Benar, kebenaran tanpa kekuatan, hanyalah kelemahan.
Hari ini aku membaca berita itu, lewat surat kabar lokal yang sebenarnya jarang kubaca. Tentang sebuah konsensi tambang seluas 3000 hektar di kutim yang bakal (atau sudah) hadir. Nama baru sepertinya.Menjadi fantastis, sebab katanya bahkan melebihi besarnya KPC. Tak tega rasanya melanjutkan membaca. Tak sampai hati membayangkan dampaknya. Ya Tuhan, aku bahkan pernah menyaksikan sendiri jurang raksasa hasil eksplorasi KPC itu. Menyaksikan berton-ton batu bara diangkut truk-truk super raksasa yang bergerak perlahan menyusuri jalan berdebu. Raksasanya, dapat kau bayangkan dengan membandingkan rodanya yang setinggi mobil konvensional. Tak hanya itu, conveyor sarat batubara pun begitu mulus berputar mengangkutnya hingga pelabuhan. Disana, tak pernah sepi, dengan angkuh telah berderet mengantri ponton-ponton raksasa yang siap melayarkan emas hitam kita itu. Entah kemana. Boleh jadi mengarungi samudera, menuju ujung dunia.
Ya, kita tak bisa menafikan. Ada masyarakan sekitar yang satu dua menjadi buruh kasarnya, mendapatkan nafkah. Beberapa mungkin tergerakkan ekonominya dengan keramaian yang tercipta. Bantuan-bantuan kecil.Tapi akibatnya, yang justru jauh lebih menganga, sungguh mengerikan. Hutan-hutan gundul dengan cekungan luas dan dalam. Lingkungan rusak. Bahkan di kota tetangga, penambangan kecil-kecil mulai merambahi kota. Membuat semrawut panorama.
Lalu menjadi sebuah ironi kala kota-kota yang dipenuhi limpahan energi ini, justru lebih sering menghadapi pemadaman listrik bergilir. Kekurangan daya, terlalu banyak beban. Atau apalah sebutannya. Padahal, asal kalian tahu, berponton-ponton batubara itu, jika saja tak diangkut ke luar negeri sana untuk mengayakan sekelompok kecil orang, sudah lebih dari cukup untuk digunakan membangkitkan beratus atau bahkan beribu ton steam perjamnya. Dan dari steam itu, bermega-mega watt listrik bisa dibangkitkan lewat steam turbin generator. Lalu akan berapa rumah teraliri, lalu akan berapa senyum ternyalai.
Tapi entahlah, aku tak tahu apa yang ada di benak pemegang kebijakan (kalau memang yang diputuskan memang sebuah kebijakan). Gubernur dengan tangan terbuka mempersilakan konsensi tambang terbesar itu. Itu yang kubaca di surat kabar lokal itu. Berbicara tentang banyaknya keuntungan yang bakal diraih. Tentang infrastruktur yang bakal dibangun, tentang tenaga kerja yang bakal terserap. Ah ya, tentu saja itu hanyalah pengeluaran kecil untuk hasil besar yang akan mereka raup.
Kaltim benar-benar membangun. Membangun dengan merongrong alamnya. Mengurasi isi buminya, menggunduli hutannya. Menyisakan entah untuk anak cucunya.
Ya, kita tak bisa menafikan. Ada masyarakan sekitar yang satu dua menjadi buruh kasarnya, mendapatkan nafkah. Beberapa mungkin tergerakkan ekonominya dengan keramaian yang tercipta. Bantuan-bantuan kecil.Tapi akibatnya, yang justru jauh lebih menganga, sungguh mengerikan. Hutan-hutan gundul dengan cekungan luas dan dalam. Lingkungan rusak. Bahkan di kota tetangga, penambangan kecil-kecil mulai merambahi kota. Membuat semrawut panorama.
Lalu menjadi sebuah ironi kala kota-kota yang dipenuhi limpahan energi ini, justru lebih sering menghadapi pemadaman listrik bergilir. Kekurangan daya, terlalu banyak beban. Atau apalah sebutannya. Padahal, asal kalian tahu, berponton-ponton batubara itu, jika saja tak diangkut ke luar negeri sana untuk mengayakan sekelompok kecil orang, sudah lebih dari cukup untuk digunakan membangkitkan beratus atau bahkan beribu ton steam perjamnya. Dan dari steam itu, bermega-mega watt listrik bisa dibangkitkan lewat steam turbin generator. Lalu akan berapa rumah teraliri, lalu akan berapa senyum ternyalai.
Tapi entahlah, aku tak tahu apa yang ada di benak pemegang kebijakan (kalau memang yang diputuskan memang sebuah kebijakan). Gubernur dengan tangan terbuka mempersilakan konsensi tambang terbesar itu. Itu yang kubaca di surat kabar lokal itu. Berbicara tentang banyaknya keuntungan yang bakal diraih. Tentang infrastruktur yang bakal dibangun, tentang tenaga kerja yang bakal terserap. Ah ya, tentu saja itu hanyalah pengeluaran kecil untuk hasil besar yang akan mereka raup.
Kaltim benar-benar membangun. Membangun dengan merongrong alamnya. Mengurasi isi buminya, menggunduli hutannya. Menyisakan entah untuk anak cucunya.
***
Tapi ada sedikit harap, ada maksud baik dari kebijakan ini. Yang gagal untuk aku identifikasi. Semoga.
22 comments:
miris...
kalsel kayake begitu juga, ya?
di samarinda itu sudah msuk ke kota tambangnya
ya sama aja kalsel dan kaltim. cuma di kalsel kan sumbernya di daerah hulu sungai dan batu licin sana
nggak tahu itu dimana..he he..
semoga bisa ke banjarmasin segera
Anak cucu disisakan derita..
kalo ke banjarmasin ntar pasti lewat kok daerah situ :)
@daicy....hmmm..semoga tidak, ya? kita perlu berbuat
@ayanapunya....uow..sip..sip
Itu kan kalau merujuk jurnalmu saja, mas iqbal.
Ada jalannya kok, untuk menyelesaikan kehidupan itu sendiri :)
ya, kita tinggal menemukannya..(begitu?)
sdh membaca eliana?
insyaAllah sudah :)
kmu d kaltim perusahaan apa klo blh tau? bisa lwt pm.
kmu d kaltim perusahaan apa klo blh tau? bisa lwt pm.
dan aku tiap hari melihatnya.. jangan harap lagi akan ada durian kertongan atau maritam dijajakan ditepi jalan. kebun/rondongnya dah abis dikeruk...bahkan bikin longsor.
Ya, begtulah, mb.
Btw, maritam it apa ya?
rambutan hutan
kalo sawah di sini dibangun aja aku sedih, apalagi kalo jadi tambang?
@bundananda...wah, seperti apa it? Kayak rambtan biasa kah rasanya? Jd pengen
@berry...iya. Kalo d jawa memang bgtu
semoga, ya.
Iya..
aaaaaarrrrrrrgggggghhhhhhh...........
mesthi sebel nek krungu tentang iki... huuuuuuuuuuffffffff
tekan ndi ae jar??
teko2 langsung sebel..
Post a Comment