Mungkin benar, bahwa banyak hal dalam hidup kita yang baru terasa benar keberadaannya, spesialnya, kala hal itu telah tak ada, pergi, terenggut, atau mungkin menjauh dari kita. Bukan masalah kekurangmenghunjaman hal tersebut pada seseorangnya. Tapi karena intensitasnya yang begitu kerap. Menjadi sebuah yang terlakui terus-menerus. Hingga menjadi sebuah kebiasaan. Hingga menjadi biasa.
Ini memang tentang sebuah rutinitas. Tentang sesuatu yang dialami atau terjalani terus-menerus. Tentang seorang ibu yang menyiapkan sarapan sekeluarga tiap paginya, tentang seorang lelaki yang melintasi jalanan dengan pemandangan hebat tiap pagi-sorenya, tentang seorang kaya yang tiap harinya disuguhi makan-makanan mewah, tentang konglomerat yang tinggal di buah rumah yang wah. Tak ada spesialnya. Menjadi biasa kala gagal mengambil hikmah, atau tak mampu menyediakan ruang perenungan untuk menghasilkan kesimpulan yang indah.
Rutinitas, dengan kegagalan menyediakan dua hal di atas, mungkin saja menumpulkan. Boleh jadi ada mekanisme yang perlahan terkikis, untuk selanjutnya terlewati. Seperti gerak reflek yang bermula dari rangsang langsungmeloncat ke respon. Tanpa ada pengolahan data untuk proses identifikasi. Ter-by pass. Hingga tak lagi melibatkan perasaan-perasaan, impresi-impresi. Rangsang-respon, perintah-kerjakan, jika A maka B. Atau dalam bahasa lain, jika pagi maka akan ada sarapan, jika berangkat kerja akan melewati ini, jika makan tinggal ke restoran ini. Semuanya serba otomatis hingga tak terpikirkan lagi.
Tak baik memang. Sebab hampir semua yang kita lakukan adalah sebuah rutinitas. Sarapan tiap pagi, sholat lima waktu tiap hari dengan jadwal tertentu yang periodik, berangkat kerja tiap hari, pulang disambut keluarga, mandi, tidur, membaca, memasak, mencuci. Jika hal-hal itu, yang rutin dilakukan, menjadi sebuah kebiasaan yang biasa-biasa saja, maka sungguh membosankanlah hidup kita. Tak ada yang spesial. Kita menjadi laksana robot yang melakukan sebuah hal karena hal itu sudah ada dalam check list aktivitas harian. Bila itu berlangsung terus-menerus, jangan kaget kalau kemudian jiwa menjadi hampa.
Mengerikan. Sungguh-sungguh mengerikan. Harus ada langkah-langkah yang terus diupayakan untuk mengatasinya. Ruang perenungan itu penting. Mencoba memakanai tiap hal yang dilakukan itu sungguh perlu. Adanya pemakanaan akan membuat hal yang kita lakukan memiliki nilai tambah yang membuat kita lebih bergairah karena melibatkan jiwa. Makna, jika itu memang benar makna, harusnya selalu berasal dari sebuah kedalaman. Maka melakukan sesuatu dengan pemaknaan, harusnya melakukan sesuatu dengan melibatkan yang berada di kedalaman.
Tapi mungkin tak semua orang mampu menghadirkan itu, menciptakan itu. Berkali dicoba tetap saja tak ada makna lebih. Tetap itu-itu saja. Biasa. Maka saat itu, mungkin perlu sekali dua kali meninggalkan kebiasaan itu. Mungkin sekali waktu kita perlu berkemah, untuk merasakan memasak makanan sendiri, tidur beralas rumput. Sejenak tak merasakan mudahnya sarapan hasil masakan ibu, sehari-dua hari tak merasakan tidur di kasur empuk kamar tidur kita. Semoga dengan itu, akan timbul pemikiran, bahwa apa yang dilakukan ibu kita tiap paginya itu adalah sebuah hal spesial, bahwa dapat tidur di kasur empuk tiap harinya adalah kenikmatan yang terlupa. Bila kita terbiasa di sholat di masjid itu-itu saja tiap harinya, mungkin ada baiknya mencoba masjid-masjid lain yang bisa jadi lebih jauh. Bila kita terbiasa menuju kantor dengan jalan itu saja, ada baiknya kita melewati jalur lain yang tak biasa. Bila kita terbiasa makan berlauk ayam atau daging, tak ada salahnya sekali waktu makan nasi goreng berlauk kerupuk, atau nasi putih berlauk tempe.
Rutinitas adalah sebuah keniscayaan. Tak ada orang yang benar-benar terbebas dari kebiasaan rutin. Sehingga, setelah langkah-langkah di atas telah terlakukan untuk mengatasinya, selanjutnya yang perlu kita sadari bersama adalah hal ini; bahwa waktu hari ini, tak akan sama dengan waktu kemarin, juga berbeda dengan waktu esok. Jadi berangkat kerja kita hari ini, pada hakikatnya aktivitas yang berbeda dengan berangkat kerja hari kemarin, atau esok. Maka kesadaran akan waktu menjadi penting. Maka kesadaran akan perguliran siang dan malam begitu berarti. Tentunya bagi orang-orang yang berpikir.
#bilik kecilku
# dari seseorang yang belum bisa memaknai rutinitas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
33 comments:
Rutinitas, itu mengapa saya membenci ulang tahun..
Perlu adanya refresing
eniwei, secara pribadi sih, saya memang ngga sepakat sepenuhnya bahwa rutinitas bisa menumpulkan. insyaAllah ngga begitu, karena yang memberikan nyawa atau bahkan warna, adalah improvisasi kita, justru warna itu hadir dalam rutinitas karena husnudzon kita sedari awal.
(hihi..sok tau banget saya! afwan ^^)
jfs
@daici...jangan dibenci! Biasa saja :)
@ivon...iya. Sy menyebutnya jeda
bagian ini bahasanya rumit. terutama kalimat kedua. sederhananya kedalaman makna gitu yaa?
komen dibawah saya: iya, dan kyknya repetisi dmn2 itu..
aku termasuk orang sing benci rutinitas,,, hehehe
makane setiap hal kuanggap bukan rutinitas meski itu rutin.. coz sensasine bedaaaaa.. haha
itu namanya bosan, ya ... he he he ...
nanti juga hilang bosannya ...
@faraziyya...uow, kesoktahuan diterima. Tulisan saya hampir sbagian besar dr ksoktahuan. Hanya kilatan2 pikiran. Btw, rutinitas yg menumpulkan yg sy maksud, jg punya syarat2 tertentu bukan?
@akuai...melibatkan yg berada di kedalaman it maksudnya tak hanya melibatkan yg berada di permukaan, yg terlihat. Boleh jd melibatkan hati.
@faraziyya...repetisi? Apa it maksudnya adalah dua kalimat yg memiliki arti sama? Hehe. Kalau memang benar it, it memang kesukaan sy. Entahlah! Jika sering membaca tlsan saya akan sering menjumpai ini. Justru mengganggukah?
@fajar...sekali lagi, jangan terlalu di benci. Biasa saja. :)
iya, kita sendiri lah yg menganggapnya rutin memang. Nawaitu menjadi penting.
@banghendra...iya, bosan mungkin. Tapi menjadi berbhaya kala bosannya terusmenerus :)
repetisi di sini mungkin maksudnya pengulangan kata makna dan kedalaman kali yaa? meski dirimu suka mengulang2 kata, tapi untuk bagian itu terlihat lebih ribet.
aku ga ngomong "terlalu"
yo ga seneng ae
repetisi (repeat) = pengulangan kata,
baiknya dihindarkan, untuk menyegarkan.
Tipe pemikir banget ya kayaknya mas ini hehe..
@ai..pas menuliskan it, aq sempat terpikirkan hal it. Seringnya dalam menulis aku memperhatikan rima, sih.. Hanya tadi sore tak terlalu bnyk kesempatan untk memilìh2 kata yg enak
@fajar..nah, kalo g seneng beda artinya dg benci
@faraziy... Ok, usul ditampung. Sepertinya ini bgian dr plajaran skolah menulis tarbw :)
@kakrahmah... G seperti it juga sbenare. Suka berumit2 dg sbuah fenomena mungkin :)
nope, yang bener, ini bagian dari pelajaran BIJ. Bahasa Indonesia Jurnalistik. heehee :-D
Hehe. Iya, iya. Percya.. Makanan apa it? :)
Tidak perlu berhenti berjalan, tidak perlu berhenti melangkah, hanya, sesekali, berjalanlah dengan cara yang berbeda, dengan langkah yang tidak sama.
Agar kita bisa merasakan kembali kespesialannya.
*promosi* hehe, biarin ah, namanya juga usaha
btw "tinggal di buah rumah" ini baku-kah?
Jiah.! Ngiklan byr!
Buku? Maksudnya apa, di?
Kontemplasi yang saya sepakati. Fenomena ini pernah dibahas di majalah Tarbawi edisi lama. Sy masih inget, krn temanya menarik : "6 Wajah Ketertipuan". Salah satunya ya rutinitas, dimana kita perlu mewaspadainya agar tidak membuat kita tertipu dan tergelincir dg amal tanpa ruh atau ibadah tanpa kekhusyukan.
Tulisan yang bagus...:) *dijempol*
@vi3nz...iya, bhkan orang yg terbiasa qiyamul lail tiap malam, bs jadi merasakannya hanya sbg rutinitas belaka.. Tanpa ruh tadi. Naudzubillah
Jfs, mas iqbal... :)
dih ama temen ko perhitungan :p
bukan buku bal, baku, itu aku ngutip kata-katamu di atas, buah rumah, itu typing eror apa sengaja, kalopun sengaja, itu semacam gaya aja atau memang kata yang baku menurut kaidah bahasa?
@rifzahra...sama2.. Smoga bermanfaat
@pemikir...uow. Iya, kesalahan ngetik. Kurang 'se'. Haruse 'di sebuah rumah'. Termakasih atas editingnya.
emmm...saya jadi berpikir, apakah pernyataan ini negasi dari tulisan saya ya? kok sepertinya tidak :)
repetisi itu pengulangan kata. ada majasnya juga, namanya majas repetisi. gaya bahasa dengan mengulang-ulang penyebutan sebuah kata. ini juga salah satu majas yang aku suka banget. banyak kulakukan di tulisanku. mungkin iqbal terpengaruh dari tulisanku makanya suka repetisi juga
hahahaha
Oi, tak kira membenarkan aku sepenuh hati. Ternyata ada ujungujungnya..
Post a Comment