1
Saya tak terlalu pede benar membicarakan ini. Hanya sebuah lintasan pemikiran sesaat yang tercetus oleh sebuah fragmen. Tentang kesetaraan, tentang lelaki-perempuan. Tidak! Saya tidak sedang membicarakan tentang emansipasi wanita, tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan. Saya, hanya sedang ingin menyentil sedikit tentang relasi (atau komunikasi) antara suami dan istri. Saya memang sadar betul, bahwa saya sama sekali tak punya pengalaman tentang ini. Tapi, biarlah saya memandangnya dari kacamata lajang yang hanya bisa menilmba ilmu dari membaca.
Tentang inferioritas. Tentang merasa kecil di hadapan yang lain. Maka marilah kita buka ini dengan sebuah perttanyaan kecil; Bukankah teman suami adalah teman istri juga? Bahwa, semelonjak apapun si suami (atau istri) dalam aktivitasnya, tak boleh ada rasa keminderan dalam diri pasangannya di hadapan teman-temannya. Sebab, hal-hal lain yang tak mengenakkan kerap kali bermula dari ini.
Pernahkah kau berkunjung ke rumah seorang kawan, duduk di ruang tamunya, tapi kau tak mendapati istrinya kecuali sekilas. Iya, benar, ia sedang menyiapkan makanan dan sebagainya di belakang. Tapi kau menangkap hal lain. Inferioritas. Kerendahdirian untuk sekedar bergabung. Lebih memilih menyibukkan diri dengan hal-hal lain yang tak terlalu penting di belakang. Menjadi lebih parah kala si suami tak menangkap gelagat itu, tapi malah menambah kadar inferioritasnya dengan mengucapkan kalimat-kalimat perintah pada di istri yang tak seharusnya dipertontonkan di hadapan tamu. Sebuah kalimat perintah yang menciptkan jarak yang begitu menganga.
2.
Di antara kesenangan saya selain yang biasa saya sebutkan di daftar isian pada kolom hobi di formulir-formulir, salah satunya adalah tentang bercocok tanam. Ada rasa sayang tiap kali ada sepetak lahan yang tak tertanami apa-apa dan menjadi lahan tidur yang tak produktif. Seringkali, dalam keterbatasan lahan yang pas untuk dicocoktanami di sekitar rumah, saya memipikan untuk mempunyai sebuah rumah dengan atapnya berupa beton datar dimana di sisi-sisinya akan penuh dengan polibag berisi tanaman kebutuhan sehari-hari. Ada tomat, cabe, sayur-mayur, yang tentunya bebas pestisida dan pupuk anorganik.
Sampai di bontang, keinginan itu meluap-luap kembali. Mendapati halaman yang luas, dan bebas dari ayam yang bakalan menghajar daun-daun tanaman, saya cukup pede untuk meminta dikirimi bibit bayam dan sawi dari jawa (*saat itu saya belum tahu kalau ternyata bibit itu dijual juga di Bontang*), membeli pot-pot, dan mulailah menanam. Mungkin karena masih terbawa cara berpikir di Jawa, jadilah tanah yang saya gunakan adalah tanah apa-adanya tanpa diberi pupuk kandang sebagai penyubur. Maka bisa ditebak, dengan tingkat kesuburan tanah yang berbeda jauh dengan di jawa itu, sawi yang saya tanam tak kunjung membesar dan menggemuk. Dan itu, menjadi kesan pertama yang kurang mengenakkan hingga membuat saya malas mencobanya lagi. Selain karena faktor saya amat sangat jarang sekali memasak hingga sepertinya mubadzir juga kalau menanamnya.
Tapi keinginan itu kembali muncul di 1 syawal kemarin. Berkunjung ke rumah seorang atasan di kantor, saya dibuat jatuh cinta dengan tanaman-tanaman sayurnya yang gemuk-gemuk, hijau, dan segar. Yang membuat istimewa, sayur-sayur itu memang ditanam secara organik untuk kebutuhan dapur sendiri. Tak ada pestisida, tak ada pupuk anorganik (*hal yang mebuat saya tersenyum geli mengingat kami bekerja di sebuah perusahaan yang memproduksi pupuk kimiawi*). “di belakang itu ada tomat, cabai, dulu juga ada ketimun, kacang panjang”, demikian kata si tuan rumah. Membuat saya semakin semangat untuk melakukannya.
3
Entahlah, padahal itu sebenarnya hal biasa saja yang biasa saya temui di buku-buku, tapi tetap saja, akan selalu ada rasa takjub kala menjumpainya secara langsung dan begitu nyata di hadapan saya. Lagi-lagi saat berkunjung ke sebuah rumah. Saya tak begitu jelas melihatnya memang, tapi ada beberapa bagian penting yang bisa saya indera meski hanya potongannya. Dan cukup untuk menjelaskan. Di sebuah whiteboard itu, ada sebuah nama, yang saya yakin adalah nama putera si tuan rumah, lalu ada kolom-kolom di mana di bagian menurunnya berisi tanggal, dan bagian mendataranya berisi lima waktu sholat. Di kotak-kotak kosong peretemuan antara tanggal dan waktu sohlat itu lah, kemudian jam tertulis. Saya menduga bahwa itu adalah jam dimana si putera melaksanakan sholatnya. Keluarga itu mungkin masih belum menanamkan urgensi sholat berjamaah hingga di kolom itu cukup diberi tanda ke masjid atau tidak, tapi bagi saya itu adalah sebuah hal yang sudah cukup bagus dan layak untuk mendapatkan apresisasi. Bagaimana sebuah amal yaumi satu keluarga menjadi urusan bersama dan begitu terbuka, hingga ada ruang yang teramat lebar untuk sebuah fungsi kontrol, nasehat-menasehati dalam kebaikan, juga muhasabah. Tak semua keluarga mampu menerapkannya.Bahkan lebih banyak yang tak. Saya mengerti benar akan hal itu. Apalagi kala tak segera memulainya.
4.
Televisi. Ini sebenarnya bahasan yang belum selesai dalam diri saya. Apakah nantinya saya perlu membeli televisi melihat dampak yang ditimbulkannya bagi saya terutama tentang pemanfaatan waktu. Ataukah saya cukup membeli tv minimalis saja lalu ditempatkan di ruang tak populer yang sama sekali tak nyaman hingga karena ada kepentingan yang mendesak dengan tv itu lah saya akan mau berbetah-betah menontonnya.
Maka kemarin, perdebatan itu mendapatkan potret yang menggeleng-gelengkan kepala saya. Ketika saya mendebat diri sendiri tentang apakah perlu televisi atau tidak, ternyata di luaran ada yang justru menyediakan televisi hampir di setiap ruangnya. Bagaimana mungkin rumah sekecil itu, paling tidak, dari yang mampu saya lihat, ada tiga televisi berukuran 21 “. Bahkan salah satunya sudah masuk ke kamar tidur yang menjadi daerah privasi.
Jika kau percaya sesuatu itu tak cukup baik, tapi kau tak mampu untuk berlepas diri darinya, minimal jangan menyaman-nyamankan sesuatu itu hingga kau menjadi begitu betah bersama-samanya. Tak semua setuju dengan pernyataan itu, tapi saya setuju. Termasuk urusan televisi ini. Jika kau tahu bahwa efek buruknya lebih dominan, belilah yang kecil saja, dengan kualitas gambar tak terlalu bagus, lalu letakkan di ruangan yang tak terlalu nyaman untuk terus-terusan berada di dalamnya. Saya belum benar-benar menerakannya, tapi setidaknya saya sudah mewacanaknnya, hingga semoga, suatu saat, ketika saya punya keleluasaan untuk bersikap itu, saya akan dengan mantap melakukannya.
5.
(masih ada, sih. Tapi sepertinya sudah capek nulisnya. Dan sepertinya lebih bagus dibahas di bab sendiri)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
28 comments:
Poin pertama, mengingatkan saya pada kunjungan dua bulan lalu ke rumah teman kakak saya. Kami silaturrahim biasa saja. Tapi, saya menangkap gelagat yang kurang bersahabat dari sang istri. Bisa jadi karena inferioritas. Bisa jadi hal lain. Meski berprofesi di bidang yang menuntutnya juga untuk banyak bicara, tapi saya perhatikan ia tidak menunjukkan itu pada kami. Entahlah, ada apa. Sakit gigi? Rasanya keterlaluan dan tidak ada pernyataan itu dari dia.
Jadi, lebih banyak suaminya yang ngajak kami ngobrol (dan terlihat wataknya yang atraktif dan komunikatif). Juga anak-anaknya yang disuruh bertemu kami, entahlah sebagai pengalih atau apa.
Eh, ini kok banyak prasangkanya ya? Haduh!
Sing #1 #kode. ;d
aku tidak suka laki-laki yang menciptakan budaya inferioritas bagi istri dan anak perempuannya.
poin 3, good reflection^^b
untuk nomor satu, kalo di sini justru jangan harap yang laki2 bisa ngeliat atau berbicara dengan istri temannya. bukan karena inferioritas, tapi antara yang hak dan yang tidak. dalam forum besar pun, yang laki2 berkumpul dengan laki2, yang perempuan dengan perempuan.
@fatah..ha ha..iya, aku juga takut berprasangka2... Ya, jadi pelajaran semuanya lah
@topan...maksude?
@faraziyya...hmmm, saya takjub juga waktu melihatnya. Saya tahu benar si bapak pemilik rumah....
@malamblnbiru...hoho.. Inggih..inggih, mbokdhe
@trewelu... ah, iya.. Saya ingin membahas itu juga.. Bahwa ini terlepas dari hal itu.. Ha ha.
poin pertama...
emang seringnya begitu kan yaks... jarang banget dah saya silaturahim dan istrinya ikut nimbrung.... jadilah kerasa kek ketemuan forum lajang sebagaimana dulu kala hohoho
poin kedua
buat desain dan konsep greenhouse versi mas ya... ntar saya nyonto abis2an hehehe
poin ketiga
yoyoyo ditunggu nih siapa yang mau bahas parenting.... biar jadi rujukan geto hehehe
poin keempat
just same... i don't like tv much too
Kemarin it rombngan orang kantor, nazh. Cowok cewek. Ada ibu tua, ibu muda, bpk muda, cln bpk, cln ibu. Kalo bpk2 sj sih wajar
woooo emang jadi gak wajar tuh ya
yowis mas... ntar kalau jadi suami berarti kan mas kan gak kayak gitu to? hehehehe
Seng poin 2 iku, alangkah baiknya kalo tiap rumah punya kbn sndri. Kalo g ada tanah terbuka, minimal pot2 gt.
makane butuh share konsepnya dong....
nanti kan jadi inspirator greenhouse concept...
aku juga ntar klo udah nikah pengen punya kebun kecil :)
*nyimak.
Hmm...I just look this writing as visions...hehe
Mantap ...
Like this ...!
@nanazh... G usah konsep2an! Ndang dipolai wae. Langsng tandur! Konsapkonsep koyok politikus wae. Nanging ora mlaku2 :D
@Ayanapunya...hoho. Smga cita2ny ksampean. Dan segera.
@fathia...nyimake jangan ngantuk :)
Renungan ke-rumahtangga-an ya..
@rifzahra...terlhat seperti it kah, rif (eh, salah. Maksude 'fi')?
@kanghendra...jamuan makananya jg mantap, kang.
@kakrahmah...ini bs dsebut renungan jg, kah?
itu kan pandangan aku saja, mas...
Hehe. Iya..gmasalah jg
*pasang kacamata
Eh? Knpa ini bu dokter?
tulisannya banyak
itulah kenapa dianjurkan memilih suami/istri yang sekufu,
eh? ga ngaruh ya sama inferioritas
ha ha.. Ini malah ngaitkan milih istri..:)
inggih kang mas...
yuuuuk mari terapkan...
*caripot,tanah,mabibit2tanaman hehehe
konsep ttg tv-nya bgus. Jd t'inspirasi saya
@nanazh...jangan nyari, tp bl! Lbh murah pake polibag
@megalatous...yg pasti jangan naruh tv d kamar
Post a Comment