Jika anda mulai merasakan kehidupan yang membosankan, itu-itu saja, dan sudah jauh dari menarik, marilah sejenak kita berkenalan dengan bapak satu ini. Kali-kali saja, seperti saya, anda akan mendapat pompaan semangat yang tiba-tiba.
Usianya tak lagi muda. Atau bahkan boleh dikatakan tua. Tua untuk jenis pekerjaannya. Tua bila dibandingkan rekan-rekan kerjanya.
Penampilan fisiknya pun biasa-biasa saja. Badannya kecil dengan tinggi badan yang biasa saja. Lebih mudah untuk mengatakannya pendek daripada tinggi. Ia kurus, yang saya yakin kalau ia sesekali menyingsingkan lengan bajunya akan nampaklah tonjolan-tonjolan urat di sepanjang tangannya. Gelagatnya pun biasa saja, tidak mencitrakan diri sebagai seorang pendekar yang ‘kecil-kecil cabe rawit’. Dengan tampilan fisiknya itu, tak adalah tanda-tanda ia seorang yang menjadi seperti pekerjaannya sekarang.
Ia seorang security. Atau satpam. Atau penjaga. Atau apalah namanya. Yang pasti, tugasnya adalah menjaga pos-pos tertentu dengan tugas memastikan keadaan terkendali sambil mengatur kelancaran lalu lintas. Ada beberapa pos yang dijaga dengan sistem shift dan rotasi. Maka, saya pun kerap kali bertemu bapak ini dalam waktu dan tempat yang berbeda. Suatu siang saya bisa bertemu dengannya sedang menjaga pos kantor pusat, suatu sore melihatnya menjaga pos perumahan sisi Sintuk, dan suatu subuh sedang menjaga pos dekat perempatan Mulawarman.
Dan, inilah letak istimewanya.
Dalam terik yang membakar khas khatulistiwa, gambaran umum security yang sedang bertugas adalah mencari-cari tempat yang sekiranya bisa digunakan berteduh sambil sedikit ‘asal-asalan’ menjalankan tugasnya. Kalaupun tidak, cukuplah dengan masuk pos-nya yang terlindung, sambil mengamati kondisi dari dalam, toh lalu lintas lancar-lancar, maka sudahlah, sekujur badan lepas dari sengatan sang surya. Tapi subhanallah, bapak yang satu ini, yang saya bilang lebih tua dari rekan-rekannya yang lain tadi, malah dengan gagahnya mendobrak keumuman tadi dengan berdiri gagah menantang matahari sambil tangannya melambai-lambai mengatur mobil-motor yang lalu lalang. Tak ada kesan menderita, kepanasan, atau wajah bosan darinya meski saya tahu itu pekerjaan harian yang saya tahu bakal membosankan bagi orang kebanyakan. Senyumnyapun selalu tetap terpelihara, menawarkan keramahan pada tiap pengendara.
Suatu kali, pas waktu ashar dalam keadaan hujan rintik-rintik, saya sempat tertegun sejenak melihat bapak ini mengenakan jas hujan kuningnya berdiri tegar menyapa tiap pengendara dengan wajah tuanya. Tidak! Ia tidak memilih duduk-duduk di bangku kayu yang jelas-jelas beratap. Ia lebih memilih berdiri seperti biasanya untuk menjalankan aktivitasnya seperti yang sudah-sudah. Sama sekali abai dengan rintik hujan yang perlahan membasahi jas hujannya. Sama sekali tak terlihat iri, meski rekan kerjanya yang relatif berusia lebih muda, lebih memilih duduk-duduk meneduhkan diri dan menjaga keamanan hanya dengan pandangan matanya.
Dan, puncaknya, kekaguman itu justru datang di waktu subuh. Bagi saya yang sudah merasakan beratnya shift malam, apa yang saya lihat adalah ketakbiasaan yang luar biasa. Profil security di waktu subuh itu, yang saya lihat tiap harinya pas melintas di depan mereka, kalau tidak duduk sambil terkantuk-kantuk menahan beban kepalanya, ya sedang menyandarkan badan di tiang penyangga atap dengan tatapan mata layu karena ngantuk. Sesekali, saat saya mencoba menyapa mereka dengan sebuah senyuman atau anggukan kepala, balasan yang saya terima adalah senyum kecut khas seorang yang sedang tak berselera. Saya maklum, sebab sudah sunatullah seseorang bekerja di siang hari dan beristirahat di malam hari. Bukan sebaliknya. Tapi sekali lagi, subhanallah, bapak kita yang satu ini mengacak-acak keumuman tadi. Tak hanya melek waspada, ia justru tetap seperti hari-hari biasa tatkala di siang hari saya menemukannya. Ia masih berdiri, tegak, serta melambai-lambaikan tangan untuk mengatur kendaraan --yang walaupun sesubuh itu cuma satu dua—dengan antusias. Sekali-kali saja saya lihat ia terduduk, mungkin sudah terlalu payah. Tapi tetap saja, matanya jeli menatap pengendara yang berlalu, dan tangannya tetap melambai mengiringi tiap kendaraan yang menderu.
Sekali-kali, mungkin saya perlu berhenti sebentar. Sekedar menyapa bapak kita ini, bertanya kabar, bertukar senyum, sambil mencuri-curi melontarkan pertanyaan sederhana: kekuatan macam apakah kiranya yang menggerakkan hari-harinya.