#1
Ketika sepertinya sebuah suara menyapa, hari itu, di sebuah masjid ketika aku hendak saja meninggalkannya, refleks aku menoleh. Masjid sudah beranjak sepi dan aku yakin kalau dia lah, seorang lelaki seusiaku yang sedang berjalan menujuku, yang memanggilku. Wajahnya seperti tak terlalu asing, terlihat menyenangkan, tapi aku gagal menemukannya dalam memori otakku.
Lalu ia memanggil namaku.
Aku mengernyitkan dahi. Berusaha lebih keras menemukan sepotong wajah itu dalam bilik-bilik ingatanku. Tapi lagi-lagi gagal. Ini adalah kota antah berantah, amat jauh dari duniaku di awalnya. Hanya beberapa saja yang mengenaliku. Umumnya rekan kerja.
Tapi tak ada rekan kerja yang menyapa dengan ekspresi semacam ini. Di pekerjaan sudah kerap bertemu, maka tak seantusias inilah kala menyapa. Sedang ini..? Sebentar! Aku sepertinya teringat, meski ragu. Ini adalah sapaan khas yang boleh jadi telah lama tak kurasai. Tapi dimana?
Ah, payah sekali aku. Bahkan ketika ia mengulurkan tangannya untuk menjabatku, menyebutkan nama, otakku masih saja buntu tentang siapa dia. Tapi tak ada ketersinggungan dalam sikapnya. Ini yang aku suka. Sebaliknya, dengan telaten ia membimbingku menemukan dirinya dalam memoriku.
“ana dulu di Dekkim”
Dekkim adalah kependekan dari D3 Teknik Kimia. Itu adalah jurusan yang dekat dengan jurusanku secara keilmuan. Tapi cukup jauh jarak kedua kampusnya. Sepertinya itu sudah menjadi sebuah alasan yang bagus, masih cukup wajar jika aku tak mengenalnya.
“setelah itu mengambil lintas jalur S1”
Sebentar, sebentar! Itu artinya ia sempat satu jurusan denganku. Berada dalam satu tempat dan satu waktu. Apalagia ia menyebut dirinya seangkatan denganku. Itu artinya, di tahun pertamanya ia menjalani lintas jalur S1, aku menjalani tahun keempatku. Oh, memang benar-benar payah kalau aku tak mengingatnya. Tapi, ah, bukannya di tahun keempat itu aku sudah jarang kuliah? Lebih banyak menghabiskan waktu di laboratorium. Bukankah juga anak lintas jalur lebih sering masuk malam hari? Wajar sekali jika tak sering beririsan. (Ups! Aku ingat, masa tugas akhir adalah titik rawan pertama sekaligus kedua)
“ ana ngelabnya di Thermo. Sama elok”
Baik. Baiklah! Tak menjadi penting apa aku mengenalnya di masa lalu. Persaudaraan yang ia tawarkan di saat ia menjabat tanganku, itu jauh lebih penting. Senyum yang ia bagi saat itu, yang ia inginkan hal sama ada padaku, itu jauh lebih berarti.
Maka, kawan! Aku ingin berbagi satu hal padamu: hari itu aku menemukan (kembali) saudara baru.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
14 comments:
ini boleh jadi bersambung....
bakalan sangat panjang kalau ingin ditulis semuanya..
dinovelkan :)
He he..
Boleh :D
jadi episode2 selanjutnya adalah tentang mengingat namanya. Haha.
hehe,,pasti mas handono ini,,,nama ane disebut",,wkwkwk
@akuai...dirimu salah. Di atas sdh dsebutkan kalo ia sdh menyebutkn nama
@litlalif...ini elok? Punya mp juga
iya mas,,tapi gak diapa-apain,,buat komen aja,,hehe,,,ntar deh tak isi-isi ;p
Oke. Sgera diisi
orang itu sungguh bersahabat, ya ...
Hehe. Bgtulah. Yg pasti ia lbh cair ketimbng saya
baca sambil jalan. Jadi ga terlalu ngeh :D
Nggak ngeh, apa nggak terlalu menyimak? :)
ya, itulah. -_-'
Post a Comment