“ah, ini berkat doa antum semua”
Ada sebuah kalimat yang dulu beberapa kali menyentil saya ketika kami sedang bersama-sama. Saat itu, seperti biasa saja sebenarnya, kami memperbincangkan ini itu. Tentang kuliah, tentang aktivitas, serta tentang-tentang yang lain yang tak terlalu spesial hingga tak sampai teringat. Sampai, di suatu titik, perbincangan itu menyentuh kepada sebuah topik tentang capaian-capain gemilangnya. Tentang keberhasilannya yang terasa wah, bagi kami teman-temannya. Biasa saja sebenarnya singgungan ini, hingga tanggapan bersahajanya menyuara; “ah, ini berkat doa antum semua”
Tak ada yang salah sebenarnya dengan jawaban itu. Sebab, keberhasilan kita, amat mungkin sekali bukan karena usaha kita semata, atau doa-doa kita saja, tapi juga oleh sebab doa-doa orang sekitar yang tak terindera kita. Jika kemudian itu terasa menyentil di hati saya, permasalahan memang mungkin hanya ada pada saya semata. Keadaan memang jauh lebih menyentil ketika kau dihusnudzoni seseorang, padahal kau sama sekali tak pernah, atau amat jarang melakukan kebaikan yang dihusnudzonkan itu. Hmm..
Doa. Ini boleh jadi hal yang teramat sepele. Tapi, yang sepele ini lah yang barangkali seringkali terlalaikan. Bukankah teramat sering kita mendapatkan kalimat ini; “doakan, ya!”, atau, “Kawan, besok saya ujian, minta doanya, ya, semoga sukses”. Lalu kita pun menyanggupinya dengan kalimat pengiya, “insyaAllah”. Beres, berlalu. Tapi kemudian, pertanyaannya, dari sekian kali permintaan itu, berapakah kiranya yang berujung realisasi dimana kita menengadahkan tangan di ba’da sholat kita, menyebut namanya, sambil membayangkan wajah teman kita itu? Rasa-rasanya tak banyak.
Ah, maafkan saya. Sepertinya saya terlalu mengeneralisirkan persoalan dengan memakai kata ‘kita’ dalam pertanyaan itu. Harusnya itu ‘aku’, semestinya itu ‘saya’. Bukankah di awal sudah saya sebut jika permasalahan mungkin saja hanya pada saya. Maka jawaban ‘rasa-rasanya tak banyak’ itu memang jawaban saya. Saya kerap kali menyanggupi permintaan untuk mendoakan seorang kawan, tapi sekerap itu pula terlupakan begitu saja. Tak teringat lagi di ba’da sholat-sholat saya. Hanya ada ‘ny’,’qy’, ‘my’, dan huruf-huruf ya’ lainnya ; saya, saya, dan saya.
Ini mungkin tentang mencintai saudara seperjuangan seperti halnya mencintai diri sendiri, atau bahkan lebih. Maka, kalau begitu, ini juga tentang kehendak untuk melihat saudara-saudara seperjuangannya itu memperoleh kebaikan-kebaikan hidup, sebesar atau bahkan loebih besar dari yang diri ini dapat. Dan pada akhirnya, harusnya, jika rumusan itu yang berlaku, ini juga tentang doa untuk saudara seperjuangan yang sekerap lantunan doa untuk diri sendiri, atu bahkan lebih.
Ini kemudian boleh jadi akan terasa menyesakkan. Bagi saya yang kerap kali lalai mendoakan teman-teman perjuangan, bahkan yang dengan kesadaran telah mereka minta, harusnya ini membawa kepada perenungan dalam sebab ini bukanlah masalah yang enteng ternyata. Saat kau tak merasa perlu untuk mendoakan saudara-saudaramu, itu boleh jadi indikasi bahwa kau juga tak merasa punya kepentingan untuk menyaksikan kebaikan berhimpun di diri saudaramu itu. Maka selanjutnya, jika kau tak merasa perlu untuk mendapati saudaramu dalam kebaikan, tanda tanya besar mesti disematkan di dahimu apakah kau benar-benar mencintai saudaramu itu. Lalu, jawaban untuk itu mestinya kita eja perlahan, sembari merenungi sabda nabi ini; ‘Seseorang diantara kalian tidak dikatakan beriman sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri”.
Saya terlalu berlebihan untuk ini mungkin, tapi percayalah, ada korelasi antara dua hal ini. Keadaan ketika kau duduk takjim menengadahkan tangan sembari menyebut nama teman-teman kita dalam sebuah doa panjang, itu berbeda dengan keadaan ketika kau hanya ‘mampu’ mendoai diri sendiri. Kita pasti tahu sendiri akan hal ini. Hati kita pasti merasakan.
Maka sekarang, renungilah diri kita. Betapa sering kita berada dalam sebuah keadaan terjepit, lemah, dan tak berdaya, dimana sepotong doa dari karib adalah peneguh yang meyakinkan kita bahwa kita akan mampu melampaui ini semua. Juga, bayangkanlah, saat kita tak merasa ‘cukup’ hanya dengan doa kita sendiri, lalu kita meraih ponsel, mengetik dengan tulus sebuah pesan permintaan doa, lalu mengirimkannya ke teman-teman terbaik kita. Rasakanlah, bahwa doa teman-teman kita itu ternyata begitu penting, hingga kesadaran yang samalah yang mesti terpatri saat seorang teman meminta doa kita. Bahkan, dengan tingkatan yang lebih, kesadaran bahwa doa kita di setiap saat juga penting bagi teman-teman kita, adalah simpul yang meneguhkan untuk kita tetap dalam lingkar kebaikan.
Demikianlah, sebab sesama kebaikan itu laksana kawan karib, maka mengusahakan istiqomah untuk sebuah kebaikan, sekecil apapun itu, adalah pemantik untuk menarik kebaikan lain melingkupi diri. Termasuk masalah berdoa ini. Termasuk masalah menyertakan nama orang-orang terdekat kita dalam munajat ba’da sholat-sholat kita ini. Maka, membayangkan ini terejawantah menyeluruh, seperti membayangkan sebuah jejaring imajiner yang kokoh, yang kait-mengait melintas jarak, menembus belantara, meyebrangi lautan. Sebuah jejaring yang menguhkan, atas kesadaran penjagaan, dalam nuansa iman. Sebuah jejaring yang kita namai dengan tiga huruf sederhana yang kerap terlupakan; doa.
wallahu a'lam
Tak ada yang salah sebenarnya dengan jawaban itu. Sebab, keberhasilan kita, amat mungkin sekali bukan karena usaha kita semata, atau doa-doa kita saja, tapi juga oleh sebab doa-doa orang sekitar yang tak terindera kita. Jika kemudian itu terasa menyentil di hati saya, permasalahan memang mungkin hanya ada pada saya semata. Keadaan memang jauh lebih menyentil ketika kau dihusnudzoni seseorang, padahal kau sama sekali tak pernah, atau amat jarang melakukan kebaikan yang dihusnudzonkan itu. Hmm..
Doa. Ini boleh jadi hal yang teramat sepele. Tapi, yang sepele ini lah yang barangkali seringkali terlalaikan. Bukankah teramat sering kita mendapatkan kalimat ini; “doakan, ya!”, atau, “Kawan, besok saya ujian, minta doanya, ya, semoga sukses”. Lalu kita pun menyanggupinya dengan kalimat pengiya, “insyaAllah”. Beres, berlalu. Tapi kemudian, pertanyaannya, dari sekian kali permintaan itu, berapakah kiranya yang berujung realisasi dimana kita menengadahkan tangan di ba’da sholat kita, menyebut namanya, sambil membayangkan wajah teman kita itu? Rasa-rasanya tak banyak.
Ah, maafkan saya. Sepertinya saya terlalu mengeneralisirkan persoalan dengan memakai kata ‘kita’ dalam pertanyaan itu. Harusnya itu ‘aku’, semestinya itu ‘saya’. Bukankah di awal sudah saya sebut jika permasalahan mungkin saja hanya pada saya. Maka jawaban ‘rasa-rasanya tak banyak’ itu memang jawaban saya. Saya kerap kali menyanggupi permintaan untuk mendoakan seorang kawan, tapi sekerap itu pula terlupakan begitu saja. Tak teringat lagi di ba’da sholat-sholat saya. Hanya ada ‘ny’,’qy’, ‘my’, dan huruf-huruf ya’ lainnya ; saya, saya, dan saya.
Ini mungkin tentang mencintai saudara seperjuangan seperti halnya mencintai diri sendiri, atau bahkan lebih. Maka, kalau begitu, ini juga tentang kehendak untuk melihat saudara-saudara seperjuangannya itu memperoleh kebaikan-kebaikan hidup, sebesar atau bahkan loebih besar dari yang diri ini dapat. Dan pada akhirnya, harusnya, jika rumusan itu yang berlaku, ini juga tentang doa untuk saudara seperjuangan yang sekerap lantunan doa untuk diri sendiri, atu bahkan lebih.
Ini kemudian boleh jadi akan terasa menyesakkan. Bagi saya yang kerap kali lalai mendoakan teman-teman perjuangan, bahkan yang dengan kesadaran telah mereka minta, harusnya ini membawa kepada perenungan dalam sebab ini bukanlah masalah yang enteng ternyata. Saat kau tak merasa perlu untuk mendoakan saudara-saudaramu, itu boleh jadi indikasi bahwa kau juga tak merasa punya kepentingan untuk menyaksikan kebaikan berhimpun di diri saudaramu itu. Maka selanjutnya, jika kau tak merasa perlu untuk mendapati saudaramu dalam kebaikan, tanda tanya besar mesti disematkan di dahimu apakah kau benar-benar mencintai saudaramu itu. Lalu, jawaban untuk itu mestinya kita eja perlahan, sembari merenungi sabda nabi ini; ‘Seseorang diantara kalian tidak dikatakan beriman sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri”.
Saya terlalu berlebihan untuk ini mungkin, tapi percayalah, ada korelasi antara dua hal ini. Keadaan ketika kau duduk takjim menengadahkan tangan sembari menyebut nama teman-teman kita dalam sebuah doa panjang, itu berbeda dengan keadaan ketika kau hanya ‘mampu’ mendoai diri sendiri. Kita pasti tahu sendiri akan hal ini. Hati kita pasti merasakan.
Maka sekarang, renungilah diri kita. Betapa sering kita berada dalam sebuah keadaan terjepit, lemah, dan tak berdaya, dimana sepotong doa dari karib adalah peneguh yang meyakinkan kita bahwa kita akan mampu melampaui ini semua. Juga, bayangkanlah, saat kita tak merasa ‘cukup’ hanya dengan doa kita sendiri, lalu kita meraih ponsel, mengetik dengan tulus sebuah pesan permintaan doa, lalu mengirimkannya ke teman-teman terbaik kita. Rasakanlah, bahwa doa teman-teman kita itu ternyata begitu penting, hingga kesadaran yang samalah yang mesti terpatri saat seorang teman meminta doa kita. Bahkan, dengan tingkatan yang lebih, kesadaran bahwa doa kita di setiap saat juga penting bagi teman-teman kita, adalah simpul yang meneguhkan untuk kita tetap dalam lingkar kebaikan.
Demikianlah, sebab sesama kebaikan itu laksana kawan karib, maka mengusahakan istiqomah untuk sebuah kebaikan, sekecil apapun itu, adalah pemantik untuk menarik kebaikan lain melingkupi diri. Termasuk masalah berdoa ini. Termasuk masalah menyertakan nama orang-orang terdekat kita dalam munajat ba’da sholat-sholat kita ini. Maka, membayangkan ini terejawantah menyeluruh, seperti membayangkan sebuah jejaring imajiner yang kokoh, yang kait-mengait melintas jarak, menembus belantara, meyebrangi lautan. Sebuah jejaring yang menguhkan, atas kesadaran penjagaan, dalam nuansa iman. Sebuah jejaring yang kita namai dengan tiga huruf sederhana yang kerap terlupakan; doa.
wallahu a'lam
Saat lama tak menulis. Saat merasa menulis adalah sebuah kebaikan, maka mengusahakannya untuk tetap terjalani, adalah sebuah usaha juga untuk menarik kebaikan lain. insyaAllah
24 comments:
yup.. do'a terlihat biasa, padahal hakikatnya itu luar biasa...
Jadi inget : jangan2 apa yg kita dapetin saat ini bukan krn terkabulnya doa kita, tapi doa org2 yg dgn tulus menyayangi n mendoakan kita...
Jfs n reminding mas iqbal...
larut dalam rangkaian kata penuh makna ini :)
mengingatkan diri btapa pentingnya unt sling mendoakan....jazakallah mas iqbal...semoga keberkahan menyertaimu ^__^
Doa org yg sdang berpuasa jg biasanya mdh diijabah loh..
doa orang tua juga yang utama..:)
Trimz bang !
Maka dalam tulisan Bang Gaw, ia memohon doa dari orang2 karena tak pernah tahu doa siapa yg terkabulkan.
Eh, tapi memang menjadi beban ketika seseorang meminta doa pada kita, kita menyanggupinya, lalu kita lupa. Hingga kemudian ia berujar, "makasih atas doanya yaa!" duh! Apakah ini sebuah bentuk kelalaian?
*kita? Kayaknya aku aja deh --'
yup... doa orang tua... apalagi doa ibu
Makasih do'anyah *loh..
Iya..
#merenung
alhamdulillah.. :)
Ada.
Bener :)
--sedang butuh banyak doa--
:)
Baca judulnya jadi inget lagu maliq. ;d
iya, harus saling mendoakan kebaikan ...
huaa..msti refleksi inih.
ngena,
dan jadi inget DDU salim a fillah,
doamu tak tergantikan....
# ibu #
kapan antum singgah di Sby [lagi]? Eh, seumur-umur antum kan belum pernah menginjak lantai rumahku kan?
# bukankah di bulan depan akan ada alasan untuk itu?# hahaha
hm...jadi inget...brapakah janji untuk mendoakan tak tertunaikan? mungkin mending jawabnya, "kalo inget ya...hehe" (jujur banget)
makasih doanya bal :D *heh???
keren
Saya share link-nya di FB boleh yah?
Hoho. Boleh saja, rif. Masak gboleh.
Sip2..
Post a Comment