Menjelang subuh. Dalam sebuah antrian toilet di satu masjid.
Saya tak terlalu memperhatikan benar mulanya, toh memang bukan giliran saya. Jemari saya masih sibuk memencet-mencet HP dengan mata mencermati layarnya. Sejenak mengalihkan diri ke dunia maya, seringkali menjadi jurus ampuh untuk membuat aktivitas menunggu menjadi tak terpikirkan.
Tapi tentu saja tak seratus persen terfokus ke sana. Mata masih mampu menangkap bayangan lain, telinga masih sanggup menjerat suara-suara sekeliling. Maka begitu pula gerakan itu, tak terlalu jelas memang mulanya, tapi tetap saja sanggup mengalihkan pandangan saya untuk sejenak menoleh. Lalu tersenyum simpul dalam benak.
Seorang lelaki. Ia sebeanrnya sudah hendak memasuki toilet itu. Bahkan sebentar lagi kakinya sempurna menjejak lantainya. Tapi tidak. Ia tak melakukan itu. Langkahnya tiba-tiba terhenti. Lalu memilih mundur lagi. Untuk kemudian melangkah masuk dengan pasti.
Sampai di sini saya yakin anda mengerti maksud saya. Mengerti akan senyum simpul saya, mengerti akan langkah terhenti dari si lelaki. Iya, si lelaki itu memilih kembali mundur, memang hanya untuk memastikan bahwa kaki yang ia langkahkan terlebih dulu saat memasuki toilet itu adalah yang kiri. Tak lebih. Sebab, mungkin ini yang ada di benak lelaki itu, seperti itulah nabinya mengajarkan. Maka sebagai ummat yang beruswah kepada nabi, baginya, sudah seharusnya lah ia mengikuti setiap sunnahnya. Termasuk urusan memasuki toilet tadi.
Kawan, perkara melangkahkan kaki kiri terlebih dulu saat memasuki toilet itu, bukanlah sebuah perkara yang otomatis layaknya kita makan dengan tangan kanan. Perkara makan dengan tangan kanan, kau boleh saja membiasakannya sejak kecil, menjadikannya sebagai sebuah habit. Hingga, bahkan ketika kau tak memikirkannya, tak menyadarinya, kau tetap saja akan memasukkan makanan itu dengan tangan kanan. Tapi perkara melangkah ini lain. Perkara melangkahkan kaki kiri terlebih dulu ke toilet, atau kaki kanan dulu saat memasuki masjid , adalah persoalan berbeda yang kala kau tak benar-benar menyadarinya, bukanlah menjadi sebuah kepastian bahwa kaki yang benar yang akan kau langkahkan pertama.
Ini memang soal kesadaran. Tentang sesuatu yang kita anggap penting hingga penting pula untuk menghadirkannya di segala aktivitas. Ya, pada akhirnya ini memang tentang mengingat Allah di setiap saat dan setiap aktivitas. Kita melangkahkan kaki kiri kiri terlebih dulu, karena kita sadar ada yang mengatur akan hal itu. Maka kemudian, bila persoalan melangkah itu tidak bisa kita otomatiskan dan pastikan, bahwa setiap kali masuk ke toilet selalu kaki kiri, atau setiap kali memasuki masjid dengan kaki kanan, maka dzikrullah, mengingat Allah di setiap saat, adalah sebuah aktivitas yang sungguh-sungguh mungkin untuk kita biasakan. Perlahan-lahan, sedikit-sedikit, terus-menerus, hingga menjadi sebuah kebiasaan yang terinternalisasi--menjadi sebuah habit. Maka jika itu sudah begitu liat melekat dalam segala aktivitas, dapat dipastikan lah hal-hal di atas akan terlaksana dengan mudahnya; melangkahkan kaki kiri terlebih dulu ke toliet, atau menjejakkan kaki kanan dulu memasuki masjid.
Begitulah. Hingga kemudian kita perlu menaruh curiga, kala menyadari bahwa hal-hal yang terkesan remeh itu mulai kita lakukan dengan menyelisihi ajaran agama kita, jangan-jangan karena hati kita yang benar-benar kosong dari asma Allah lah yang memang menjadi penyebabnya. Maka bila itu benar-benar terjadi, tak ada kata terlambat untuk beristighfar. Lalu menunduk dalam. Lalu berjanji, untuk senantiasa melibatkan Allah dalam setiap aktivitas kita. Semoga saja.
#sebenarnya saya malu menulis tema-tema seperti ini. Merasa diri tak pantas. Tapi, saya juga sadar, tak akan ada yang bisa saya tulis jika menunggu pantas. Bahwa menulis adalah juga tentang perbaikan diri. Bahwa yang pertama kali ternasehati adalah yang menulis itu sendiri. Itu saja. Semoga saja saya menjadi yang pertama kali mengambil hikmah dari setiap apa yang saya tulis#
#ide awal tulisan ini didapat dari pengajian RT berbulan-bulan yang lalu. Tercetuskan kembali kala melihat sebuah fragmen. Jika ada kebaikan yang bisa diambil, semoga itu juga menjadi sebuah kebaikan bagi sang ustad penyampai ceramah. Semoga.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
17 comments:
Iya, ya...
Dalam melangkah, kadang tidak bs secara otomatis atau reflek.
Mungkin dengan sikap tenang dan tidak tergesa-gesa, kita bisa lebih mengontrol diri ketika melangkah dan kemudian mengucapkan doa sesuai tempat mana yang akan kita masuki.
TFS, yah, pernah juga dlm posisi si bapak itu juga, hehe.
insya Allah kalau dibiasakan bisa terbiasa, kok. Ini berlaku juga buat memakai sesuatu dgn mendahulukan yg kanan, dan melepaskan sesuatu itu mendahulukan yg kiri. Asisten RT juga perlu diajari yg spt ini spy dia melakukan hal yg sama dikala menolong anak2 kita. JFS, pak
Masalah salah langkah ini kl tdk salah pernah mencuat di masa Rasulullah saw, uh ak membacany dmn ya?
terkadang malah gak sempet mikir kaki mana yg didahulukan....langsung aja.... hiks...
nasihat yang baik dan bagus ...
terima kasih ...
iya, melangkah kan sesuai urutan melangkah...yg pas itu apa
kalau masalah masuk toilet itu saya kira sulit untuk otomatis, dok..Meski sudah dibiasakan.. Kalau pas pikiran blong ya asal nyelonong saja :)
setuju dg masalah mengajari ibu RT
wah, yg mana itu...
cari, yo!
he he..iya :)
sama2 bang hend..
mudah2an bermanfaat
atu jgn2 lupa 'berdoa' sblm masuk k km
Like this :)
,,sesuatu yg sepele..tapi itu bisa membawa kita dalam kebaikan,,
menohooooooooooooooooook nian nih, Uda
salut ma orang-orang yang tetep istiqomah meneladani Rasulullah dari hal yang terkecil sekalipun
iki fiksi opo non fiksi?
kalau salah tingkah?
salah tingkah bukan dalam tanda kutip
Post a Comment