***
Sebab di rumah ini lah segala kenangan telah kita tanam untuk selalu mereka rindui. Di rumah itu pula, segala cerita-cerita baik kita hamburkan untuk senantiasa ingin mereka dengar kembali. Tapi yang paling penting, yang benar-benar harus kita pastikan, sebab di rumah itulah , sepasang orang tua yang tak pernah jemu mengajarkan kebaikan, selalu ingin mereka temui.
***
Sebab di rumah ini lah segala kenangan telah kita tanam untuk selalu mereka rindui. Di rumah itu pula, segala cerita-cerita baik kita hamburkan untuk senantiasa ingin mereka dengar kembali. Tapi yang paling penting, yang benar-benar harus kita pastikan, sebab di rumah itulah , sepasang orang tua yang tak pernah jemu mengajarkan kebaikan, selalu ingin mereka temui.
***
Dik,
Apakah yang kau artikan dengan rumah? Kamus besar bahasa Indonesia kita mendefinisikan rumah sebagai sebuah bangunan untuk tempat tinggal. Sesederhana itu saja, hanya sebuah definisi fisik tanpa imbuhan lain. Tapi Fahd Djibran, dalam sebuah bukunya, yang kuharapkan kelak kau mau ikut membacanya, menyebutkan rumah sebagai sebuah tempat dimana segala kenangan tertanam, segala doa tercurah, segala harapan bertumbuh, dan rasa rindu harus dituntaskan di sana. Memang manis benar definisi itu, terasa bombastis, tapi mungkin begitulah harusnya. Rumah itulah memang, sumber sekaligus muara, titik tolak beserta titik tuju.
Jika kau mau sedikit merenunginya, di rumahlah kita merancang masa depan, kemudian merincinya menjadi kerja-kerja harian. Lalu atas rincian-rincian itu, tak jarang kita mesti berangkat di sebuah titik waktu tertentu.Bukan untuk meninggalkannya dan tak kembali, tapi hanya pergi. Pergi untuk memenuhi janji-janji masa depan. Sesaaat ataupun lama, karena rumah adalah titik tolak sekaligus titik tuju tadi, kita selalu berjanji untuk kembali. Kembali yang tak hanya sekedar kembali, tapi kembali sembari menjinjing rindu yang berpelangi. Rindu akan teras depan rumah, rindu akan pojokan tenteramnya, serta yang pasti, rindu akan penghuninya. Maka di sebuah titik waktu ketika kita hendak pergi itulah, akan selalu ada dua rasa itu; enggan dan ingin. Enggan untuk meninggalkan rumah, sebab segala kenyamanan yang sudah begitu dalam tertanam di sana. Tapi juga ada ingin, sebab ada hal-hal baik lain yang mesti dikerjakan di luaran sana. Menjadi tak heranlah kemudian bila, di saat-saat pergi itu, kita kemudian menatap lamat-lamat sepasang, atau dua pasang, atau banyak pasang mata yang melepas. Untuk memberi sebuah keyakinan pada pemilik mata itu, bahwa pergi ini untuk sebuah hal yang baik, dan akan kembali dalam keadaan lebih baik. Lalu kita mengatur langkah, guna meneladani nabi kita, tentang kaki mana yang lebih dahulu menjejak tanah. Lalu mengucap salam. Lalu pergi.
Begitulah, Dik. Di teras depan rumah itulah fragmen pelepasan akan sering terjadi. Tapi di tempat itu pula, pertemuan-pertemuan juga bakalan mementas. Polibag-polibag yang berisi tanaman sayur depan rumah kita itu, akan menjadi saksi bisu ketika seseorang pergi, dan yang lain dengan hangat melepas. Suatu saat, aku, kau, atau kita, mesti pergi untuk sebuah hal, lalu meninggalkan rumah dalam kesendiriannya, atau kelak meninggalkan anak-anak dalam kemandiriannya. Lalu di kemudian hari, kala waktu telah menuakan, kitalah yang akan melepas anak-anak untuk menjemput janji kehidupannya. Tapi kita yakin, benar-benar yakin, bahwa mereka pada akhirnya akan pulang, sejauh apapun mereka telah melanglang. Sebab di rumah ini lah segala kenangan telah kita tanam untuk selalu mereka rindui. Di rumah itu pula, segala cerita-cerita baik kita hamburkan untuk senantiasa ingin mereka dengar kembali. Tapi yang paling penting, yang benar-benar harus kita pastikan, sebab di rumah itulah , sepasang orang tua yang tak pernah jemu mengajarkan kebaikan, selalu ingin mereka temui.
Tapi dari rumah juga harapan-harapan bertumbuh, cita-cita melangit, dan doa-doa berhamburan. Di setiap ruangnya, diskusi-diskusi begitu hidup, dan majelis ilmu senantiasa tergelar. Ada hikmah yang rajin dibagi, ada pengetahuan yang tak bosan ditularkan. Juga ada rapat keluarga ketika si kecil kita biarkan bersuara. Maka dari rumah itulah ide-ide dikonstruksi dan sebuah peradaban kita miniaturkan. Rumahlah gambaran itu semua. Bagaimana caranya mengisi sudut ruangan dengan perabotan, atau menghias halaman dengan tanaman, adalah sedikit dari berbagai gambaran yang akan menunjukkan cita-cita sebuah keluarga.
Dan inilah uniknya. Ketika dari rumah ide-ide terlahir, gerak-gerak dirancang untuk sebuah frase qur’ani bernama bertebaran di muka bumi, maka di rumah pulalah energi itu mesti berlimpah untuk setiap saat diserap. Kita boleh saja lelah seharian bergumul di luaran, jerih oleh hantaman kanan-kiri, serta limbung oleh realitas-realitas hidup, tapi kita harus bisa memastikan bahwa rumah, adalah sebuah tempat dimana segala penat itu mesti menguap, dan energi dengan cepat tercerap. Maka pulang selalu menjadi solusi menarik ketika energi itu begitu menipis. Bukan untuh sebuah kekalahan, layaknya pasukan yang kalah perang. Tapi untuk sebuah penghimpunan kekuatan, untuk kemudian kembali ke pertarungan. Fragmen seorang ayah yang kelelahan sepulang kerja, lalu tiba-tiba bersemangat main kuda-kudaan demi melihat puteranya yang masih batita, adalah sebuah contoh bagus dimana di dalam rumah, energi itu begitu cepatnya terserap.
Begitulah, Dik. Akan sangat panjang. Ide tentang rumah ini, seberbusa apapun aku membincangkannya, pada akhirnya adalah ide tentangmu. Maka, meminjam kalimat Salim A Fillah dalam sebuah bukunya yang cukup monumental itu, pertanyaan inilah yang pada akhirnya aku kemukakan; bersediakah kau menjadi ustadzah rumah ini? Sebab, yang sama-sama kita ketahui, rumah inilah madrasah pertama anak-anak kita nanti. Jauh sebelum mereka mengenal sekolah formal, jauh sebelum mereka mengenal lingkungan luar. Dan menjadi kewajibankulah, untuk mencari ustadzah yang sholihah bagi mereka. Maka, menutup surat ini, pertanyaan ini agaknya cukup krusial untuk dikemukakan; Dik, adakah itu kau?
20 desember 2011
*dipetik dari buku 'Dear Allah'*
23 comments:
20 des 2011?
iya... salahkah?
Apa jawaban mb ayu?
ora.. aku gur memastikan ga salah weruh tanggal.. haha
btw bukunya dijual gak? :P *penasaran*
jawaban untuk yg mana dulu, ziyy? :)
huo...sengojo g diposting disek..
ndi alamatmu? pm yo!
bukunya sisa banyak... tapi sudah diniatkan tidak untuk dijual
-,-a ga asik ah, pertanyaan dijawab pertanyaan
itu jawaban untuk pertanyaan yang akhirnya menggagas tulisan ini utuh, apa jawab mbak ayu?
koq dadi tekan alamat?
arep kirim souvenir yaaaa? asiiiiiiikk..... *halah.. =D
Pantesan perasaan pernah baca -_-
tidak ada jwaban, ziyy... dan memang tak perlu dijawab dengan katakata..haha
haha..
terserah wes
jangan main perasaan, vi...:)
*speechless*
ini jenis tulisan yg menghipnotis~~
aduh, aku punya banyak janji ke rifa yg belum ditunaikan
Banyak? Cuma dua kayaknya~~~
banyak dalam inggris..byukan banyak dalam bahasa arab :)
meleleh....
mau dong mas, bukunya....
Kadoen kowe! :p
dikirimnya ke salatiga ajaaaaaa
Pm alamat kalo gt.
kyaaaa... baiklah...
Post a Comment