Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta
(Nisan, Chairil Anwar)
Suatu ketika, dalam sebuah ceramah terawih di masjid kampus UGM, menkominfo, Pak Nuh, pernah menyatakan bahwa semakin puncak kebutuhan seorang manusia maka semakin sedikit orang-orang yang bisa berpartisipasi untuk bisa memenuhi kebutuhan itu. Dalam bahasa matematika, pernyataan ini dinyatakan dengan saat dy/dx mendekati 0.
Kematian. Lagi-lagi kematian yang harus saya tulis. Apa mau dikata, memang inilah yang benar-benar terjadi. Memang inilah yang sedang mengaduk-aduk emosi saya kali ini. Benar-benar mengaduk. Hingga saat ini.
Kemarin, hari rabu, sekitar jam sepuluh pagi, sebuah SMS masuk ke ponsel saya. Isinya singkat, tepat, mengena. ”Bal bisa ke RS? Sekarang Ari buruk banget. Please”. Deg. Seketika saya merinding, terbengong sesaat. Berbagai macam pikiran berkelebat. Sudah sebulan lebih teman saya itu diopname di RS. Dengan hasil diagnosa penyakit yang gonta-ganti mulai dari amnesia plastis, leukimia, hingga MDS. Sudah berbagai macam SMS dan perbincangan mengenai dia selama ini. Sebelum-sebelumnya saya tak seperti ini.Tapi sms kali ini..sangat berbeda. Saya galau. Kontrakan sepi, semua sudah berangkat ke kampus. Saya kemudian menghubungi seorang teman. Mengabarkan ini. Mengajaknya untuk ke RS. Tak bisa. Ia ada keperluan ke Dosen. Saya hubungi teman satunya. Tak bisa juga. Ada kuliah sebentar lagi. Teman saya yang ketiga kemudian saya hubungi. Alhamdulillah bisa.
Tapi kemudian ia tak kunjung datang menjemput saya. Hati ini sudah galau, tak sabar lagi. Entah apakah ini efek relativitas waktu atau tidak. Yang pasti menunggu kali itu terasa lama sekali. Saya coba menenangkan diri dengan membaca Al-qur’an. Tapi suara saya bergetar. Ya Allah...ada apa ini.
Alhamdulillah kemudian suara motor terdengar. Teman saya datang. Saya pun bergegas mengambil helm. Segera meluncur ke RS Dr Soetomo.
Baru saja keluar dari area ITS, teman saya SMS. ”Bal, bawa teman-teman yang banyak ke RS”. Ya Allah, ini pasti serius. SMS pendek seringkali dikirimkan oleh seseorang yang sudah tak tahu lagi harus menuliskan apa. Entah apa yang terpikirkan saya kala itu. Tak tahu sudah. Semuanya berebut memenuhi pikiran. Mata saya mulai memanas.
Hanya tiga orang teman lelaki yang ada di luar ruangan ketika kami tiba di RS itu. Tak ada muka optimis sama sekali di wajah mereka. Saya bergegas masuk. Suasana sebenarnya sepi, sudah sedikit pasien yang diopname di ruangan lebar itu. Tapi seketika itu menjadi tidak. Ada badai yang mengguruh. Hanya ada bapak dan ibunya disana. Mengapit di kedua sisi. Ah saya tak mampu menatap, tak mampu lagi menatap ibu yang sudah sebulan lebih menjaga anaknya di RS ini. Ya Allah, matanya merah. Merah dan berair. Apa gerangan yang sedang berkecamuk di dadanya? Apa kiranya harapan yang mulai perlahan terhapus dari hatinya. Ah, siapakah orang yang tahan melihat seorang ibu yang menangis untuk anaknya.
Dan teman saya, Bustari, nampak tersengal kesulitan bernafas. Berbagai peralatan medis memenuhi hidungnya. Sang bapak, ya sang bapak yang terlihat pendiam di tiap kali kunjungan saya ke situ, nampak telaten membisikkan kalimat tauhid di telinga teman saya itu. Duhai, apakah yang kau bayangkan saat seseorang sudah membisikkan kalimat itu. Persis di dekat telinga. Dengan sura perlahan. Dengan suara yang dipenuhi sesenggukan. Dan di depanmu, penuh oleh pemandangan yang teramat menggetarkan. Seorang bapak yang dulu mungkin telah mengumandangkan adzan di hari pertama teman saya itu (dalam nuansa yang diliputi keharuan mungkin), hari ini....... membisikkan kalimat tauhid di telinga anaknya itu dengan nuansa berbeda.
Tapi kemudian saya mencoba mendekat. Menyentuh tangan kanannya. Pias. Dingin. Sudah teramat dekat mungkin. Kedua orang tuanya menoleh. Menggumamkan sesuatu. Tapi suaranya gentar. ”Perutnya kembung dan keras”. Saya raba perutnya. Benar. Kenapa jadi begini? Saya pegang kembali tangannya. Mencoba menggenggam. Mencoba berpartisipasi memenuhi kebutuhannya. (*saat itu, saat itulah Ya Allah. Hamba merasa begitu tak berdaya. Merasa kecil. Merasa hina. Apalah artinya kami. Betapa sombongnya kami,....yang baru saja ini, atau kemarin, atau seminggu yang lalu, atau setahun yang lalu, atau bahkan di setiap hari kami, kami melupakanMU*).
Saya lalu beringsut mundur. Mencoba mencari keterangan dari teman yang lebih dulu datang.
”Hati dan limpanya dipenuhi darah kotor. Itu darah kotornya sedang disedot lewat selang yang merah muda. Semakin banyak yang dikeluarkan semakin baik. Tekanan darahnya 90/60. Nadinya 40, padahal normalnya itu sekitar 16-25.”
Apa artinya itu? Tak banyak yang terpikirkan. Tapi kemudian yang terlihat para medis terlihat bergegas menghampiri. Menyuntikkan sesuatu. Mengambil sampel darah. Tiga sampai empat orang yang menangani. Bersamaan dengan itu ketua jurusan dan rombongan datang. Keadaan tak banyak berubah. Menit-menit berjalan mencekam. Aura murung menyelimuti.
Satu persatu kemudian teman-teman datang. SMS-SMS itu telah menyebar dengan cepat. Sementara keadaan kian memburuk. Mata-mata mulai memerah. Air mata mulai banyak merembes. Ya Allah!!! Dia teman kami. Bagaimanakah ini?
Dan tiba-tiba suara mengeras. Suara ibu teman saya itu. Tak jelas lagi yang dia ucapkan. Tangis telah mengaburkan semua. Teman saya itu mulai tak tersengal lagi. Tapi ini pertanda yang sangat buruk sekali. Dan tangis itu....amat memilukan mendengarnya, amat menyesakkan melihatnya. Bagaimanalah? Ia seorang ibu, seorang ibu yang telah melahirkannya, yang telah merawatnya dengan cinta, yang pastinya telah betapa merindunya tahun-tahun belakangan ini menanti bungsunya pulang membawa gelar ST. Dan hari ini.........
Lalu tangis itu pecah sempurna sudah. Innaa lillahi wa innaa ilayhi roji’un. Teman kami , saudara kami yang bersahaja, sie perijinan tangguh kami, pemain futsall kami yang selalu bersemangat, komting thermodinamika I kami, teman begadang mengerjakan laporan, koordinator latihan bulu tangkis kami, tempat kami ngutang beli pulsa, menghembuskan nafas terakhirnya. Di sepuluh hari ramadhan ini.
SMS duka bergerak cepat. Suara-suara bergetar mengabarkan berita. Berita cepat terkirim. Forward! Forward! SMS yang sama memenuhi inbox. Dihapus, datang lagi. Ah siapa lagi yang peduli pulsa. Semua dikabari. Entah sudah tahu atau belum, entah sudah mendengar atau tidak. Berita duka itu menyerbu.
Mata kamipun basah. Sakit. Tertunduk.
Ya Allah, sungguh! Di bulan ramadhan ini, seperti halnya berita itu yang deras menyerbu, maka begitupula deraskanlah ampunanMu. Atas mungkin kelalaian yang ia lakukan. Atas kesalahan yang ia perbuat. Bukankah ini adalah bulan penuh maghfiroh ya Allah? Bukankah ampunanmu deras menyerbu bumi? Jika toh, jika toh memang ia punya salah pada kami, kami ikhlas Ya Allah. Kami ikhlas. Mudahkanlah jalannya! Sama halnya ia dulu telah banyak memudahkan urusan kami.
Selamat jalan kawan! Sungguh, tekkim 2004 kehilangan salah satu komponen terbaiknya.