ia memanggilku 'latif', mencoba menyelisihi lainnya yang memanggil dengan 'iqbal'. Katanya, "sebagai doa. Latif artinya lembut". Tapi kemudian ia juga meminta kata ‘khair’ sebagai panggilannya. Sebuah panggilan dari penggal pertama kata namanya yang sebuah. Sebagai doa juga, demikian mungkin inginnya.
Kami sudah mulai berkawan sejak menapaki awal kuliah. Adalah sebuah kontrakan kecil di sudut keputih sebagai wadahnya. BNI 45 nama kontrakan itu. Kefamilieran mungkin menjadi alasan pemilihan nama itu, selain tentu arti yang terkandung. BNI adalah kepanjangan dari Baitun Nurul Ilmi, sedangkan 45 adalah nomor rumah kontrakan kami yang 45 A. Setahun usia kebersamaan di kontrakan itu. Sebab selanjutnya ia memutuskan untuk pindah. Sesuatu yang awalnya aku sesali, tapi kemudian kumaklumi.
Tapi tentu saja, akhir yang dimaksud itu hanyalah akhir untuk kebersamaan dalam wadah satu kontrakan. Kita masih satu jurusan, kita masih satu organisasi, dan kita masih mempunyai kesamaan aktivitas yang membuat kerap jalan bareng. Saat-saat kita kumpul bareng masih panjang.
Ketika acara futsal bareng sabtu pagi, pas masih sekontrakan, kita lebih sering menjadi dua orang yang harus saling berhadapan. “Khair dan iqbal jangan satu tim!”, demikian seseorang sering protes pas pembagian tim. Sebuah isyarat agar distribusi kekuatan tim bisa merata. Aku sudah hafal betul bagaimana caranya membawa bola, sama dengan dia yang sudah paham benar bagaimana gayaku menggiring bola. Sebagai kawan se-tim itu penting, sebagai lawan juga penting. Kau akan tahu dimanakah harus berposisi saat seorang kawan membawa bola saat hafal benar gayanya, sama halnya kau juga akan dengan mudah merebut bola dari seorang lawan saat kau tahu betul kebiasaan-kebiasaannya saat membawa bola.
Dua kalimatnya kemudian yang begitu menancap padaku hingga kini. Yang pertama di sebuah malam lewat sebuah SMS saat aku baru saja diputuskan oleh forum untuk menjadi koordinator IC Ormaba. “Jika menjadi koordinator instruktur adalah sebuah beban berat, maka jangan minta beban yang ringan, tapi mintalah punggung yang kuat agar bisa memanggul beban itu”, demikian bunyi sms itu tepat saat aku masih saja menata hati atas keterpilihan itu. “kami tunggu di ruang himpunan malam ini”, demikian lanjut sms-nya malam itu. Ia adalah koordiantor SC untuk Ormaba kala itu. SMS-nya malam itu, adalah kalimat tepat di saat yang tepat. Maka tak heran lah jika itu kemudian begitu dalam menghunjam.
Kalimat keduanya datang di kala hujan. Kami hendak pulang ke kosan kala itu. Berjalan kaki bersama. Tapi naas, baru saja melangkah, ketika baru sampai di Teknik Mesin, sebuah jurusan yang terletak di sepanjang jalan menuju kos dari jurusan kami, hujan turun. Maka tak ada yang bisa dilakukan selain berteduh di sebuah emperan. Menunggu. Menunggu yang sayangnya menjadi lama sebab hujan tak kunjung mereda. Maka aku mulai mengeluh tentang perut yang lapar. Hari memang telah sore dan baru paginya saja perut terisi nasi. Tapi kemudian, lagi-lagi kalimatnya menenangkan; “semakin lapar akan semakin nikmat nanti makannya”. Agak sedikit bercanda ia mengucapnya, tapi jelas ada kebenaran. Ia mengajak untuk sebuah kenikmatan lebih yang bakal tergapai, untuk ketakenakan yang sekejap ini. Dan memang, kalimatnya ini ternyata tak melulu tentang makan. Ada hal besar di sana.
Khaerudin namanya. Satu kata itu lah memang penggalan lengkap dari kata ‘khair’ yang ingin ia panggilkan padanya. Orang Tegal yang besar di Jakarta. Ia adalah gambaran orang jakarta yang amat berkebalikan dengan model orang jakarta yang diperkenalkan di sinetron-sinetron murahan. Di buku album kenangan SMA-nya, ia mendapat pedikat ter-calm.
Kemudian, akhir 2008, atau awal 2009, ia berpamitan. Sambil menyerahkan beberapa buku yang ia amanahkan untuk dikembalikan ke seorang teman lain, ia menghampiri kontrakan. Ia berpamitan untuk kembali ke jakarta dan memilih mencari kerja di sana. Perpisahan itu berlangsung sederhana saja. Tak terbayangkan kalau pada akhirnya itulah kali terakhir kita bertatatap muka untuk jangka waktu yang lama.
Dan itulah memang, akhir pertemuan kita. Bahkan ketika pada akhirnya saya hijrah ke Bontang, kemungkinan untuk bertemu itu kian mengecil. Saya sering heran untuk masalah ini, ternyata momen-momen bersama dengan teman-teman dulu itu, sering kali tak saya sadari bahwa bisa saja itu menjadi momen terakhir kita bertatap muka, apalagi yang berjamaah. Kesadaran itu baru terbentuk kala masing-masing dari kita sudah saling berpencaran jauh. Si ini sudah di sini, si itu di pulau situ. Perlu banyak hal yang harus diatur bahkan untuk sekedar bertemu, apalagi yang disebutkan tadi; berjamaah. Saling mencocokkan jadwal cuti, mengorbankan waktu pulang yang langka, serta yang lain. Jadilah kemudian momen kumpul bersama dengan teman-teman—teman dekat khususnya—menjadi sebuah kemustahilan kala tak ada niat yang benar-benar. Bukan keinginan sambil lalu, atau kerinduan sesaat atas romantisme masa lalu.
Dan tentang Khaerudin ini, hanya bisa mendengar kabar ia kerja di PT anu, kemudian berpindah ke PT anu lainnya. Mengawasi perkembangannya dari facebook, sesekali pula melihat penampakannya yang terbaru. Menurutku, ia jauh lebih gemukan. Penilaian yang boleh jadi sama darinya tentang aku. Tapi tak masalah senyampang fakta itu berarti kabar baik.
Suatu ketika ia sms. Mengabarkna dirinya yang berada di Balikpapan, serta menanyakan tentang bagaimanakah menuju Bontang dari Balikpapan itu. aku kemudian memberikan alternatif-alternatif transportasinya, harapan untuk bisa bertemu setelah sekian lama itu pun ada. Pekerjaannya yang terbaru memang memungkinkannya untuk berkunjung dari satu lokasi ke lokasi lainnya, dari pulau satu ke pulau lainnya. Tapi, sayangnya, kesempatan itu belum menjadi milik kita. Karena alasan alokasi waktu yang minim, ia membatalkan kunjungannya ke Bontang itu dan memilih kembali ke Jakarta.
Kemudian ada juga kesempatan saat aku ada training di Bandung. Karena penerbangan memang adanya ke jakarta, maka mampirlah aku ke sana. Tapi lagi-lagi sayang, karena waktunya yang masih suasana lebaran, saat itu ia masih mudik di Tegal. Jadilah acara ketemuan itu kembali gagal.
Hingga beberapa hari yang lalu. Kesempatan baik itupun kembali datang. Aku kembali ada training di Bandung dan segera saja kuinfokan rencana itu kepadanya. Karena acaranya hari senin sedangkan jumatnya cuti bersama, maka jadi panjanglah kesempatan itu.“ke Dufan yuk?”, demikian balasnya di salah satu sms. Membuat saya nyengir, tapi kemudian menjadi tak apa menyadari fakta aku belum pernah ke sana.
Kini, pertemuan itu pun sebentar lagi menjadi nyata. Tak sabar rasanya melihat ia yang sekarang, mengetahui beratbadannya, melihat sendiri nomor celananya. Mungkin kita akan sedikit mengenang masa lalu, lalu berbicara banyak masa depan. Sambil melepas rindu.
Kini pertemuan itu sejarak sekali penerbangan Balikpapan-Jakarta. Segera saja.
Pojokan Bandara Sepinggan
Subuh
23 comments:
bersambung, gan!
kudu pulang dulu untuk ngambil travel bag yang diperbaiki. Travel bag? ah, itu ada kaitannya dg akhir tulisan ini
nanti malam dilanjut insyaAllah
Baiklah lathief, aku mendukungmu! *Loh?
mendukung apa ini?
Khair artinya baik ya?
seperti itulah
wiiii, romantis udan2 ngeyup bareng
#halah
hehe.. g hanya ngiyup bareng malah
Mendukung tim futsalmu... *Kukur2 sirah* :p
sip...kalo menang ditraktir yah....!
seng kukur2 sirah tuh biasae itu tuh...
tapi masih bisa ketemu kan?
fili..ini mau dilanjutkan.. Tapi kok sdh g nemu feel-nya
Wah mo traktir saya?! Horeee..!! Janji adalah hutang ya! :D
wah, tadi keliru...haruse tanda tanya
wah, tadi keliru...haruse tanda tanya
Tdk ada ralat! :D
traktir apa? dimana? apa traktir ol dengan menu maya? :)
--akhirnya selesei juga--
oo, ya, smoga berhasil ketemuannya
ternyata barusan sdh ketemuan.. hehe
Ooh.. Nice story :), jd keinget sahabat jaman dahulu..
sdh mencar semua juga kah?
Iya.. Ada yg studi lg d Korea, ada yg d Jember, ada yg d Jakarta, Banyuwangi, dll..
oh sama berarti.. kalo saya malah banyak yg antar pulau.. hehe
Post a Comment