Aku pernah mengatakan itu, sebagai sebuah pilihan saat masa kanak-kanak SD. Di sebuah SD pedesaan yang kau tak harus memakai seragam sesuai hari itu untuk dianggap disiplin. Orang-orang menyebutnya sebagai cita-cita. Sebuah keinginan tentang akan menjadi apa kelak. Kataku, meski aku tak tahu pasti kala itu, aku ingin menjadi ibu rumah tangga. Mungkin aku tak tahu pasti dengan jawabanku. Tentang akan seperti apakah itu. Hanya yang aku tahu dengan pasti, ibuku sangat-sangat hebat. Dan dia seorang ibu rumah tangga.
Aku tentu kemudian menjalani masa SMP. Seperti kebanyakan perempuan-perempuan lain. Aku tentu melihat televisi, menikmati bermunculannya boy band, juga mulai sering berkaca sambil bergumam ‘cantikkah aku?’. Tak ada yang spesial sampai perlahan aku mulai menertawakan cita-cita SD ku yang tiba-tiba terasa norak, kampungan, tak intelek, dan terbelakang. Bukankah akan menyenangkan jika bisa menjadi pramugari, sekretaris, penyiar televisi? Banyak uang, menjadi bintang, mandiri, dan tentu saja aku akan bisa membahagiakan ibuku. Kau tahu, ujung cita-citaku tetap mulia.
Aku sempurna mengeliminir cita-cita masa SD itu ketika sudah SMA. Mengenyahkannya dalam kamus kehidupanku, dan mencoretnya sebagai salah satu pemberhentian pada peta perjalanan masa depanku. Tentu, tentu aku masih ingin menikah. Masih ingin mempunyai anak-anak. Tapi aku tak ingin menjadi ibu rumah tangga, jika yang dimaksud dengan itu adalah melahirkan lalu berkecimpungan dengan tetek bengek rumah untuk melayani suami dan membesarkan anak-anakku. Tidak! Betapa itu begitu jauh dari dunia intelektualitas dan betapa itu bertolak belakang dengan dengan diriku yang ingin teraktualisasi. Aku percaya, seorang pengasuh, serta beberapa pembantu, akan mampu menangani urusan itu. Toh, aku akan cukup mampu membayar mereka semuanya.
Maka aku melanjutkan kuliah. Memilih sebuah jurusan yang mendekatkanku untuk berkarir di dunia kerja. Mengalami euforia dunia intelektualitas kampus. Membayangkan, tentang, ah, betapa mimpi itu kian menyata. Aku mulai merancang tentang akan menjadi apa aku selepas lulus. Tentang kemungkinan menikah di dua sampai tiga tahun usia kerjaku. Mungkin akan mempunyai anak dua tahun sesudahnya. Anak kedua lima tahun sesudahnya. Tapi tentu saja, punya anak tak akan menghentikan aktivitas intelektualisasi diriku di dunia kerja. Maka untuk itulah aku hanya menargetkan dua orang anak sesuai arahan pemerintah. Bahkan, satu pun tak masalah.
Sampai di sebuah titik, di kisaran tingkat tiga kuliah, kesadaran itu menggoncang segala pemikiranku. Aku mulai membaca banyak buku, mulai berinteraksi lebih intens dengan orang-orang hebat. Dan, betapa tersentaknya aku, orang-orang hebat itu, adalah seorang ibu. Seorang ibu yang seringkali didentikkan dengan sumur, kasur dan dapur. Seorang ibu yang ikhlas dan bahagia membesarkan anak-anaknya. Kesadaran itu, sontak memulangkanku pada rumah, pada cita-cita dahulu. Pada seorang perempuan sepuh yang tak pernah lelah melakoni perannya. Pada seorang perempuan yang profesinya kubanggai tiap kali mengisinya dalam formulir-formulir di jaman SD. Pada cita-cita lugu masa kanak-kanak. Maka, sejak saat itu, cita-citaku sungguh-sungguh sederhana: aku ingin bahagia dengan keluargaku, membesarkan anak-anak, dan mengantarkannya ke jalan cinta.
Maka sejak saat itu, aku tak terlalu antusias mencermati dunia kerja. Tak terlalu memikirkan tentang di perusahaan mana aku akan bekerja justru ketika teman-teman mulai ramai membincangkannya. Tapi, tentu, itu tak mengurangi minat belajarku. Tak membuatku loyo untuk menyelesaikan studiku. Tentu, anak-anakku kelak menginginkan seorang ibu yang pintar, seorang ibu yang berwawasan luas, selain tentu saja seorang ibu yang penuh cinta. Aku akan tetap mampu mengantuaklisasikan diriku, bahkan lebih, hanya dengan menjadi seorang ibu. Menjadi ibu bagi anak-anakku, menjadi istri bagi suamiku. Ibu dan istri yang tak berhenti pada sebuah status. Tapi istri dan ibu untuk sebuah peran.
Maka, kini, di sini lah aku kemudian. Di sebuah rumah mungil tanpa penyejuk ruangan –sebab aku tahu itu tak baik bagi lingkungan. Di sebuah rumah mungil yang tak banyak perabotan wah, tapi berderet buku-buku. Tapi selalu ramai. Ramai oleh celoteh anak-anak. Anak-anakku. Tiga orang kini. Mungkin akan bertambah jika Allah masih berkenan memberi amanah. Maka, maukah kau? Maukah kau kuceritakan tentang hari penuh bahagia itu. Hari-hari tentang keajiban-keajaiban yang lahir dari tingkah anak-anakku. Keajaiban yang mungkin tak pernah aku tangkap jika aku membiarkannya di tangan pengasuh. Keajaiban yang mungkin tak tereksplorasi lebih jauh jika aku memilih jauh dari rumah dan membiarkan orang luar membentuk anakku. Ah, aku bersyukur, bersyukur tentang kesadaran yang tak terlambat itu. Kesadaran tentang betapa luar biasanya menjadi ibu, yang tak datang ketika semuanya serba terlambat. Ketika anak-anak menjadi asing dalam gendongan ibunya.
Mereptkan mungkin. Atau lebih tepatnya, merepotkan pada awalnya mungkin. Membesarkan anak kecil yang serba seenaknya: buang air seenaknya, nangis senak waktunya. Tapi, aku bahagia. Ternyata memang ada jenis kerepotan yang membahagiakan. Kerepotan yang terus membuatku belajar. Kerepotan yang terus membuatku berkreasi.
Ah, ini ternyata cita-cita agung itu. Tahulah aku kenapa ibu menangis haru di hari pernikahanku. Tahulah aku kenapa ibu berbinar bahagia di detik kelahiran bayi pertamaku. Dan, tahulah aku juga, kenapa ibu hanya berpesan ‘jaga baik-baik dirimu, ndok!’ ketika kukabarkan tentang aku yang diterima kerja. Ya, aku sempat bekerja memang setelah wisuda itu. Kerja yang tak berumur panjang. Sebab, kemudian aku tukar dengan sebuah pekerjaan lain, dengan jam kerja 7 x 24 jam, yang upahnya hanya dua : ridho suami dan anak-anak sholeh penyejuk mata.
Selamat datang di dunia cinta, para mama!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
57 comments:
terinspirasi dari sini :
http://www.facebook.com/notes/jazimah-al-muhyi/kenalkan-aku-seorang-ibu-rumah-tangga/498100451294
lha yo.. mosok malik wedok sik.. *gur moco judul
eh, itu fiksi ya.. bila ada kesamaan karakter dan sebagainya, boleh jadi disengaja
humm...
hehehe..
karir tertinggi *iki komen bar moco
Tapi wanita karir yg juga ibu rumah tangga hebat juga ada koq mbak..ibuku sendiri contoh nyatanya..
Qt 4 bersaudara takpernah merasa kekurangan kasih sayang^^
hehehehe..
nens.. ngomong ro sopo koq mba?
mau jadi ibu rumah tangga,
tapi tetep harus bisa melancong kemana-mana
masukkan bayi/anak ke dalam ransel
berangkat mbolaaang!
*maca judul - komen - lanjutne maneh le maca tulisan
kalau bahasaku: menemani atau membersamai tumbuh
Subhanallah.. Hidup Ibu!
SABUDI (sastra budaya indonesia)
mari kita jaga bersama!
aku? cantik dooooooong *munyer2 ngarep kaca
Bal, judul pake hurup besar *memenuhi permintaan untuk mengingatkan
Eh, bukan mbak ya? Maap maap, mas deh kalo gtu hehehe..
ibu full di rumah, ibu bekerja di luar rumah, semua sama mulianya...
gak ada yang lebih baik satu sama lain...
di rumah terus kalau kerjanya bergunjing dengan tetangga juga nggak lebih baik dengan yang bekerja di kantor atau di pasar demi kelangsungan rumah tangga mereka... nggak perlu mengucilkan satu sama lain, karena sama2 demi keluarga tujuannya...
pke...
sipp..
wah, tentu saja! ada..bahkan mungkin banyak..
ibunya mb/mas ini mungkin salah satu contohnya..
@terimakasih sudah mampir..
la! aku juga bingung
eh, bapake diajak nggak iku? hoho..
ransele yoopo iku yo?
aih, suka dg plihan katanya....
suvhanallah juga...
@sabudi balik
aduh..aduh!
nggak kalah karo sup wortel iki
he he..oke-oke. Kebiasaan memang....
tapi hurup itu perasaan nganggo f bukan p.. :p
nah, siapa pula yang mas ini? :)
lengkapnya baca buku keep smiling for mom deh ;)
--nah, komen ini saya sadari bakal ada--
ada bagian dari tulisan di atas yang terasa mengucilkan, kan, mb? he he... salah satu alasan gaya tulisannya model begitu untuk mengurangi efek itu juga...
he he...segala peran kalau diikuti dengan "kerjanya bergujing' pasti akan buruk... jadi tak adil kalau membandingkannya dengan itu. Ini berbicara tentang seseorang yg diberi pilihan untuk menjalani dua hal, alangkah baiknya keluarga yang diprioritaskan..
wah, belum pernah dengar buku ini... baru kah?
#hari ini postinganku banyak dibaca ukan kontak, euy
betul segala peran kalo bergunjing jelek jadinya, aku cuma ngasih contoh aja kog, kalo2 ada pemikiran bahwa satu peran merasa melebihi lainnya... dan aku rasa prioritas keluarga juga nggak harus saklek dengan pemikiran dasar bahwa ibu harus selalu 24 hours ada di rumah saja, setiap keluarga pasti menjalani jatuh bangun permasalahan hidup yang berbeda, keadaan antar personal yang berbeda... pastinya ibu bekerja membaca tulisan ini dalam hati kecilnya juga merasa bersalah, padahal tak kurang2nya apapun dilakukan untuk keluarga, we never know kan apa yang terjadi dalam setiap rumah tangga...
hehe tapi tentu saja ini bukan berarti mengecilkan arti tulisan yang keren ini...
setiap tulisan pasti ada dampak yang berbeda bagi setiap individu, tenang aja hehe...
entah merasa ter-support, atau merasa ter-zhalimi, itu kan hanya perspektif yang berbeda...
dan iru juga salah satu resiko penulis toh? hehe
Btw, anakmu 3, Bal? Cita-citaku suk anakku 4 *jak dolanan
nah, begitulah! ini sebuah sudut pandang saja..dan keadaan tiap orang pastinya beda. Masalah akan ada yg merasa bersalah? oi, ini tidak perlu terjadi jika ia mempunyai sebuah alasan baik untuk pilihannya... Seperti kita tak perlu merasa tersindir atas sebuah ucapan kala kita sadari betul itu jauh dari kita...
masalah tdk 24 jam? yup..memang tak harus saklek. Kita kembalikan pada tujuannya. Itulah yg harus dipegang.. Benarbenar dipegang. Kalau tdk yakin mampu memegangnya, perlu dipertimbangkan matang2...
kita hanya berusaha, Allah yg menentukan :)
urung nduwe sian.. ha ha
kenopo 4? lek voli kurang siji.. Tapi lek badminton ganda cukup saling berhadapan
kukira mas iqbal jadi perempuan ;P
tenang, bu ber.. Masih aman terkendali
saya jg jadi bingung :D
tulisan ini bukan efek postingan alay gw kan? iqbal masih lelaki kan??? *jadi merasa bersalah*
mas nensa baru pake kacamata, jadi mohon maaf, penglihatannya... emmhh.. anu.. hhahahaha
selami lebih dalam...
di sini aku banyak melihat ibu-ibu pekerja hebat yang tidak pernah sekalipun melalaikan tugas utamanya sebagai seorang ibu..
begitu ya? oOo...jadi yg ada hubungannya dengan kedokteran apa ya, bu ludi?
nah lho nah lho ...
wuahahha.. komen nggon qn mlebu rene
:) juga
nah, apalagi saya :D
kalau sy suruh bertanggung jawab, kira2 bisa apa ya?
:)
kalau sy suruh bertanggung jawab, kira2 bisa apa ya?
:)
anu kenapa, ber?
selami lebih dalam? ntar deh dipersiapkan tubuh menghadapi tekanan yg lebih kuat..he he
--pernyataan ini perlu kujawab nggak ya? kayake sdh ada di atas2
ada apa? ada apa>
ada apa? ada apa?
ha ha..iya/ Kemaren buka dua tab...salah ketik... mw diedit lemot banget.. Ya sdh!
siwer ;p
kupikir waktu kecil ka lathief mau jadi ibu..
tidak mengharapkan jawaban..
@aishachan...ha ha.. Dulu temen SD banyak yg pengen..
@keranjangh....baguslah kalau begitu :)
Ukhti, sy suka kata2 ini..."Tapi, aku bahagia. Ternyata memang ada jenis kerepotan yang membahagiakan. Kerepotan yang terus membuatku belajar. Kerepotan yang terus membuatku berkreasi" ^_^.
ukhti? he he..jadi malu..
semoga membawa kebaikan
hehehe...afwan mas. ukhtinya buat sang bunda. hehehe *ngeles*
Sang bundanya jg blm ada d rumah. Gtw keluyuran dmana :)
Inspiring! Bgmana rasanya menulis dgn sudut pndang wanita?
jika tak tahu yg nulis lelaki, apakah memang sdh dapet rasa perempuannya??...
cuma membayangkan saja, sih...
Post a Comment