Maaf dan terimakasih, beruntunglah kita memiliki dua kosakata ini. Dua kata ajaib yang menimbulkan perasaan tenteram. Dua kata yang, apalagi diucapkan dengan sepenuh hati, dapat mengurangi kebuntuan hidup dan kepengapan perasaan. Dua kata yang indah.
Maaf dan terima kasih, dua kata yang tak melulu tentang siapa yang bersalah dan siapa yang berjasa. Maaf dan terima kasih adalah dua kata yang menyiratkan kebesaran jiwa. Maka kemudian, tentang apakah akunya yang memang bersalah, ataukan dianya lah yang berjasa, menjadi sekunder. Sebab maaf dan terima kasih memang dua kata yang menyehatkan jiwa, yang sering lahir dengan tulus dari pribadi yang sehat pula. Orang-orang yang sehat, akan mengerti benar hal itu.
Pengalaman berikut mungkin sedikit menerangkan. Dalam sebuah pertandingan sepak bola antar angkatan. Ada gengsi di sana, ada kebanggan pula di sana. Maka berlangsung panas. Berkali-kali kontak fisk terjadi, sebab itu memang sebuah keniscayaan dalam sepak bola. Tabrakan-tabrakan tak disengaja pun terjadi. Maka terjadi lah itu; dua orang bertabrakan kaki. Lalu entah apa pasal, mungkin ia merasa dicurangi—meski sepengamatan saya jelas-jelas tidak, si kakak tingkat melayangkan tendangan tanpa alasan ke bagian pantat seorang teman secara bertubi-tubi. Sebegitu cepat kejadian itu. Semua melongo. Tapi segera tersadarkan atas kejadian itu. Dan, tahukah anda? Sekat-sekat angkatan kadang sudah meluntur dalam sebuah medan pertandingan seperti ini. Adik angkatan pun kadang bsa menjadi berani hingga perkelahian pun bisa saja terjadi. Tapi, untungnya, sebelum kejadian tak dinginkan benar-benar terjadi, masih ada yang sehat dari kedua aktor kejadian itu. Dan, lagi-lagi, dan memang begitulah seharusnya, kata maaf sebagai solusinya. Si adik tingkat langsung mengucapkan maaf. Duhai, kami teman-temannya, awalnya tak rela ia meminta maaf duluan. Bukannya dia yang dikasari, bukannya si kakak tingkat yang sok senior dengan seenaknya sendiri main tendang, bukannya itu di pertandingan profesional akan berbuah kartu merah bagi si penendang? Bukannya itu...? Tapi itu lah kebesaran jiwa. Si kakak tingkat hanya lah disergap emosi sesaat. Emosi yang ditunggangi senioritas hingga mengubur segala rasionalitas diri. Maka kata maaf teman saya itu kemudian membangunkannya. Membuang jauh emosinya. Bahkan mungkin secara telak melucuti segala keangkuhannya. Ia tersadarkan. Ia malu pada dirinya sendiri. Dan pertandingan pun kemudian berlanjut, seolah tak terjadi apa-apa.
Di lain tempat seorang pembuka pintu, mungkin sejenis security. Di tempat-tempat perbelanjaan mungkin, di instansi-instansi mungkin. Tugasnya sama, cenderung mekanis mungkin; membuka pintu bagi tiap pengunjung, sambil mempersilakan dengan ramah. Dengan senyum terbaiknya tentu. Demikianlah, saat demi saat, jam demi jam, hari demi hari. Semuanya serba begitu, monoton. Menjemukan mungkin. Hingga kadang secara tak sadar menggerogoti kadar keramahan dan senyum indahnya. Tapi seorang pengunjung kemudian menyegarkan kembali. “Terima kasih, Pak”, demikian sapanya saat dibukakan pintu. Sambil tersenyum ramah. Menyiratkan sebuah penghargaan dan penghormatan lebih. Sebuah kebesaran jiwa yang melampaui batasan-batasan mengungkung macam perasaan ‘itu kan sudah menjadi tugasnya’. Maka lihatlah pak pembuka pintu itu. Mendadak saja ia disergap bahagia. Merasa terhargai. Dan kemudian kita kembali melihat senyum indahnya yang mengembang, tak lagi menyurut.
Tapi sayangnya itu tak berlaku umum. Ada saja orang-orang yang enggan bahkan untuk sekedar mengucap ‘maaf’ dan ‘terima kasih’. Dan maaf saja, apabila ini terjadi di Jakarta. Saat itu saya memang berada di sana, dan hendak ke Bandung. Maka saya memesan satu tempat dari sebuah perusahaan jasa travel dengan keberangkatan jalan dewi sartika. Beres. Cukup via telepon. Tapi kemudian saya mendapat info kalau yang jalan dewi sartika itu tidak ke cihampelas, tempat nginap saya. Yang di Pancoran lah yang tujuan akhirnya di Cihampelas. Maka pesan juga lah saya yang di Pancoran itu. Beres juga. Cukup via telepon juga. Awalnya, sempat masa bodoh untuk tak perlu membatalkan yang di jalan dewi sartika, toh saya belum bayar. Tapi tersadarkan bahwa tentu saja itu bisa merugikan kalau seandainya ada penumpang yang ingin pesan tempat jadi tertolak gara-gara pesanan fiktif saya. Saya pun kemudian membatalkan pesanan itu via telepon. Mengatakan kalau saya jadinya pesan yang di Pancoran. Dan mengucapkan maaf di percakapan itu.
Lalu lihatlah keesokan harinya kala saya menuju tempat pemberangkatan di daerah Pancoran itu. Menjelang pukul satu siang dengan kondisi hujan. Saya turun dari taksi sambil terseok-seok mengangkat travel bag yang berat. Memasuki ruangan. Sudah ada beberapa orang di sana yang menunggu. Petugasnya adalah seorang perempuan muda yang sudah tak terlalu mengenakkan bahkan sejak pertama kali menyapa. Entahlah, bagaiman tipe seperti itu bisa duduk di sebuah pekerjaan yang berhubungan langsung dengan pelanggan.
“ya, pak?”, katanya
“pemberangkatan ke bandung yang jam satu, mbak”
“sudah pesan tempat?”
“sudah. Kemarin via telepon.”
“atas nama siapa dan untuk berapa orang?”
“Iqbal, Iqbal Latif. Untuk satu orang”
Ia kemudian memencet-mencet keyboard. “tapi di sini tak ada pesanan atas nama iqbal. Adanya atas nama Yana pesan untuk empat orang. Dan semuanya sudah penuh delapan orang”.
Saya sudah illfeel sampai sejauh ini. Caranya mengajak bicara sungguh tak mengenakkan. Sayangnya saya tak bisa memperdengarkan langsung bagaimana ia menjawab pertanyaan-pertanyaan saya itu. Cara menjawabnya tak seperti petugas bank yang bermuka menyenangkan dengan kalimat tertata dengan intonasi yang empuk. Cara menjawabnya, seolah saya adalah penumpang fakir miskin yang ke situ mengharapkan belas kasihannya agar diikutkan ke Bandung tanpa membayar.
“lo, kok bisa. Saya kan sudah pesan?”, saya mempertunjukkan raut kecewa.
“Harusnya Bapak konfirmasi lagi malamnya.”
Dan inilah puncaknya. Saya sudah gagal untuk mendapatkan satu tempat untuk pemberangkatan jam satu, dan kini saya dipersalahkan atas kegagalan saya itu. Duhai, mbak, apakah mbak tak mendapatkan training dahulu sebelum mendapatkan pekerjaan ini. Oke..oke, mungkin saja saya salah tak mengonfirmasi lagi. Ini adalah pengalaman pertama saya memakai travel ini dan sudah cukup yakin dengan kepastian tempat lewat telepon itu. Toh nomor telepon saya sudah dicatat hingga sudah kewajibannya lah yang mengonfirmasikan bila tempat itu penuh.
Percakapan-percakapan kemudian terjadi. Tapi lebih atas inisiatif saya. Saya masih menunggu ia mengucap ‘maaf, pak, nama bapak tak ada dalam dafttar di komputer kami. Mungkin petugas kemarin tak memasukkannya dalam daftar karena sistem kami kemarin dalam keadaan off line. Kalau bapak bersedia, bisa ikut pemberangkatan selanjutnya jam tiga. Sekali lagi maaf atas kejadian takmengenakkan ini’, tapi tak jua muncul. Ia terlihat sibuk sendiri dan mencueki saya yang berdiri bingung di depannya.
Bisa saja saya marah di situ mengingat pelanggan adalah raja. Tapi tak saya lakukan mengingat ketakadagunaannya selain melampiaskan kekecewaan. Saya kemudian menelepon jasa travel lain yang lokasinya tak begitu jauh. Memastika ada tempat yang kosong. Alhamdulillah ada tempat yang kosong tapi saya dipersyaratkan datang dalam waktu sepuluh menit. Waktu menunjukkan pukul satu kurang lima belas menit. Saya keluar dari ruangan itu dengan muka tak begitu ramah. Si petugas tak menyenangkan masih saja tak menyenangkan.
Gerimis masih turun tapi saya memaksakan keluar. Berteduh di pedagang kaki lima sampai kemudian ada taksi berhenti sendiri. Taksi ecek-ecek. Tapi tak ada pilihan, saya masuk juga.
“extrans, Pak. Graha nusantara”
“Graha Nusantara? Graha Anugrah apa, pak?”
“oh ya. Tahu, pak?”
Iya mengangguk.
Saya sudah percaya. Masalah tempat adalah makanannya. Tapi kepercayaan yang langsung menguap ketika ia berucap “kelewatan apa ya?”. Dan benar, memang kelewatan. Saya sudah gelisah mengingat waktu sepuluh menit yang diberikan tadi. Saya sudah nggerundel membahasakan kekesalan saya tentang kemungkinan tertinggalnya saya kembali karena sebab konyol ini. Tapi tak ada raut penyesalan sama sekali dari si sopir taksi. Tak ada pula kata maaf. Ia masih enjoy mencari putaran untuk kembali. Saya sudah lemas, membayangkan akan menunggu sejam lagi untuk pemberangkatan selanjutnya. Gelisah menatap jam di HP. Tapi tak ada gelisah di sopir taksi. Ia malah bersendawa berkali-kali seolah tak ada kekeliruan yang baru saja ia lakukan. Maka tak adil kah jika saya kemudian bersuudzon bahwa keterlewatan in adalah kesengajaan yang ia cipta agar argo meter terus berjalan?
Putaran kemudian di dapat. Kembali. Memutar kembali. Memasuki Graha Anugrah. Waktu sudh menunjukkan jam satu lewat. Terlihat ada mobil travel yang sudah bersiap-siap. Tapi belum berangkat. Segera saya keluar. Berlarian sembari membawa bawaan. Menuju ke petugas travel. Negosiasi sebentar. Alhamdulillah sapat.
Tapi hikmahnya kemudian adalah, mobil travel hanya berisi lima orang termasuk saya. Sungguh berbeda jika saya memaksakan naik travel pertama yang sudah penuh terisi semua. Allah memang punya sekenario hebat atas segalanya. Termasuk ketika saya di perjalanan membaca buku ‘Memaknai Jejak-Jejak Kehidupan”nya Komaruddin Hidayat, dan menemukan tulisan tentang ‘Maaf Dan Terima Kasih”. Hingga saya menuliskan ini.
Perjalanan tetap indah.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
25 comments:
wah, panjang juga.... Terlalu panjang pendahuluannya
Fiuhhh ikutan kesel baca yg pertengahan ke belakang.
Btw, tak ada yg kebetulan koq.
Soal 2 kata ajaib, katanya diluar sana malahan 3 kata ajaib.
Sorry, Thanks, excuse me. :)
Btw, nice share :)
jadi ingat waktu komplain soal laptop BM ke toko tempat saya beli. boro-boro minta maaf, ngasih penjelasan pun tidak
maaf bal,
terima kasih..
opo to iki
hahaha
Kalo di sekolah anak2ku... malah ada 4 kata ajaib yang harus selalu diingat dan dipraktekkan... istilahnya permatoteri Permisi, Maaf, Tolong dan Terimakasih
janganjangan lbh kesel bupeb dari pada saya..he he
jayake di indo bisa dimasukin juga kata itu
gima itu kelanjutannya? kok saya lupa..kayake sdh baca juga
sudah.. Nggak usah sungkan. Katakan saja :p :D
hmm..iya. Empat kata itu mungkin. Bikin adem...
sekolahnya dimana?
Kok nggak ada yg komen begini :" haruse dirimu duluan dong, bal, yang minta maaf. Kan maaf tak melulu siapa yg benar siapa yg salah"
haha
gene wis reti
wkwkwkw
=p
lepinya balik setelah satu bulan dikirim ke jawa...gak lama dipakai penyakitnya kumat lagi. akhirnya minta bantuan teman buat ngecek salahnya dimana, dan baru kemarin lepinya balik. masih belum tau udah sembuh betul apa belum...hehe
tampang pendatangnya masih kental kalii.. hoho! maaf... ^^
reti opo? reti brownies?
semoga baikbaik saja...
perlu diencerin lagi dong! butuh pelarut nih!
weh..perjalanan yang melelahkan ya..alhamdulillah ndak mutung trus balek ke Bontang :))
Anakku sekolah di SDIT Iqro' Pondok Gede...:)
kayake nggak mungkin itu...:)
jakarta?ouw/....sip sip
:)
senyyummu mengandung banyak arti
:p
kalo yg ini satu arti
Post a Comment