Mungkin ini lah memang beda daerah pesisir dan pegunungan. Maka ketika beberapa hari berikutnya seorang rekan perjalanan bergumam tentang keadaan pulau karimun dengan kalimat ‘subhanallah, ya, di sini. Siapa kira-kira dainya’, saya menyahutinya dengan, ‘memang begini kalau daerah pesisir. Dulu syiar islam lebih sering lewat laut’. Sebab yang saya tahu, memang kebanyakan daerah pesisir, meski itu hanya pulau kecil terpencil, kultur islamnya masih sangat kental. Pulau Gilli di probolinggo, serta pulau Masalembu di utara Madura adalah contoh konkritnya. Berbeda dengan daerah pegunungan, lebih sering islamnya samar-samar hingga mudah digoncangkan. Daerah lereng gunung Bromo adalah contohnya, selain, tentu saja, merapi.
Ya, merapi. Setelah hanya bisa menyeksamainya lewat berita di televise, atau membacanya via internet, akhirnya berkesempatan juga saya mengunjunginya, mesi tidak secara keseluruhan. Adalah Pak Joko Kadir, tokoh utama dibalik pengalaman pertama saya ini. Sebenarnya, kalau mau jujur, siang itu saya masih lelah. Membayangkan untuk rebahan sejenak sebagai pengganti waktu tidur semalaman yang hanya dihabiskan dengan terjungkal-jungkal di kendaraan, sebenarnya opsi menarik, tapi ajakan untuk melihat pembangunan salah satu masjid di merapi, ternyata jauh lebih menarik.
Masjid yang saya kunjungi berada di desa nduwet. Daerah Merapi pertengahan, belum sampai ke atas, begitu penjelasan pak Joko. Rencanya, masih lanjut beliau, masjid ini bakal menjadi base camp apabila terjadi apa-apa di atas. Selain tentunya sebagai pusat syiar islam di sana.
Tidak sampai lama waktu saya habiskan di sana. Sebab pukul satu siang, ada kewajiban lain yang mesti ditunaikan; menghadiri pernikahan teman di Auditorium UNY. Maka ba’da sholat dhuhur berjamaah di sebuah ruangan yang difungsikan sebagai masjid pengganti, meluncur turunlah kami semua.
Tapi pengalaman yang lebih berkesan tentang Merapi justru datang keesokan harinya. Bermula di waktu Kajian Ahad pagi Masjid Jogokariyan. Saya ikut, meski tak berada di ruang utama. Kang Puji pengisinya, satu dari sekian dai yanbg sering diundang ke Bontang. Mungkin, karena melihat wajah saya yang asing, di akhir-akhir kajian tersebut, seseorang yang duduk di dekat saya menanyai nama saya dan asal. “iqbal, Bontang”, begitu jawaban versi singkatnya, yang tentu saja tak sependek itu sewaktu dialog persisnya. Dan menjadi antusiaslah saya ketika kemudian si lelaki yang duduk tak jauh dari saya itu menyebutkan seorang kenalan yang ia sebut sebagai temannya yang juga dari Bontang –yang secara kebetulan yang tak kebetulan, adalah mantan teman sekantor saya. Maka saya pun balik bertanya nama. “Fani”. “Fani Pro-U?”. Ada anggukan. Oh my Rabb, ini pasti bukan kebetulan, ini lah ternyata orang yang selama ini namanya sering tertulis di buku-buku pro-u yang say abaca, yang sewaktu kuliah pernah saya hubungi terkait bedah buku Salim A Fillah, serta yang sebulanan yang lalu membuat saya sedikit terkejut melihat namanya tercantum juga di buku tamu mess mubaligh masjig Baiturrahman Bontang.
“nanti kut saja ke Merapi. Sama Kang Puji juga. Melakukan pembinaan di sana. Kita sedang membuat Pesantren Masyarakat Merapi-Nerbabu”, pada akhirnya, tawaran ini lah yang paling saya suka dari bagian ini. Membuat saya punya kegiatan di ahad pagi ini.
Begitulah. Itulah awal yang membuat saya sedikit banyak mengerti kehidupan orang lereng merapi. Sebab ternyata, selain melakukan kunjungan ke pesantren yang sedang dibangun, tujuan kedatangan ke merapi kala itu adalah juga untuk mencarai sapi kurban di penduduk local yang nantinya untuk disembelih pas hari kurban di desa merapi juga. Ditemani Hafidz, seorang Dai muda yang ditugasi mengajar di sana, kami kemudian mengunjungi rumah-rumah penduduk yang sekiranya memiliki sapi yang mau dijual dan memenuhi syarat untuk dijadikan hewan kurban. Dari situ lah kemudian saya tahu tentang begitu ramahnya oraang-orang lereng merapi itu, dalam kesederhanaannyaa, mempersilakan kami untuk berkunjung ke rumahnya. “di sini, sarapan bisa tiga kali”, begitu kata hafidz membisiki saya. Dan benar saja, belum lewat satu jam kami dijamu makan siang oleh salah satu penduduk yang sepertinya menjadi kyainya dusun tersebut, semeja santap siang sudah menunggu kami di persinggahan berikutnya. Benar-benar keramahan khas orang kampung yang bahkan sudah sulit ditemui dikampung-kampung masa kini.
Tujuan terakhir kami kemudian adalah lokasi pembangunan Pesantren Masyarakat Merapi-Merbabu. Di sana, seperti yang dijelaskan oleh Kang fani, rencananya bakal dibina penduduk local merapi yang selanjutnya bertugas untuk menjadi dai di daerah asalnya. “Kalau mengandalkan dai dari kita di setiap desa rasanya berat. Cara ini lebih efektif”, kira-kira begitu beliau menjelaskan.Sungguh, sebuah ide besar yang hanya dimiliki oleh orang-orang besar.
Menjelang sore, mobil yang kami tumpangi pada akhirnya meluncur turun. Membawa serta cerita yang memperkaya benak. Malam harinya nanti, pengalaman lain yang tak kalah menggairahkan,dalaam hitungan jam, bakal segera dipentaskan; karimunjawa.
Seperti tak sabar saja menantinya.
(bersambung—silakan baca-baca catper sebelumnya; edisi di Bandara dan masjid jogokariyan)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
12 comments:
Jadi inget buku Anak2 Merapi... *belum baca* >.
waktu ke shelter merapi di Cangkringan, ada satu da'i yang mengurusi mushola setempat, da'i itu pun ternyata da'i keliling, dan bukan berasal dari daerah merapi.
Jadi ingat belum bikin jurnal terkait hal itu dan mudik kemarin :D
jyaaah.. padahal menantikan cerita pas di nikahan mba lani. kok malah udah ke karjaw aja...
@rifzahra...itu bukunya siapa, ya, rif?
@akunovi...iya, kemampuannya masih da'i kelililing gitu. Hafidz yang saya temui kemarin juga keliling ke desa-desa gitu (ah, suatu saat ingin menuliskan bagian ini sendiri). Padahal 'mereka', yang saya dengar dari Kang Fani, menempatkan satu orang perdusun.. Wuih, kalah telak kita
@akuai...Apalah yg bisa diceritakan dari sebuah pesta pernikahan? ada makanan, ada foto-foto, ada tamu undangan. Beda kasus kalau aku bisa datang pas akadnya... Itu mungkin bisa menjadi lain... Ntar aku tulis kado pernikahannya
Terharu...
oooo
lo, bisa terharu jg, ya, baca jurnal ini? :)
@fajar... ati2 laler (*haruse ditambahi tanda seru iki)
nggo aku didiskon lah.. perkecualian
ha ha.... iki termasuk dengan 'berbicara dengan bahasa kaumnya" kah? :p
perjalanan yang berkesan ... he he he ...
Hehe. Bgtulah, kang!
Post a Comment