Jawababnnya ada pada teori kelarutan. Alasan kenapa sejumput garam tak mampu lagi melarut dalam segelas air itu teralamatkan pada teori kelarutan. Lebih tepatnya, mungkin pada dua hal ini: jenuh yang sudah tercipta, atau pengadukan yang belum terlalu benar dan merata. Yang pertama berbicara tentang titik maksimal yang sudah tercapai, yang kedua menyinggung usaha yang belum nyata.
Garam tentu mempunyai nilai kelarutan tertentu, tergantung apa pelarutnya. Seringnya, dinyatakan dengan satuan berat per satuan volume pelarut. Nilai inilah yang kemudian tak bisa terlampaui. Jadi jika dalam segelas larutan garam konsentrasinya sudah mencapai kelarutan garam dalam pelarut tersebut, maka sejumput –atau bahkan sebutir-- garam yang kita tambahkan tak akan mampu lagi terlarutkan. Larutan itu telah jenuh dengan garam, maka garam yang tertambahkan hanya akan mengendap di dasarnya. Tak melarut. Atau kalau kita memaksa mengaduknya dengan sangat maka butir-butir garam itu hanya melayang-layang untuk kembali mengendap juga kala kita menghentikan pengadukannya.
Nilai kelarutan tersebut, tentu saja diperoleh dari serangkaian penelitian dan percobaan. Sedikit demi sedikit garam ditambahkan ke sebuah pelarut sampai sebuah titik saat pelarut itu tak mampu lagi melarutkan garam. Inilah kemudian nilai kelarutan tersebut. Nilai yang tak mungkin terlewati. Tentu, pada koridor parameter tertentu.
Tapi akan selalu ada celah untuk berkelit dari keadaan. Rekayasa. Larutan yang telah jenuh dengan garam masih mungkin disusupi lagi garam. Merekayasa keadaan menjadi solusinya. Karena memang nilai kelarutan itu tergantung parameter tertentu. Temperatur salah satunya. Sudah jamak diketahui bahwa berbeda temperatur berbeda pula nilai kelarutannya. Dan karena lebih sering nilai kelarutan suatu zat naik seiring kenaikan temperatur, maka yang perlu kita lakukan kala nilai kelarutan sudah tercapai—larutan telah jenuh-- dan kita masih menginginkan sejumput garam itu melarut di dalamnya, adalah dengan menaikkan temperaturnya. Demikian, terus-menerus. Sampai menaikkan temperatur tak lagi mempunyai nilai yang signifikan untuk menaingkatkan kelarutannya. Maka saat itu, saat tak ada signifikansi dari usaha menaikkan temperatur itu, besarkan saja wadahnya. Ganti gelas itu dengan sebuah teko, lalu tambah pelarutnya.
Tapi berhati-hatilah! Berhati-hatilah tentang sebab kedua yang tersebut di awal. Jangan-jangan usaha kita mengaduk garam yang kuranglah yang menjadi penyebab gagalnya garam itu melarut dengan sempurna. Saat itu, jangan terburu-buru merekayasa keadaan, apalagi merutukinya. Cukuplah dengan mengevaluasi cara kita melarutkan garam. Jangan-jangan yang kita larutkan masih berupa bongkahan garam kasar yang luas kontaknya dengan pelarut mengecil. Jangan-jangan cara mengaduk kita yang masih lemah tanpa daya. Jangan-jangan kita yang kurang sabar. Untuk itulah, kemudian, menjadi sangat penting untuk menyadari kelarutan garam. Tentang berapa garam yang mampu terlarut. Kesadaran ini, akan memberi kita mata untuk bertindak. Tidak membabi buta menambahakan garam pada larutan yang telah jenuh, tak juga terlalu tergesa memanaskan larutan bahkan ketika hanya separuh saja nilai kelarutan yang telah tercapai.
Jenuh! Mungkin bukan hanya tentang keadaan yang telah menyesak. Mungkin bukan tentang lingkungan yang menyempit dan menggelisahkan. Mungkin juga bukan tentang kebutuhan sebuah wadah yang lebih besar dan melegakan--merekayasa. Mungkin, ini tentang usaha mengaduk yang kurang. Mungkin tentang kita. Kita!
Mengetahui kapasitas diri menjadi penting. Mengenali diri sendiri menjadi utama. Sampai manakah batas kita. Tapi, tak sesaklek nilai kelarutan tadi—dimana nilainya sudah tertentu dan tak bisa dilanggar, tentang nilai diri kita ini lebih lentur. Jika dalam pelarutan garam tak mampu melampau nilai kelarutannya, maka pada kita, kaidahnya menjadi begini: ‘jika kita sudah mampu mencapai suatu titik, maka kita harus mampu lebih dari titik itu’. Sebab kita memiliki sesuatu yang namanya pembelajaran. Jika kita sudah mampu melewati suatu keadaan yang begitu berat, sudah seharusnyalah kita mampu melewati suatu keadaan yang lebih berat dari itu.
Maka saya menyukai pernyataan rekan kerja ini. Rekan kerja yang ‘terlunta-lunta’ di korsel setelah beasiswa S2-nya diputus secara sepihak. Bekerja sebagai pencuci piring di restoran lalu lanjut menyapu lantai di stasiun, sepulang dari laboratorium di malam hari. Katanya, “jika saya diberi kesempatan untuk mengulanginya, maka saya meminta yang lebih berat dari itu. Agar saya tahu sampai sebatas mana kemampuan saya”. Ia ingin tahu titik jenuh dirinya.Sebab kesadaran untuk itu menjadi penting.
Jenuh. Memang tentang kita dan keadaan. Tentang usaha kita dan daya tampung lingkungan. Dan kita punya cara sendiri pastinya untuk mengatasinya. Dengan alasannya tentu. Antara menaikkan suhu, memperbesar wadah dan menambah pelarut baru, atau mengubah kerja kita dengan cara baru. Atau kolaborasi kedua atau ketiganya.
Jenuh. Mungkin tak terselesaikan dengan sekedar jeda.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
54 comments:
LIKE!
oya saudara, jika tak keberatan, sy meminta komentar anda pada tulisan ini http://iqew.blogdetik.com/?p=20
terimakasih atas partisipasinya
Bal, bingung ,,
cerita tentang perbedaan manusia dengan garam....
@azurival...ok..meluncur
@malambulanbiru...semakin dirimu bingung semamin aku seneng..haha
@drprita...he he..
ahahaha ..jahat *tendang!
ngomong-ngomong, jadi berasa kayak waktu praktikum
qeqeqe...*tangkis...balas dengan tendangan tanpa alasan
praktikum jaman kapan? tw ta?
pernah laah. H2So4, KCl,NaCl, terlarut, penglarut, pekat, erlenmeyer, tabung reaksi, dll
eh, jurusan apa sih?
apa pas SMA?
pertanian, jurusan ilmu tanah
malah jadi bahas kuliah
harga per meter di jogja berapa sekarang? wkwkw
*wah, kirain ilmu sosial
wah, au'. ilmu tanah, pertanian. bukan pertanahan, notariat
iya iya....
kapan2 aku bisa tanya2 tentang itu
oke, dik Iqbal. selamat melarutkan garam hari ini ;)
kata dokter suruh diet garam :)
wah,,itu statement plg menyeramkan buatku dari mas a**,,sangat menjelaskan bagaimana karakter orang yg menyampaikan..
Eh,kalo garam sudah tdk larut diair trus dganti wadahnya..bskah kuartikan kalo org jenuh maka berpindahlah ketempat lain gt?
keren banget analoginya :D
lalu diselesaikan dengan apa?
Wew, keren. Subhanallah.. ^__^
Jadi ingat praktikum kimia dasar..
Baca koment2 diatas tnyt ada yg dr ilmu tanah?hapal masih dgn tanah organosol, podsol, dsb etc itu?
Mas iqbal,sory jd oot. Tp jurnalnya bagus lho..
menurut mb lani giman? :)
kalo kasus gram kan ada tiga hal tersebut...
orang SDM haruse bs menjawab ini :p
tapi komen ini kurang keren... :D..:p
untuk garam..diselesaikan dg tiga hal yg sdh disebut....
utk yg lain..mmmm...
subhanallah balik :)
wah pernah praktikum itu juga?
mb siska ilmu tanah juga kah?
Aku dr agronomi yg di semester 4 juga dijejali dgn dasar2 ilmu tanah yg lama2 kyknya jadi sama dikepalaku.. Tp setidaknya aku tau di kaltim ini umumnya tanah PMK ato ultisol...xixixi cuma nyangkut yg itu sahaja.
lah aku kan nanya ma yg punya tulisan..
Kalo menurutku yang kamu blg org sdm ya jawabannya lain lagi nanti
Jadi ingat masa praktikum di sma haha
tanah PMK ato ultisol itu berari apa mb? cocok untuk apa kek... kok kayaknya buah2an yg ditanam di sini nggak manis... mangga belakang rumah jauh manisnya sm made ini pasuruan :)
di tulisan di atas nggak ada jawabannya kah, mb?! kalau memang nggak ada, artinya saya tak memeberikannya (maka jangan tanya), atau tak ingin menyimpulkannya (dan membiarkan pembaca menyimpulkannya sendiri), atau justru tak tahu.....
jawaban lain? wah, itu tak masalah!!
di SMAnya dulu ada praktikum uji asam pakai bunga kah?? ha ha
bookmark dulu, bacanya setelah pulang rumah sakit aja.. hehe
ok...
yup..karena lebih bagusnya kalo jeda tak sekedar jeda..sambil refleksi
omong-omong tentang melewati batas kemampuan..saya selalu teringat tokoh chinmi, hehe, sungguh kurang keren sekali
nice post eniwei..bikin mikir :)
chinmi? sy g kenal...sepertinya tokoh komik.... Dan sy g biasa bc komik
---dan tulisan yg mikir itu sulit mbuatnya :)
tidak juga berharap mas kenal, hanya meracau saja, hehe
i know i know :D
kalo mw dikenalin jg gpp... Ikhlas kok
ga ah..takut nanti jadi suka :p
apakah menjadi salah kalau saya bakal suka?
hehehe..gatau juga sih..kalo menurut saya sih engga..tapi kan pada dasarnya mas iqbal gasuka komik, dan masih banyak orang memandang, untuk kalangan tertentu, suka baca komik itu hal yang kurang pantas (soalnya saya pernah ditegor temen akhwat gara-gara suka baca komik)
eniwei..gara-gara komen disini saya jadi buka-buka obrolan chinmi di lapak saya..dan jadi teringat banyak hal, hehe
wiyyyyyyy
kereeeennn..
Fisika banget
seru2
wis suwi ga weruh tulisan model ngene
lo, iki fisika ta?? duduk kimia?
weruh= tahu
apa g wery=uh diganti moco..hehe
weruh versi kene ana sing artine = liat
iyo ding kimia yo..haha
uow..memancing di air weruh juga bisa...
nah itu...kimia-kimia dasar
sial >,,< huwm
Tulsian yang sangat menyentuh. Kita manusia diciptakan sebagai makhluk yang berakal. Dan manusia dikenal sebagai makhluk yang sangat pandai beradaptasi dalam artian positif (tak terlarut dalam artian yang negatif).
ow ow..bu manik komen... :)
bu,,ada yang grogi bu manik komen ni :D
dong dong
apa itu dong dong?? :D
Bal...
*speechless
ini komen pertama yg speechless...
mungkin sesuai keadaannya
he eh
Post a Comment