Mungkin sekitar 4-5 tahun yang lalu. Di tingkat pertama atau dua kuliah. Pagi hari ketika saya nyampai juga di kos setelah tiga jam sebelumnya masih di rumah. Hari itu liburan semester. Pulang kali itu pun dalam rangka liburan semester. Balik ke kos pagi itu, dalam rangka sebuah informasi yang diterima: beasiswa turun.
Selalu begitu. Lepas menerima info beasiswa turun, akan selalu bergegas balik meski saat itu ada di rumah. Dan saat itu, turunnya memang pas. Masa-masa liburan adalah masa-masa membayar SPP. Maka turunnya beasiswa itu, semacam oase di tengah gurun, semacam pemantik untuk selalu tersenyum, juga semacam bahan bakar untuk terus bersyukur.
Langsung menuju kampus. Lepas membuka kamar kos dan mempersiapkan apa-apa yang diperlukan untuk mengambil beasiswa itu, segera menuju kampus. Tetap bersemangat meski harus berjalan kaki sekilo, sebab di ujung perjalanan ini ada ‘oase’ yang menunggu. Sebuah bukti yang menunjukkan pada kita, bahwa tujuan, kerap kali menentukan kualitas perjalanan kita.
Biro Administrasi Akademik dan Keuangan, jika memang benar itu kepanjangan dari BAAK, maka di situlah perjalananku berakhir. Sebab, disitulah memang tempat pengambilan beasiswa yang sudah-sudah. Hari itu masih cukup pagi dan saya sedang melihat-lihat apakah kantor itu sudah buka. Di hari libur, kadang jam buka memang beda. Beberapa menit lewat. Dan saat itulah, saat saya masih mengamati papan pengumuman di depan kantor itu, seraya membaca dengan mata kepala sendiri perihal pengumuman pengambilan beassiswa saya, seorang teman muncul. Seorang teman yang tak sekedar teman. Sebab ada beberapa pengikat kami berdua. Yang pertama karena kami memiliki nomor pokok mahasiswa yang berurutan. Fakta itu kemudian berarti banyak: kami melakukan daftar ulang mahasiswa baru secara berurutan, kami akan sering berada dalam satu kelompok tugas, kami berada satu kelas di masa-masa persiapan. Yang kedua karena kami satu kamar di kontrakan sederhana kami. Yang ketiga karena ada banyak hal dalam diri kami yang mirip. Yang keempat karena dia juga penerima beasiswa ini.
Setelah berbincang sebentar, dan saling terkejut karena bisa ketemuan di depan BAAk, berdua kemudian kami masuk. Kami sudah tahu betul prosedurnya. Seorang ibu-ibu galak akan menyambut kami lalu meminta berkas-berkas kami. Ia lalu akan menyodorkan lembar-lembar yang berisi nama-nama penerima beasiswa se-institut dimana di kolom nama kami, tanda tangan mesti kami bubuhkan. Kemudian, ia akan menyerahkan semacam kuitansi yang bisa kami tukar dengan rupiah yang tertera di situ, di Bank Mandiri kampus. Dan, begitu pulalah prosedur hari itu. Tanpa senyum ia melayani kami berdua. Kami yang butuh, maka harus kami lah yang ramah. Mungkin begitulah prinspnya. Bukan pelayanan.
Kami keluar ruangan itu dengan berbunga-bunga. Tinggal melangkah ke kantor pos yang tak jauh dari Bank Mandiri untuk membeli materai. Di kuitansi tadi, perlu tanda tangan kami di atas materei. Kami terus saja melangkah beriringan sambil berbincang ringan dengan selembar kuitansi beasiswa sudah anggun dalam pegangan kami, tak menyadari dalam tempo beberap menit ke depan, ketidakberesan itu bakal terjadi.
Di depan kantor pos lokasinya kala itu. Kami sudah sempurna membeli materei, sudah sempurna menempelnya dalam kuitansi setelah sebelumnya menjilatnya, sudah terrbayang beasiswa yang akan cair, kala kesadaran itu datang. Adalah teman saya yang menemukan ketakberesan itu. Persis setelah ia melekatkan meterei itu dan menandatanganinya, ia menyadari kalau lembar kuitansi itu sebenarnya bukan miliknya. Kami terkaget. Kemudian reflek memeriksa kuitansi dalam pegangan saya. Dan benar, nama teman saya lah yang justru tertera dalam kuitansi saya. Kesimpulannya satu: kuitansi kami tertukar. Menjadi bermasalah karena teman saya sudah menandatangani kuitansi yang tertukar itu.
Lemas seketika. Begitulah gambaran orang yang tak tahu. Pikiran-pikiran negatif yang malah berhamburan. Tentang hangusnya satu kuitansi beasiswa itu. Tentang ini. Tentang itu. Ah, masa-masa itu, bahkan sangat jarang sekali berinteraksi dengan perbankan. Tak mengenal seluk beluknya, aturan-aturannya, kemudahan-kemudahannya. Serta yang lain.
Tapi harus berbuat. Lepas menenangkan diri, kami melangkah ke bank untuk mendapatkan pencerahan. Mungkin ada kebijakan-kebijakan. Entah bagaimana caranya. Pastinya ada sebuah mekanisme hingga kuitansi yang tertukar itu tetap dapat diuangkan. Titik.
Kami diminta untuk meminta kuitansi lagi. Itulah jawaban dari usaha kami mendatangi bank. Jawaban yang kemudian memaksa langkah kami untuk kembali ke BAAK. Ah, dalam waktu yang sekejap saja keadaan menjadi begitu kontras. Beberapa saat lalu, kami melewati jalan itu, dari BAAK menuju kantor pos dengan berbunga. Tapi saat itu, di jalan yang sama dengan arah yang berlawanan, keadaan menjadi kebalikannya. Ada senyum. Tapi senyum kecut.
Kami tahu ini pasti akan sulit. Sebab yang kami hadapi adalah ibu-ibu galak yang sepertinya lupa bagaimana caranya berbicara dengan nada menyenangkan. Tapi prasangka baik masih tetap terpelihara hingga wajah kami sempurna mendapati ibu galak itu berada di daerah kekuasaannya. Di sebuah daerah dimana mahasiswa yang meletakkan kelanjutan pendidikannya pada beasiswa tak berani macam-macam bila tak ingin urusannya menjadi runyam. Kami tersenyum. Mencoba menjelaskan duduk persoalannya. Kami tahu ini adalah kebodohan kami, meski ada sedikit andil kesalahan ibu itu yang tertukar menyerahkannya tadi. Tapi tetap saja, kami yang ceroboh.
“kok bisa sih? Dikira mudah nyari itu. Kayak mudah saja nyari tanda tangan PR”. Demikianlah kalimat yang kami terima. Persis dengan perangai kesehariaannya, ia tetap tak menyenangkan bahkan ketika tanpa kalimat itu hari sudah tak menyenangkan. Bahkan tidak sampai segitu, racauannya terus mengalir yang kian memperburuk suasana hati yang sebenarnya sudah jatuh beberapa menit sebelumnya. Bertambah parah karena ocehannya itu sama sekali tak menunjukkan jalan keluar selain kalimat: “sudah. Besok saja temui pak xxx.” Pak XXX adalah kepala BAAK yang kebetulan hari itu tak ada di tempat.
***
Pagi hari esoknya, bergegas kami menuju kampus menemui kepala BAAk. Semakin cepat semakin baik. Kepastian itu memuaskan.
Agak ragu-ragu menghampiri kepala BAAK. Orangnya berkumis sedikit lebat, kulitnya agak coklat. Sebuah kombinasi yang pas untuk sebuah tokoh antagonis. Tapi di bapak itulah pintu penjelasan itu berada. Dan kami harus segera menguaknya.
Setelah menyapa dan memperkenalkan diri, mengalirlah kemudian cerita tentang kemalangan itu. Bergantian kami berbicara hingga penjelasan itu tuntas. Agak cemas kami menantikan apa yang meluncur dari mulutnya. Sampai....
“ah, nggak masalah itu. Coba saja mnghadap Bank-nya lagi. Mungkin bisa pakai surat kuasa atau bagaimana”. Lunas sudah rasa cemas itu. Ternyata urusan ini mudah saja. Dengan sebuah senyum, dan kalimat menyenangkan, permasalahan ini akhirnya berakhir dengan happy ending. Sebab setelah kami menghampiri bank untuk kedua kalinya untuk urusan ini, dan juga setelah kami dihadapkan pada pemimpin bank cabang kampus itu, kami dipersyaratkan untuk membuat sebuah surat kuasa kalau beasiswa saya diambilkan oleh teman saya itu. Hari itu kami mendapat definisi jelas perbedaan antara orang besar dan orang kecil. Pada ibu galak kami berkaca, pada pak kepala BAAK kami pun berkaca.
Selesai. Kami kemudian pulang. Membuat surat kuasa. Ketak-ketik sebentar. Print. Lalu kembali ke kampus. Kami tak henti-hentinya tersenyum geli mengingat ongkos untuk kebodohan kala itu adalah enam ribu rupiah, harga selembar materei untuk surat kuasa tadi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
21 comments:
pertamax hehe *ga ada ya :p
mohon dimaafkan kalau ada detail-detail yang mungkin tak sebegitunya mengingat waktunya sudah lampau dan saat itu saya belum terlalu terbiasa menuliskan segalanya...
pertamax mahla banget sekarang, chan
8350 di bontang
komen sebelum jam 9.. *belum baca.. hehe
monggo, jar
wah,, alhamdulillah
sebenernya kadang masalah itu selesenya mah simpel, tapi di otak manusia emang sering kebayang ketakutan2 yang melebihi kenyataan :)
begitulah!
katanya, 95 % kekhawatiran kita sama sekali tak berdasar
mirip!bedanya bkn ngurus beasiswa dulu...pas ngurus surat ktrangan msh kuliah bwt lampiran ibu yg pns.dipimpong sm staf.pas ngadep kepala nya malah lancar...*pengen kuliah lg,wuaa....;-((
wah aku baru tau
penelitian dari mana ka lat?
waduh...
aku pernah baca buku yg nulis tentang itu... ntar tak cari lagi.
jadi inget masa lalu, hanya saja d kampusku prosedurnya lebih singkat : bawa ktm ke loket, tanda tangan dan langsung terima uangnya di situ juga. Si ibunya nggak galak2 amat sih meski nggak murah senyum :)
enak yah, beasiswa sekarang.. tinggal nunggu ditransfer ;p
Suatu hal yg kecil berakibat besar, tetapi bisa diselesaikn dgn hal yg kecil juga. What a nice&memorable story really ^_^b
Alhamdulillah lebih simpel di kampusku,
fotokopi KTM,catat nomor urut nama yang ada di daftar penerima beasiswa,tanda tangan 6x,trus dapat uangnya.. ^^
@all... tidak semua prosedurnya seperti itu. Sepertinya beasiswa saya ini yg pake transfer.. setahu saya yang lain memang langsung dapat uang di BAAk gitu. Berkas yg dikumpulkan sederhana juga: Fc KTM sama KHS (yg berisi ips)
kalo gitu, buat dapetinnya enak yah...
kalo di sini harus bikin karya tulis dulu.dapetnya juga nggak seberapa
masak semua beasiswa gitu fil? ini beasiswa sejak aku semester satu.. alhamdulillah banget. Sampai lulus...
dulu persyaratannya pakai NEM SMA (blm ada IP), penghasilan ortu..dll. Progress IP tiap semester setelah itu
huehehehe..
dadi kelingan petugas2 ning fakultas mbiyen yo ngunu..
nek ning univ po jurusan mending lah..
tapi nek ning fakultas.. wis, jangan harap ada senyum
jangan2 iku pas menghadapi kowe thok?hi hi
we.. jangan salah nek ro aku awale ga senyum tapi njuk bar ngono rampung dengan senyum..
coz aku ndremimil dengan full smile.. hahaha
ndremimil iku opo? kok g kedetect nang kosakata sby-an
Post a Comment