“jodohnya membaca adalah menuis, jodohnya traveling adalah fotografi”
Sudah jauh-jauh hari sebenarnya saya pingin punya kamera. Tidak muluk-muluk kamera SLR, sih, toh saya masih amatiran. Cukup kamera saku dengan kualitas yang lumayan. Ada yang kurang saja ketika jalan-jalan, nemu sesuatu yang menarik untuk diabadikan dalam bentuk gambar, eh, ternyata tak punya kamera. Keinginan itu, semakin memuncak kala saya tahu, kamera teman serumah saya, yang biasanya saya sabotase untuk dibawa pergi-pergi, tak lagi ada di tangannya karena diminta ayahnya.
Maka kemudian saya sedikit galau dengan berburu kamera ini via internet. Bayangkan, mana bisa pergi ke sebuah pulau yang begitu indah kala dilihat dalam album foto di internet, tanpa dilengkapi dengan kamera yang bisa digunakan untuk mengabadikan hal yang sama seperti yang saya lihat tersebut. Maka saya kemudian mencari-cari info tentang standar kebagusan sebuah kamera saku, mencari-cari juga peringkat kamera saku ini dari berbagai versi, sampai bertanya langsung kepada teman yang kebetulan menggeluti dunia fotografi. Saya juga mencari-cari kamera ini dari situs penjualan barang jenis ini, bhinneka.com. Sempat terpikirkan untuk membeli saja via internet mengingat tak ada waktu lagi untuk beli via off line –di Bontang, tak terlalu leluasa beli barang sejenis ini. Tapi kemudian saya ragu, apa iya nanti barangnya bakalan sampai di rumah ketika saya belum berangkat ke Jawa. Kalau tidak, bakalan berantakan lah semuanya. Terpikirkan juga sebenarnya untuk mengirimkan kamera pembelian itu ke alamat teman di Jogja yang akan jadi rekan perjalanan ke Karimun Jawa. Pastinya bakalan lebih cepat dan kemungkinan untuk tak sampai ketika kami akan berangkat semakin mengecil. Namun lagi-lagi saya urungkan niat itu.
“Ada, di Jogja Tronik. Letaknya juga nggak jauh dari Jogokariyan”, jawaban ini lah yang setidaknya menenangkan saya masalah kamera ini. Kalimat tersebut adalah jawaban dari calon rekan perjalanan asal jogja atas pertanyaan saya apakah di jogja ada pusat penjualan kamera ini. Sebenarnya, sebelumnya juga, saya sudah menanyai dua calon rekan perjalanan saya apakah mereka berdua punya kamera digital. Keduanya menjawab iya, tapi saya kok merasa tak enak saja kalau tak membawa sendiri –ketakenakan yang di kemudian hari ternyata saya sadari tepat adanya
Samsung ES75, itulah kemudian kamera yang saya dapat. Bukan atas rekomendasi seorang teman,bukan pula atas pengetahuan saya tentang kebagusan kamera, tapi hanya atas tanya jawab saya dengan si penjual kamera. Keputusan yang semoga saja tak terlalu buruk.
Bersenjata kamera baru itulah kemudian saya menjalani 4 hari 3 malam di karimun jawa. Tanpa bekal ilmu fotografi yang mumpuni, tanpa daasar pengalaman memotret yang kerap—sebab ini lah kali pertama saya punya kamera. Hanya bermodalkan ilmu sepertinya; sepertinya dalam sudut ini bagus, sepertinya kalo sambil tengkurap motonya oke, sepertinya momen ini bagus kalau diabadikan, sepertinya, sepertinya, dan sepertinya. Mungkin ternyata hasilnya ada yang jelek, lebih banyak yang biasa saja, tapi yang Alhamdulillah banget, ada beberapa di antaranya masuk kategori bagus—setidaknya menurutku dan orang-orang yang sudah melihatnya.
Begitulah, memiliki kamera, membuat yang terlintas tiap kali melihat sesuatu yang menarik adalah ini; ‘ah, kayake kalau diabadikan foto bagus, nih!’. Bagus juga, sih, minimal menurut saya. Sebab hal itu membuat kita lebih respek ke keadaan sekitar, lebih ‘memandang’ sekitaran. Bila dulu yang sering terpikir adalah ini, ‘ah, bagus juga kalau ditulis, nih!’, maka setidaknya kali ini memiliki pesaing dalam percaturan percikan-percikan pemikiran yang mengeremuni saya.
Terakhir, sebelum renik-renik perjalanan ini mesti diakhiri, jika anda merencanakan membawa kamera selama perjalanan, apalagi kamera yang cukup bagus, pesan moralnya adalah, pilihlah rekan perjalanan yang tidak terlalu hobi difoto. Jika tidak, niscaya kesempatan anda memfoto hal-hal menarik disekitaran, bakal tersita banyak untuk memenuhi keinginan-keinginan tak terbendung mereka. Percayalah! Sebab saya sudah mengalaminya .
(mungkin masih bersambung. Semakin menuju kembali ke Bontang)
Monday, October 31, 2011
(catatan perjalanan) : Sepanjang Jogja-Jepara
“Yang kusuka dari sebuah perjalanan adalah aku tak perlu melakukan hal lain selain berpikir”
Kalimat itu bahkan baru terbaca ketika sepertinya aku –dan juga kami- telah memasuki akhir dari perjalanan. Ditulis oleh rekan perjalanan yang ketika beberapa kali aku tersadar dari tertidur, dalam kegelapan yang melingkupi kendaraan, sepertinya masih terjaga. Entah sepanjang perjalanan ia memang terjaga atau entah kebetulan pas aku terjaga ia terjaga.
Apakah yang kau bayangkan tentang perjalanan di dini hari? Aku sebenrnya sudah tak terlalu antusias membayangkannya. Menerobos kegelapan malam, terlonjak-lonjak di atas kendaraan yang melaju, serta dibuat pening oleh medan yang begitu berkelok-kelok, adalah sebuah keseringan tiap kali aku keluar dari Bontang untuk mengejar pesawat pagi dari Sepinggan Balikpapan. Dan tak ada hal lain yang bisa dilakukan selain…,ya, tidur. Kalau tidak tidur, ya, menidurkan diri. Atau tertidurkan. Sebab akhir-akhir ini, aku sudah kapok dibuat habis isi perut sebab mabuk perjalanan. Belajar dari itu, terutama untuk perjalanan dinihri, setengah jam sebelum berangkat, aku kemudian selalu minum pil anti mabuk perjalanan. Maka kau sudah tahu konsekuensi dari yang kulakukan itu, kepala jadi terasa berat dan akan dengan mudah tertidur. Cara kerja pil anti mabuk ini sebenarnya memanipulasi saja, menurutku.
Maka aku tak akan sempat berpikir lagi. Beberapa saat lepas dari Bontang, aku mungkin sudah tak terlalu nyambung saat diajak ngobrol. Untuk kemudian sama sekali tak nyambung –benar-benar tertidur. Aku kemudian akan terbangun ketika jungkalan begitu keras pertanda lubang lebih besar menghadang, atauakibat rem mendadak akibat tikungan tajam. Begitu saja. Hingga subuh hari menjelang, mobil sempurna memasuki pelataran bandara.
Tapi aku pernah merasakan saat-saat dimana perjalanan adalah keseharianku, dimana berpikir, adalah paket tak terpisahkan darinya. Saat itu, aku paling suka memilih tempat duduk paling belakang di pojok kiri dari angkutan jenis colt atau elf itu. Mendekati jendela, sekaligus menjauhi keramaian penumpang yang seringkali terpusat di tempat duduk sekitar pintu. Itu terjadi di masa-masa SMA, 13 km jarak sekolahku dari rumah. Kau tahu, di masa-masa itu, tak ada kesenangan lain selain kesenangan membiarkan pikiran mengembara untuk menemukan jodohnya. Tak ada masa-masa up date status, tak ada juga saat-saat utak-atik hp untuk melihati sms. Yang ada, mungkin waktu khusyuk memintal kata –waktu SMA aku senang bikin puisi. Atau kalau sedang tidak malas, murajaah bacaan yang aku hafal. Atau menerawang saja. Tiga tahun, seperti itu. Pulang dan pergi. Kecuali saat aku mendapatkan teman perjalanan hingga angkutan tiba di gang menuju rumah.
Itu terjadi bertahun-tahun yang lalu. Dan yang sebelumnya, itu terjadi sepanjang Bontang-Balikpapan. Sedang ini adalah tentang kekinian, apa yang terjadi hari itu, antara jogja-jepara. Bertolak dari Godean sekitar pukul 11 malam, duduk di deret paling belakang, apalagi yang bisa dilakukan? Mencoba tidur. Ya, tetap itu saja. Aku sadar, esok masih ada perjalanan yang tak kalah panjang. Aku harus bugar, aku harus tetap sehat.
Aku bahkan tak tahu kota-kota apa yang kulewati. Biasanya, sepanjang perjalanan seperti itu, aku akan melongokkan pandangan ke luar untuk sekedar mencoba mencari papan nama yang mencantumkan kota yang kulewati itu. Setidaknya aku bakal tahu jalur yang kulewati. Suatu saat, itu akan berguna. Suatu sat yang entah.
Entah sudah berapa kali kepalaku terantuk bodi mobil, sebab jalanan yang bergelombang atau pengemudi yang mengerem mendadak. Untungnya, aku menguasai deret terbelakang, sehingga sekeras apapun goncangan terasakan oleh penumpang deret terbelakang, aku setidaknya masih bersyukur bisa merebahkan badan –toh, itu juga pilihanku. Tapi satu keadaan yang jelas-jelas menolong, yang membuat perjalanan itu menjadi berlipat menariknya, adalah fakta bahwa setelah akhir dari perjalanan lima jam menembus malam ini, aku akan sampai di sebuah tempat, dimana dari tempat itu lah aku akan bertolak menuju ke sebuah pulau yang telah merampas hari-hariku belakangan ini tentang bayangan keindahannya. Kau pasti tahu, segala kesusahan untuk menuju keindahan, keindahan juga.
Aku terus tertidur, meski sama sekali tak bisa dikatakan nyenyak. Hingga aku rasakan mobil terhenti. Seingatku, lima dari enam penumpangnya kemudian turun untuk ke toilet, termasuk aku. Selain kami bertiga, ada tiga penumpang lain memang yang ikut serta travel ini. Seperti kami, mereka juga akan pergi ke Karimun Jawa. Hanya saja memakai jasa tour wisata yang berbeda dengan kami.
Dua rekan perjalananku, yang mulanya hanya kukenal lewat jejaring MP, turun terlebh dulu. Baru kemudian aku. Mobil ini berhenti di sebuah SPBU, entah dimana. Aku juga belum tertarik untuk mencari-cari nama tempat itu. Lebih tertarik untuk segera menjangkau toilet.
Aku sudah selesai dari keperluanku di toilet ketika penumpang perempuan sepertinya masih antri di toilet perempuan. Kemudian memilih duduk-duduk di luar. Agaknya kurang dari sejam lagi sudah masuk waktu subuh.
“berapa lama lagi, mas?”, tanyakau pada pengemudi travel ketika tiba di depanku.
“ini sudah sampai. Hanya saja ini Jepara Kota”.
Tujuan kami semua memang Pelabuhan Kartini jepara. Dan sepertinya, merujuk jawaban si pengemudi, itu berada di pinggiran kota. Entahlah.
Aku kemudian memilih tak melanjutkan percakapan. Mengeluarkan HP, membuka opera mini, terhubung ke MP. Kemudian menemukan qn yang aku tulis di awal tulisan ini. Tersenyum. Sejauh ini, kalau tak salah, ini lah qn pertama yang ditulis oleh salah satu dari kami bertiga terkait perjalanan ini. Tapi aku tak mengomentari qn itu kala itu.
Tak butuh waktu lama, beberapa saat kemudian mobil kembali melaju. Lalu sampai. Sepertinya, adzan subuh belum juga berkumandang.
(masih bersambung. Sepertinya serial catatan perjalanan ini lebih banyak berisi renik-renik perjalanan, tak banyak kronologis atau info yang menjelaskan. Catatan sejenis, serta foto-fotonya, ada di rekan perjalanan saya. Sayangnya saya sedang on line versi mobile sehingga tak bisa memberikan tautannya. Tapi ID mereka malambulanbiru dan keluargabahgia. Silakan dicari di postingan terbaru mereka)
Kalimat itu bahkan baru terbaca ketika sepertinya aku –dan juga kami- telah memasuki akhir dari perjalanan. Ditulis oleh rekan perjalanan yang ketika beberapa kali aku tersadar dari tertidur, dalam kegelapan yang melingkupi kendaraan, sepertinya masih terjaga. Entah sepanjang perjalanan ia memang terjaga atau entah kebetulan pas aku terjaga ia terjaga.
Apakah yang kau bayangkan tentang perjalanan di dini hari? Aku sebenrnya sudah tak terlalu antusias membayangkannya. Menerobos kegelapan malam, terlonjak-lonjak di atas kendaraan yang melaju, serta dibuat pening oleh medan yang begitu berkelok-kelok, adalah sebuah keseringan tiap kali aku keluar dari Bontang untuk mengejar pesawat pagi dari Sepinggan Balikpapan. Dan tak ada hal lain yang bisa dilakukan selain…,ya, tidur. Kalau tidak tidur, ya, menidurkan diri. Atau tertidurkan. Sebab akhir-akhir ini, aku sudah kapok dibuat habis isi perut sebab mabuk perjalanan. Belajar dari itu, terutama untuk perjalanan dinihri, setengah jam sebelum berangkat, aku kemudian selalu minum pil anti mabuk perjalanan. Maka kau sudah tahu konsekuensi dari yang kulakukan itu, kepala jadi terasa berat dan akan dengan mudah tertidur. Cara kerja pil anti mabuk ini sebenarnya memanipulasi saja, menurutku.
Maka aku tak akan sempat berpikir lagi. Beberapa saat lepas dari Bontang, aku mungkin sudah tak terlalu nyambung saat diajak ngobrol. Untuk kemudian sama sekali tak nyambung –benar-benar tertidur. Aku kemudian akan terbangun ketika jungkalan begitu keras pertanda lubang lebih besar menghadang, atauakibat rem mendadak akibat tikungan tajam. Begitu saja. Hingga subuh hari menjelang, mobil sempurna memasuki pelataran bandara.
Tapi aku pernah merasakan saat-saat dimana perjalanan adalah keseharianku, dimana berpikir, adalah paket tak terpisahkan darinya. Saat itu, aku paling suka memilih tempat duduk paling belakang di pojok kiri dari angkutan jenis colt atau elf itu. Mendekati jendela, sekaligus menjauhi keramaian penumpang yang seringkali terpusat di tempat duduk sekitar pintu. Itu terjadi di masa-masa SMA, 13 km jarak sekolahku dari rumah. Kau tahu, di masa-masa itu, tak ada kesenangan lain selain kesenangan membiarkan pikiran mengembara untuk menemukan jodohnya. Tak ada masa-masa up date status, tak ada juga saat-saat utak-atik hp untuk melihati sms. Yang ada, mungkin waktu khusyuk memintal kata –waktu SMA aku senang bikin puisi. Atau kalau sedang tidak malas, murajaah bacaan yang aku hafal. Atau menerawang saja. Tiga tahun, seperti itu. Pulang dan pergi. Kecuali saat aku mendapatkan teman perjalanan hingga angkutan tiba di gang menuju rumah.
Itu terjadi bertahun-tahun yang lalu. Dan yang sebelumnya, itu terjadi sepanjang Bontang-Balikpapan. Sedang ini adalah tentang kekinian, apa yang terjadi hari itu, antara jogja-jepara. Bertolak dari Godean sekitar pukul 11 malam, duduk di deret paling belakang, apalagi yang bisa dilakukan? Mencoba tidur. Ya, tetap itu saja. Aku sadar, esok masih ada perjalanan yang tak kalah panjang. Aku harus bugar, aku harus tetap sehat.
Aku bahkan tak tahu kota-kota apa yang kulewati. Biasanya, sepanjang perjalanan seperti itu, aku akan melongokkan pandangan ke luar untuk sekedar mencoba mencari papan nama yang mencantumkan kota yang kulewati itu. Setidaknya aku bakal tahu jalur yang kulewati. Suatu saat, itu akan berguna. Suatu sat yang entah.
Entah sudah berapa kali kepalaku terantuk bodi mobil, sebab jalanan yang bergelombang atau pengemudi yang mengerem mendadak. Untungnya, aku menguasai deret terbelakang, sehingga sekeras apapun goncangan terasakan oleh penumpang deret terbelakang, aku setidaknya masih bersyukur bisa merebahkan badan –toh, itu juga pilihanku. Tapi satu keadaan yang jelas-jelas menolong, yang membuat perjalanan itu menjadi berlipat menariknya, adalah fakta bahwa setelah akhir dari perjalanan lima jam menembus malam ini, aku akan sampai di sebuah tempat, dimana dari tempat itu lah aku akan bertolak menuju ke sebuah pulau yang telah merampas hari-hariku belakangan ini tentang bayangan keindahannya. Kau pasti tahu, segala kesusahan untuk menuju keindahan, keindahan juga.
Aku terus tertidur, meski sama sekali tak bisa dikatakan nyenyak. Hingga aku rasakan mobil terhenti. Seingatku, lima dari enam penumpangnya kemudian turun untuk ke toilet, termasuk aku. Selain kami bertiga, ada tiga penumpang lain memang yang ikut serta travel ini. Seperti kami, mereka juga akan pergi ke Karimun Jawa. Hanya saja memakai jasa tour wisata yang berbeda dengan kami.
Dua rekan perjalananku, yang mulanya hanya kukenal lewat jejaring MP, turun terlebh dulu. Baru kemudian aku. Mobil ini berhenti di sebuah SPBU, entah dimana. Aku juga belum tertarik untuk mencari-cari nama tempat itu. Lebih tertarik untuk segera menjangkau toilet.
Aku sudah selesai dari keperluanku di toilet ketika penumpang perempuan sepertinya masih antri di toilet perempuan. Kemudian memilih duduk-duduk di luar. Agaknya kurang dari sejam lagi sudah masuk waktu subuh.
“berapa lama lagi, mas?”, tanyakau pada pengemudi travel ketika tiba di depanku.
“ini sudah sampai. Hanya saja ini Jepara Kota”.
Tujuan kami semua memang Pelabuhan Kartini jepara. Dan sepertinya, merujuk jawaban si pengemudi, itu berada di pinggiran kota. Entahlah.
Aku kemudian memilih tak melanjutkan percakapan. Mengeluarkan HP, membuka opera mini, terhubung ke MP. Kemudian menemukan qn yang aku tulis di awal tulisan ini. Tersenyum. Sejauh ini, kalau tak salah, ini lah qn pertama yang ditulis oleh salah satu dari kami bertiga terkait perjalanan ini. Tapi aku tak mengomentari qn itu kala itu.
Tak butuh waktu lama, beberapa saat kemudian mobil kembali melaju. Lalu sampai. Sepertinya, adzan subuh belum juga berkumandang.
(masih bersambung. Sepertinya serial catatan perjalanan ini lebih banyak berisi renik-renik perjalanan, tak banyak kronologis atau info yang menjelaskan. Catatan sejenis, serta foto-fotonya, ada di rekan perjalanan saya. Sayangnya saya sedang on line versi mobile sehingga tak bisa memberikan tautannya. Tapi ID mereka malambulanbiru dan keluargabahgia. Silakan dicari di postingan terbaru mereka)
Sunday, October 30, 2011
(catatan perjalanan): Di Lereng Merapi
Mungkin ini lah memang beda daerah pesisir dan pegunungan. Maka ketika beberapa hari berikutnya seorang rekan perjalanan bergumam tentang keadaan pulau karimun dengan kalimat ‘subhanallah, ya, di sini. Siapa kira-kira dainya’, saya menyahutinya dengan, ‘memang begini kalau daerah pesisir. Dulu syiar islam lebih sering lewat laut’. Sebab yang saya tahu, memang kebanyakan daerah pesisir, meski itu hanya pulau kecil terpencil, kultur islamnya masih sangat kental. Pulau Gilli di probolinggo, serta pulau Masalembu di utara Madura adalah contoh konkritnya. Berbeda dengan daerah pegunungan, lebih sering islamnya samar-samar hingga mudah digoncangkan. Daerah lereng gunung Bromo adalah contohnya, selain, tentu saja, merapi.
Ya, merapi. Setelah hanya bisa menyeksamainya lewat berita di televise, atau membacanya via internet, akhirnya berkesempatan juga saya mengunjunginya, mesi tidak secara keseluruhan. Adalah Pak Joko Kadir, tokoh utama dibalik pengalaman pertama saya ini. Sebenarnya, kalau mau jujur, siang itu saya masih lelah. Membayangkan untuk rebahan sejenak sebagai pengganti waktu tidur semalaman yang hanya dihabiskan dengan terjungkal-jungkal di kendaraan, sebenarnya opsi menarik, tapi ajakan untuk melihat pembangunan salah satu masjid di merapi, ternyata jauh lebih menarik.
Masjid yang saya kunjungi berada di desa nduwet. Daerah Merapi pertengahan, belum sampai ke atas, begitu penjelasan pak Joko. Rencanya, masih lanjut beliau, masjid ini bakal menjadi base camp apabila terjadi apa-apa di atas. Selain tentunya sebagai pusat syiar islam di sana.
Tidak sampai lama waktu saya habiskan di sana. Sebab pukul satu siang, ada kewajiban lain yang mesti ditunaikan; menghadiri pernikahan teman di Auditorium UNY. Maka ba’da sholat dhuhur berjamaah di sebuah ruangan yang difungsikan sebagai masjid pengganti, meluncur turunlah kami semua.
Tapi pengalaman yang lebih berkesan tentang Merapi justru datang keesokan harinya. Bermula di waktu Kajian Ahad pagi Masjid Jogokariyan. Saya ikut, meski tak berada di ruang utama. Kang Puji pengisinya, satu dari sekian dai yanbg sering diundang ke Bontang. Mungkin, karena melihat wajah saya yang asing, di akhir-akhir kajian tersebut, seseorang yang duduk di dekat saya menanyai nama saya dan asal. “iqbal, Bontang”, begitu jawaban versi singkatnya, yang tentu saja tak sependek itu sewaktu dialog persisnya. Dan menjadi antusiaslah saya ketika kemudian si lelaki yang duduk tak jauh dari saya itu menyebutkan seorang kenalan yang ia sebut sebagai temannya yang juga dari Bontang –yang secara kebetulan yang tak kebetulan, adalah mantan teman sekantor saya. Maka saya pun balik bertanya nama. “Fani”. “Fani Pro-U?”. Ada anggukan. Oh my Rabb, ini pasti bukan kebetulan, ini lah ternyata orang yang selama ini namanya sering tertulis di buku-buku pro-u yang say abaca, yang sewaktu kuliah pernah saya hubungi terkait bedah buku Salim A Fillah, serta yang sebulanan yang lalu membuat saya sedikit terkejut melihat namanya tercantum juga di buku tamu mess mubaligh masjig Baiturrahman Bontang.
“nanti kut saja ke Merapi. Sama Kang Puji juga. Melakukan pembinaan di sana. Kita sedang membuat Pesantren Masyarakat Merapi-Nerbabu”, pada akhirnya, tawaran ini lah yang paling saya suka dari bagian ini. Membuat saya punya kegiatan di ahad pagi ini.
Begitulah. Itulah awal yang membuat saya sedikit banyak mengerti kehidupan orang lereng merapi. Sebab ternyata, selain melakukan kunjungan ke pesantren yang sedang dibangun, tujuan kedatangan ke merapi kala itu adalah juga untuk mencarai sapi kurban di penduduk local yang nantinya untuk disembelih pas hari kurban di desa merapi juga. Ditemani Hafidz, seorang Dai muda yang ditugasi mengajar di sana, kami kemudian mengunjungi rumah-rumah penduduk yang sekiranya memiliki sapi yang mau dijual dan memenuhi syarat untuk dijadikan hewan kurban. Dari situ lah kemudian saya tahu tentang begitu ramahnya oraang-orang lereng merapi itu, dalam kesederhanaannyaa, mempersilakan kami untuk berkunjung ke rumahnya. “di sini, sarapan bisa tiga kali”, begitu kata hafidz membisiki saya. Dan benar saja, belum lewat satu jam kami dijamu makan siang oleh salah satu penduduk yang sepertinya menjadi kyainya dusun tersebut, semeja santap siang sudah menunggu kami di persinggahan berikutnya. Benar-benar keramahan khas orang kampung yang bahkan sudah sulit ditemui dikampung-kampung masa kini.
Tujuan terakhir kami kemudian adalah lokasi pembangunan Pesantren Masyarakat Merapi-Merbabu. Di sana, seperti yang dijelaskan oleh Kang fani, rencananya bakal dibina penduduk local merapi yang selanjutnya bertugas untuk menjadi dai di daerah asalnya. “Kalau mengandalkan dai dari kita di setiap desa rasanya berat. Cara ini lebih efektif”, kira-kira begitu beliau menjelaskan.Sungguh, sebuah ide besar yang hanya dimiliki oleh orang-orang besar.
Menjelang sore, mobil yang kami tumpangi pada akhirnya meluncur turun. Membawa serta cerita yang memperkaya benak. Malam harinya nanti, pengalaman lain yang tak kalah menggairahkan,dalaam hitungan jam, bakal segera dipentaskan; karimunjawa.
Seperti tak sabar saja menantinya.
(bersambung—silakan baca-baca catper sebelumnya; edisi di Bandara dan masjid jogokariyan)
Ya, merapi. Setelah hanya bisa menyeksamainya lewat berita di televise, atau membacanya via internet, akhirnya berkesempatan juga saya mengunjunginya, mesi tidak secara keseluruhan. Adalah Pak Joko Kadir, tokoh utama dibalik pengalaman pertama saya ini. Sebenarnya, kalau mau jujur, siang itu saya masih lelah. Membayangkan untuk rebahan sejenak sebagai pengganti waktu tidur semalaman yang hanya dihabiskan dengan terjungkal-jungkal di kendaraan, sebenarnya opsi menarik, tapi ajakan untuk melihat pembangunan salah satu masjid di merapi, ternyata jauh lebih menarik.
Masjid yang saya kunjungi berada di desa nduwet. Daerah Merapi pertengahan, belum sampai ke atas, begitu penjelasan pak Joko. Rencanya, masih lanjut beliau, masjid ini bakal menjadi base camp apabila terjadi apa-apa di atas. Selain tentunya sebagai pusat syiar islam di sana.
Tidak sampai lama waktu saya habiskan di sana. Sebab pukul satu siang, ada kewajiban lain yang mesti ditunaikan; menghadiri pernikahan teman di Auditorium UNY. Maka ba’da sholat dhuhur berjamaah di sebuah ruangan yang difungsikan sebagai masjid pengganti, meluncur turunlah kami semua.
Tapi pengalaman yang lebih berkesan tentang Merapi justru datang keesokan harinya. Bermula di waktu Kajian Ahad pagi Masjid Jogokariyan. Saya ikut, meski tak berada di ruang utama. Kang Puji pengisinya, satu dari sekian dai yanbg sering diundang ke Bontang. Mungkin, karena melihat wajah saya yang asing, di akhir-akhir kajian tersebut, seseorang yang duduk di dekat saya menanyai nama saya dan asal. “iqbal, Bontang”, begitu jawaban versi singkatnya, yang tentu saja tak sependek itu sewaktu dialog persisnya. Dan menjadi antusiaslah saya ketika kemudian si lelaki yang duduk tak jauh dari saya itu menyebutkan seorang kenalan yang ia sebut sebagai temannya yang juga dari Bontang –yang secara kebetulan yang tak kebetulan, adalah mantan teman sekantor saya. Maka saya pun balik bertanya nama. “Fani”. “Fani Pro-U?”. Ada anggukan. Oh my Rabb, ini pasti bukan kebetulan, ini lah ternyata orang yang selama ini namanya sering tertulis di buku-buku pro-u yang say abaca, yang sewaktu kuliah pernah saya hubungi terkait bedah buku Salim A Fillah, serta yang sebulanan yang lalu membuat saya sedikit terkejut melihat namanya tercantum juga di buku tamu mess mubaligh masjig Baiturrahman Bontang.
“nanti kut saja ke Merapi. Sama Kang Puji juga. Melakukan pembinaan di sana. Kita sedang membuat Pesantren Masyarakat Merapi-Nerbabu”, pada akhirnya, tawaran ini lah yang paling saya suka dari bagian ini. Membuat saya punya kegiatan di ahad pagi ini.
Begitulah. Itulah awal yang membuat saya sedikit banyak mengerti kehidupan orang lereng merapi. Sebab ternyata, selain melakukan kunjungan ke pesantren yang sedang dibangun, tujuan kedatangan ke merapi kala itu adalah juga untuk mencarai sapi kurban di penduduk local yang nantinya untuk disembelih pas hari kurban di desa merapi juga. Ditemani Hafidz, seorang Dai muda yang ditugasi mengajar di sana, kami kemudian mengunjungi rumah-rumah penduduk yang sekiranya memiliki sapi yang mau dijual dan memenuhi syarat untuk dijadikan hewan kurban. Dari situ lah kemudian saya tahu tentang begitu ramahnya oraang-orang lereng merapi itu, dalam kesederhanaannyaa, mempersilakan kami untuk berkunjung ke rumahnya. “di sini, sarapan bisa tiga kali”, begitu kata hafidz membisiki saya. Dan benar saja, belum lewat satu jam kami dijamu makan siang oleh salah satu penduduk yang sepertinya menjadi kyainya dusun tersebut, semeja santap siang sudah menunggu kami di persinggahan berikutnya. Benar-benar keramahan khas orang kampung yang bahkan sudah sulit ditemui dikampung-kampung masa kini.
Tujuan terakhir kami kemudian adalah lokasi pembangunan Pesantren Masyarakat Merapi-Merbabu. Di sana, seperti yang dijelaskan oleh Kang fani, rencananya bakal dibina penduduk local merapi yang selanjutnya bertugas untuk menjadi dai di daerah asalnya. “Kalau mengandalkan dai dari kita di setiap desa rasanya berat. Cara ini lebih efektif”, kira-kira begitu beliau menjelaskan.Sungguh, sebuah ide besar yang hanya dimiliki oleh orang-orang besar.
Menjelang sore, mobil yang kami tumpangi pada akhirnya meluncur turun. Membawa serta cerita yang memperkaya benak. Malam harinya nanti, pengalaman lain yang tak kalah menggairahkan,dalaam hitungan jam, bakal segera dipentaskan; karimunjawa.
Seperti tak sabar saja menantinya.
(bersambung—silakan baca-baca catper sebelumnya; edisi di Bandara dan masjid jogokariyan)
Saturday, October 29, 2011
(catatan perjalanan) : Di Masjid Jogokariyan
Pertama, saya ingin menegaskan, bahwa bukan karena perkataan seorang bapak-bapak rekan kerja waktu acara perjalanan dinas beberapa pekan sebelumnya lah yang membuat saya memutuskan untuk melakukan perjalanan sebagai pengisi cuti tahunan kali ini. Bukan! Sama sekali bukan. Meskipun saya sempat merenungkan perkataannya dan membenarkan sebagian isinya, keputusan saya kali ini untuk lebih memilih jalan-jalan terlebih dulu sebelum pulang adalah sebuah keputusan independent yang terbebas dari pengaruh ucapan bapak tersebut. Maka, karena independensinya, insyaAllah saya tahu betul implikasi dari pilihan saya kali ini.
“Mas Iqbal, mumpung masih muda dan belum berkeluarga, kalau ngambil cuti, jangan dipakai untuk pulang semua. Sebentar saja pulang itu. Setelah itu pergi kemana gitu. Jalan-jalan ke kota lain. Nanti kalau sudah berkeluarga bakal repot dan nggak sempat lagi”, kira-kira, begitu lah petuah si bapak. Ada benar dan tidak benarnya, menurut saya. Memang, terlalu lama di rumah, kadang tak bagus juga. Seperlunya saja. Birul walidain, memenuhi rindu, menunaikan kewajiban, itu saja. Bila selesai, ya sudah. Maka memlih melakukan perjalanan yang mengayakan sebagai pengganti sebagiannya, adalah pilihan yang sungguh-singguh layak untuk dipertimbangkan. Mengunjungi tempat-tempat baru yang belum pernah dikunjungi, bagi saya, adalah sebuah cara untuk menyegarkan kembali pikiran dengan ide-ide baru yang tak terlintas sebelumnya.
Tapi saya tak setuju kalau faktor masih muda dan belum berkeluarga sebagai alasannya. Tidak! Janganlah alasan itu jadi pilihannya. Sebab itu seolah, jika sudah tak lagi muda dan juga berkeluarga, menjadi sulit dan tidak asyik lah jalan-jalan itu untuk dilakukan. Padahal, lagi-lagi menurut saya yang tak berpengalaman ini, bukankah tak begitu seharusnya. Bahkan sepertinya malah lebih asyik. Bagi kalian yang pengantin baru, saya sarankan untuk melakukan perjalanan ini sebagai bulan madu. Tapi jangan pilih paket-paket eksklusif yang begitu memudahkan. Pilihlah paket-paket setengah mbolang. InsyaAllah bakal jauh lebih berkesan. Sebab bagi saya, jauh lebih romantis sepasang petani tua yang makan nasi jagung bareng di gubuk sawahnya, daripada sepasang muda-mudi duduk bercengkerama di beranda vila mewahnya.
Maka begitulah. Hari itu, dengan diantar teman yang saya ceritakan di postingan sebelumnya, saya meluncur menuju Masjid Jogokariyan. Berencana menginap sehari di sana dan melewatkan fasilitas penginapan yang disediakan teman kerja yang pernikahannya rencananya akan saya hadiri. Masjid Jogokariyan ini memang telah mengundang minat saya untuk mengunjunginya, setelah seorang jamaah masjid di Bontang pernah menceritakan kesannya setelah mengunjungi masjid ini. Selain, tentu saja, masjid ini sering dibahas di buku-buku serta pembahasan di internet.
“ustad, saya sudah di Jogja. InsyaAllah hari ini menjuju Jogokariyan”, begitu sms saya ke ustad Jazir, ketua takmir masjid jogokariyan, ketika kami masih dalam perjalanan.
“ya, langsung saja menuju jogokariyan”, begitu jawab beliau singkat.
Memang, beberapa hari sebelumnya, dengan dibantu seorang jamaah masjid Bontang yang saya ceritakan sebelumnya, saya sudah mengonfirmasikan rencana kedatangan saya ini ke Ustad Jazir. Sedikit banyak, ikatan antara Bontang dan Ustad jazir ini cukup erat mengingat seringnya beliau diundang ke bontang, terutama pada saat bulan ramadhan.
Sesampai di Jogokariyan, kami bertiga sempat celingak-celinguk mencari seorang yang berkompeten yang bisa ditanyai serta diinformasii mengenai kedatangan saya. Tapi kosong. Hanya ada ibu-ibu yang sedang main pingpong di halaman masjid. Saya kemudian meraih ponsel dan memencet nomor HP ustad Jazir. Untung bagi saya, ternyata ustad Jazir ini ternyata yang berada di mobil yang baru saja memasuki halaman masjid. Saya pun segera menghampirinya.
Beliau kemudian membuka sebuah ruang dan mempersilakna saya untuk masuk. Sambil duduk dan mempersilakan saya duduk juga, beliau kemudian menghubungi seseorang, yang dari percakapannya, yang bakalan mengurusi saya.
“Sebentar lagi ada acara ke merapi juga. Melihat masjid yang kita bangun di sana. Ikut saja!”
Kalau boleh jujur, sebenarnya yang saya rencanakan ketika sudah sampai di masjid jogokariyan ini adalah istirahat dulu sampai dhuhur oleh sebab semalaman hanya bisa istirahat terguncang-guncang dalam perjalanan darat Bontang-Balikpapan. Sebab setelah duhurnya, saya mesti menghadiri pernikahan seorang teman kerja--hal yang menjadi alasan utama saya ke Jogja ini. Tapi tawaran ke merapi ini, tentu saja adalah tawaran yang terlalu menarik untuk tidak saya iyakan. Maka jadinya kalimat ini lah yang saya utarakan,”sampai jamberapa itu, ya, ustad? Soalnya jam satu harus menghadiri nikahan teman”
“ya, nanti bias dikomunikasikan langsung saja ke bapaknya yang pergi”
Saya hanya manggut-manggut. Sampai kemudian seorang bapak memasuki ruangan. Beliaulah yang ternyata bakal mengantarkan saya menuju ke kamar yang rencananya akan saya tempati. Sembari mengikuti si bapak, saya kemudian memberi kode ke teman yang mengantar kalau semuanya sudah oke dan saya bisa ditinggal. Entahlah, saya begitu bersemangat kala itu. Mungkin, karena ba’da mandi-mandi untuk menguapkan penat, pengalaman lain menanti untuk segera ditunaikan. Hingga pada akhirnya….ah, merapi, betapa kau yang selama ini hanya bisa kutonton dan kubaca, sebenatar lagi akan benar-benar kurasai.
(masih bersambung. Bagi yang belum baca bagian pertamanya, silakan dibaca dulu, ya)
“Mas Iqbal, mumpung masih muda dan belum berkeluarga, kalau ngambil cuti, jangan dipakai untuk pulang semua. Sebentar saja pulang itu. Setelah itu pergi kemana gitu. Jalan-jalan ke kota lain. Nanti kalau sudah berkeluarga bakal repot dan nggak sempat lagi”, kira-kira, begitu lah petuah si bapak. Ada benar dan tidak benarnya, menurut saya. Memang, terlalu lama di rumah, kadang tak bagus juga. Seperlunya saja. Birul walidain, memenuhi rindu, menunaikan kewajiban, itu saja. Bila selesai, ya sudah. Maka memlih melakukan perjalanan yang mengayakan sebagai pengganti sebagiannya, adalah pilihan yang sungguh-singguh layak untuk dipertimbangkan. Mengunjungi tempat-tempat baru yang belum pernah dikunjungi, bagi saya, adalah sebuah cara untuk menyegarkan kembali pikiran dengan ide-ide baru yang tak terlintas sebelumnya.
Tapi saya tak setuju kalau faktor masih muda dan belum berkeluarga sebagai alasannya. Tidak! Janganlah alasan itu jadi pilihannya. Sebab itu seolah, jika sudah tak lagi muda dan juga berkeluarga, menjadi sulit dan tidak asyik lah jalan-jalan itu untuk dilakukan. Padahal, lagi-lagi menurut saya yang tak berpengalaman ini, bukankah tak begitu seharusnya. Bahkan sepertinya malah lebih asyik. Bagi kalian yang pengantin baru, saya sarankan untuk melakukan perjalanan ini sebagai bulan madu. Tapi jangan pilih paket-paket eksklusif yang begitu memudahkan. Pilihlah paket-paket setengah mbolang. InsyaAllah bakal jauh lebih berkesan. Sebab bagi saya, jauh lebih romantis sepasang petani tua yang makan nasi jagung bareng di gubuk sawahnya, daripada sepasang muda-mudi duduk bercengkerama di beranda vila mewahnya.
Maka begitulah. Hari itu, dengan diantar teman yang saya ceritakan di postingan sebelumnya, saya meluncur menuju Masjid Jogokariyan. Berencana menginap sehari di sana dan melewatkan fasilitas penginapan yang disediakan teman kerja yang pernikahannya rencananya akan saya hadiri. Masjid Jogokariyan ini memang telah mengundang minat saya untuk mengunjunginya, setelah seorang jamaah masjid di Bontang pernah menceritakan kesannya setelah mengunjungi masjid ini. Selain, tentu saja, masjid ini sering dibahas di buku-buku serta pembahasan di internet.
“ustad, saya sudah di Jogja. InsyaAllah hari ini menjuju Jogokariyan”, begitu sms saya ke ustad Jazir, ketua takmir masjid jogokariyan, ketika kami masih dalam perjalanan.
“ya, langsung saja menuju jogokariyan”, begitu jawab beliau singkat.
Memang, beberapa hari sebelumnya, dengan dibantu seorang jamaah masjid Bontang yang saya ceritakan sebelumnya, saya sudah mengonfirmasikan rencana kedatangan saya ini ke Ustad Jazir. Sedikit banyak, ikatan antara Bontang dan Ustad jazir ini cukup erat mengingat seringnya beliau diundang ke bontang, terutama pada saat bulan ramadhan.
Sesampai di Jogokariyan, kami bertiga sempat celingak-celinguk mencari seorang yang berkompeten yang bisa ditanyai serta diinformasii mengenai kedatangan saya. Tapi kosong. Hanya ada ibu-ibu yang sedang main pingpong di halaman masjid. Saya kemudian meraih ponsel dan memencet nomor HP ustad Jazir. Untung bagi saya, ternyata ustad Jazir ini ternyata yang berada di mobil yang baru saja memasuki halaman masjid. Saya pun segera menghampirinya.
Beliau kemudian membuka sebuah ruang dan mempersilakna saya untuk masuk. Sambil duduk dan mempersilakan saya duduk juga, beliau kemudian menghubungi seseorang, yang dari percakapannya, yang bakalan mengurusi saya.
“Sebentar lagi ada acara ke merapi juga. Melihat masjid yang kita bangun di sana. Ikut saja!”
Kalau boleh jujur, sebenarnya yang saya rencanakan ketika sudah sampai di masjid jogokariyan ini adalah istirahat dulu sampai dhuhur oleh sebab semalaman hanya bisa istirahat terguncang-guncang dalam perjalanan darat Bontang-Balikpapan. Sebab setelah duhurnya, saya mesti menghadiri pernikahan seorang teman kerja--hal yang menjadi alasan utama saya ke Jogja ini. Tapi tawaran ke merapi ini, tentu saja adalah tawaran yang terlalu menarik untuk tidak saya iyakan. Maka jadinya kalimat ini lah yang saya utarakan,”sampai jamberapa itu, ya, ustad? Soalnya jam satu harus menghadiri nikahan teman”
“ya, nanti bias dikomunikasikan langsung saja ke bapaknya yang pergi”
Saya hanya manggut-manggut. Sampai kemudian seorang bapak memasuki ruangan. Beliaulah yang ternyata bakal mengantarkan saya menuju ke kamar yang rencananya akan saya tempati. Sembari mengikuti si bapak, saya kemudian memberi kode ke teman yang mengantar kalau semuanya sudah oke dan saya bisa ditinggal. Entahlah, saya begitu bersemangat kala itu. Mungkin, karena ba’da mandi-mandi untuk menguapkan penat, pengalaman lain menanti untuk segera ditunaikan. Hingga pada akhirnya….ah, merapi, betapa kau yang selama ini hanya bisa kutonton dan kubaca, sebenatar lagi akan benar-benar kurasai.
(masih bersambung. Bagi yang belum baca bagian pertamanya, silakan dibaca dulu, ya)
Friday, October 28, 2011
(catatan perjalanan) : Di Bandara Adi Sucipto
Kira-kira pukul setengah sembilan pagi ketika pesawat yang saya tumpangi mendarat di bandara adi Sucipto Yogya. Ini adalah pengalaman kedua. Beberapa pekan sebelumnya, untuk keperluan yang berbeda, untuk pertama kalinya saya menjejakinya. Taka da yang berubah, tentu saja. Terlalu belebihan kalau mengharapkan perubahan drastis terjadi di sebuah bandara hanya dalam hitungan pekan.
Pengalaman kedua tak semenarik pengalaman pertama, begitu kata orang. Tapi hari itu saya begitu bersemangat oleh kesadaran saya telah tiba di BandaraAdi Sucipto jogja ini, betapapun itu hanya lah pengalaman kedua. Bukan karena sepuluh hari ke depan saya akan menjalani cuti yang lumayan panjang, bukan karena saya akan menghadiri pernikahan teman kerja yang sudah dua bulanan yang lalu saya janjii untuk saya hadiri, bukan karena setelah itu saya akan melewatkan 4 hari 3 malam di gugusan pulau karimunjawa, juga bukan karena beberapa saat setelah pendaratan ini saya akan bertemu dengan orang-orang yang sudah cukup lama saya kenal hanya di dunia per-blog-an. Bukan! Bukan hanya karena satu per satu hal tersebut. Tapi karena kumpulannyalah. Karena sepuluh hari ke depan saya akan menjalani cuti dimana di dalamnya terhimpun hal-hal menyenangkan yang sudah saya sebutkan sebelumnyalah yang membuat tibanya saya di Jogja ini begitu terasa istimewa.
Kau pasti bingung. Tak terlalu mengerti dengan kalimat berbelit saya di atas. Tak mengapa. Toh saya sedang tidak mengharapkan pemahaman sepenuhnya. Ini hanyalah ceracauan, hanya lintasan pemikiran yang sengaja diikat agara tak keburu lepas. Berharap suatu saat dapat membacanya kembali dengan kening seberkerut keningmu saat kini membacanya. Dan itu tak kalah menyenangkannya.
Tapi saya ingin memberi uraian sedikit, meski boleh jadi bukan sebuah penjelasan. Pernahkan kalian mendengar kalimat ini, ‘maka jika di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang’? Mari, coba kita garisbawahi kata seratus dan sabar. Ya, kata seratus mewakili kumpulan individu-individu yang berhimpun sehingga membentuk sekumpulan dengan nominal tersebut. Sedang kata ‘sabar’, adalah kualitas yang melekati tiap individu tersebut. Sampai di sini, semoga kau sudah mulai mengerti. Ya, ini masalah kulaitas jempolan yang berhimpun membentuk sekumpulan dengan kuantitas lebih, hingga hasilnya pun jauh lebih jempolan. Maka, bukan tentang seratusnya lah yang mengalahkan dua ratus lainnya itu, tapi individu-individu sabar yang berhimpun membentuk seratus oranglah yang jadi pemeran utamanya.
Begitu juga dengan ceracauan di awal tadi. Bukan tentang sepuluh harinya lah yang membuat istimewa, tapi hal-hal istimewa yang mengumpul menjadi deretan waktu sepanjang 10 hari lah yang menjadikannya. Itulah kemudian, yang mampu mengalahkan nilai kumpulan-kumpulan hari lain yang mungkin jauh lebih panjang rentangnya. Tentang ini, Om Pram pernah menyebutkan bahwa orang Aceh itu terdiri dari banyak seorang, hingga akan dengan mudah melewati segala bencana yang melandanya. Banyak seorang, perhatikanlah! Bukankah itu sebuah frasa yang unik dan terkesan bertenaga. Bukan ‘banyak orang’, tapi ‘banyak seorang’. Saya belum mengerti jelas maksudnya, tapi menurut tafsir sempit saya, banyak seorang melambangkan sebuah kumpulan orang-orang yang telah menjadi dirinya sendiri saat mereka sendiri, telah memiliki kualitas hebat bahkan saat mereka masih seorang. Maka, bukankah menjadi tak terbayangkan potensi itu saat berkumpul menjadi sebuah kesatuan yang padu.
Begitulah. Itulah letak istimewanya waktu yang mebentng ke depan ini. Saking istimewanya, saking lain dari yang lainnya, saya bahkan hanya membawa ransel. Ya, meski bakalam melewati waktu sepuluh hari, hanya ransel ini yang saya bawa. Bukan kopor atau tas jinjing besar yang mampu memuat pakaian lebih banyak seperti yang sudah-sudah. Lebih ringkas, itulah memang alasan saya melakukannya. Termasuk masalah naik pesawat ini. Tak perlu mengalokasikan waktu untuk menunggu bagasi. Hingga saya langsung nyelonong saja menuju pintu keluar selepas turun dari pesawat tadi.
Di pintu keluar, beberapa orang terlihat sedang menunggu penumpang yang menjadi target jemputannya. Tapi tak ada tanda-tanda dua orang yang sedianya bakal menjemput saya. Sebelum berangkat tadi, melalui sms, memang seorang teman yang saya kenal lewat jejaring blog sudah menegaskan kembali kesanggupannnya untuk menjemput saya di bandara. Mungkin ia masih di jalan, begitu piker saya.
Saya sedang melangkah belok kanan menuju pusat ATM ketika SMS itu masuk. ‘aku tunggu di pintu keluar’, begitu kira-kira isinya. “Oke, ini juga sudah mendarat”, jawab saya singkat. Saya tak tahu apakah sms itu dikirim saat saya masih di pesawat atau sudah mendarat –saya tak sempat mengeceknya, saya juga tak tahu pasti apakah yang ia maksud dengan pintu keluar itu adalah pintu keluar tadi ataukah pintu keluar di luar sana. Tak jadi soal. Tak usah terlalu dikhawatirkan. Saya tetap meneruskan niat untuk mengambil uang di ATM.
Keluar dari ATM, kembali sms masuk; “kamu pakai baju warna apa?”. Saya tersenyum. Iya, saya memang belum pernah bertemu dengan si pengirim SMS, tapi tentu saja saya sudah pernah bertemu dengan seorang lain yang katanya ikut diajak menjemput saya. Ia adalah orang Bontang, kota dimana saya selama ini bekerja dan tinggal. Kita juga pernah mengadakan acara kopdar bertiga di sana sekali. Jadi tentu saja kita sudah saling tahu. Walaupun tak begitu detail, pastinya ingatan itu akan mudah saja dibangkitkan dengan sekilas melihat penampakannya.
SMS itu kemudian tak perlu dibalas. Sebab beberapa meter setelah membukanya, sepertinya saya menemukan si pengirim SMS tadi. Yang membuat saya yakin, tentu saja bukan karena dia membawa kertas dengan huruf-huruf capital membentuk kata ‘mylathief’ tertulis di lembarnya. Tapi, seorang lagi yang berada di sampingnyalah yang membuat saya yakin. Dialah anak Bontang yang sedang kuliah di Jogja yang di paragaraf sebelumnya saya sebutkan.Dan tentu saja, seperti yang juga saya sebutkan di paragraph sebelumnya, saya mengenalnya.
Kami pun bergegas melangkah meninggalkan Bandara.
(bersambung)
Pengalaman kedua tak semenarik pengalaman pertama, begitu kata orang. Tapi hari itu saya begitu bersemangat oleh kesadaran saya telah tiba di BandaraAdi Sucipto jogja ini, betapapun itu hanya lah pengalaman kedua. Bukan karena sepuluh hari ke depan saya akan menjalani cuti yang lumayan panjang, bukan karena saya akan menghadiri pernikahan teman kerja yang sudah dua bulanan yang lalu saya janjii untuk saya hadiri, bukan karena setelah itu saya akan melewatkan 4 hari 3 malam di gugusan pulau karimunjawa, juga bukan karena beberapa saat setelah pendaratan ini saya akan bertemu dengan orang-orang yang sudah cukup lama saya kenal hanya di dunia per-blog-an. Bukan! Bukan hanya karena satu per satu hal tersebut. Tapi karena kumpulannyalah. Karena sepuluh hari ke depan saya akan menjalani cuti dimana di dalamnya terhimpun hal-hal menyenangkan yang sudah saya sebutkan sebelumnyalah yang membuat tibanya saya di Jogja ini begitu terasa istimewa.
Kau pasti bingung. Tak terlalu mengerti dengan kalimat berbelit saya di atas. Tak mengapa. Toh saya sedang tidak mengharapkan pemahaman sepenuhnya. Ini hanyalah ceracauan, hanya lintasan pemikiran yang sengaja diikat agara tak keburu lepas. Berharap suatu saat dapat membacanya kembali dengan kening seberkerut keningmu saat kini membacanya. Dan itu tak kalah menyenangkannya.
Tapi saya ingin memberi uraian sedikit, meski boleh jadi bukan sebuah penjelasan. Pernahkan kalian mendengar kalimat ini, ‘maka jika di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang’? Mari, coba kita garisbawahi kata seratus dan sabar. Ya, kata seratus mewakili kumpulan individu-individu yang berhimpun sehingga membentuk sekumpulan dengan nominal tersebut. Sedang kata ‘sabar’, adalah kualitas yang melekati tiap individu tersebut. Sampai di sini, semoga kau sudah mulai mengerti. Ya, ini masalah kulaitas jempolan yang berhimpun membentuk sekumpulan dengan kuantitas lebih, hingga hasilnya pun jauh lebih jempolan. Maka, bukan tentang seratusnya lah yang mengalahkan dua ratus lainnya itu, tapi individu-individu sabar yang berhimpun membentuk seratus oranglah yang jadi pemeran utamanya.
Begitu juga dengan ceracauan di awal tadi. Bukan tentang sepuluh harinya lah yang membuat istimewa, tapi hal-hal istimewa yang mengumpul menjadi deretan waktu sepanjang 10 hari lah yang menjadikannya. Itulah kemudian, yang mampu mengalahkan nilai kumpulan-kumpulan hari lain yang mungkin jauh lebih panjang rentangnya. Tentang ini, Om Pram pernah menyebutkan bahwa orang Aceh itu terdiri dari banyak seorang, hingga akan dengan mudah melewati segala bencana yang melandanya. Banyak seorang, perhatikanlah! Bukankah itu sebuah frasa yang unik dan terkesan bertenaga. Bukan ‘banyak orang’, tapi ‘banyak seorang’. Saya belum mengerti jelas maksudnya, tapi menurut tafsir sempit saya, banyak seorang melambangkan sebuah kumpulan orang-orang yang telah menjadi dirinya sendiri saat mereka sendiri, telah memiliki kualitas hebat bahkan saat mereka masih seorang. Maka, bukankah menjadi tak terbayangkan potensi itu saat berkumpul menjadi sebuah kesatuan yang padu.
Begitulah. Itulah letak istimewanya waktu yang mebentng ke depan ini. Saking istimewanya, saking lain dari yang lainnya, saya bahkan hanya membawa ransel. Ya, meski bakalam melewati waktu sepuluh hari, hanya ransel ini yang saya bawa. Bukan kopor atau tas jinjing besar yang mampu memuat pakaian lebih banyak seperti yang sudah-sudah. Lebih ringkas, itulah memang alasan saya melakukannya. Termasuk masalah naik pesawat ini. Tak perlu mengalokasikan waktu untuk menunggu bagasi. Hingga saya langsung nyelonong saja menuju pintu keluar selepas turun dari pesawat tadi.
Di pintu keluar, beberapa orang terlihat sedang menunggu penumpang yang menjadi target jemputannya. Tapi tak ada tanda-tanda dua orang yang sedianya bakal menjemput saya. Sebelum berangkat tadi, melalui sms, memang seorang teman yang saya kenal lewat jejaring blog sudah menegaskan kembali kesanggupannnya untuk menjemput saya di bandara. Mungkin ia masih di jalan, begitu piker saya.
Saya sedang melangkah belok kanan menuju pusat ATM ketika SMS itu masuk. ‘aku tunggu di pintu keluar’, begitu kira-kira isinya. “Oke, ini juga sudah mendarat”, jawab saya singkat. Saya tak tahu apakah sms itu dikirim saat saya masih di pesawat atau sudah mendarat –saya tak sempat mengeceknya, saya juga tak tahu pasti apakah yang ia maksud dengan pintu keluar itu adalah pintu keluar tadi ataukah pintu keluar di luar sana. Tak jadi soal. Tak usah terlalu dikhawatirkan. Saya tetap meneruskan niat untuk mengambil uang di ATM.
Keluar dari ATM, kembali sms masuk; “kamu pakai baju warna apa?”. Saya tersenyum. Iya, saya memang belum pernah bertemu dengan si pengirim SMS, tapi tentu saja saya sudah pernah bertemu dengan seorang lain yang katanya ikut diajak menjemput saya. Ia adalah orang Bontang, kota dimana saya selama ini bekerja dan tinggal. Kita juga pernah mengadakan acara kopdar bertiga di sana sekali. Jadi tentu saja kita sudah saling tahu. Walaupun tak begitu detail, pastinya ingatan itu akan mudah saja dibangkitkan dengan sekilas melihat penampakannya.
SMS itu kemudian tak perlu dibalas. Sebab beberapa meter setelah membukanya, sepertinya saya menemukan si pengirim SMS tadi. Yang membuat saya yakin, tentu saja bukan karena dia membawa kertas dengan huruf-huruf capital membentuk kata ‘mylathief’ tertulis di lembarnya. Tapi, seorang lagi yang berada di sampingnyalah yang membuat saya yakin. Dialah anak Bontang yang sedang kuliah di Jogja yang di paragaraf sebelumnya saya sebutkan.Dan tentu saja, seperti yang juga saya sebutkan di paragraph sebelumnya, saya mengenalnya.
Kami pun bergegas melangkah meninggalkan Bandara.
(bersambung)
Thursday, October 27, 2011
Wednesday, October 26, 2011
-perpisahan-
Perasaannya memang selalu begini. Seperti memanggul ransel pergi dari rumah untuk kembali merantau, entah kuliah entah kerja. Berat, terasa berat, sebab ada kenyamanan yang telah sekian waktu membuai yg perlahan kita punggungi adanya. Tapi tentu saja, ada semburat harapan membayang di depan. Meski kadang begitu tipis, meski kadang dengan seteguh hati kita yakini sendiri adanya. Tapi itu lah kemudian yang membedakan. Itulah kemudian yang membedakan langkah ini dengan langkah bergegas lain yang hanya sekedar menjauh, yang hanya didorong oleh keengganan untuk tetap tinggal tanpa sebuah keyakinan atau bahkan sekedar harapan akan keadaan yang lebih baik atau membaikkan di depan.
Perpisahan memang begini. Ia seakan telah menjadi sebuah jalan terpahit untuk menegaskan keberartian sesuatu. Seperti bayi yg memisah dari rahim, itu lah kelahiran. Mungkin akan ada suara tangis, mungkin ada teriakan, sebab plasenta penyuplai kenikmatan itu seketika terputus. Tapi dari situ lah kita mengerti, bahwa kaki, tangan, dan segenap organ tubuh yg selama ini seolah tak berarti, menemukan salurannya. Kita akan berjalan dengan kaki, kita akan merangkai dengan tangan, dan kita juga akan belajar dengan kesemua indera yang ada : kita akan bekerja.
Maka ketika hari ini kaki-kaki ini mesti melangkah, dan KMP Muria bakal mengangkat sauhnya untuk membawa semua yang ada di dalamnya menjauhi gugusan 39 nusa ini, sebetapapun diri ini telah dibuat jatuh hati, kita mesti melakukannya. Tak bisa tak. Sebab ada yang mesti dilakukan kembali. Lagi. Begitu menagih-nagih. Dan memang beginilah perpisahan itu. Atau, lebih tepatnya, beginilah perpisahan itu seharusnya. Perpaduan antara enggan dan ingin. Enggan untuk meninggalkan, tapi ingin untuk menuju. Hingga jawaban terbaik untuk keadaan ini adalah, bagaimana apa-apa yang ditinggalkan itu, senantiasa memberi spirit di keadaan yang baru. Terus-menerus, tak terhentikan.
Maka begitulah. Apalah artinya sebuah perjalanan jika hanya menjadi perjalanan kering makna. Apalah arti menyinggahi tempat baru tanpa kehadiran akal, pikiran, dan hati kita untuk selalu mencoba dapat pemahaman. Karimunjawa akan segera tertinggal. Hamparan pasir itu, gugusan karang indah itu, ikan-ikan cantik warna-warni itu, serta pemandangan megah itu, sebentar lagi akan menjadi kenangan yang hanya akan bisa dipanggil kembali lewat album foto. Tapi pemahamannya, kesadarannya, serta berbagai cerlang pemikiran yang telah hadir, harus terus hadir. Untuk menginspirasi. Untuk memberi energi.
Selamat tinggal karimunjawa. Bahwa kau adalah gugusan makhluk yang begitu indah dibentuk, adalah sebuah keadaan yang seharusnya disyukuri. Maka semoga kita, orang-orang yang katanya diberi kuasa untuk mengelolanya, benar-benar mengerti implikasi syukur ini. Hinga kau masih akan tetap indah dijenguk kembali. Hingga kau masih tetap cantik di masa anak-cucu kita nanti. Semoga saja.
@pojokan KMP Muria
Perpisahan memang begini. Ia seakan telah menjadi sebuah jalan terpahit untuk menegaskan keberartian sesuatu. Seperti bayi yg memisah dari rahim, itu lah kelahiran. Mungkin akan ada suara tangis, mungkin ada teriakan, sebab plasenta penyuplai kenikmatan itu seketika terputus. Tapi dari situ lah kita mengerti, bahwa kaki, tangan, dan segenap organ tubuh yg selama ini seolah tak berarti, menemukan salurannya. Kita akan berjalan dengan kaki, kita akan merangkai dengan tangan, dan kita juga akan belajar dengan kesemua indera yang ada : kita akan bekerja.
Maka ketika hari ini kaki-kaki ini mesti melangkah, dan KMP Muria bakal mengangkat sauhnya untuk membawa semua yang ada di dalamnya menjauhi gugusan 39 nusa ini, sebetapapun diri ini telah dibuat jatuh hati, kita mesti melakukannya. Tak bisa tak. Sebab ada yang mesti dilakukan kembali. Lagi. Begitu menagih-nagih. Dan memang beginilah perpisahan itu. Atau, lebih tepatnya, beginilah perpisahan itu seharusnya. Perpaduan antara enggan dan ingin. Enggan untuk meninggalkan, tapi ingin untuk menuju. Hingga jawaban terbaik untuk keadaan ini adalah, bagaimana apa-apa yang ditinggalkan itu, senantiasa memberi spirit di keadaan yang baru. Terus-menerus, tak terhentikan.
Maka begitulah. Apalah artinya sebuah perjalanan jika hanya menjadi perjalanan kering makna. Apalah arti menyinggahi tempat baru tanpa kehadiran akal, pikiran, dan hati kita untuk selalu mencoba dapat pemahaman. Karimunjawa akan segera tertinggal. Hamparan pasir itu, gugusan karang indah itu, ikan-ikan cantik warna-warni itu, serta pemandangan megah itu, sebentar lagi akan menjadi kenangan yang hanya akan bisa dipanggil kembali lewat album foto. Tapi pemahamannya, kesadarannya, serta berbagai cerlang pemikiran yang telah hadir, harus terus hadir. Untuk menginspirasi. Untuk memberi energi.
Selamat tinggal karimunjawa. Bahwa kau adalah gugusan makhluk yang begitu indah dibentuk, adalah sebuah keadaan yang seharusnya disyukuri. Maka semoga kita, orang-orang yang katanya diberi kuasa untuk mengelolanya, benar-benar mengerti implikasi syukur ini. Hinga kau masih akan tetap indah dijenguk kembali. Hingga kau masih tetap cantik di masa anak-cucu kita nanti. Semoga saja.
@pojokan KMP Muria
Monday, October 24, 2011
Friday, October 21, 2011
Tuesday, October 18, 2011
Thursday, October 13, 2011
Sunday, October 9, 2011
Friday, October 7, 2011
catatan kepulangan penting nggak penting: harga
Saya sedang ke luar dan berdiri di teras depan ketika tetangga saya itu menyebutkan angka delapan ribu lima ratus. Saya tahu angka itu adalah angka yang ia sebut untuk menawar barang dagangan ketika saya sadari ada seorang pak tua berdiri di halaman, tepat di depan teras dimana tetangga saya itu sedang menyapu. Pak tua ini, adalah gambaran umum pak-pak tua yang memang sering menjajakan barang dagangan sesuai dengan musim yang sedang berjalan; berpakaian sederhana, bersepeda kebo, serta keranjang bambu di kedua sisi boncengannya.
Pemandangan orang-orang berjualan semacam ini lewat di depan rumah, dulu adalah sebuah pemandangan biasa hingga menjadi begitu akrab di kedua mata saya. Bila musim orang panen ubi, maka akan sesekali terdengar teriakan ‘pohong..pohong’ dari halaman pertanda seseoorang yang sedang berjualan ubi lewat. Pohong, dengan pengucapan huruf o seperti huruf o pada kata toko, adalah sebutan lazim untuk ubi kayu di daerah saya berasal, Pasuruan. Di lain waktu, akan ada ‘semangka..semangka’, atau, ‘kerupuk-kerupuk’, atau seperti pengucapan pedagang kita ini; ‘mangga...mangga’.
Pak tua itu memang menjual mangga. Itu terlihat dari beberapa mangga yang masih ada di keranjangnya. Ia, ba’da penawaran dari tetangga itu, terdengar menggumamkan sesuatu yang intinya berisi ketidaksetujuan tentang angka delapan ribu lima ratus yang diajukan. Ia pun meneruskan langkahnya sembari menuntun sepeda kebonya.
“Pinten, pak?”, ini adalah suara saya ketika ia telah tepat di depan teras rumah. Bagi anda yang pernah tahu rumah-rumah di kampung yang sebenar-benar kampung, maka akan tahu tipe-tipe rumah di sana. Tak ada pagar halaman dengan jarak rumah yang berdekatan, adalah salah satu cirinya yang membuat hampir tak berjaraknya antar tetangga. Itu pula lah yang membuat persingungan saya dengan pak tua pedagang mangga tadi lebih mudah terlakukan, sebab di depan teras rumah itu lah halaman yang juga sebagai tempat lalu lalang itu berada.
Si Pak tua kemudian menghentikan langkahnya. Seolah memikirkan konsekuensi dari ucapannya, ia tak langsung menjawab pertanyaan saya itu sampai sempurna benar memarikir sepedanya. “Rolas setengah”, kemudian, angka itu lah yang akhirnya keluar.
Saya hanya diam, mengamat-ngamati mangga di keranjang dari teras. Hanya tinggal beberapa saja mangga yang tertinggal di keranjang itu, tak sampai menyentuh angka dua puluh sepertinya. Saya masih belum memutuskan akan membeli atau tidak saat emak yang tadi menyapu di samping rumah ikutan bergabung. Saat itu lah, lewat percakapan yang tercipta antara emak dan si pak tua, saya baru tahu kalau angka dua belas ribu lima ratus itu adalah harga untuk sepuluh buah mangga. Menjadi terkejutlah saya sebab mengira itu untuk satu kilogramnya, sebab dua puluh ribu lah harga untuk satu kilogram mangga di tempat saya selama ini bekerja, Bontang.
“wolu setengah wes”. Ibu-ibu memang begini. Menawar adalah bukti eksistensinya. Maka semakin jauh harga yang didapat dari penawaran si penjual, maka semakin berbanggalah.
Si penjual menggeleng. Menyebutkan kalau harga kulakannya saja nggak dapat.
“sepuluh ribu bagaimana?”. Ha ha. Saya jadi ikut-ikutan menawar, meski tetap saja bagi ibu saya itu penawaran yang terlalu berlebihan.
“sewelas ewu. Jangkep”
Saya setuju. Bergerak memasuki rumah untuk mengambil uang.
Demikianlah. Tiap kali pulang, saya kerap masih tak sadar kalau saya sudah ada di jawa dimana harga-harga menjadi berbeda. Mendapati harga yang begitu murah, bahkan berkali lipat murahnya, justru sering membuat saya tak mampu mengendalikan diri. Semua barang menjadi terasa menarik sebab harganya yang lebih murah tadi. Dulu, kepulangan sebelumnya, saya terbengong-bengong saat membeli pepaya. Bayangkan, untuk sebiji pepaya lumayan besar saja, saya hanya perlu membayar 7 ribu rupiah. Tentu saja ini berkebalikan dengan di bontang dimana untuk nominal segitu, waktu itu, saya hanya mendapat sekilo pepaya.
Sebelas ribu kah yang pada akhirnya saya bayar? Ternyata tidak. Dua puluh ribu uang yang saya serahkan ke pak tua, untuk kemudian ia kembalikan lima ribu. Tapi, saya mendapatkan 17 biji mangga. Sebab, sisa tujuh biji mangga yang masih ada di keranjang, akhirnya ia lepas juga dengan empat ribu saja. Ah, jadi terngiang obrolan di sepanjang perjalanan kemarin, “Penghasilan Bontang, biaya hidup jawa. Indahnya”. Ha ha...
Pemandangan orang-orang berjualan semacam ini lewat di depan rumah, dulu adalah sebuah pemandangan biasa hingga menjadi begitu akrab di kedua mata saya. Bila musim orang panen ubi, maka akan sesekali terdengar teriakan ‘pohong..pohong’ dari halaman pertanda seseoorang yang sedang berjualan ubi lewat. Pohong, dengan pengucapan huruf o seperti huruf o pada kata toko, adalah sebutan lazim untuk ubi kayu di daerah saya berasal, Pasuruan. Di lain waktu, akan ada ‘semangka..semangka’, atau, ‘kerupuk-kerupuk’, atau seperti pengucapan pedagang kita ini; ‘mangga...mangga’.
Pak tua itu memang menjual mangga. Itu terlihat dari beberapa mangga yang masih ada di keranjangnya. Ia, ba’da penawaran dari tetangga itu, terdengar menggumamkan sesuatu yang intinya berisi ketidaksetujuan tentang angka delapan ribu lima ratus yang diajukan. Ia pun meneruskan langkahnya sembari menuntun sepeda kebonya.
“Pinten, pak?”, ini adalah suara saya ketika ia telah tepat di depan teras rumah. Bagi anda yang pernah tahu rumah-rumah di kampung yang sebenar-benar kampung, maka akan tahu tipe-tipe rumah di sana. Tak ada pagar halaman dengan jarak rumah yang berdekatan, adalah salah satu cirinya yang membuat hampir tak berjaraknya antar tetangga. Itu pula lah yang membuat persingungan saya dengan pak tua pedagang mangga tadi lebih mudah terlakukan, sebab di depan teras rumah itu lah halaman yang juga sebagai tempat lalu lalang itu berada.
Si Pak tua kemudian menghentikan langkahnya. Seolah memikirkan konsekuensi dari ucapannya, ia tak langsung menjawab pertanyaan saya itu sampai sempurna benar memarikir sepedanya. “Rolas setengah”, kemudian, angka itu lah yang akhirnya keluar.
Saya hanya diam, mengamat-ngamati mangga di keranjang dari teras. Hanya tinggal beberapa saja mangga yang tertinggal di keranjang itu, tak sampai menyentuh angka dua puluh sepertinya. Saya masih belum memutuskan akan membeli atau tidak saat emak yang tadi menyapu di samping rumah ikutan bergabung. Saat itu lah, lewat percakapan yang tercipta antara emak dan si pak tua, saya baru tahu kalau angka dua belas ribu lima ratus itu adalah harga untuk sepuluh buah mangga. Menjadi terkejutlah saya sebab mengira itu untuk satu kilogramnya, sebab dua puluh ribu lah harga untuk satu kilogram mangga di tempat saya selama ini bekerja, Bontang.
“wolu setengah wes”. Ibu-ibu memang begini. Menawar adalah bukti eksistensinya. Maka semakin jauh harga yang didapat dari penawaran si penjual, maka semakin berbanggalah.
Si penjual menggeleng. Menyebutkan kalau harga kulakannya saja nggak dapat.
“sepuluh ribu bagaimana?”. Ha ha. Saya jadi ikut-ikutan menawar, meski tetap saja bagi ibu saya itu penawaran yang terlalu berlebihan.
“sewelas ewu. Jangkep”
Saya setuju. Bergerak memasuki rumah untuk mengambil uang.
Demikianlah. Tiap kali pulang, saya kerap masih tak sadar kalau saya sudah ada di jawa dimana harga-harga menjadi berbeda. Mendapati harga yang begitu murah, bahkan berkali lipat murahnya, justru sering membuat saya tak mampu mengendalikan diri. Semua barang menjadi terasa menarik sebab harganya yang lebih murah tadi. Dulu, kepulangan sebelumnya, saya terbengong-bengong saat membeli pepaya. Bayangkan, untuk sebiji pepaya lumayan besar saja, saya hanya perlu membayar 7 ribu rupiah. Tentu saja ini berkebalikan dengan di bontang dimana untuk nominal segitu, waktu itu, saya hanya mendapat sekilo pepaya.
Sebelas ribu kah yang pada akhirnya saya bayar? Ternyata tidak. Dua puluh ribu uang yang saya serahkan ke pak tua, untuk kemudian ia kembalikan lima ribu. Tapi, saya mendapatkan 17 biji mangga. Sebab, sisa tujuh biji mangga yang masih ada di keranjang, akhirnya ia lepas juga dengan empat ribu saja. Ah, jadi terngiang obrolan di sepanjang perjalanan kemarin, “Penghasilan Bontang, biaya hidup jawa. Indahnya”. Ha ha...
Thursday, October 6, 2011
bookaholic : september '11
Barangkali memang benar, atas setiap pergantian waktu, tak ada yang lebih disesali manusia selain sebuah kesia-siaan. Tentang menit yang begitu saja menjelma jam. Tentang hari yang merangkai pekan. Tentang pekan satu yang berganti pekan berikutnya. Tentang, ah, tiba-tiba bulan telah sampai di angka dua belasnya.
Pada hakikatnya manusia menginginkan kerja-kerja besar. Ingin benar melalui hari dengan kepadatan aktivitas yang begitu hebat. Hingga, di tiap kali perguliran waktu, ada perasaan terluka kala menyadari tak benar-benar bermanfaat apa yang telah dilakukan diri.
Kesadaran. Aha, memang tetap saja ini lah yang menjadi penting. Kesadaran akan kemampuan diri yang sebenarnya bisa lebih dari apa yang bisa dicapai di sebelum-sebelumnya, adalah bahan bakar berdaya dorong tinggi yang akan memantik peningkatan di kesempatan berikutnya. Kesadaran, bahwa yang telah lalu, hanyalah catatan ketakoptimalan-ketakoptimalan, adalah modal dasar untuk berstrategi agar itu tak kembali terjadi di kesempatan yang akan datang.
Maka beruntunglah orang-orang yang rajin menghisab dirinya sendiri. Semakin sering semakin baik. Semakin dalam interval waktu yang sempit semakin disarankan. Sebab, dengan begitu, harusnya kesadaran pun akan lebih cepat muncul. Hingga upaya-upaya perbaikan itu pun akan lebih cepat pula dirancang.
Termasuk masalah perolehan membaca tiap bulannya ini. Pada mulanya memang hanyalah untuk keperluan postingan. Atau bahkan ikut-ikutan. Tapi dengan berjalannya waktu, ternyata ini benar-benar menjadi sarana yang efektif untuk mengetahui tentang apakah bulan ini lebih baik dari bulan sebelumnya. Tentang apakah bulan ini cukup banyak yang dibaca sebab kesempatannya yang sebenarnya lebih terbuka. Atau, tentang kenyatan jumlah bacaan yang sebegitu-begitu saja –maka perlu strategi lebih untuk membuatnya berbeda.
Baiklah, ini mungkin pengantar yang tak biasa untuk laporan bacaan di tiap bulannya. Tanpa panjang kata, berikut buku yang terbaca di september ini:
•Think Dinar. Hmmm..sebenarnya ada judul lanjutannya, tapi saya lupa. Bahkan pengarangnya pun saya tak hafal dengan pasti. Untuk membukanya di Goodreads, terlalu menguras emosi sebab jaringan yang tak memberi keleluasaan. Tapi ini buku bagus. Buku yang cukup banyak memberi saya gambaran. Tentang kerapuhan uang kertas. Tentang kedasyatan logam mulia.
•Yang Galau Yang Meracau: Fahd Djibran. Entah, apakah saya sudah terlalu jenuh dengan model tulisan fahd yang seperti ini, ataukah karena memang tulisannya tidak semenarik sebelumnya, yang pasti saya tidak mampu menikmati buku ini senikmat ketika membaca ‘Curhat Setan’ ataupun “A Cat in my Eyes”. Tapi, lewat buku ini, saya belajar tentang sebuah cara penyampaian gagasan dengan model lain. Dan sepertinya sudah saya gunakan di beberapa postingan.
•Jendela Cinta. Ini adalah buku kumcer keroyokan yagn hasil penjualannya didonasikan buat korban tsunami Aceh. Bila Anda pernah membaca qn saya tentang buku ringan itu, maka buku ini lah yang saya maksud. Sebab memang cerpen di buku ini kebanyakan memang terasa ringan, hingga seolah nyemil saja di antara buku-buku yang lain.
Baik, itu saja. Bagi Anda yang bertanya tentang buku apa yang saya baca, maka jawabannya adalah ini; Living Islamnya Herry Nurdi.
Salam buku! Selamat menghisab diri.
Pada hakikatnya manusia menginginkan kerja-kerja besar. Ingin benar melalui hari dengan kepadatan aktivitas yang begitu hebat. Hingga, di tiap kali perguliran waktu, ada perasaan terluka kala menyadari tak benar-benar bermanfaat apa yang telah dilakukan diri.
Kesadaran. Aha, memang tetap saja ini lah yang menjadi penting. Kesadaran akan kemampuan diri yang sebenarnya bisa lebih dari apa yang bisa dicapai di sebelum-sebelumnya, adalah bahan bakar berdaya dorong tinggi yang akan memantik peningkatan di kesempatan berikutnya. Kesadaran, bahwa yang telah lalu, hanyalah catatan ketakoptimalan-ketakoptimalan, adalah modal dasar untuk berstrategi agar itu tak kembali terjadi di kesempatan yang akan datang.
Maka beruntunglah orang-orang yang rajin menghisab dirinya sendiri. Semakin sering semakin baik. Semakin dalam interval waktu yang sempit semakin disarankan. Sebab, dengan begitu, harusnya kesadaran pun akan lebih cepat muncul. Hingga upaya-upaya perbaikan itu pun akan lebih cepat pula dirancang.
Termasuk masalah perolehan membaca tiap bulannya ini. Pada mulanya memang hanyalah untuk keperluan postingan. Atau bahkan ikut-ikutan. Tapi dengan berjalannya waktu, ternyata ini benar-benar menjadi sarana yang efektif untuk mengetahui tentang apakah bulan ini lebih baik dari bulan sebelumnya. Tentang apakah bulan ini cukup banyak yang dibaca sebab kesempatannya yang sebenarnya lebih terbuka. Atau, tentang kenyatan jumlah bacaan yang sebegitu-begitu saja –maka perlu strategi lebih untuk membuatnya berbeda.
Baiklah, ini mungkin pengantar yang tak biasa untuk laporan bacaan di tiap bulannya. Tanpa panjang kata, berikut buku yang terbaca di september ini:
•Think Dinar. Hmmm..sebenarnya ada judul lanjutannya, tapi saya lupa. Bahkan pengarangnya pun saya tak hafal dengan pasti. Untuk membukanya di Goodreads, terlalu menguras emosi sebab jaringan yang tak memberi keleluasaan. Tapi ini buku bagus. Buku yang cukup banyak memberi saya gambaran. Tentang kerapuhan uang kertas. Tentang kedasyatan logam mulia.
•Yang Galau Yang Meracau: Fahd Djibran. Entah, apakah saya sudah terlalu jenuh dengan model tulisan fahd yang seperti ini, ataukah karena memang tulisannya tidak semenarik sebelumnya, yang pasti saya tidak mampu menikmati buku ini senikmat ketika membaca ‘Curhat Setan’ ataupun “A Cat in my Eyes”. Tapi, lewat buku ini, saya belajar tentang sebuah cara penyampaian gagasan dengan model lain. Dan sepertinya sudah saya gunakan di beberapa postingan.
•Jendela Cinta. Ini adalah buku kumcer keroyokan yagn hasil penjualannya didonasikan buat korban tsunami Aceh. Bila Anda pernah membaca qn saya tentang buku ringan itu, maka buku ini lah yang saya maksud. Sebab memang cerpen di buku ini kebanyakan memang terasa ringan, hingga seolah nyemil saja di antara buku-buku yang lain.
Baik, itu saja. Bagi Anda yang bertanya tentang buku apa yang saya baca, maka jawabannya adalah ini; Living Islamnya Herry Nurdi.
Salam buku! Selamat menghisab diri.
Wednesday, October 5, 2011
Tuesday, October 4, 2011
cerita seorang suami tentang istrinya
Malam ini saya mendapat satu lagi pencerahan.
Agak malas sebenarnya saya mengiyakan ajakan keluar dan makan malam tadi itu. Lebih nyaman untuk tinggal di kamar sambil membaca ,menulis, atau sekedar nonton film di TV. Tapi, kesadaran bahwa jarang-jarang saya berada di cilacap ini, adalah pendorong yang membuat saya pada akhirnya oke-oke saja kala tawaran itu hadir. Ini, pertama kalinya saya ke cilacap. Pertama yang amat mungkin menjadi yang terakhir. Tak ada irisan sama sekali yang memungkinkan saya untuk sering-sering mengunjungi kota ini.
Tapi, kala saya kemudian mendapat hal lain dari sekedar makan malam dan menikmati udara malam Cilacap, itu adalah hal lain yang saya sebut sebagai bonus. Ini lah mungkin yang disebut sebagai salah satu keajaiban silaturahim, ataupun keindahan mengenal orang-orang baru.
Ia adalah karyawan Pertaina Cilacap ini. Sudah sepuluh tahun lebih bergabung dengan perusahaan milik negara ini. Hanya kaos oblong produksi joger yang ia pakai kala berjalan menghampiri kami di lobi. Pada mulanya ia menjabat seorang dari romobongan kami, sebelum akhirnya diperkenalkan kepada kami yang lain. Rupanya, ia teman kuliah dari salah satu rombongan kami itu.
Tapi tentu saja bukan itu yang membuat saya untuk tergerak menuliskan ini. Adalah ceritanya yang dengan lancar tersampaikan kepada kami di akhir makan malam itu lah yang membuat saya dengan khusyuk menyimaknya. Mendengarkan cerita tentang bagaimana seseorang menjalani hidupnya, memulai karir, dengan bumbu kebetulan-kebetulan yang terasa begitu terdesain, adalah spirit untuk mengenergii diri.
Panjang sebenarnya ceritanya. Menarik pula sebenarnya bagaimana ia bisa kerja di Pertamina ini. Tapi bagian ini lah yang kemudian terekam dengan lebih jelas di memori saya; “Ya sudah, kalau nggak suka, ya, keluar saja. Cari pekerjaan yang disukai”
Jawaban itu, adalah tanggapan istrinya kala ia menjelaskan tentang pekerjaannya yang ditempatkan di bagian ini yang begini-begitu dan tentang prospek ke depannya. Mulanya, istrinya bertanya dengan, “kenapa, sih, mas? Kok kayake nggak semangat tiap kali pulang kerja”, kala mendapati suaminya itu tak terlalu bergairah sesampai di rumah.
Banyak pro-kontra mungkin terhadap tanggapan si istri itu, tapi ada baiknya kita kemudian menyimak bagaimana si suami menggambarkan kondisi itu; “Agak tersinggung sebenarnya saya waktu itu. La, bayangkan, di waktu itu, banyak perempuan memilih seseorang karena faktor pertaminanya. Nah, dia, ketika apa yang dikejar orang-orang itu sudah sempurna tergapai, dengan entengnya bilang, ‘ya, sudah, kalau nggak suka, ya, keluar saja’”
Saya akui, tak semua istri akan memberi tanggapan seperti yang istri orang pertamina ini berikan. Umumnya, yang sering kita temui adalah jawaban-jawaban seperti, “ya, sudah, dijalani saja dulu”, atau, “yang sabar!”, atau bahkan, “mungkin ini perasaan di awal-awal saja”. Tak terbayangkan bila ada seorang istri yang memiliki suami kerja di sebuah pertusahaan yang boleh dikata menjadi primadona kalangan job seeker, kala mendapati suaminya tak terlalu bahagia dengan pekerjaannya, enteng menanggapinya dengan permintaan agar si suami melepaskan pekerjaannya itu. Tipe istri seperti ini mungkin ada yang lain, tapi jarang.
Tapi saya kemudian tak terlalu heran dengan statement si istri itu demi mendengar catatan perjalanannya seperti yang disampaikan orang pertamina ini. Bayangkan, ia melepaskan pekerjaannya ketika bersuami orang pertamina ini kala posisi gajinya 4 kali lipat bila dibandingkan dengan bakal suaminya. Menjadi seorang yang ‘diperebutkan’ banyak perusahaan adalah hal lain yang kian menegaskan kecemerlangan karir si istri ini. Maka, menurut saya, adalah hal yang mudah bagi si istri untuk melepaskan status pertamina si suami, ketika di waktu sebelumnya ia dengan mudah juga melepaskan status yang lebih wah. Tapi tentu saja, menurut saya lagi, statement itu juga dilandasi oleh seseorang yang tahu betul tentang dinamika kerja, tentang bagaimana sebuah kenyamanan terhadap pekerjaan adalah sebuah hal utama, yang justru menegasikan hal lainnya.
Cerita itu kemudian tentu saja tak berakhir dengan keluarnya su suami dari pertamina. Statement si istri, ternyata malah berimpilkasi sebaliknya, dalam konotasi positif. Sebab, itu justru membuatnya terpacu untuk membuktikan banyak hal hingga telah lewat sepuluh tahun dari pertami kali statement itu terucap. Ia, sepertinya juga telah nyaman dengan pekerjaannya dengan keengganannya untuk pindah pekerjaan, ataupun pindah daerah penempatan.
“jadi, sekarang apa kesibukan istrimu?”, saya kemudian tertarik untuk menyimak apa jawaban si orang pertamina ini kala pertanyaan itu terlontar oleh salah seorang rombongan kami yang juga teman kuliahnya kala kami sudah di atas mobil untuk meninggalkan rumah makan itu.
“moco buku, karo momong anak.” Saya tersenyum mendengarkan jawaban ini. Karena isi jawabannya, juga karena cara menjawabnya.
Benar-benar malam yang bermakna.
Agak malas sebenarnya saya mengiyakan ajakan keluar dan makan malam tadi itu. Lebih nyaman untuk tinggal di kamar sambil membaca ,menulis, atau sekedar nonton film di TV. Tapi, kesadaran bahwa jarang-jarang saya berada di cilacap ini, adalah pendorong yang membuat saya pada akhirnya oke-oke saja kala tawaran itu hadir. Ini, pertama kalinya saya ke cilacap. Pertama yang amat mungkin menjadi yang terakhir. Tak ada irisan sama sekali yang memungkinkan saya untuk sering-sering mengunjungi kota ini.
Tapi, kala saya kemudian mendapat hal lain dari sekedar makan malam dan menikmati udara malam Cilacap, itu adalah hal lain yang saya sebut sebagai bonus. Ini lah mungkin yang disebut sebagai salah satu keajaiban silaturahim, ataupun keindahan mengenal orang-orang baru.
Ia adalah karyawan Pertaina Cilacap ini. Sudah sepuluh tahun lebih bergabung dengan perusahaan milik negara ini. Hanya kaos oblong produksi joger yang ia pakai kala berjalan menghampiri kami di lobi. Pada mulanya ia menjabat seorang dari romobongan kami, sebelum akhirnya diperkenalkan kepada kami yang lain. Rupanya, ia teman kuliah dari salah satu rombongan kami itu.
Tapi tentu saja bukan itu yang membuat saya untuk tergerak menuliskan ini. Adalah ceritanya yang dengan lancar tersampaikan kepada kami di akhir makan malam itu lah yang membuat saya dengan khusyuk menyimaknya. Mendengarkan cerita tentang bagaimana seseorang menjalani hidupnya, memulai karir, dengan bumbu kebetulan-kebetulan yang terasa begitu terdesain, adalah spirit untuk mengenergii diri.
Panjang sebenarnya ceritanya. Menarik pula sebenarnya bagaimana ia bisa kerja di Pertamina ini. Tapi bagian ini lah yang kemudian terekam dengan lebih jelas di memori saya; “Ya sudah, kalau nggak suka, ya, keluar saja. Cari pekerjaan yang disukai”
Jawaban itu, adalah tanggapan istrinya kala ia menjelaskan tentang pekerjaannya yang ditempatkan di bagian ini yang begini-begitu dan tentang prospek ke depannya. Mulanya, istrinya bertanya dengan, “kenapa, sih, mas? Kok kayake nggak semangat tiap kali pulang kerja”, kala mendapati suaminya itu tak terlalu bergairah sesampai di rumah.
Banyak pro-kontra mungkin terhadap tanggapan si istri itu, tapi ada baiknya kita kemudian menyimak bagaimana si suami menggambarkan kondisi itu; “Agak tersinggung sebenarnya saya waktu itu. La, bayangkan, di waktu itu, banyak perempuan memilih seseorang karena faktor pertaminanya. Nah, dia, ketika apa yang dikejar orang-orang itu sudah sempurna tergapai, dengan entengnya bilang, ‘ya, sudah, kalau nggak suka, ya, keluar saja’”
Saya akui, tak semua istri akan memberi tanggapan seperti yang istri orang pertamina ini berikan. Umumnya, yang sering kita temui adalah jawaban-jawaban seperti, “ya, sudah, dijalani saja dulu”, atau, “yang sabar!”, atau bahkan, “mungkin ini perasaan di awal-awal saja”. Tak terbayangkan bila ada seorang istri yang memiliki suami kerja di sebuah pertusahaan yang boleh dikata menjadi primadona kalangan job seeker, kala mendapati suaminya tak terlalu bahagia dengan pekerjaannya, enteng menanggapinya dengan permintaan agar si suami melepaskan pekerjaannya itu. Tipe istri seperti ini mungkin ada yang lain, tapi jarang.
Tapi saya kemudian tak terlalu heran dengan statement si istri itu demi mendengar catatan perjalanannya seperti yang disampaikan orang pertamina ini. Bayangkan, ia melepaskan pekerjaannya ketika bersuami orang pertamina ini kala posisi gajinya 4 kali lipat bila dibandingkan dengan bakal suaminya. Menjadi seorang yang ‘diperebutkan’ banyak perusahaan adalah hal lain yang kian menegaskan kecemerlangan karir si istri ini. Maka, menurut saya, adalah hal yang mudah bagi si istri untuk melepaskan status pertamina si suami, ketika di waktu sebelumnya ia dengan mudah juga melepaskan status yang lebih wah. Tapi tentu saja, menurut saya lagi, statement itu juga dilandasi oleh seseorang yang tahu betul tentang dinamika kerja, tentang bagaimana sebuah kenyamanan terhadap pekerjaan adalah sebuah hal utama, yang justru menegasikan hal lainnya.
Cerita itu kemudian tentu saja tak berakhir dengan keluarnya su suami dari pertamina. Statement si istri, ternyata malah berimpilkasi sebaliknya, dalam konotasi positif. Sebab, itu justru membuatnya terpacu untuk membuktikan banyak hal hingga telah lewat sepuluh tahun dari pertami kali statement itu terucap. Ia, sepertinya juga telah nyaman dengan pekerjaannya dengan keengganannya untuk pindah pekerjaan, ataupun pindah daerah penempatan.
“jadi, sekarang apa kesibukan istrimu?”, saya kemudian tertarik untuk menyimak apa jawaban si orang pertamina ini kala pertanyaan itu terlontar oleh salah seorang rombongan kami yang juga teman kuliahnya kala kami sudah di atas mobil untuk meninggalkan rumah makan itu.
“moco buku, karo momong anak.” Saya tersenyum mendengarkan jawaban ini. Karena isi jawabannya, juga karena cara menjawabnya.
Benar-benar malam yang bermakna.
Monday, October 3, 2011
(bukan) pertemuan di taman hening
Bahkan ketika saya sudah menjejak di tempat itu, sepertinya saya benar-benar terlupa bahwa teman saya yang satu ini bekerja di sana. Entahlah, mungkin sebuah keanehan, atau justru sebuah kealpaan yang wajar-wajar saja. Hingga, tak ada keinginan ataupun lintasan pemikiran kalau saya bakalan ketemu dengan dia di sana. Sama sekali tak ada.
Maka ketika pada akhirnya saya ketemu dengan teman saya yang lain, kali ini cowok, ketika ia memberi jawaban dengan menyebutkan namanya kala menjawab pertanyaan saya tentang siapa lagi anak Teknik Kimia ITS, kontan saja saya ber-uow ria. Terkaget dengan kesadaran bahwa saya telah melupakan teman saya ini. Sungguh keterlaluan saya ini, karena bahkan tak sampai setahun yang lalu kita sempat bertemu di Balikpapan ini dalam rangka reunian anak Tekkim 2004, saya bahkan telah lupa kalau ia masih di sini.
Tapi Allah maha baik. Bahwa harus ada sesuatu, sesuatu yang memantik saya untuk kembali berdiri tegak, sesuatu yang menenteramkan, yang mampu mengenergii saya di rangkain perjalanan ini, Ia hadirkan justru di akhir kunjungan kami. Kalau bukan salah seorang dari kami saat itu mesti mengurus sesuatu di administrasi perusahaan minyak pelat merah ini, dan membiarkan kami berempat berdiri di koridor menunggunya, mungkin kesempatan itu tak bakalan terwujud.
Dan begitulah! Skenario Allah sungguh-sungguh sempurna. Kala kami masih asyik saling berbicara sesama kami, saya sadari ada suara yang menegur kami.
“lo, Iqbal, kok, ada di sini?”
Saya menoleh. Mencari sumber suara yang dari intensitasnya tak jauh dari tempat kami berdiri. Dan memang, seorang perempuan telah berdiri tak jauh dari kami. Saya sedikit tercekat, bahkan melupakan kewajiban menjawab pertanyaan tadi, masih sibuk mencocokkan sepotong wajah di depan saya ini dengan ribuan wajah yang telah tersimpan di dalam memori otak saya. Tapi untunglah, hanya sepersekian detik saja usia pencarian itu. “Hai”, dan saya pun memanggil namanya.
Ia tersenyum. Menyatukan kedua telapak tangannya dalam satu katupan, lalu memosisikannya di depan dadanya. Saya tersenyum, disertai anggukan. Ah, ada banyak yang berubah dengan dirinya. Sebab, kalau saya tak salah ingat, mungkin sekitaran satu-dua tahun yang lalu, dia lah yang berkomentar ‘oh, kalau iqbal nggak mau, ya’ di saat kami teman seangkatn di Kaltim bertemu dan saling berjabatantangan.
“wah, lagi hamil, ya? Sudah berapa bulan?”. Tentu saja, ini adalah pertanyaan saya. Jika saya perlu sepersekian detik untuk bisa mengenalinya, kehamilan ini lah menjadi salah satu alasannya. Tubuhnya yang lebih gemuk dengan muka yang sedikit tembem, tentu saja membutuhkan penyesuaian dengan spesifikasi lama tentangnya dalam bang data otak saya.
“enam bulan”, pada akhirnya angka itu yang ia ucapkan.
“kok, ada di sini? Kata Gusti ditempatkan di operation, kan?”. Gusti adalah teman saya yang saya temui sebelumnya. Ia sempat menginformasikan kalau teman perempuan saya ini ditempatkan di operation yang jauh kantornya dari kantor process engineering ini.
“ow, iya. Ini mau ngurus cuti”
“cuti hamil, ya?”
“iya”
Dan bla bla bla. Sampai ia meminta diri untuk meneruskan keperluannya. Saya mengangguk, tersenyum, dan melihat ia berbalik memunggungi saya. Entahlah, ada sesuatu yang membuat saya terketuk-ketuk dengan pertemuan ini, ada rasa nyaman, sesuatu yang membuat saya berpikir hal lain yang jauh lebih besar, yang membuat saya merekonstruksi banyak hal, yang membuat saya tersadarkan. Entah itu persisnya apa. Tapi, barangkali, salah satunya, adalah selembar kain yang kini membungkus kepalanya. Ah, saya jadi bertanya-tanya, bagaimanakah rasanya menjadi seorang mualaf yang seketika itu memutuskan berhijab. Tapi tak berjawab. Tentu saja pertanyaan itu tak berjawab. Bahkan sampai saya selesai mengobrak-abrik halaman milis angkatan untuk menelusuri kembali undangan pernikahaannya dulu. Tapi saya menemukan ini; ‘insyaAllah’, ‘samara’, juga ‘barakah’, menghiasi kalimat yang ia ketikkan dalam komentar di milis angkatan kami. Semoga saja ini pertanda baik.
Maka ketika pada akhirnya saya ketemu dengan teman saya yang lain, kali ini cowok, ketika ia memberi jawaban dengan menyebutkan namanya kala menjawab pertanyaan saya tentang siapa lagi anak Teknik Kimia ITS, kontan saja saya ber-uow ria. Terkaget dengan kesadaran bahwa saya telah melupakan teman saya ini. Sungguh keterlaluan saya ini, karena bahkan tak sampai setahun yang lalu kita sempat bertemu di Balikpapan ini dalam rangka reunian anak Tekkim 2004, saya bahkan telah lupa kalau ia masih di sini.
Tapi Allah maha baik. Bahwa harus ada sesuatu, sesuatu yang memantik saya untuk kembali berdiri tegak, sesuatu yang menenteramkan, yang mampu mengenergii saya di rangkain perjalanan ini, Ia hadirkan justru di akhir kunjungan kami. Kalau bukan salah seorang dari kami saat itu mesti mengurus sesuatu di administrasi perusahaan minyak pelat merah ini, dan membiarkan kami berempat berdiri di koridor menunggunya, mungkin kesempatan itu tak bakalan terwujud.
Dan begitulah! Skenario Allah sungguh-sungguh sempurna. Kala kami masih asyik saling berbicara sesama kami, saya sadari ada suara yang menegur kami.
“lo, Iqbal, kok, ada di sini?”
Saya menoleh. Mencari sumber suara yang dari intensitasnya tak jauh dari tempat kami berdiri. Dan memang, seorang perempuan telah berdiri tak jauh dari kami. Saya sedikit tercekat, bahkan melupakan kewajiban menjawab pertanyaan tadi, masih sibuk mencocokkan sepotong wajah di depan saya ini dengan ribuan wajah yang telah tersimpan di dalam memori otak saya. Tapi untunglah, hanya sepersekian detik saja usia pencarian itu. “Hai”, dan saya pun memanggil namanya.
Ia tersenyum. Menyatukan kedua telapak tangannya dalam satu katupan, lalu memosisikannya di depan dadanya. Saya tersenyum, disertai anggukan. Ah, ada banyak yang berubah dengan dirinya. Sebab, kalau saya tak salah ingat, mungkin sekitaran satu-dua tahun yang lalu, dia lah yang berkomentar ‘oh, kalau iqbal nggak mau, ya’ di saat kami teman seangkatn di Kaltim bertemu dan saling berjabatantangan.
“wah, lagi hamil, ya? Sudah berapa bulan?”. Tentu saja, ini adalah pertanyaan saya. Jika saya perlu sepersekian detik untuk bisa mengenalinya, kehamilan ini lah menjadi salah satu alasannya. Tubuhnya yang lebih gemuk dengan muka yang sedikit tembem, tentu saja membutuhkan penyesuaian dengan spesifikasi lama tentangnya dalam bang data otak saya.
“enam bulan”, pada akhirnya angka itu yang ia ucapkan.
“kok, ada di sini? Kata Gusti ditempatkan di operation, kan?”. Gusti adalah teman saya yang saya temui sebelumnya. Ia sempat menginformasikan kalau teman perempuan saya ini ditempatkan di operation yang jauh kantornya dari kantor process engineering ini.
“ow, iya. Ini mau ngurus cuti”
“cuti hamil, ya?”
“iya”
Dan bla bla bla. Sampai ia meminta diri untuk meneruskan keperluannya. Saya mengangguk, tersenyum, dan melihat ia berbalik memunggungi saya. Entahlah, ada sesuatu yang membuat saya terketuk-ketuk dengan pertemuan ini, ada rasa nyaman, sesuatu yang membuat saya berpikir hal lain yang jauh lebih besar, yang membuat saya merekonstruksi banyak hal, yang membuat saya tersadarkan. Entah itu persisnya apa. Tapi, barangkali, salah satunya, adalah selembar kain yang kini membungkus kepalanya. Ah, saya jadi bertanya-tanya, bagaimanakah rasanya menjadi seorang mualaf yang seketika itu memutuskan berhijab. Tapi tak berjawab. Tentu saja pertanyaan itu tak berjawab. Bahkan sampai saya selesai mengobrak-abrik halaman milis angkatan untuk menelusuri kembali undangan pernikahaannya dulu. Tapi saya menemukan ini; ‘insyaAllah’, ‘samara’, juga ‘barakah’, menghiasi kalimat yang ia ketikkan dalam komentar di milis angkatan kami. Semoga saja ini pertanda baik.
Saturday, October 1, 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)