banyak orang yang jauh-jauh hari terpendam impiannya menyadari biaya kuliah yang tinggi.
Saudaraku, lalu apa yang sudah kita perbuat untuk hal ini. Pernahkah kita bersyukur bahwa kita telah dijadikan bagian dari segelintir orang beruntung yang bisa menikmati kuliah. Bahwa diluar sana, ada orang-orang yang mungkin lebih baik dari kita tak dapat mengenyam bangku kuliah.Pernahkah kita menyadari bahwa pada bahu kita, tak hanya tas penuh buku tebal saja yang kita sandang, tapi di sana jugalah mimpi jutaan manusia lain digantungkan. Mengharap ada generasi pencerah bangsa.
Tulisan di atas sekitar dua tahun yang lalu juga saya tempel di mading kajian jurusan saya. Tak tahu berapa orang yang membaca, berapa orang yang terinspirasi, atau berapa orang yang kemudian mengerti. Tapi minimal saya sudah mencoba untuk menyampaikan apa yang mengganjal di benak saya.
Kini, perasaan dua tahunan yang lalu itu kembali bangkit. Memenuhi ruangan kepala saya. Ada sesuatu yang berseliweran dalam otak saya melihat keadaan kampus saya kali ini. Katanya, dulu, kampus saya ini, Institute Teknologi Sepuluh Nopember, terkenal sebagai kampus rakyat. Artinya orang-orang yang kuliah di sini kebanyakan adalah memang orang-orang yang merakyat, rakyat kecil. Dulu bukanlah sesuatu yang mengherankan melihat sepeda berjajar rapi di tempat-tempat parkir, atau melihat sebagian besar mahasiswanya berduyun-duyun jalan kaki.
Adalah suatu yang alamiah memang bahwa suatu jaman itu terus berubah, terus melaju mengikuti dinamika kehidupan, tapi tidaklah menjadi benar kalau sampai harus meninggalkan hal-hal atau orang-orang yang belum bisa menyeimbangi perubahan itu. Kini lihatlah! Lihatlah beberapa atau bahkan seluruh parkiran jurusan yang ada. Amati seksama, betapa parkiran itu penuh berjejal motor. Tak muat. Berbagai jenis ada disana. Lalu coba alihkan pandangan. Ganti ke parkir mobil. Ah mobil-mobil yang terparkir itu bukan semua milik dosen, itu milik mahasiswa. Yang lebih bagus malah.
Kampusku berubah. Benar mungkin apa yang pernah tertulis dalam sebuah kaos perlawanan yang dibuat setahunan yang lalu : ”orang miskin terakhir yang kuliah di ITS”. Memang semakin tak ada tempat bagi orang miskin. Harus ada sekian juta yang harus kau bayar untuk kuliah disini, meski kau telah mencapai grade tertinggi dalam seleksi masuk nasional. Tanpa tawar. Saat itu juga. Temuilah rektor jika ingin minta keringanan. Dan saya tak yakin itu akan didapat.
Dan keadaan semakin sulit ketika kuota buat ”OTAK” masuk sini semakin mampet. Ketika kran masuk insttitusi ini lewat jalur lain sempurna dibuka. Dengan bukaan penuh. 30 juta, atau bahkan di jurusan tertentu mencapai angka 40 juta. Dan itupun mudah sekali menjaring hampir seratus calon mahasiswa. Maka perubahan demografi mahasiswa tak terelakkan.
Ah bagaimana saya harus menulisnya. Ketika banyak cowok cantik di jurusan, ketika makin banyak model pakaian yang lalu lalang di plaza jurusan yang dulunya mungkin hanya terlihat di Tunjungan Plaza, ketika semakin jarang terlihat baju kotak-kotak dan celana bahan hitam ciri khas mahasiswa ITS yang terpakai mahasiswa, berganti dengan jeans dan kaos berkerah kecil nan ketat yang apabila duduk bersila maka akan terlihat (*maaf*) sedikit celana dalamnya. Atau ketika sepeda kayuh begitu tak terhormat terpinggirkan dan menjadi amat sangat minoritas di parkir jurusan. Atau bahkan ketika simbol-simbol kemewahan itu telah menyudutkan kesederhanaan dalam ruang pengap dunia mereka sendiri. Atau....dalam sebuah rapat angkatan ....akan sangat mudah sekali menyepakati acara berbudget besar. Ah mudah kok, bisa diatur, demikian suara terdengar lirih.
Maaf kawan, saya tak hendak menyudutkan teman-teman yang masuk lewat jalur lain tersebut. Maaf. Saya hanya ingin bertanya: tak adakah tempat bagi Lintang, Isaac Newton-nya Ikal, untuk merasakan bangku kuliah.