Saturday, July 30, 2011
Friday, July 29, 2011
harapan seorang renta
“apakah yang sering memenuhi pikrannya?”, pertanyaan itu bergelanjut di pikiran saya hari itu. Tak terkatakan memang, hanya bermain-main dalam imaji.
Iya sudah tua, ya, saya mengerti. Bahkan sependek ingatan saya, ia sudah tua sejak saya petama kali mengerti bahwa perempuan tua dengan uban putih di kepalanya itu adalah nenek saya. Tapi, ia adalah seorang renta dimana teman sejawatnya sudah tak lagi ada untuk sekedar bersama-sama mencengkeramai hari, adalah fakta lain yang membuat saya terpekur sejenak kala memandang kerut di wajahnya yang dari waktu ke waktu kian menjadi. Ya, apakah kiranya yang sedang ia pikirkan? Di usianya yang menapak senja, saya agak sangsi kalau pikirannya masih digelayuti oleh obsesi-obsesi pribadi yang individualistik. Tidak, saya yakin benar akan hal itu.
Saya, sebagai orang muda, mungkin masih kerap memikirkan tentang harapan-harapan di masa depan. Tentang menginkan memiliki ini, tentang ingin ke sini, tentang ingin menjadi seperti ini. Tapi bagi seorang perempuan sederhana yang telah mengalami penjajahan belanda, penindasan jepang, keterpimpinan soekarno, pembatasan soeharto, dan euforia reformasi, dimana usianya telah mengular memanjang melewati manis-getir kehidupan, adakah yang masih terselip lembut dalam imajinya kala sebuah kata bernama harapan itu tersebut? Agak sulit menjawabnya. Sangat sulit, apalagi jika saya tak mau menyempatkan diri untuk sekedar mendengar ceritanya yang boleh jadi tak menarik lagi di telinga.
Tapi saya tahu, setelah saya telah berbaring di sisinya itu, ketika saya telah sempurna memandanginya dengan pikiran yang bergelanjut tadi, tanpa perlu diminta lagi, ia akan mulai bercerita. Saya hanya perlu menyimak. Hanya itu. Saya tak perlu berkomentar jika perlu. Cukup merespon ‘ya ya’ saja. Dan dari itu lah semuanya terjawab. Ah, tidak! Saya tak hanya mengerti tentang harapannya tadi, tapi lebih dari itu, pemahaman saya tertegaskan lagi bahwa bercerita ini, boleh jadi telah menjadi kebutuhannya yang sudah semestinya lah terfasilitasi oleh kami orang terdekatnya. Kala tak ada lagi rekan sejawat yang masih nyambung untuk diajak mengenang romantisme masa lalu, persoalan memang menjadi sulit. Dunia baginya menjadi teramat sepi. Sunyi. Bahkan melaju dalam sunyi. Meninggalkannya sendiri, tertinggal jauh, tertatih-tatih mengeja hidupnya sendiri.
Maka hanya dengan mendengar, maka hanya dengan mendengar. Ya, hanya mendengar. Sejenak saja. Membiarkan cerita mengalir begitu saja, yang amat mungkin tentang masa lalunya. Sebab memang masa lalu itu lah yang memang masih utuh menjadi miliknya. Hanya masa lalu itu lah yang masih lengkap bisa ia rangkai, bisa ia banggakan. Bercerita yang baginya, boleh jadi adalah sebuah penegas tentang eksistensinya yang masih.
Tapi saya salah. Ya, saya benar-benar salah. Ketika saya sudah diam seperti biasanya, ketika cerita mulai mengalir dari mulutnya, saya tahu cerita itu tak melulu tentangnya, tentang masa lalunya. Ada harapan terselip di sana, optimisme, keinginan-keinginan kecil yang mewujud dalam buncahan kalimat kala bercerita tentang cucu mantunya, atau pendar bahagia kala mengisahkan tingkah cicitnya. Ternyata semangat itu masih ada, ternyata harapan itu masih hidup dalam jiwanya. Hanya bergeser. Bergeser pada orang-orang terdekatnya. Harapan orang-orang terdekatmya adalah harapannya, cita-cita saya adalah cita-citanya, kebahagiaan saya adalah kebahagiaanya. Maka menjadi sebaik-sebaik orang, bagi saya, bagi kakak-kakak saya, bagi keponakan-keponakan saya, adalah sebuah kunci agar harapan itu senantiasa menyala-nyala dalam jiwanya.
Ah, semoga saya.
290711
Kampung halaman
Iya sudah tua, ya, saya mengerti. Bahkan sependek ingatan saya, ia sudah tua sejak saya petama kali mengerti bahwa perempuan tua dengan uban putih di kepalanya itu adalah nenek saya. Tapi, ia adalah seorang renta dimana teman sejawatnya sudah tak lagi ada untuk sekedar bersama-sama mencengkeramai hari, adalah fakta lain yang membuat saya terpekur sejenak kala memandang kerut di wajahnya yang dari waktu ke waktu kian menjadi. Ya, apakah kiranya yang sedang ia pikirkan? Di usianya yang menapak senja, saya agak sangsi kalau pikirannya masih digelayuti oleh obsesi-obsesi pribadi yang individualistik. Tidak, saya yakin benar akan hal itu.
Saya, sebagai orang muda, mungkin masih kerap memikirkan tentang harapan-harapan di masa depan. Tentang menginkan memiliki ini, tentang ingin ke sini, tentang ingin menjadi seperti ini. Tapi bagi seorang perempuan sederhana yang telah mengalami penjajahan belanda, penindasan jepang, keterpimpinan soekarno, pembatasan soeharto, dan euforia reformasi, dimana usianya telah mengular memanjang melewati manis-getir kehidupan, adakah yang masih terselip lembut dalam imajinya kala sebuah kata bernama harapan itu tersebut? Agak sulit menjawabnya. Sangat sulit, apalagi jika saya tak mau menyempatkan diri untuk sekedar mendengar ceritanya yang boleh jadi tak menarik lagi di telinga.
Tapi saya tahu, setelah saya telah berbaring di sisinya itu, ketika saya telah sempurna memandanginya dengan pikiran yang bergelanjut tadi, tanpa perlu diminta lagi, ia akan mulai bercerita. Saya hanya perlu menyimak. Hanya itu. Saya tak perlu berkomentar jika perlu. Cukup merespon ‘ya ya’ saja. Dan dari itu lah semuanya terjawab. Ah, tidak! Saya tak hanya mengerti tentang harapannya tadi, tapi lebih dari itu, pemahaman saya tertegaskan lagi bahwa bercerita ini, boleh jadi telah menjadi kebutuhannya yang sudah semestinya lah terfasilitasi oleh kami orang terdekatnya. Kala tak ada lagi rekan sejawat yang masih nyambung untuk diajak mengenang romantisme masa lalu, persoalan memang menjadi sulit. Dunia baginya menjadi teramat sepi. Sunyi. Bahkan melaju dalam sunyi. Meninggalkannya sendiri, tertinggal jauh, tertatih-tatih mengeja hidupnya sendiri.
Maka hanya dengan mendengar, maka hanya dengan mendengar. Ya, hanya mendengar. Sejenak saja. Membiarkan cerita mengalir begitu saja, yang amat mungkin tentang masa lalunya. Sebab memang masa lalu itu lah yang memang masih utuh menjadi miliknya. Hanya masa lalu itu lah yang masih lengkap bisa ia rangkai, bisa ia banggakan. Bercerita yang baginya, boleh jadi adalah sebuah penegas tentang eksistensinya yang masih.
Tapi saya salah. Ya, saya benar-benar salah. Ketika saya sudah diam seperti biasanya, ketika cerita mulai mengalir dari mulutnya, saya tahu cerita itu tak melulu tentangnya, tentang masa lalunya. Ada harapan terselip di sana, optimisme, keinginan-keinginan kecil yang mewujud dalam buncahan kalimat kala bercerita tentang cucu mantunya, atau pendar bahagia kala mengisahkan tingkah cicitnya. Ternyata semangat itu masih ada, ternyata harapan itu masih hidup dalam jiwanya. Hanya bergeser. Bergeser pada orang-orang terdekatnya. Harapan orang-orang terdekatmya adalah harapannya, cita-cita saya adalah cita-citanya, kebahagiaan saya adalah kebahagiaanya. Maka menjadi sebaik-sebaik orang, bagi saya, bagi kakak-kakak saya, bagi keponakan-keponakan saya, adalah sebuah kunci agar harapan itu senantiasa menyala-nyala dalam jiwanya.
Ah, semoga saya.
290711
Kampung halaman
Thursday, July 28, 2011
Wednesday, July 27, 2011
kebahagiaan itu tentang memberi, kang!
“mau tak belikan pakaian, nggak? Celana nomor berapa?”
Pesan itu terkirim, tapi ia tak segera memasukkan ponsel ke saku celana. Ia tak benar tahu memang, tapi seperti ada yang ingin ditambahkan. Tapi ragu. Entah apa. Entah kenapa. Beberapa detik saja memang usia keraguan itu, sampai jemarinya bekerja kembali memencet-mencet keypad ponsel.
“mumpung aku ada di mall”
Terkirim. Ponsel masuk saku celana, dan ia memutuskan untuk mulai berkelililing.
Belum ada jawaban. Sang empunya ponsel yang terkirimi mungkin sedang tidur, atau sedang tak punya pulsa, atau sedang meninggalkan ponsel itu di kamar. Atau entah.
Ia terus berkeliling. Memasuki TB Gunung Agung. Tapi tentu saja ia tak benar-benar tahu apa yang sedang ia cari. Semalaman, ia sudah dibuat pegal-pegal setelah mengelilingi gramedia yang begitu luas. Sudah cukup banyak buku yang telah ia beli, sudah tak terhitung buku yang ia lihati, maka saat itu, sudah tak ada semangat lagi lah untuk menjengkali tiap raknya.
Suara ponsel terdengar pelan. Tanda sms masuk. Ia merogoh saku. Memencet ‘view’:
“nggak”
Singkat. Padat. Tidak terlalu jelas menggambarkan ekspresi si pengirim memang, tapi seketika itu meninggalkan jejak yang ia sendiri bahkan tak tahu mengapa begitu dalam terabasannya. Ada kekecewaan, rasa sakit, ketakbergunaaan, ketakbermanfaatan, sedih, nelangsa. Tapi juga ada pengertian, pemakluman, kesadaran. Semuanya menjalin dalam perasaan absurd yang entah apa namanya.
Ah, ia hanya ingin berbuat. Itu saja. Memberi sedikit dari yang ia mampu untuk seseorang yang ia tahu, atas jerihnya pula lah ia kini berada. Membagi kebahagiaan. Sebab ia telah benar-benar tahu dan merasai, bahwa sejatinya yang paling menyakitkan itu bukanlah saat tak ada orang yang membersamai kala kita bersedih, tapi justru saat kita bahagia, tapi kita tak punya seorang pun untuk menjadi tempat dimana kebahagiaan itu bisa dibagi. Tapi kemudian, di detik itu juga ia sadar, bahwa sepenggal kata ‘nggak’ dalam sms itu menyiratkan sebuah kecukupan, ketakinginan untuk memberatkan sedikitpun, sebuah kata singkat untuk menyatakan sekalimat ini; “bahwa kau tak perlu memberi apapun, aku sudah cukup bahagia melihat kau bahagia”.
Ia terus melangkah, ketika sms sepertinya masuk.
“aku sudah punya celana. Belikan baju lengan pendek saja”
SMS itu. Ia sedikit mendongak, mencoba mengingkari apa-apa yang tiba-tiba saja hadir. Ya Tuhan, mengapa justru di siang-siang seperti ini ia menjadi begitu melankolis. Mengapa semuanya tiba-tiba saja hadir. Kenangan-kenangan, lintasan-lintasan kejadian, konstruksi masa depan. Semuanya. Membuatnya berpikir sejenak tentang di posisi manakah ia telah berada, dan datang dari mana. Oleh karena siapa. Tentang orang-orang yang berdiri mengawal sepanjang jalan.
Lalu apakah yang bisa diartikan dengan ‘aku sudah punya celana’?. Inikah gambar kebersahajaan yang sudah terlalu padat mengristal, potret penerimaan seorang lelaki kampung, tentang ‘sudah punya’ saja sudah cukup. Tak perlu lebih. Tak perlu ada untuk sebuah ruang kemanjaan dimana gengsi, nafsu, dan keduniawian kerap kali ikut bersarang dengan nyaman. Maka sampai di situ saja. Sudah. Cukup. Berikan saja apa-apa yang memang belum! Tak perlu melebihkan apa yang sudah dipunya.
Ia memasukkan kembali ponsel. Melangkah ringan, seakan melayang. Tapi melayang dengan jiwa yang tentram. Kebahagiaan itu ada pada memberi, ia paham betul akan hal itu. Tapi bayangan bahwa seseorang akan berbunga atas pemberiannya itu, adalah musabab yang membuat tingkat kebahagiaan itu berlipat-lipat tak terkira. Maka kemudian menjadi tak terbantahkan lagi fakta ini, bahwa, ah, ia semakin tak sabar untuk segera menemukan senyum itu.
#27-280711
#Ruang Tunggu SHIA – Kampung halaman tercinta
Pesan itu terkirim, tapi ia tak segera memasukkan ponsel ke saku celana. Ia tak benar tahu memang, tapi seperti ada yang ingin ditambahkan. Tapi ragu. Entah apa. Entah kenapa. Beberapa detik saja memang usia keraguan itu, sampai jemarinya bekerja kembali memencet-mencet keypad ponsel.
“mumpung aku ada di mall”
Terkirim. Ponsel masuk saku celana, dan ia memutuskan untuk mulai berkelililing.
Belum ada jawaban. Sang empunya ponsel yang terkirimi mungkin sedang tidur, atau sedang tak punya pulsa, atau sedang meninggalkan ponsel itu di kamar. Atau entah.
Ia terus berkeliling. Memasuki TB Gunung Agung. Tapi tentu saja ia tak benar-benar tahu apa yang sedang ia cari. Semalaman, ia sudah dibuat pegal-pegal setelah mengelilingi gramedia yang begitu luas. Sudah cukup banyak buku yang telah ia beli, sudah tak terhitung buku yang ia lihati, maka saat itu, sudah tak ada semangat lagi lah untuk menjengkali tiap raknya.
Suara ponsel terdengar pelan. Tanda sms masuk. Ia merogoh saku. Memencet ‘view’:
“nggak”
Singkat. Padat. Tidak terlalu jelas menggambarkan ekspresi si pengirim memang, tapi seketika itu meninggalkan jejak yang ia sendiri bahkan tak tahu mengapa begitu dalam terabasannya. Ada kekecewaan, rasa sakit, ketakbergunaaan, ketakbermanfaatan, sedih, nelangsa. Tapi juga ada pengertian, pemakluman, kesadaran. Semuanya menjalin dalam perasaan absurd yang entah apa namanya.
Ah, ia hanya ingin berbuat. Itu saja. Memberi sedikit dari yang ia mampu untuk seseorang yang ia tahu, atas jerihnya pula lah ia kini berada. Membagi kebahagiaan. Sebab ia telah benar-benar tahu dan merasai, bahwa sejatinya yang paling menyakitkan itu bukanlah saat tak ada orang yang membersamai kala kita bersedih, tapi justru saat kita bahagia, tapi kita tak punya seorang pun untuk menjadi tempat dimana kebahagiaan itu bisa dibagi. Tapi kemudian, di detik itu juga ia sadar, bahwa sepenggal kata ‘nggak’ dalam sms itu menyiratkan sebuah kecukupan, ketakinginan untuk memberatkan sedikitpun, sebuah kata singkat untuk menyatakan sekalimat ini; “bahwa kau tak perlu memberi apapun, aku sudah cukup bahagia melihat kau bahagia”.
Ia terus melangkah, ketika sms sepertinya masuk.
“aku sudah punya celana. Belikan baju lengan pendek saja”
SMS itu. Ia sedikit mendongak, mencoba mengingkari apa-apa yang tiba-tiba saja hadir. Ya Tuhan, mengapa justru di siang-siang seperti ini ia menjadi begitu melankolis. Mengapa semuanya tiba-tiba saja hadir. Kenangan-kenangan, lintasan-lintasan kejadian, konstruksi masa depan. Semuanya. Membuatnya berpikir sejenak tentang di posisi manakah ia telah berada, dan datang dari mana. Oleh karena siapa. Tentang orang-orang yang berdiri mengawal sepanjang jalan.
Lalu apakah yang bisa diartikan dengan ‘aku sudah punya celana’?. Inikah gambar kebersahajaan yang sudah terlalu padat mengristal, potret penerimaan seorang lelaki kampung, tentang ‘sudah punya’ saja sudah cukup. Tak perlu lebih. Tak perlu ada untuk sebuah ruang kemanjaan dimana gengsi, nafsu, dan keduniawian kerap kali ikut bersarang dengan nyaman. Maka sampai di situ saja. Sudah. Cukup. Berikan saja apa-apa yang memang belum! Tak perlu melebihkan apa yang sudah dipunya.
Ia memasukkan kembali ponsel. Melangkah ringan, seakan melayang. Tapi melayang dengan jiwa yang tentram. Kebahagiaan itu ada pada memberi, ia paham betul akan hal itu. Tapi bayangan bahwa seseorang akan berbunga atas pemberiannya itu, adalah musabab yang membuat tingkat kebahagiaan itu berlipat-lipat tak terkira. Maka kemudian menjadi tak terbantahkan lagi fakta ini, bahwa, ah, ia semakin tak sabar untuk segera menemukan senyum itu.
#27-280711
#Ruang Tunggu SHIA – Kampung halaman tercinta
Tuesday, July 26, 2011
mylathief ngomongin kulkas
Dosen saya dulu, saat mengajar mata kuliah thermodinamika teknik kimia, seperti diriwayatkan seorang teman, pernah mengajukan pertanyaan menggelitik ini; mungkinkah kita mendinginkan ruangan dengan cara membuka pintu lemari es di ruangan itu? Pertanyaan ini sebenarnya sederhana tapi cukup berat. Hmm, sebab logika tersederhannya, bukankah dalamnya lemari es itu dingin, sedangkan suhu ruangan lebih panas. Dan kita sudah sama-sama tahu, bahwa kalor akan mengalir dengan sendirinya dari temperatur tinggi ke temperatur rendah. Maka idealnya, dengan membuka pintu lemari es itu, otomatis panas di ruangan akan dapat terserap ke dalam lemari es. Ya, bisa dikatakan sebagai AC lah.
Tapi ternyata tidak. Jawabannya tentu saja tak sesederhana itu. Saya yang mendengar pertanyaan itu, dan mungkin teman-teman yang berada di kelas thermodinamika kala itu, pastinya akan berpikiran, jika ada sebuah pertanyaan diajukan oleh seorang doktor yang logika paling dangkal harusnya berjawab ‘iya’, hampir dapat dipastikan kalau jawabab sebenarnya adalah ‘tidak’. Hanya saja saya, dan teman-teman kala itu, belum punya argumentasi tentang kenapa jawaban untuk pertanyaan itu adalah ‘tidak’. Pastinya alasannya adalah sesuatu yang filosofis, yang baru bisa dijawab dengan baik oleh seseorang yang paham akan prinsip kerja lemari es.
Tak ada jawaban dari saya, sampai teman tadi di kemudian hari mengutarakan jawabannya. Tentu saja, sesuai dugaan awal, jawaban untuk pertanyaan tadi adalah ‘tidak’. Kenpa tidak? Ini lah kemudian alasan yang dikemukakan teman saya tadi; ‘sebab jika kita membuka pintu lemari es, maka menjadi kabur lah antara sistem dan lingkungan, tak jelas, sehingga menjadi kacau sistem refrigerasi di lemari es tersebut’. Bingung? He he...saya juga bingung.
Tapi untuk sedikit lebih jelasnya, cobalah lihat siklus pendinginan sederhana di lemari es seperti ada pada gambara di atas. Cairan pendingin, tarulah itu freon, yang saat itu berfase gas, akan dimampatkan oleh sebuah kompresor hingga tekan dan temperaturnya menjadi tinggi. Uap freon dengan tekanan dan temperatur tinggi ini kemudian memasuki sebuah alat yang dinamakan kondenser. Namanya kondenser, tentu saja alat ini berfungsi untuk mengembunkan uap. Begitu juga uap freon ini, akan diembunkan di kondenser ini. Pertanyaannya kemudian, jika kondenser itu adalah sebuah alat tempat terjadinya pengembunan, lalu apakah sebenarnya yang dipakai untuk menyerap panas yang ada pada uap freon itu sehingga terembunkan? Bila anda mencermati bagian belakang sebuah lemari es, anda akan tahu jawaban untuk pertanyaan ini. Iya, betul, udara luar kulkas lah yang dipakai untuk mendinginkan. Itu lah mengapa bila kita mendekatkan tangan di bagian belakang kulkas, akan terasa ada aliran udara yang hangat. Itu adalah udara yang baru saja mendinginkan uap freon.
Karena tidak terjadi penurunan tekanan, keluar dari kondensor tersebut, freon akan berfase cair dengan tekanan tinggi dan temperatur rendah. Selanjutnya cairan freon itu akan melewati sebuah expansion valve atau letdown valve dimana fungsinya, seperti namanya, untuk menurunkan tekanan freon sehingga akan terflashkan di dalam evaporator. Terflaskan di sini adalah suatu keadaan karena penurunan tekanan yang cukup tinggi secara drastis, maka freon akan menguap secara cepat di ruang evaporator yang tekanannya bisa mencapai vakum karena efek hisapan kompresor di depannya. Nah, karena terjadinya penguapan ini, maka diperlukan kalor untuk keterlaksanaannya. Semoga semua masih ingat, bahwa kalor yang dibutuhkan untuk merubah fase suatu zat, biasanya disebut dengan kalor laten, nilainya jauh lebih besar bila dibandingkan dengan kalor yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu, biasa disebut dengan kalor sensible. Kalor tersebut, yang digunakan untuk memflashkan freon di ruang evaporator, tak lain diserap dari ruangan dalam lemari es hingga ruangan itu menjadi dingin. Sebenarnya, penjelasan ini akan lebih lengkap jika saya dapat menemukan properties dari freon ini.
Maka setelah penjelasan di atas, semoga bisa menjawab kenapa pintu lemari es tak boleh dibuka. Sebab antara ruangan dalam lemari es dan lingkungan luar boleh dikatakan sebagai sistem dan lingkungan dalam pembahasan thermodinamika. Uadara luar, seperti dijelaskan di atas, fungsinya untuk menyerap panas pada freon. Sedangkan udara dalam lemari es, sebaliknya, justru panasnya diserap oleh freon. Maka jika antara udara dalam lemari es dan udara luar itu bercampur, tentu saja akan boleh dikatakan impas saja. Kalor yang diserap freon dari ruangan lemari es, akan dipansakan lagi oleh kalor yang diserap udara luar dari freon. Begitu seterusnya, tak selesai-selesai.
Belum mengerti? Kuliah saja di teknik Kimia. Saya yang sudah lulus saja belum juga benar-benar paham.
Selamat pagi
#270711
#di pinggiran raden saleh
#entah dapat wangsit dari mana kok tiba-tiba nulis beginian..
Tapi ternyata tidak. Jawabannya tentu saja tak sesederhana itu. Saya yang mendengar pertanyaan itu, dan mungkin teman-teman yang berada di kelas thermodinamika kala itu, pastinya akan berpikiran, jika ada sebuah pertanyaan diajukan oleh seorang doktor yang logika paling dangkal harusnya berjawab ‘iya’, hampir dapat dipastikan kalau jawabab sebenarnya adalah ‘tidak’. Hanya saja saya, dan teman-teman kala itu, belum punya argumentasi tentang kenapa jawaban untuk pertanyaan itu adalah ‘tidak’. Pastinya alasannya adalah sesuatu yang filosofis, yang baru bisa dijawab dengan baik oleh seseorang yang paham akan prinsip kerja lemari es.
Tak ada jawaban dari saya, sampai teman tadi di kemudian hari mengutarakan jawabannya. Tentu saja, sesuai dugaan awal, jawaban untuk pertanyaan tadi adalah ‘tidak’. Kenpa tidak? Ini lah kemudian alasan yang dikemukakan teman saya tadi; ‘sebab jika kita membuka pintu lemari es, maka menjadi kabur lah antara sistem dan lingkungan, tak jelas, sehingga menjadi kacau sistem refrigerasi di lemari es tersebut’. Bingung? He he...saya juga bingung.
Tapi untuk sedikit lebih jelasnya, cobalah lihat siklus pendinginan sederhana di lemari es seperti ada pada gambara di atas. Cairan pendingin, tarulah itu freon, yang saat itu berfase gas, akan dimampatkan oleh sebuah kompresor hingga tekan dan temperaturnya menjadi tinggi. Uap freon dengan tekanan dan temperatur tinggi ini kemudian memasuki sebuah alat yang dinamakan kondenser. Namanya kondenser, tentu saja alat ini berfungsi untuk mengembunkan uap. Begitu juga uap freon ini, akan diembunkan di kondenser ini. Pertanyaannya kemudian, jika kondenser itu adalah sebuah alat tempat terjadinya pengembunan, lalu apakah sebenarnya yang dipakai untuk menyerap panas yang ada pada uap freon itu sehingga terembunkan? Bila anda mencermati bagian belakang sebuah lemari es, anda akan tahu jawaban untuk pertanyaan ini. Iya, betul, udara luar kulkas lah yang dipakai untuk mendinginkan. Itu lah mengapa bila kita mendekatkan tangan di bagian belakang kulkas, akan terasa ada aliran udara yang hangat. Itu adalah udara yang baru saja mendinginkan uap freon.
Karena tidak terjadi penurunan tekanan, keluar dari kondensor tersebut, freon akan berfase cair dengan tekanan tinggi dan temperatur rendah. Selanjutnya cairan freon itu akan melewati sebuah expansion valve atau letdown valve dimana fungsinya, seperti namanya, untuk menurunkan tekanan freon sehingga akan terflashkan di dalam evaporator. Terflaskan di sini adalah suatu keadaan karena penurunan tekanan yang cukup tinggi secara drastis, maka freon akan menguap secara cepat di ruang evaporator yang tekanannya bisa mencapai vakum karena efek hisapan kompresor di depannya. Nah, karena terjadinya penguapan ini, maka diperlukan kalor untuk keterlaksanaannya. Semoga semua masih ingat, bahwa kalor yang dibutuhkan untuk merubah fase suatu zat, biasanya disebut dengan kalor laten, nilainya jauh lebih besar bila dibandingkan dengan kalor yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu, biasa disebut dengan kalor sensible. Kalor tersebut, yang digunakan untuk memflashkan freon di ruang evaporator, tak lain diserap dari ruangan dalam lemari es hingga ruangan itu menjadi dingin. Sebenarnya, penjelasan ini akan lebih lengkap jika saya dapat menemukan properties dari freon ini.
Maka setelah penjelasan di atas, semoga bisa menjawab kenapa pintu lemari es tak boleh dibuka. Sebab antara ruangan dalam lemari es dan lingkungan luar boleh dikatakan sebagai sistem dan lingkungan dalam pembahasan thermodinamika. Uadara luar, seperti dijelaskan di atas, fungsinya untuk menyerap panas pada freon. Sedangkan udara dalam lemari es, sebaliknya, justru panasnya diserap oleh freon. Maka jika antara udara dalam lemari es dan udara luar itu bercampur, tentu saja akan boleh dikatakan impas saja. Kalor yang diserap freon dari ruangan lemari es, akan dipansakan lagi oleh kalor yang diserap udara luar dari freon. Begitu seterusnya, tak selesai-selesai.
Belum mengerti? Kuliah saja di teknik Kimia. Saya yang sudah lulus saja belum juga benar-benar paham.
Selamat pagi
#270711
#di pinggiran raden saleh
#entah dapat wangsit dari mana kok tiba-tiba nulis beginian..
Monday, July 25, 2011
ini jakarta, bung!
Saya bahkan tak tahu sendiri, apakah saya tersenyum sinis, ataukah menggerutu, atau bahkan cuma sedih tak terucap, kala malam itu memilih berhenti sejenak, sedikit menepikan diri di antara pagar pembatas dan pot bunga. Lalu dengan pandangan yang tajam menatapi satu, dua, hingga tiga motor itu untuk melaju begitu saja melewati diri. Tanpa permisi, tanpa senyum, tanpa ketidakenakan karena telah merampas sebuah hak.
Kejadian itu di sebuah trotoar. Saya sedang berjalan menenteng kresek ketika dari arah berlawanan muncul seiringan motor. Di negeri ini (ah, menyedihkan sekali mengatakan ini), meski kau benar tapi dalam posisi tak cukup kuat, seringkali jalan terbaiknya adalah mengalah. Maka biarpun saya tahu bahwa trotoar itu, lewat definisi yang saya peroleh sejak SD, adalah tempat bagi pejalan kaki, yang saya lakukan kemudian adalah berhenti menepi sedikit. Diam sejenak menunggu motor-motor kurang beradab itu lewat. Sebab jika tidak, jika saya bersikeras untuk tak minggir atau bahkan meneruskan berjalan, bukan tak mungkin moncong motor itu lah yang bakal menghajar saya. Bakal panjang lah persoalan.
Lalu lintas memang sedang ramai, meski belum bisa dibilang macet. Ruas jalan penuh oleh aneka rupa kendaraan yang seakan tak mengijinkan sejengkal saja jalan lowong. Gerimis baru saja mengakhiri paradenya, menyisakan jalanan yang lumayan basah dan di titik-titik genangan yang kian merusak pemandangan. Maka saat-saat seperti itu, kesabaran sungguh menemukan medan juangnya. Beberapa terlihat sabar dalam kepadatan, terlihat istiqomah melewati jalur yang ditentukan dan tak terlalu banyak tingkah. Tapi beberapa yang lain tak. Yang paling ringan, ekspresi ketaksabaran itu mewujud dalam suara-suara klakson yang benar-benar meningkahi malam. Ah memang, untuk yang satu ini, jalanan indonesia memang tempat unjuk adu besar desibel klakson. Tak percaya, coba lah sekali-kali ke perempatan lampu merah yang masih tiga warna. Maka saat lampu kuning itu baru menyala, dengar lah, seketika itu suara berbagai macam klakson kendaraan yang baru terhenti karena terkena lampu merah berebutan untuk menjadi yang terdahulu memekakkan telinga. Seakan semua pengendara di depannya sedang melamun tak tahu lampu lalu lintas telah berubah, seolah mereka tiba-tiba menjadi seorang yang begitu menghargai waktu hingga sedetik saja pantas ditukar dengan keandilan mencemari suara.
Dalam tingkatan yang lebih, ketaksabaran itu berujung dengan apa yang saya ceritakan di awal. Begtu ada celah, sedikit saja, sesaat saja, maka secepat itu pula lah aksi terlaksana. Srobot sana, srobot sini. Tak peduli kalau itu mengganggu pengendara yang lain, tak ambil soal kalau itu melanggar hak pejalan kaki. Tujuannya satu; lepas dari kepadatan yang seakan tak jua mengurai, apapun caranya. Terlupa, bahwa yang mereka lakukan, boleh jadi kian meliatkan jalinan keruwetan yang sudah amat ruwet.
Ah, jakarta.
Tapi tentu saja ini bukan tentang jakarta. Ini tentang penerimaan, ini tentang kesabaran. Ini tentang bagaimana kita memilih sikap atas sebuah keadaan yang sama-sama tak mengenakkan kita. Sebab dalam kondisi apapun, seterjepit apapun, akan selalu ada pilihan. Kita lah penentunya. Maka nilai diri kita, dalam medan keruwetan lalu lintas ibu kota, menemukan pengujinya. Maka bapak-bapak yang menerobos melintasi trotoar itu, telah menempelkan nilai dirinya besar-besar di helm bagian depan. Mempertontonkan ke sana ke mari. Sedihnya, amat boleh jadi, ia tak merasa kalau tulisan yang tertempel itu, tergurat dengan tinta merah yang tebal. Buruk. Buruk sekali. Sebab sunguh menyedihkan tak terkira, kala kita mulai tak merasa malu atas ketakbenaran yang kita lakukan.
Lalu lintas masih saja padat. Suara-suara klakson tetap saja menggema. Tapi lelaki dengan kresek di tangannya itu terus melangkah dalam sunyi. Malam itu, semoga saja satu pelajaran hidup masih sempat ia renungi.
260711
Pinggiran Raden Saleh
Kejadian itu di sebuah trotoar. Saya sedang berjalan menenteng kresek ketika dari arah berlawanan muncul seiringan motor. Di negeri ini (ah, menyedihkan sekali mengatakan ini), meski kau benar tapi dalam posisi tak cukup kuat, seringkali jalan terbaiknya adalah mengalah. Maka biarpun saya tahu bahwa trotoar itu, lewat definisi yang saya peroleh sejak SD, adalah tempat bagi pejalan kaki, yang saya lakukan kemudian adalah berhenti menepi sedikit. Diam sejenak menunggu motor-motor kurang beradab itu lewat. Sebab jika tidak, jika saya bersikeras untuk tak minggir atau bahkan meneruskan berjalan, bukan tak mungkin moncong motor itu lah yang bakal menghajar saya. Bakal panjang lah persoalan.
Lalu lintas memang sedang ramai, meski belum bisa dibilang macet. Ruas jalan penuh oleh aneka rupa kendaraan yang seakan tak mengijinkan sejengkal saja jalan lowong. Gerimis baru saja mengakhiri paradenya, menyisakan jalanan yang lumayan basah dan di titik-titik genangan yang kian merusak pemandangan. Maka saat-saat seperti itu, kesabaran sungguh menemukan medan juangnya. Beberapa terlihat sabar dalam kepadatan, terlihat istiqomah melewati jalur yang ditentukan dan tak terlalu banyak tingkah. Tapi beberapa yang lain tak. Yang paling ringan, ekspresi ketaksabaran itu mewujud dalam suara-suara klakson yang benar-benar meningkahi malam. Ah memang, untuk yang satu ini, jalanan indonesia memang tempat unjuk adu besar desibel klakson. Tak percaya, coba lah sekali-kali ke perempatan lampu merah yang masih tiga warna. Maka saat lampu kuning itu baru menyala, dengar lah, seketika itu suara berbagai macam klakson kendaraan yang baru terhenti karena terkena lampu merah berebutan untuk menjadi yang terdahulu memekakkan telinga. Seakan semua pengendara di depannya sedang melamun tak tahu lampu lalu lintas telah berubah, seolah mereka tiba-tiba menjadi seorang yang begitu menghargai waktu hingga sedetik saja pantas ditukar dengan keandilan mencemari suara.
Dalam tingkatan yang lebih, ketaksabaran itu berujung dengan apa yang saya ceritakan di awal. Begtu ada celah, sedikit saja, sesaat saja, maka secepat itu pula lah aksi terlaksana. Srobot sana, srobot sini. Tak peduli kalau itu mengganggu pengendara yang lain, tak ambil soal kalau itu melanggar hak pejalan kaki. Tujuannya satu; lepas dari kepadatan yang seakan tak jua mengurai, apapun caranya. Terlupa, bahwa yang mereka lakukan, boleh jadi kian meliatkan jalinan keruwetan yang sudah amat ruwet.
Ah, jakarta.
Tapi tentu saja ini bukan tentang jakarta. Ini tentang penerimaan, ini tentang kesabaran. Ini tentang bagaimana kita memilih sikap atas sebuah keadaan yang sama-sama tak mengenakkan kita. Sebab dalam kondisi apapun, seterjepit apapun, akan selalu ada pilihan. Kita lah penentunya. Maka nilai diri kita, dalam medan keruwetan lalu lintas ibu kota, menemukan pengujinya. Maka bapak-bapak yang menerobos melintasi trotoar itu, telah menempelkan nilai dirinya besar-besar di helm bagian depan. Mempertontonkan ke sana ke mari. Sedihnya, amat boleh jadi, ia tak merasa kalau tulisan yang tertempel itu, tergurat dengan tinta merah yang tebal. Buruk. Buruk sekali. Sebab sunguh menyedihkan tak terkira, kala kita mulai tak merasa malu atas ketakbenaran yang kita lakukan.
Lalu lintas masih saja padat. Suara-suara klakson tetap saja menggema. Tapi lelaki dengan kresek di tangannya itu terus melangkah dalam sunyi. Malam itu, semoga saja satu pelajaran hidup masih sempat ia renungi.
260711
Pinggiran Raden Saleh
Sunday, July 24, 2011
(bila ) tujuan-tujuan penyerta (lebih menarik dari yang utama)
Ya, yang perlu saya lakukan memang ini; membuat tujuan-tujuan lain yang lebih menarik agar apa yang saya lakukan ikutan menarik.
Ini bukan keumuman, jadi jangan serta merta menerapkan apa yang saya tulis di awal itu terhadap pekerjaan Anda. Sebab boleh jadi beda hasilnya. Ini tentang kembalinya saya ke jakarta ini.
Jadi, baru dua minggu yang lalu saya meninggalkan jakarta ini. Balik lagi ke tempat saya mencari rizki, Bontang. Maka ketika tengah pekan kemarin saya mendapati tiga carik kertas berisi surat perintah perjalanan dinas dengan tujuan Jakarta, tidak seantusias sebelumnya lah saya menerimanya. Biasa-biasanya, saya akan cukup senang karena ini lah kesempatan untuk keluar dari Bontang dan memuaskan diri di toko-toko buku yang memang tak tersedia di Bontang. Tapi, masalahnya, saya sudah memuaskan diri di Pesta Buku Jakarta dua pekan sebelumnya dan telah membeli banyak buku di sana. Ditambah fakta bahwa dari banyak itu hanya dua buku lah yang baru selesai saya baca, maka antusisme untuk menjelajahi lagi toko buku itu tak sebegitu menggebu. Itu pula lah yang mempengaruhi keantusiasan saya menuju jakarta kali ini. Saya memang senang, tapi tak terlalu. Biasa saja.
Berbeda halnya mungkin jika harus ke Jogja, sudah tiga tahunan saya tak kesana. Atau mungkin ke semarang, kota besar di jawa yang belum pernah saya kunjungi. Atau lombok, atau wakatobi, atau derawan, atau bukit tinggi, sebab itu memang daerah-daerah yang ingin saya kunjungi. Tapi tentu saja ‘atau-atau’ itu hanyalah andai-andai yang tak mengubah apapun. Tetap saja kota tujuan dinas kali ini adalah Jakarta, seberapapun inginnya saya kalau ini berganti kota lain.
Maka, seperti halnya dengan apa yang dikatakan Aa Gym bahwa jika nasi sudah menjadi bubur, jadikanlah bubur ayam istimewa, maka sebisa mungkin saya harus menjadikan kedinasan kali ini juga istimewa. Maka jadilah saya membuat rencana-rencana, tujuan-tujuan penyerta yang membuat kepergian kali ini memiliki nilai lebih. Tentu saja, tujuan-tujuan penyerta itu, jangan sampai mengganggu tujuan utama kenapa saya mesti ke sini.
Yang pertama tentang tanggal 23 juli yang tertera di surat perintah perjalanan dinas itu sebagai hari keberangkatan. Itu artinya hari sabtu. Dan, eh, saya kemudian tersadar, ternyata tanggal yang sama pula sebagai tanggal acara ultah MPID. Jika saya berangkat tengah malam via darat (selain karena memang kehabisan pesawat bontang-bpp), menembus jalan trans kaltim, maka saya bisa mengejar pesawat terpagi menuju jakarta. Satu setengah jam penerbangan ke jakarta, maka dengan sedikit ketergesaan, mungkin saya masih bisa menjangkaunya. Mengikuti jam-jam terakhir acara. Menjadikan ini sebagai pengalaman pertama. Saya membayangkan, rasa-rasanya bakal menarik, sebab yang pertama itu seringkali yang berkesan. Tentu saja, di luar fakta saya tipe yang tak terlalu pede untuk acara kopdar-kopdar begini.
Yang kedua tentang tanggal 28 sebagai hari seharusnya saya sudah balik ke Bontang. Itu adalah hari kamis. Maka tentu saja hari jumatnya saya sudah harus masuk kerja lagi. Atas dasar fakta ini lah kemudian rencana lain tersusun. Jika saya mengambil cuti untuk hari jumat, lalu menyempatkan diri untuk pulang ke pasuruan di rabu malamnya tepat setelah selesai acara, maka setidaknya saya akan dapat empat hari di rumah. Ditambah kenyataan bahwa lebaran nanti, lewat meeting department, saya telah diputuskan bakalan stand by lagi di bontang alias tak pulang, rencana kepulangan ini cukup sudah untuk membuat segala hal yang berhubungan dengan kedinasan ini menjadi spesial. Orang-orang yang di perantauan pasti mengerti betul akan hal ini. Ketika kepulangan tak bisa dilakukan setiap saat, ketika ada jarak yang begitu menganga antara tempat kita yang sekarng dengan kampung halaman, maka momen kepulangan selalu menimbulkan sensasi-sensasi ganjil yang menyenangkan. Bahkan sulit dijelaskan, hanya dirasakan.
Maka, begitulah. Kepergian ke jakarta ini menjadi spesial. Di awalnya saya akan ikutan kopdar MPID, di akhirnya bakalan menyempatkan pulang. Dengan spesialnya awalan dan akhiran itu, menjadi ikutan spesial lah yang ada di antaranya. Maka kemudian saya mesti bertanya pelan-pelan; nikmat Tuhan yang manakah yang akan saya dustakan? Ah, semoga saja tak ada.
#di ketinggia tujuh lantai. Menikmati kerlap-kerlip lampu jakarta. Ah, ternya sama menakjubkannya dengan ketika memandangi kesunyian jalan dan kebun salak lewat teras depan rumah kampung halaman.
Ini bukan keumuman, jadi jangan serta merta menerapkan apa yang saya tulis di awal itu terhadap pekerjaan Anda. Sebab boleh jadi beda hasilnya. Ini tentang kembalinya saya ke jakarta ini.
Jadi, baru dua minggu yang lalu saya meninggalkan jakarta ini. Balik lagi ke tempat saya mencari rizki, Bontang. Maka ketika tengah pekan kemarin saya mendapati tiga carik kertas berisi surat perintah perjalanan dinas dengan tujuan Jakarta, tidak seantusias sebelumnya lah saya menerimanya. Biasa-biasanya, saya akan cukup senang karena ini lah kesempatan untuk keluar dari Bontang dan memuaskan diri di toko-toko buku yang memang tak tersedia di Bontang. Tapi, masalahnya, saya sudah memuaskan diri di Pesta Buku Jakarta dua pekan sebelumnya dan telah membeli banyak buku di sana. Ditambah fakta bahwa dari banyak itu hanya dua buku lah yang baru selesai saya baca, maka antusisme untuk menjelajahi lagi toko buku itu tak sebegitu menggebu. Itu pula lah yang mempengaruhi keantusiasan saya menuju jakarta kali ini. Saya memang senang, tapi tak terlalu. Biasa saja.
Berbeda halnya mungkin jika harus ke Jogja, sudah tiga tahunan saya tak kesana. Atau mungkin ke semarang, kota besar di jawa yang belum pernah saya kunjungi. Atau lombok, atau wakatobi, atau derawan, atau bukit tinggi, sebab itu memang daerah-daerah yang ingin saya kunjungi. Tapi tentu saja ‘atau-atau’ itu hanyalah andai-andai yang tak mengubah apapun. Tetap saja kota tujuan dinas kali ini adalah Jakarta, seberapapun inginnya saya kalau ini berganti kota lain.
Maka, seperti halnya dengan apa yang dikatakan Aa Gym bahwa jika nasi sudah menjadi bubur, jadikanlah bubur ayam istimewa, maka sebisa mungkin saya harus menjadikan kedinasan kali ini juga istimewa. Maka jadilah saya membuat rencana-rencana, tujuan-tujuan penyerta yang membuat kepergian kali ini memiliki nilai lebih. Tentu saja, tujuan-tujuan penyerta itu, jangan sampai mengganggu tujuan utama kenapa saya mesti ke sini.
Yang pertama tentang tanggal 23 juli yang tertera di surat perintah perjalanan dinas itu sebagai hari keberangkatan. Itu artinya hari sabtu. Dan, eh, saya kemudian tersadar, ternyata tanggal yang sama pula sebagai tanggal acara ultah MPID. Jika saya berangkat tengah malam via darat (selain karena memang kehabisan pesawat bontang-bpp), menembus jalan trans kaltim, maka saya bisa mengejar pesawat terpagi menuju jakarta. Satu setengah jam penerbangan ke jakarta, maka dengan sedikit ketergesaan, mungkin saya masih bisa menjangkaunya. Mengikuti jam-jam terakhir acara. Menjadikan ini sebagai pengalaman pertama. Saya membayangkan, rasa-rasanya bakal menarik, sebab yang pertama itu seringkali yang berkesan. Tentu saja, di luar fakta saya tipe yang tak terlalu pede untuk acara kopdar-kopdar begini.
Yang kedua tentang tanggal 28 sebagai hari seharusnya saya sudah balik ke Bontang. Itu adalah hari kamis. Maka tentu saja hari jumatnya saya sudah harus masuk kerja lagi. Atas dasar fakta ini lah kemudian rencana lain tersusun. Jika saya mengambil cuti untuk hari jumat, lalu menyempatkan diri untuk pulang ke pasuruan di rabu malamnya tepat setelah selesai acara, maka setidaknya saya akan dapat empat hari di rumah. Ditambah kenyataan bahwa lebaran nanti, lewat meeting department, saya telah diputuskan bakalan stand by lagi di bontang alias tak pulang, rencana kepulangan ini cukup sudah untuk membuat segala hal yang berhubungan dengan kedinasan ini menjadi spesial. Orang-orang yang di perantauan pasti mengerti betul akan hal ini. Ketika kepulangan tak bisa dilakukan setiap saat, ketika ada jarak yang begitu menganga antara tempat kita yang sekarng dengan kampung halaman, maka momen kepulangan selalu menimbulkan sensasi-sensasi ganjil yang menyenangkan. Bahkan sulit dijelaskan, hanya dirasakan.
Maka, begitulah. Kepergian ke jakarta ini menjadi spesial. Di awalnya saya akan ikutan kopdar MPID, di akhirnya bakalan menyempatkan pulang. Dengan spesialnya awalan dan akhiran itu, menjadi ikutan spesial lah yang ada di antaranya. Maka kemudian saya mesti bertanya pelan-pelan; nikmat Tuhan yang manakah yang akan saya dustakan? Ah, semoga saja tak ada.
#di ketinggia tujuh lantai. Menikmati kerlap-kerlip lampu jakarta. Ah, ternya sama menakjubkannya dengan ketika memandangi kesunyian jalan dan kebun salak lewat teras depan rumah kampung halaman.
(bila ) tujuan-tujuan penyerta (lebih menarik dari yang utama)
Ya, yang perlu saya lakukan memang ini; membuat tujuan-tujuan lain yang lebih menarik agar apa yang saya lakukan ikutan menarik.
Ini bukan keumuman, jadi jangan serta merta menerapkan apa yang saya tulis di awal itu terhadap pekerjaan Anda. Sebab boleh jadi beda hasilnya. Ini tentang kembalinya saya ke jakarta ini.
Jadi, baru dua minggu yang lalu saya meninggalkan jakarta ini. Balik lagi ke tempat saya mencari rizki, Bontang. Maka ketika tengah pekan kemarin saya mendapati tiga carik kertas berisi surat perintah perjalanan dinas dengan tujuan Jakarta, tidak seantusias sebelumnya lah saya menerimanya. Biasa-biasanya, saya akan cukup senang karena ini lah kesempatan untuk keluar dari Bontang dan memuaskan diri di toko-toko buku yang memang tak tersedia di Bontang. Tapi, masalahnya, saya sudah memuaskan diri di Pesta Buku Jakarta dua pekan sebelumnya dan telah membeli banyak buku di sana. Ditambah fakta bahwa dari banyak itu hanya dua buku lah yang baru selesai saya baca, maka antusisme untuk menjelajahi lagi toko buku itu tak sebegitu menggebu. Itu pula lah yang mempengaruhi keantusiasan saya menuju jakarta kali ini. Saya memang senang, tapi tak terlalu. Biasa saja.
Berbeda halnya mungkin jika harus ke Jogja, sudah tiga tahunan saya tak kesana. Atau mungkin ke semarang, kota besar di jawa yang belum pernah saya kunjungi. Atau lombok, atau wakatobi, atau derawan, atau bukit tinggi, sebab itu memang daerah-daerah yang ingin saya kunjungi. Tapi tentu saja ‘atau-atau’ itu hanyalah andai-andai yang tak mengubah apapun. Tetap saja kota tujuan dinas kali ini adalah Jakarta, seberapapun inginnya saya kalau ini berganti kota lain.
Maka, seperti halnya dengan apa yang dikatakan Aa Gym bahwa jika nasi sudah menjadi bubur, jadikanlah bubur ayam istimewa, maka sebisa mungkin saya harus menjadikan kedinasan kali ini juga istimewa. Maka jadilah saya membuat rencana-rencana, tujuan-tujuan penyerta yang membuat kepergian kali ini memiliki nilai lebih. Tentu saja, tujuan-tujuan penyerta itu, jangan sampai mengganggu tujuan utama kenapa saya mesti ke sini.
Yang pertama tentang tanggal 23 juli yang tertera di surat perintah perjalanan dinas itu sebagai hari keberangkatan. Itu artinya hari sabtu. Dan, eh, saya kemudian tersadar, ternyata tanggal yang sama pula sebagai tanggal acara ultah MPID. Jika saya berangkat tengah malam via darat (selain karena memang kehabisan pesawat bontang-bpp), menembus jalan trans kaltim, maka saya bisa mengejar pesawat terpagi menuju jakarta. Satu setengah jam penerbangan ke jakarta, maka dengan sedikit ketergesaan, mungkin saya masih bisa menjangkaunya. Mengikuti jam-jam terakhir acara. Menjadikan ini sebagai pengalaman pertama. Saya membayangkan, rasa-rasanya bakal menarik, sebab yang pertama itu seringkali yang berkesan. Tentu saja, di luar fakta saya tipe yang tak terlalu pede untuk acara kopdar-kopdar begini.
Yang kedua tentang tanggal 28 sebagai hari seharusnya saya sudah balik ke Bontang. Itu adalah hari kamis. Maka tentu saja hari jumatnya saya sudah harus masuk kerja lagi. Atas dasar fakta ini lah kemudian rencana lain tersusun. Jika saya mengambil cuti untuk hari jumat, lalu menyempatkan diri untuk pulang ke pasuruan di rabu malamnya tepat setelah selesai acara, maka setidaknya saya akan dapat empat hari di rumah. Ditambah kenyataan bahwa lebaran nanti, lewat meeting department, saya telah diputuskan bakalan stand by lagi di bontang alias tak pulang, rencana kepulangan ini cukup sudah untuk membuat segala hal yang berhubungan dengan kedinasan ini menjadi spesial. Orang-orang yang di perantauan pasti mengerti betul akan hal ini. Ketika kepulangan tak bisa dilakukan setiap saat, ketika ada jarak yang begitu menganga antara tempat kita yang sekarng dengan kampung halaman, maka momen kepulangan selalu menimbulkan sensasi-sensasi ganjil yang menyenangkan. Bahkan sulit dijelaskan, hanya dirasakan.
Maka, begitulah. Kepergian ke jakarta ini menjadi spesial. Di awalnya saya akan ikutan kopdar MPID, di akhirnya bakalan menyempatkan pulang. Dengan spesialnya awalan dan akhiran itu, menjadi ikutan spesial lah yang ada di antaranya. Maka kemudian saya mesti bertanya pelan-pelan; nikmat Tuhan yang manakah yang akan saya dustakan? Ah, semoga saja tak ada.
#di ketinggia tujuh lantai. Menikmati kerlap-kerlip lampu jakarta. Ah, ternya sama menakjubkannya dengan ketika memandangi kesunyian jalan dan kebun salak lewat teras depan rumah kampung halaman.
Ini bukan keumuman, jadi jangan serta merta menerapkan apa yang saya tulis di awal itu terhadap pekerjaan Anda. Sebab boleh jadi beda hasilnya. Ini tentang kembalinya saya ke jakarta ini.
Jadi, baru dua minggu yang lalu saya meninggalkan jakarta ini. Balik lagi ke tempat saya mencari rizki, Bontang. Maka ketika tengah pekan kemarin saya mendapati tiga carik kertas berisi surat perintah perjalanan dinas dengan tujuan Jakarta, tidak seantusias sebelumnya lah saya menerimanya. Biasa-biasanya, saya akan cukup senang karena ini lah kesempatan untuk keluar dari Bontang dan memuaskan diri di toko-toko buku yang memang tak tersedia di Bontang. Tapi, masalahnya, saya sudah memuaskan diri di Pesta Buku Jakarta dua pekan sebelumnya dan telah membeli banyak buku di sana. Ditambah fakta bahwa dari banyak itu hanya dua buku lah yang baru selesai saya baca, maka antusisme untuk menjelajahi lagi toko buku itu tak sebegitu menggebu. Itu pula lah yang mempengaruhi keantusiasan saya menuju jakarta kali ini. Saya memang senang, tapi tak terlalu. Biasa saja.
Berbeda halnya mungkin jika harus ke Jogja, sudah tiga tahunan saya tak kesana. Atau mungkin ke semarang, kota besar di jawa yang belum pernah saya kunjungi. Atau lombok, atau wakatobi, atau derawan, atau bukit tinggi, sebab itu memang daerah-daerah yang ingin saya kunjungi. Tapi tentu saja ‘atau-atau’ itu hanyalah andai-andai yang tak mengubah apapun. Tetap saja kota tujuan dinas kali ini adalah Jakarta, seberapapun inginnya saya kalau ini berganti kota lain.
Maka, seperti halnya dengan apa yang dikatakan Aa Gym bahwa jika nasi sudah menjadi bubur, jadikanlah bubur ayam istimewa, maka sebisa mungkin saya harus menjadikan kedinasan kali ini juga istimewa. Maka jadilah saya membuat rencana-rencana, tujuan-tujuan penyerta yang membuat kepergian kali ini memiliki nilai lebih. Tentu saja, tujuan-tujuan penyerta itu, jangan sampai mengganggu tujuan utama kenapa saya mesti ke sini.
Yang pertama tentang tanggal 23 juli yang tertera di surat perintah perjalanan dinas itu sebagai hari keberangkatan. Itu artinya hari sabtu. Dan, eh, saya kemudian tersadar, ternyata tanggal yang sama pula sebagai tanggal acara ultah MPID. Jika saya berangkat tengah malam via darat (selain karena memang kehabisan pesawat bontang-bpp), menembus jalan trans kaltim, maka saya bisa mengejar pesawat terpagi menuju jakarta. Satu setengah jam penerbangan ke jakarta, maka dengan sedikit ketergesaan, mungkin saya masih bisa menjangkaunya. Mengikuti jam-jam terakhir acara. Menjadikan ini sebagai pengalaman pertama. Saya membayangkan, rasa-rasanya bakal menarik, sebab yang pertama itu seringkali yang berkesan. Tentu saja, di luar fakta saya tipe yang tak terlalu pede untuk acara kopdar-kopdar begini.
Yang kedua tentang tanggal 28 sebagai hari seharusnya saya sudah balik ke Bontang. Itu adalah hari kamis. Maka tentu saja hari jumatnya saya sudah harus masuk kerja lagi. Atas dasar fakta ini lah kemudian rencana lain tersusun. Jika saya mengambil cuti untuk hari jumat, lalu menyempatkan diri untuk pulang ke pasuruan di rabu malamnya tepat setelah selesai acara, maka setidaknya saya akan dapat empat hari di rumah. Ditambah kenyataan bahwa lebaran nanti, lewat meeting department, saya telah diputuskan bakalan stand by lagi di bontang alias tak pulang, rencana kepulangan ini cukup sudah untuk membuat segala hal yang berhubungan dengan kedinasan ini menjadi spesial. Orang-orang yang di perantauan pasti mengerti betul akan hal ini. Ketika kepulangan tak bisa dilakukan setiap saat, ketika ada jarak yang begitu menganga antara tempat kita yang sekarng dengan kampung halaman, maka momen kepulangan selalu menimbulkan sensasi-sensasi ganjil yang menyenangkan. Bahkan sulit dijelaskan, hanya dirasakan.
Maka, begitulah. Kepergian ke jakarta ini menjadi spesial. Di awalnya saya akan ikutan kopdar MPID, di akhirnya bakalan menyempatkan pulang. Dengan spesialnya awalan dan akhiran itu, menjadi ikutan spesial lah yang ada di antaranya. Maka kemudian saya mesti bertanya pelan-pelan; nikmat Tuhan yang manakah yang akan saya dustakan? Ah, semoga saja tak ada.
#di ketinggia tujuh lantai. Menikmati kerlap-kerlip lampu jakarta. Ah, ternya sama menakjubkannya dengan ketika memandangi kesunyian jalan dan kebun salak lewat teras depan rumah kampung halaman.
Saturday, July 23, 2011
tak seharusnya bapak itu marah
Saya tahu, tak seharusnya lah bapak itu marah.
Subuh hari, di sebuah bandara yang katanya bandara internasional. Wajah berat masih menggelanjuti saya, ngantuk, setelah hampir lima jam menempuh perjalanan yang cukup berat dan melelahkan. Muka kusut, rambut acak-acakan, dan tentu saja gigi yang belum tergosok. Maka, oleh karena fakta-fakta tersebut, selain karena masih ada waktu sejaman untuk mulai check in, melangkahlah saya ke toilet terdekat. Tak lupa, sudah ada perangkat cuci muka dan gosok gigi tergenggam di tangan saya.
Toilet itu agak tersembunyi. Jangan lah kau bayangkan wajah bandara ini dengan soekarno-hatta. Meski berstatus internasional, serta penerbangannya yang cukup padat, tetap saja bandara ini kecil. Sumpek. Bahkan terkesan seperti pasar di saat padat-padatnya.
Saat itu saya hendak menyikat gigi ketika dari cermin di depan saya terlihat seorang bapak sedang menunggu. Saya berusaha untuk minggir, memberi ruang yang lebih lapang pada sisi sebelah saya. Ada dua kran air memang di wastafel itu. Tapi tetap saja, si bapak tak menunjukkan akan memanfaatkan kesempatan yang saya berikan. Ia masih saja bergeming di tempatnya, tak mencoba maju.
Kau pasti tahu, tak enak rasanya saat kita melakukan sesuatu, tapi seseorang sedang menunggui kita dan berharap kita segera menyelesaikan sesuatu itu. Maka, demi melihat kebergemingan si bapak, saya kemudian memutuskan mundur, mencoba menyikat gigi tidak di depan wastafel. Ya, benar saja dengan apa yang saya pikirkan, si bapak memang menginginkan kebebasan, sebuah penguasan atas wastafel tanpa orang lain di sampingnya yang mungkin saja menghambat gerakannya. Sebab ba’da saya mundur dari wastafel itu, si bapak yang giliran maju. Mencoba melepas jaketnya, dan nampak kesulitan bakal di manakah jaket itu bakal digantungkan. Di sini lah kemudian permasalahan itu bermula, sesuatu yang membuat saya menuliskan catatan kecil ini. Saya memang tak terlalu memperhatikan benar, lebih konsen dengan sikat gigi yang mesti tetap digerak-gerakkan, tapi saya sedikit menangkap lewat ekor mata saya kalau si bapak menggantungkan jaketnya itu di satu bagian pintu toilet yang entahlah. Posisi saya berdiri tak terlalu memberi keluasaan yang cukup untuk saya mampu melihat hingga ke detail centelan yang dimanfaatkan si bapak untuk menggantung jaketnya.
Si bapak kemudian ternyata mengambil air wudhu. Subuh memang masih tersisa, tapi saya juga tak tahu pasti mengapa bapak ini mengambil air wudhu di sini. Bukankah musholla ada di lantai dua? Entahlah! Saya tak terlalu rumit memikirkannya, masih sibuk menjengkali tiap bagian gigi dengan sikat yang berbusa oleh sebab pasta.
Kemudian si bapak melakukan gerakan wudhu pada umumnya. Saya tak terlalu memperhatikan sampai kemudian ada seorang lelaki masuk. Gerakannya tergesa, mencerminkan sesuatu yang ingin segera ia tuntaskan. Ia kemudian terlihat masuk di toilet yang wc jongkok, namun langsung keluar. Entah kenapa, saya juga tak tahu. Tapi yang pasti kemudian ia memilih yang WC duduk di sampingnya. Menutup pintu segera. Saat itu lah, saya merasa ada permasalahan yang tercipta. Ini tentang jaket si bapak yang tadi digantungkan di pintu.
Dan benar saja. Lepas si bapak menyelesaikan wudhunya, ketika ia berpindah ke toilet untuk membasuh kakinya, ia menyadari ada ketakberesan yang menimpa jaketnya. Ya, jaketnya ternyata terjepit di pintu yang tertutup tadi. Ditarik, jaket itu tak mau lepas. Ditarik lagi, tetep saja terjepit. Tak sabar, si bapak kemudian mulai mengetuk. Sebuah jawaban terdengar dari dalam, tapi saya tak tahu apa.
“jaketnya kejepit, ini”, suara si bapak sedikit meninggi, meski tak terlalu. Tak tahu, atas dalih apa ia berhak melakukannya.
“heee?”, saya tak tahu pasti apa yang sedang dijawabkan oleh si mas di dalam. Yang pasti, ia tak mengerti maksud si bapak. Ia, sangkaan saya, tentunya tak menyadari kalau ada jaket yang terjepit akibat perbuatannya menutup pintu yang sebenarnya wajar-wajar saja itu. Ditambah keadaan sedang melepaskan hajat, tentu saja konsentrasi terpecah.
“INI LO, JAKETNYA KEJEPIT!” ini tentu saja bukan hanya masalah nada suara yang keras. Saya tahu, bapak ini sedang sedikit jengkel, atau boleh jadi marah. Tapi, yang tidak begitu saya ketahui, atas dasar apakah si Bapak ini marah. Ya, benar, jaket bapak ini terjepit. Dan ya, benar juga, karena si mas menutup pintu lah jaket itu menjadi terjepit. Tapi, bukan kah bukan sebuah kesalahan jika si mas tak menyadari, apalagi dalam keadaan kebelet, kalau sedang ada jaket yang tergantung di pintu hingga membuatnya terjepit kala pintu ia tutup. Juga, bukankah menggantungkan jaket di pintu adalah tindakan yang tak tepat juga, mengingat bukan di situ lah jaket mesti digantungkan. Lalu, sekali lagi, atas dasar apakah si bapak ini marah.
“ya ya, maaf”, pada akhirnya kata-kata itu yang keluar dari mulut si mas. Tak lama, pintu sedikit terbuka dan si bapak berhasil menarik jaketnya.
Saya baru saja selesai berkumur-kumur untuk membersihkan busa di mulut ketika si bapak meninggalkan ruangan. Saya lupa-lupa ingat apakah si bapak telah menyelesaikan rukun wudhu yang terakhir itu; membasuh kaki. Yang pasti, ketika beberapa detik kemudian saya menyusulnya keluar, tak saya temukan lagi si bapak, bahkan punggungnya di kejauhan sekalipun. Mungkin ia membelok ke arah yang tak sama dengan saya.
Ah, tak seharusnya bapak itu marah.
230711
pinggiran Raden Saleh
Subuh hari, di sebuah bandara yang katanya bandara internasional. Wajah berat masih menggelanjuti saya, ngantuk, setelah hampir lima jam menempuh perjalanan yang cukup berat dan melelahkan. Muka kusut, rambut acak-acakan, dan tentu saja gigi yang belum tergosok. Maka, oleh karena fakta-fakta tersebut, selain karena masih ada waktu sejaman untuk mulai check in, melangkahlah saya ke toilet terdekat. Tak lupa, sudah ada perangkat cuci muka dan gosok gigi tergenggam di tangan saya.
Toilet itu agak tersembunyi. Jangan lah kau bayangkan wajah bandara ini dengan soekarno-hatta. Meski berstatus internasional, serta penerbangannya yang cukup padat, tetap saja bandara ini kecil. Sumpek. Bahkan terkesan seperti pasar di saat padat-padatnya.
Saat itu saya hendak menyikat gigi ketika dari cermin di depan saya terlihat seorang bapak sedang menunggu. Saya berusaha untuk minggir, memberi ruang yang lebih lapang pada sisi sebelah saya. Ada dua kran air memang di wastafel itu. Tapi tetap saja, si bapak tak menunjukkan akan memanfaatkan kesempatan yang saya berikan. Ia masih saja bergeming di tempatnya, tak mencoba maju.
Kau pasti tahu, tak enak rasanya saat kita melakukan sesuatu, tapi seseorang sedang menunggui kita dan berharap kita segera menyelesaikan sesuatu itu. Maka, demi melihat kebergemingan si bapak, saya kemudian memutuskan mundur, mencoba menyikat gigi tidak di depan wastafel. Ya, benar saja dengan apa yang saya pikirkan, si bapak memang menginginkan kebebasan, sebuah penguasan atas wastafel tanpa orang lain di sampingnya yang mungkin saja menghambat gerakannya. Sebab ba’da saya mundur dari wastafel itu, si bapak yang giliran maju. Mencoba melepas jaketnya, dan nampak kesulitan bakal di manakah jaket itu bakal digantungkan. Di sini lah kemudian permasalahan itu bermula, sesuatu yang membuat saya menuliskan catatan kecil ini. Saya memang tak terlalu memperhatikan benar, lebih konsen dengan sikat gigi yang mesti tetap digerak-gerakkan, tapi saya sedikit menangkap lewat ekor mata saya kalau si bapak menggantungkan jaketnya itu di satu bagian pintu toilet yang entahlah. Posisi saya berdiri tak terlalu memberi keluasaan yang cukup untuk saya mampu melihat hingga ke detail centelan yang dimanfaatkan si bapak untuk menggantung jaketnya.
Si bapak kemudian ternyata mengambil air wudhu. Subuh memang masih tersisa, tapi saya juga tak tahu pasti mengapa bapak ini mengambil air wudhu di sini. Bukankah musholla ada di lantai dua? Entahlah! Saya tak terlalu rumit memikirkannya, masih sibuk menjengkali tiap bagian gigi dengan sikat yang berbusa oleh sebab pasta.
Kemudian si bapak melakukan gerakan wudhu pada umumnya. Saya tak terlalu memperhatikan sampai kemudian ada seorang lelaki masuk. Gerakannya tergesa, mencerminkan sesuatu yang ingin segera ia tuntaskan. Ia kemudian terlihat masuk di toilet yang wc jongkok, namun langsung keluar. Entah kenapa, saya juga tak tahu. Tapi yang pasti kemudian ia memilih yang WC duduk di sampingnya. Menutup pintu segera. Saat itu lah, saya merasa ada permasalahan yang tercipta. Ini tentang jaket si bapak yang tadi digantungkan di pintu.
Dan benar saja. Lepas si bapak menyelesaikan wudhunya, ketika ia berpindah ke toilet untuk membasuh kakinya, ia menyadari ada ketakberesan yang menimpa jaketnya. Ya, jaketnya ternyata terjepit di pintu yang tertutup tadi. Ditarik, jaket itu tak mau lepas. Ditarik lagi, tetep saja terjepit. Tak sabar, si bapak kemudian mulai mengetuk. Sebuah jawaban terdengar dari dalam, tapi saya tak tahu apa.
“jaketnya kejepit, ini”, suara si bapak sedikit meninggi, meski tak terlalu. Tak tahu, atas dalih apa ia berhak melakukannya.
“heee?”, saya tak tahu pasti apa yang sedang dijawabkan oleh si mas di dalam. Yang pasti, ia tak mengerti maksud si bapak. Ia, sangkaan saya, tentunya tak menyadari kalau ada jaket yang terjepit akibat perbuatannya menutup pintu yang sebenarnya wajar-wajar saja itu. Ditambah keadaan sedang melepaskan hajat, tentu saja konsentrasi terpecah.
“INI LO, JAKETNYA KEJEPIT!” ini tentu saja bukan hanya masalah nada suara yang keras. Saya tahu, bapak ini sedang sedikit jengkel, atau boleh jadi marah. Tapi, yang tidak begitu saya ketahui, atas dasar apakah si Bapak ini marah. Ya, benar, jaket bapak ini terjepit. Dan ya, benar juga, karena si mas menutup pintu lah jaket itu menjadi terjepit. Tapi, bukan kah bukan sebuah kesalahan jika si mas tak menyadari, apalagi dalam keadaan kebelet, kalau sedang ada jaket yang tergantung di pintu hingga membuatnya terjepit kala pintu ia tutup. Juga, bukankah menggantungkan jaket di pintu adalah tindakan yang tak tepat juga, mengingat bukan di situ lah jaket mesti digantungkan. Lalu, sekali lagi, atas dasar apakah si bapak ini marah.
“ya ya, maaf”, pada akhirnya kata-kata itu yang keluar dari mulut si mas. Tak lama, pintu sedikit terbuka dan si bapak berhasil menarik jaketnya.
Saya baru saja selesai berkumur-kumur untuk membersihkan busa di mulut ketika si bapak meninggalkan ruangan. Saya lupa-lupa ingat apakah si bapak telah menyelesaikan rukun wudhu yang terakhir itu; membasuh kaki. Yang pasti, ketika beberapa detik kemudian saya menyusulnya keluar, tak saya temukan lagi si bapak, bahkan punggungnya di kejauhan sekalipun. Mungkin ia membelok ke arah yang tak sama dengan saya.
Ah, tak seharusnya bapak itu marah.
230711
pinggiran Raden Saleh
Friday, July 22, 2011
Thursday, July 21, 2011
Tuesday, July 19, 2011
Saturday, July 16, 2011
Thursday, July 14, 2011
Tuesday, July 12, 2011
Monday, July 11, 2011
Sunday, July 10, 2011
Saturday, July 9, 2011
....
“sekarang coba antum jawab, kira-kira pernah tidak antum mendapat tantangan yang cukup berat? Dari keluarga mungkin, atau dari istri, atau dari yang lain”
Tak ada yang mencoba menjawab. Lelaki itu memandangi lelaki-lelaki lain di depannya.
“jika tidak pernah, antum perlu curiga, jangan-jangan antum belum benar-benar terjun dalam dakwah ini”
Tak ada yang mencoba menjawab. Lelaki itu memandangi lelaki-lelaki lain di depannya.
“jika tidak pernah, antum perlu curiga, jangan-jangan antum belum benar-benar terjun dalam dakwah ini”
***
perang palestine di talkshow tasaro
Lepas isya ketika saya langkahkan kaki memasuki kembali panggung utama bookfair. Suaranya, bahkan ketika saya belum sempurna memasuki arealnya, terdengar cempreng dan khas. Ada logat-logat ndeso yang sepertinya masih betah melekat dalam intonasi suara itu. Saya sering melihat wajahnya di sampul buku-buku dan juga internet, tapi tidak untuk mendengar suaranya. Sepeeti ada sesuatu, tapi entahlah.
Tasaro! Tentu saja, tak ada pekik heboh layaknya ABG labil saat menjumpai justien bieber. Hanya bergerak tenang mengambil tempat duduk paling belakang di samping seorang anak kecil berjilbab, yang, entahlah, mungkin bersama umminya. Meletakkan barang bawaan, dan mulai menyimak.
“setiap buku tentu saja punya misi. Sebuah buku Harry Potter tentu saja punya misi yang mungkin saja tak kita ketahui dengan pasti. Begitu pula saya menulis Nibiru ini”
“Tiap kali menulis, saya tak akan melepaskan diri dari dua hal ini; keindonesiaan saya dan agama saya”
Dan kalimat-kalimat lain. Dan petikan-petikan lain. Tentu saja saya tak menyempatkan diri untuk mencatat tiap kalimatnya hingga terlupalah ketika ini saya buat.
Ruangan tempat berlangsungnya acara boleh dibilang tak ramai, meski tak bisa pula dikatakan sepi. Sebab tempat duduk (yang sepertinya tak terlalu banyak) habis terduduki. Saya menduga, selain orang-orang yang berkepentingan dengan acara ini semacam panitia, yang datang adalah orang-orang yang membaca buku-buku tasaro. Bahkan mungkin juga lelaki berbatik coklat, bersepatu pantovel, serta menjinjing sekresek buku yang tengah duduk di barisan belakang itu.
Acara talkshow sepertinya menjelang usai ketika Tasaro mengajukan semacam kuis kecil.
“jika Allah mengijikan anda memiliki kekuatan super, kekuatan seperti apakah yang ingin anda miliki?”
Seorang mengangkat tangannya.
“lagi!”
Ragu-ragu. Dua orang. Seorang lagi.
“Perempuan semua. Ayo, seorang lagi yang laki-laki”
Ah, anda, yang membaca ini, pasti mengharap si lelaki batik tadi yang mengangkat tangannya. Mengungkapkan sebuah kekuatan yang entahlah. Tapi tidak, ia memilih tetap duduk menikmati setiap potongan yang tersaji di depannya.
“oke, mas itu. Nggak usah ragu-ragu begitu, dong! Ayo maju!”.
Seorang laki-laki berkaos hijau maju.
Ba’da perkenalan dan ini itu yang tak terlalu penting untuk diceritakan, dimulailah acara andai-andai itu.
“ayo, dimulai dari mbaknya, kekuatan apa yang ingin dimiliki?”, Tasaro mencoba memulainya, “Aduh! BBM-an sama siapa ini?”
Seorang perempuan, yang bahkan ketika mulai maju ke depan masih tetap saja terlihat enjoy mengutak-atik ponselnya, mengacuhkan yang lain, mendapat giliran pertama. “emmhh...kemampuan menghilang” (saya sebenarnya agak ragu dengan apa yang disampaikan perempuan ini, antara menghilang dan tak kelihatan, meski keduanya boleh jadi ada yang menyamakan)
“Oke, kalau mbaknya?”
Ijinkan saya menyebut namanya. Nisa, begitulah ia memperkenalkan diri. Bukan karena apa, karena boleh dibilang tentang apa yang diungkapkannya lah saya kemudian memutuskan membuat catatan yang mulanya tak terlihat penting inii. “mmm...saya ingin anak-anak mengerti dengan apa yang saya maksud”
Saya suka dengan jawabannya. Cerdas. Tak sok superhero. “Kayake guru ini ya?”, tasaro menimpali. “kalau mas?”
“kalau saya ingin bisa berpindah tempat dengan leluasa. Jakarta macet soalnya.”
Sejenak menjadi grrr suasana. “mbak?”
Orang terakhir. Mbak yang tadi menjawab dengan tepat kalau masa sejarah adalah masa ketika manusia mengenal tulisan yang mendapat kesempatan itu. “Bisa menjelajah waktu”, timpalnya mantap.
Selesai. “oke, satu lagi. Sekarang, dalam waktu lima detik, sampaikanlah imajinasi terliar yang ada di pikiran anda! Kali ini dimulai dari mbak”, ujar tasaro sambil mengarahkan pandang pada mbak si penjelajah waktu.
“mmm...” sepertinya si mbak agak gelagapan juga memperoleh pertanyaan itu. Tak jua meluncur kalimat dari mulutnya.
Tasaro mulai menghitung. Si mbak sepertinya sudah mendapatkan jawabannya “apa itu?”
“indonesia bersalju”, pada akhirnya dua kata itu yg keluar.
“selanjutnya, mas!”
“Pas dulu saja”, katanya. Sepertinya memang si mas tak serius-serius amat mengikuti game ini, karena memang karena faktor ditunjuklah ia kemudian maju.
“jakarta tak macet”. Bukan! Itu bukan suara masnya yang tadi menginginkan kekuatan berpindah tempat dengan leluasa untuk menghindari macet di jakarta. Ternyata itu hanya celetukan si lelaki batik yang duduk di barisan belakang. Membuat beberapa pengunjung dan seorang perempuan yang besar kemungkinan istri dari si mas nampak tertawa. Ah, ternyata seorang istri senang juga kala suami dicandai.
“ini...eh, menjadi miliarder sukses”, nah, ini baru celetukan masnya. Celetukan yang sepertinya dengan susah payah ia bangkitkan dari alam pikirannnya.
“oke. Miliarder sukses dunia akhirat. Amin”
Giliran Nisa! “mmm...tadi ketika pas lima detik, yang terpikirkan hanya ini. Tiba-tiba saja berada di Palestine mengikuti perang Palestina-Israel”
Ah, kawan. Terserah kalau kalian bilang ini terlalu gimana, tapi saya suka jawabannya. Tak semua orang mampu mengutarakan mimpi itu dalam sebuah forum kebanyakan seperti ini. Tapi Nisa melakukannya. Dua kali jawabannya bukanlah sebuah jawaban individualis yang cenderung pada pemuasan kepentingan-kepentingan pribadi yang permukaan. Dan, apa yang terpikirkan dalam waktu yang begitu cepat itu, adalah sesuatu yang memang lebih kerap menghuni alam pikiranmu, menjadi daya yang menarikmu.
“kalau mbaknya? Terakhir”
“gaji PNS naik 500 %”..
Saya tertawa mendengar jawaban ini. Juga beberapa yang lain. Gaya si mbak khas gaya-gaya perempuan jakarta di sinetron-sinetron.
Saatnya penjurian.
“yang memilih indonesia bersalju angkat tangan?”
“yang miliarder sukses”
“yang perang palestine” (si lelaki batik mengangkat tangan untuk permintaan ini)
“yang gaji PNS naik 500 %”
Saya tak tahu pasti antara mabak pertama atau yang ketiga yang menang. Sepertinya kedua mbak itu lah yang paling banyak membuat pengunjung mengangkat tangannya.
“oke. Sekarang final berarti. Antara mbak yang indonesia bersalju sama perang palestine”
“yang memilih mbak indonesia bersalju?”
Tasaro mulai menghitung. Sekitar sebelasan orang.
“yang mbak perang palestine”
Kembali tasaro menghitung. “satu dua .....delapan. Wah, kayake liqo semua ini” (si lelaki batik dihitung di urutan ketiga)
Saya tersenyum mendengar candaan Tasaro ini. Sedikit banyak saya mengetahui pandangannya mengenai masalah ini dari tulisan-tulisannya.
Tapi kalah. Mbak perang palestine tadi, yang memperkenalkan dirinya dengan Nisa, ternyata tak mampu melebihi capaian ‘mbak indonesia bersalju’dalam hal pengumpulan jumlah pengangkat tangan. Membuat si lelaki batik agak sedikit kecewa.
Demikianlah akhir dari game itu. Si mbak indonesia bersalju mendapat hadiah buku Nibiru.
Masih ada sesi pertanyaan. Masih ada sesi tanda tangan. Hingga pada akhirnya si lelaki batik keluar. Melangkah melewati jedar-jedur suara musik di acara seberangnya. Antara naik taksi dan busway, akhirnya ia memilih menaiki jembatan penyeberangan itu. Menikmati jakarta dalam himpitan orang-orang lainnya.
Mecet? Ah, ini lah jakarta. Kapan lagi merasakannya. Esok harinya ia sudah harus kembali terbang menuju kota( tercinta)nya.
@kramat sintiong
10 juli 2011
Tasaro! Tentu saja, tak ada pekik heboh layaknya ABG labil saat menjumpai justien bieber. Hanya bergerak tenang mengambil tempat duduk paling belakang di samping seorang anak kecil berjilbab, yang, entahlah, mungkin bersama umminya. Meletakkan barang bawaan, dan mulai menyimak.
“setiap buku tentu saja punya misi. Sebuah buku Harry Potter tentu saja punya misi yang mungkin saja tak kita ketahui dengan pasti. Begitu pula saya menulis Nibiru ini”
“Tiap kali menulis, saya tak akan melepaskan diri dari dua hal ini; keindonesiaan saya dan agama saya”
Dan kalimat-kalimat lain. Dan petikan-petikan lain. Tentu saja saya tak menyempatkan diri untuk mencatat tiap kalimatnya hingga terlupalah ketika ini saya buat.
Ruangan tempat berlangsungnya acara boleh dibilang tak ramai, meski tak bisa pula dikatakan sepi. Sebab tempat duduk (yang sepertinya tak terlalu banyak) habis terduduki. Saya menduga, selain orang-orang yang berkepentingan dengan acara ini semacam panitia, yang datang adalah orang-orang yang membaca buku-buku tasaro. Bahkan mungkin juga lelaki berbatik coklat, bersepatu pantovel, serta menjinjing sekresek buku yang tengah duduk di barisan belakang itu.
Acara talkshow sepertinya menjelang usai ketika Tasaro mengajukan semacam kuis kecil.
“jika Allah mengijikan anda memiliki kekuatan super, kekuatan seperti apakah yang ingin anda miliki?”
Seorang mengangkat tangannya.
“lagi!”
Ragu-ragu. Dua orang. Seorang lagi.
“Perempuan semua. Ayo, seorang lagi yang laki-laki”
Ah, anda, yang membaca ini, pasti mengharap si lelaki batik tadi yang mengangkat tangannya. Mengungkapkan sebuah kekuatan yang entahlah. Tapi tidak, ia memilih tetap duduk menikmati setiap potongan yang tersaji di depannya.
“oke, mas itu. Nggak usah ragu-ragu begitu, dong! Ayo maju!”.
Seorang laki-laki berkaos hijau maju.
Ba’da perkenalan dan ini itu yang tak terlalu penting untuk diceritakan, dimulailah acara andai-andai itu.
“ayo, dimulai dari mbaknya, kekuatan apa yang ingin dimiliki?”, Tasaro mencoba memulainya, “Aduh! BBM-an sama siapa ini?”
Seorang perempuan, yang bahkan ketika mulai maju ke depan masih tetap saja terlihat enjoy mengutak-atik ponselnya, mengacuhkan yang lain, mendapat giliran pertama. “emmhh...kemampuan menghilang” (saya sebenarnya agak ragu dengan apa yang disampaikan perempuan ini, antara menghilang dan tak kelihatan, meski keduanya boleh jadi ada yang menyamakan)
“Oke, kalau mbaknya?”
Ijinkan saya menyebut namanya. Nisa, begitulah ia memperkenalkan diri. Bukan karena apa, karena boleh dibilang tentang apa yang diungkapkannya lah saya kemudian memutuskan membuat catatan yang mulanya tak terlihat penting inii. “mmm...saya ingin anak-anak mengerti dengan apa yang saya maksud”
Saya suka dengan jawabannya. Cerdas. Tak sok superhero. “Kayake guru ini ya?”, tasaro menimpali. “kalau mas?”
“kalau saya ingin bisa berpindah tempat dengan leluasa. Jakarta macet soalnya.”
Sejenak menjadi grrr suasana. “mbak?”
Orang terakhir. Mbak yang tadi menjawab dengan tepat kalau masa sejarah adalah masa ketika manusia mengenal tulisan yang mendapat kesempatan itu. “Bisa menjelajah waktu”, timpalnya mantap.
Selesai. “oke, satu lagi. Sekarang, dalam waktu lima detik, sampaikanlah imajinasi terliar yang ada di pikiran anda! Kali ini dimulai dari mbak”, ujar tasaro sambil mengarahkan pandang pada mbak si penjelajah waktu.
“mmm...” sepertinya si mbak agak gelagapan juga memperoleh pertanyaan itu. Tak jua meluncur kalimat dari mulutnya.
Tasaro mulai menghitung. Si mbak sepertinya sudah mendapatkan jawabannya “apa itu?”
“indonesia bersalju”, pada akhirnya dua kata itu yg keluar.
“selanjutnya, mas!”
“Pas dulu saja”, katanya. Sepertinya memang si mas tak serius-serius amat mengikuti game ini, karena memang karena faktor ditunjuklah ia kemudian maju.
“jakarta tak macet”. Bukan! Itu bukan suara masnya yang tadi menginginkan kekuatan berpindah tempat dengan leluasa untuk menghindari macet di jakarta. Ternyata itu hanya celetukan si lelaki batik yang duduk di barisan belakang. Membuat beberapa pengunjung dan seorang perempuan yang besar kemungkinan istri dari si mas nampak tertawa. Ah, ternyata seorang istri senang juga kala suami dicandai.
“ini...eh, menjadi miliarder sukses”, nah, ini baru celetukan masnya. Celetukan yang sepertinya dengan susah payah ia bangkitkan dari alam pikirannnya.
“oke. Miliarder sukses dunia akhirat. Amin”
Giliran Nisa! “mmm...tadi ketika pas lima detik, yang terpikirkan hanya ini. Tiba-tiba saja berada di Palestine mengikuti perang Palestina-Israel”
Ah, kawan. Terserah kalau kalian bilang ini terlalu gimana, tapi saya suka jawabannya. Tak semua orang mampu mengutarakan mimpi itu dalam sebuah forum kebanyakan seperti ini. Tapi Nisa melakukannya. Dua kali jawabannya bukanlah sebuah jawaban individualis yang cenderung pada pemuasan kepentingan-kepentingan pribadi yang permukaan. Dan, apa yang terpikirkan dalam waktu yang begitu cepat itu, adalah sesuatu yang memang lebih kerap menghuni alam pikiranmu, menjadi daya yang menarikmu.
“kalau mbaknya? Terakhir”
“gaji PNS naik 500 %”..
Saya tertawa mendengar jawaban ini. Juga beberapa yang lain. Gaya si mbak khas gaya-gaya perempuan jakarta di sinetron-sinetron.
Saatnya penjurian.
“yang memilih indonesia bersalju angkat tangan?”
“yang miliarder sukses”
“yang perang palestine” (si lelaki batik mengangkat tangan untuk permintaan ini)
“yang gaji PNS naik 500 %”
Saya tak tahu pasti antara mabak pertama atau yang ketiga yang menang. Sepertinya kedua mbak itu lah yang paling banyak membuat pengunjung mengangkat tangannya.
“oke. Sekarang final berarti. Antara mbak yang indonesia bersalju sama perang palestine”
“yang memilih mbak indonesia bersalju?”
Tasaro mulai menghitung. Sekitar sebelasan orang.
“yang mbak perang palestine”
Kembali tasaro menghitung. “satu dua .....delapan. Wah, kayake liqo semua ini” (si lelaki batik dihitung di urutan ketiga)
Saya tersenyum mendengar candaan Tasaro ini. Sedikit banyak saya mengetahui pandangannya mengenai masalah ini dari tulisan-tulisannya.
Tapi kalah. Mbak perang palestine tadi, yang memperkenalkan dirinya dengan Nisa, ternyata tak mampu melebihi capaian ‘mbak indonesia bersalju’dalam hal pengumpulan jumlah pengangkat tangan. Membuat si lelaki batik agak sedikit kecewa.
Demikianlah akhir dari game itu. Si mbak indonesia bersalju mendapat hadiah buku Nibiru.
Masih ada sesi pertanyaan. Masih ada sesi tanda tangan. Hingga pada akhirnya si lelaki batik keluar. Melangkah melewati jedar-jedur suara musik di acara seberangnya. Antara naik taksi dan busway, akhirnya ia memilih menaiki jembatan penyeberangan itu. Menikmati jakarta dalam himpitan orang-orang lainnya.
Mecet? Ah, ini lah jakarta. Kapan lagi merasakannya. Esok harinya ia sudah harus kembali terbang menuju kota( tercinta)nya.
@kramat sintiong
10 juli 2011
Friday, July 8, 2011
; kepada abang
Apakah aku keterlaluan, bila tulisan ini terlahir setelah hampir sebulan telah lewat dari hari kau mengucap janji, dengan kalimat yang kau tegas-tegaskan di antara haru -juga grogi- yang mungkin menelisik, di ruangan kecil itu ; Mitsaqon Gholizo..
Ah, aku sedang tidak menyalahkan pekerjaan kecilku kala itu, yang memaksa menenteng dua kamera digital di kanan-kiri tanganku. Mengabadikan saat-saat dalam megabyte kenangan dalam sudut jepret lain. Melangkah, hilir mudik, serta penuh gerakan, bahkan ketika orang-orang lebih banyak terdiam syahdu. Adakah aku telah melewatkan prosesi sakral itu dalam pemaknaan seperti biasanya; diam, menelan lamat-lamat tiap kalimat, juga mendoa.
“sah?”, begitu tanya yang sangat khas itu meningkahi ruangan.
“sah!”, jawab orang-orang. Serempak, tegas. Menjadikan tunai segalanya. Mungkin setan langsung terjengkang kala itu, terbirit-birit menjauhi majlis. Tersadarkan akan satu jalan menjerumuskan anak adam telah terkunci. Terserah kalau ia kembali menyusun strategi, terserah kalau ia masih menghimpun kekuatan. Sebab pagar telah begitu rapat terjalin, dengan pintu yang terkunci.
Tapi di manakah pengantinmu, Kang? Aku belum jua melihatnya selain sekelebatan sebelum acara janji dalam pakaian warna krem –atau putih tulang- yang menutup rapat seluruh auratnya. Mungkin ia masih terkunci di kamarnya dalam irama dagdigdug. Mungkin menunduk. Mungkin haru. Mungkin meneguh-neguhkan hati bahwa ia akan memiliki imam baru dimana cinta, detik itu, kepadanyalah mesti bermuara.
Oh, aku belum juga sadar, kau menghadirkan satu lagi perempuan. Menyemarakkan keluarga kita yang begitu maskulin. Ya, ba’da janjimu itu, bukankah satu lagi kakak perempuan kau tambahkan dalam daftarku. Membuat aku sekali lagi memberi embel-embel ‘mbak’ di depan sebuah nama baru, yang, entahlah, menjadi terasa menyenangkan. Ah, aku tak juga tahu apakah ini sebentuk obsesi sederhana seorang laki-laki yang bersaudarakan empat lelaki. Kadang, keinginan kerap kali tak kita mengerti sampai kita dihadapkan sendiri dengan apa yang kita ingini itu.
Jemputlah pengantinmu, Kang! Bukankah itu yang diminta oleh bapak penghulu kala itu. Memintamu membawa buku kecil formalitas negara, juga lembar-lembar yang tak kutahu pasti, untuk dipintakan tanda tangan pengantinmu. Aku, sebagaimana tugasku memang, akan membekukan saat-saat itu. Agar kau terus mengingat, agar kau tetap terkenang (lalu berazzam), bahwa pertama kali kau menjemputnya, bahwa saat kau menghalalkannya, adalah dengan cara yang baik. Dimana nama Allah diagungkan dalam sebuah majlis suci. Hingga semoga akan tetap baiklah kelanjutannya, hingga semoga baiklah kesudahannya. Maka kau pasti tahu, apakah kesudahan terbaik itu? Adalah surga, Kang.
Hari itu, ingin sekali kuputar segala kenangan tentang segala yang telah terjadi. Menjenguk masa lalu, hingga ingatan kita kembali menukik pada satu titik masa lampau, pada saat-saat bersama dalam petak yang tukang pos tak pernah menjangkaunya. Lalu kita merunut kembali perjalanan itu, kebersamaan itu, saat demi saat, hingga perlahan-lahan kebersamaan itu melerai secara fisik. Aku dalam duniaku, kau dalam duniamu. Lebih kerap tersambungkan lewat teknologi nirkabel yang melipat jarak. Itu terjadi mulai kapan? Rasa-rasanya sudah 7-8 tahun yang lalu.
Waktu telah menunaikan tugasnya, Kang. Maka ba’da kau sempurnakan yang separuh diin ini, kau telah mendirikan peradabanmu sendiri. Tak melepas dari keluarga besar kita memang, tapi setidaknya telah membuat garis batas dengan independensinya sendiri. Aku berharap, ini bukanlah akhir dari sebuah kebersamaan yang memang kian menjarang. Aku, seperti kepada keponakanku yang lain, masih menginginkan menjadi paman yang bisa diandalkan, yang mereka tak sungkan bergelanjut di pundak, bahkan meski sepupu terkecil mereka telah menyapa.
Barakallahu laka wabaraka ‘alayka wajama’a Baynakuma fii khair.
Apakah kalimat itu yang pada hari itu begitu sering kau dengar? Doa luar biasa itu. Doa yang diajarkan oleh nabi kita untuk sepasangan pengantin baru. Bahwa, semoga Allah memberkahi terhadap apa-apa yang kita sukai, juga memberkahi apa-apa yang kurang kita senangi. Begitu juga doaku, kang!
Salam.
Ah, aku sedang tidak menyalahkan pekerjaan kecilku kala itu, yang memaksa menenteng dua kamera digital di kanan-kiri tanganku. Mengabadikan saat-saat dalam megabyte kenangan dalam sudut jepret lain. Melangkah, hilir mudik, serta penuh gerakan, bahkan ketika orang-orang lebih banyak terdiam syahdu. Adakah aku telah melewatkan prosesi sakral itu dalam pemaknaan seperti biasanya; diam, menelan lamat-lamat tiap kalimat, juga mendoa.
“sah?”, begitu tanya yang sangat khas itu meningkahi ruangan.
“sah!”, jawab orang-orang. Serempak, tegas. Menjadikan tunai segalanya. Mungkin setan langsung terjengkang kala itu, terbirit-birit menjauhi majlis. Tersadarkan akan satu jalan menjerumuskan anak adam telah terkunci. Terserah kalau ia kembali menyusun strategi, terserah kalau ia masih menghimpun kekuatan. Sebab pagar telah begitu rapat terjalin, dengan pintu yang terkunci.
Tapi di manakah pengantinmu, Kang? Aku belum jua melihatnya selain sekelebatan sebelum acara janji dalam pakaian warna krem –atau putih tulang- yang menutup rapat seluruh auratnya. Mungkin ia masih terkunci di kamarnya dalam irama dagdigdug. Mungkin menunduk. Mungkin haru. Mungkin meneguh-neguhkan hati bahwa ia akan memiliki imam baru dimana cinta, detik itu, kepadanyalah mesti bermuara.
Oh, aku belum juga sadar, kau menghadirkan satu lagi perempuan. Menyemarakkan keluarga kita yang begitu maskulin. Ya, ba’da janjimu itu, bukankah satu lagi kakak perempuan kau tambahkan dalam daftarku. Membuat aku sekali lagi memberi embel-embel ‘mbak’ di depan sebuah nama baru, yang, entahlah, menjadi terasa menyenangkan. Ah, aku tak juga tahu apakah ini sebentuk obsesi sederhana seorang laki-laki yang bersaudarakan empat lelaki. Kadang, keinginan kerap kali tak kita mengerti sampai kita dihadapkan sendiri dengan apa yang kita ingini itu.
Jemputlah pengantinmu, Kang! Bukankah itu yang diminta oleh bapak penghulu kala itu. Memintamu membawa buku kecil formalitas negara, juga lembar-lembar yang tak kutahu pasti, untuk dipintakan tanda tangan pengantinmu. Aku, sebagaimana tugasku memang, akan membekukan saat-saat itu. Agar kau terus mengingat, agar kau tetap terkenang (lalu berazzam), bahwa pertama kali kau menjemputnya, bahwa saat kau menghalalkannya, adalah dengan cara yang baik. Dimana nama Allah diagungkan dalam sebuah majlis suci. Hingga semoga akan tetap baiklah kelanjutannya, hingga semoga baiklah kesudahannya. Maka kau pasti tahu, apakah kesudahan terbaik itu? Adalah surga, Kang.
Hari itu, ingin sekali kuputar segala kenangan tentang segala yang telah terjadi. Menjenguk masa lalu, hingga ingatan kita kembali menukik pada satu titik masa lampau, pada saat-saat bersama dalam petak yang tukang pos tak pernah menjangkaunya. Lalu kita merunut kembali perjalanan itu, kebersamaan itu, saat demi saat, hingga perlahan-lahan kebersamaan itu melerai secara fisik. Aku dalam duniaku, kau dalam duniamu. Lebih kerap tersambungkan lewat teknologi nirkabel yang melipat jarak. Itu terjadi mulai kapan? Rasa-rasanya sudah 7-8 tahun yang lalu.
Waktu telah menunaikan tugasnya, Kang. Maka ba’da kau sempurnakan yang separuh diin ini, kau telah mendirikan peradabanmu sendiri. Tak melepas dari keluarga besar kita memang, tapi setidaknya telah membuat garis batas dengan independensinya sendiri. Aku berharap, ini bukanlah akhir dari sebuah kebersamaan yang memang kian menjarang. Aku, seperti kepada keponakanku yang lain, masih menginginkan menjadi paman yang bisa diandalkan, yang mereka tak sungkan bergelanjut di pundak, bahkan meski sepupu terkecil mereka telah menyapa.
***
Barakallahu laka wabaraka ‘alayka wajama’a Baynakuma fii khair.
Apakah kalimat itu yang pada hari itu begitu sering kau dengar? Doa luar biasa itu. Doa yang diajarkan oleh nabi kita untuk sepasangan pengantin baru. Bahwa, semoga Allah memberkahi terhadap apa-apa yang kita sukai, juga memberkahi apa-apa yang kurang kita senangi. Begitu juga doaku, kang!
Salam.
Thursday, July 7, 2011
Wednesday, July 6, 2011
-sudut pandang-
Apakah kau pernah melihat sepasangan yang sedang berboncengan motor. Nampak tenang melintasi jalanan yang boleh jadi ramai. Lalu mata kalian menangkap pemandangna yang mungkin mengakibatkan dirimu memikirkan banyak hal. Hei, bukankah si perempuan, yang nampak merekatkan badannya pada lelaki yang memboncengnya itu, terlihat hamil. Tidak hanya itu, ia bahkan terlihat hamil tua. Nampak mencolok betul perutnya yang membuncit oleh sebab bayi yang dikandungnya.
Apakah yang kau pikirkan saat itu? Apakah seperti yang ada di pikiran seorang teman yang tiba-tiba saja menyayangkan sikap si lelaki, suaminya, yang dengan beraninya membonceng istrinya itu di jalanan umum yang riskan sekali akan terjadi sesuatu. Bagaimanakah kalau begini, bagaimanakah kalau tiba-tiba terjatuh, bagaimanakah bila tba-tiba, ah, bukankah benturan sedikit saja dapat berakibat fatal.
Ataukah kalian justru menjadi orang-orang yang refleks berseru tasbih di saat pandang matamu menubruk potret kebersamaan dalam tunggangan dua roda itu? Mengungkapkan tentang betapa tentramnya si istri dalam boncengan suaminya, benar-benar tsiqoh. Amat percaya bahwa suaminya akan mengendara dengan kesadaran penuh, bahwa di boncengannya ada dua orang spesial yang mesrti ia jaga, hingga tak ada lagi keraguan, tak ada pikiran buruk tentang ini itu. Suaminya sedang menjalankan tugasnya dengan baik, tinggal Allah yang menentukan segalanya. Maka ia begitu tenang, meski dalam keadaan hamil besar, meski jalanan ramai, meski mereka hanya berkendara motor.
Di sudut lain, pernah jugakah kau melihat pemandangan ini. Seorang ibu yang tengah membantu balita kecilnya membuang ingus yang memenuhi hidungnya. Kau pasti tahu, balita belum bisa membuang ingusnya sendiri seperti kita orang dewasa yang dengan mudahnya memencet satu lubang hidung lalu mengeluarkan sedikit tenaga untuk memaksa ingus itu meloncat dari lubang satunya. Maka, yang dilakukan ibu itu adalah dengan menyedot ingus balitanya itu dengan mulutnya. Membiarkan ingus itu sepersekian detik berada di mulutnya, menyatu dengan air ludah, untuk kemudian ia tumpahkan ke tanah.
Seorang teman, melalui ceritanya, demi melihat pemandangan itu, mampu menjadikannya orang yang begitu jijikan ketika makan. Mudah sekali kehilangan nafsu makan –bahkan hendak muntah—hanya dengan celetukan tak sengaja tentang sesuatu yang baahkan bagi orang kebanyakan biasa-biasa saja –tak menjijikkan. Pemandangan itu, pemandangan seorang ibu menyedot ingus balitanya, bagi seorang teman itu, adalah sesuatu yang jorok dan menjijikkan. Bahkan saking joroknya, itu terangkum benar dalam memorinya, hingga mampu mempengaruhi sikapnya.
Padahal untuk pemandangan yang sama itu, seorang lain hanya mampu mengucap asma Allah. Tak ada hal lain yang ia pikirkan selain kasih sayang seorang ibu, yang dengan luar biasanya, yang dengan ikhlas dan begitu biasanya menyedot ingus (orang lain) yang umumnya menjijikkan itu untuk beberapa saat berada di mulutnya. Sama sekali tak ada hal mejijikkan yang tergambar. Hanya lah potret kasih sayang, hanyalah fragmen cinta yang tak berujung. Serba indah dan menentramkan.
Sudut pandang! Aha, itu lah ternyata yang membuat beda. Itulah yang membuat satu hal yang sama menimbulkan penilaian yang bahkan amat berbeda. Maka tentu saja, karena disebut sudut pandang, tak ada yang perlu dipersalahkan. Seorang yang melihat sesuatu terlihat jelek padahal yang lain menganggapnya kebalikannya, boleh jadi karena memang baru hanya dari sudut pandang itu lah ia mampu melihat. Maka seharusnya tak perlu ada amarah. Sebab seringkali sudut pandang itu, hanyalah masalah lengkap dan tak lengkap.
Maka menjadi manggut-manggutlah saya dengan pernyataan Wimar Witoelar ini; "Saya nggak mau mengubah pendapat orang yang sudah punya pendirian, tapi mau berbagi perspektif pada siapa saja dalam suasana sejuk." Ah, menyejukkan benar kalimat ini.
#kamar 208, Bandung
#060711
Apakah yang kau pikirkan saat itu? Apakah seperti yang ada di pikiran seorang teman yang tiba-tiba saja menyayangkan sikap si lelaki, suaminya, yang dengan beraninya membonceng istrinya itu di jalanan umum yang riskan sekali akan terjadi sesuatu. Bagaimanakah kalau begini, bagaimanakah kalau tiba-tiba terjatuh, bagaimanakah bila tba-tiba, ah, bukankah benturan sedikit saja dapat berakibat fatal.
Ataukah kalian justru menjadi orang-orang yang refleks berseru tasbih di saat pandang matamu menubruk potret kebersamaan dalam tunggangan dua roda itu? Mengungkapkan tentang betapa tentramnya si istri dalam boncengan suaminya, benar-benar tsiqoh. Amat percaya bahwa suaminya akan mengendara dengan kesadaran penuh, bahwa di boncengannya ada dua orang spesial yang mesrti ia jaga, hingga tak ada lagi keraguan, tak ada pikiran buruk tentang ini itu. Suaminya sedang menjalankan tugasnya dengan baik, tinggal Allah yang menentukan segalanya. Maka ia begitu tenang, meski dalam keadaan hamil besar, meski jalanan ramai, meski mereka hanya berkendara motor.
Di sudut lain, pernah jugakah kau melihat pemandangan ini. Seorang ibu yang tengah membantu balita kecilnya membuang ingus yang memenuhi hidungnya. Kau pasti tahu, balita belum bisa membuang ingusnya sendiri seperti kita orang dewasa yang dengan mudahnya memencet satu lubang hidung lalu mengeluarkan sedikit tenaga untuk memaksa ingus itu meloncat dari lubang satunya. Maka, yang dilakukan ibu itu adalah dengan menyedot ingus balitanya itu dengan mulutnya. Membiarkan ingus itu sepersekian detik berada di mulutnya, menyatu dengan air ludah, untuk kemudian ia tumpahkan ke tanah.
Seorang teman, melalui ceritanya, demi melihat pemandangan itu, mampu menjadikannya orang yang begitu jijikan ketika makan. Mudah sekali kehilangan nafsu makan –bahkan hendak muntah—hanya dengan celetukan tak sengaja tentang sesuatu yang baahkan bagi orang kebanyakan biasa-biasa saja –tak menjijikkan. Pemandangan itu, pemandangan seorang ibu menyedot ingus balitanya, bagi seorang teman itu, adalah sesuatu yang jorok dan menjijikkan. Bahkan saking joroknya, itu terangkum benar dalam memorinya, hingga mampu mempengaruhi sikapnya.
Padahal untuk pemandangan yang sama itu, seorang lain hanya mampu mengucap asma Allah. Tak ada hal lain yang ia pikirkan selain kasih sayang seorang ibu, yang dengan luar biasanya, yang dengan ikhlas dan begitu biasanya menyedot ingus (orang lain) yang umumnya menjijikkan itu untuk beberapa saat berada di mulutnya. Sama sekali tak ada hal mejijikkan yang tergambar. Hanya lah potret kasih sayang, hanyalah fragmen cinta yang tak berujung. Serba indah dan menentramkan.
Sudut pandang! Aha, itu lah ternyata yang membuat beda. Itulah yang membuat satu hal yang sama menimbulkan penilaian yang bahkan amat berbeda. Maka tentu saja, karena disebut sudut pandang, tak ada yang perlu dipersalahkan. Seorang yang melihat sesuatu terlihat jelek padahal yang lain menganggapnya kebalikannya, boleh jadi karena memang baru hanya dari sudut pandang itu lah ia mampu melihat. Maka seharusnya tak perlu ada amarah. Sebab seringkali sudut pandang itu, hanyalah masalah lengkap dan tak lengkap.
Maka menjadi manggut-manggutlah saya dengan pernyataan Wimar Witoelar ini; "Saya nggak mau mengubah pendapat orang yang sudah punya pendirian, tapi mau berbagi perspektif pada siapa saja dalam suasana sejuk." Ah, menyejukkan benar kalimat ini.
#kamar 208, Bandung
#060711
Tuesday, July 5, 2011
Sunday, July 3, 2011
"mengarang, bagi saya, juga tentang meramu kebahagiaan. Dan sebagai pengarang, sebaik-baik kebahagiaan adalah ketika saya bisa membuang kefasikan ke dalam aliran cerita hingga tak bersisa, hingga tak ada lagi keburukan yang bisa dituang ke dalam kehidupan nyata" (Benny Arnas dalam 'Jatuh Dari Cinta')
Saturday, July 2, 2011
cathar : di ruang tunggu cipaganti
Mahal dan merepotkan sekali ketidakpercayaan itu. Sekali lagi, saya merasakannya.
Malam telah menjelang ketika travel yang akan mengantarkan saya ke Jakarta baru satu jam lagi berangkat. Menunggu, ya itu lah satu-satunya yang bisa dilakukan. Dan sendiri. Tapi tentu saja sendiri yang dimaksud adalah tak adanya orang lain yang benar-benar membersamai. Sebab banyak juga orang-orang lain di situ. Sama-sama menunggu.
Dan dimulailah saat-saat mahal dan merepotkan tentang ketakpercayaan itu. Keadaan merepotkan yang untungnya berimplikasi baik sebab memaksa saya untuk mengreasikan sebuah cara.
Sederhana saja persoalannya. Saat itu saya merasa kebelet ke toilet. Sudah mulai ada indikasi untuk minta dikeluarkan urine itu tapi saya masih saja tak sreg untuk meninggalkan koper bawaan saya begitu saja di antara orang-orang yang sama sekali belum saya kenal. Ruang tunggu di lantai satu sedangkan toilet di lantai atasnya. Saya merutuki rasa percaya saya yang sudah teramat minim ini. Ah, ini kota yang tak begitu saya tahu kultur dan kebiasaannya.
Saya memilih duduk di ruang tunggu luar. Ada orang di samping saya tapi saya juga tak kenal. Tak mungkin begitu saja memasrahkan barang bawaan saya padanya. Saat seperti ini, tentu sedikit menggelisahkan dan tak mungkin dihabiskan dengan membaca buku. Saya memikirkan sebuah cara. Ah, iya, saya punya kurma. Saya belum sempat makan malam dan beberapa butir kurma sepertinya akan cukup untuk mengganjal perut. Satu kunyahan, oke, saatnya strategi dilanjutkan. Klasik sekali; menawarkan makanan yang dipunya. Tapi ternyata gagal. Seorang lelaki muda di samping saya menolak tawaran saya itu denga sopan.
Baiklah.
Lelaki itu kemudian menelepon. Saya masih duduk dan mengunyah kurma. Tak ada yang istimewa mulanya, sampai kemudian saya menyadari sebuah hal. Oi, bukannya lelaki itu menelepon dengan menggunakan bahasa jawa. Hal yang semingguan ini jarang saya temui di Bandung. Tak hanya bahasa jawa itunya juga yang penting, tapi bahasa jawa logat jawa timur yang ia pakai adalah hal lain yang saya sadari bakal menjadi tali penghubung atara kita berdua.
Saya masih menunggu ia selesai menelepon.
Satu menit....
“iya nggak tahu... KPC... xy@#%$@&@*@ kLu7^*^I@U@@@**^((..”, dengan jelas saya dengar suaranya yang sedang menelepon. KPC? Ups. Ini bakalan jadi tali penghubung juga. KPC adalah salah satu perusahaan tambang di kaltim. Saya bahkan pernah melihat salah satu pertambangannya yang menciptakan jurang raksasa.
Selesai. Ia kembai duduk di samping saya. Beberapa saat hening.
“mau ke mana?”, itu suara saya. Membuka percakapan.
“mmm.. Lenteng Agung, jaksel”
“uoww”
“masnya?”
“Ke Cikini”, jawab saya. “orang jawa timur ya?”
Ia tersenyum.
“tadi dengar logatnya jawa timur. Jawa Timur mana?”
“Bojonegoro”
“ooo”
Dan percakapan kemudian beralih menggunakan bahasa jawa timuran. Tentang ini itu. Tentang KPC, tentang orang-orang yang kemungkinan ia kenal dan saya mengenalnya juga. Benar saja, ternyata saya mengenal seorang temannya. Ia juga bercerita tentang esok harinya akan mengikuti rekrutmen kerja di sebuah perusahaan tambang di Kaltim. Umpan tarik yang cantik buat saya untuk dieksekusi menjadi gol pembicaraan yang panjang. Bermodal 2,5 tahun di kaltim cukup buat saya untuk berbicara banyak. Hal yang tentu saja membuatnya tertarik.
Sampai kemudian saya merasa aman untuk meninggalkan bawaan guna ke toilet. Percakapan singkat itu, cukup sudah untuk membuat saya menaruh kepercayaan padanya. Ia pun, mulai aman-aman saja meninggalkan tasnya. Entah karena percaya pada saya, entah karena di tasnya itu tak perlu ada sesuatu yang ia khawatirkan ditinggalkan begitu saja. (kawan, satu bukti lagi tentang harta, bahwa kita yang mesti bersusahpayah menjaganya, bukan dia yang menjaga kita)
“oh ya, mas namnya siapa?” , ia menjulurkan tangannya. Kejadian begini amat sering. Baru bertanya nama ketika sudah asyik ngobrol ke sana ke mari.
“iqbal”, saya sambut uluran tangannya.
“adit”
Acara tukar nomor Hp bahkan terjadi di detik-detik akhir keberangkatan.
“mungkin nanti bisa ketemu lagi”, katanya.
“iya, Mungkin di Kaltim”, lanjut saya.
Malam telah menjelang ketika travel yang akan mengantarkan saya ke Jakarta baru satu jam lagi berangkat. Menunggu, ya itu lah satu-satunya yang bisa dilakukan. Dan sendiri. Tapi tentu saja sendiri yang dimaksud adalah tak adanya orang lain yang benar-benar membersamai. Sebab banyak juga orang-orang lain di situ. Sama-sama menunggu.
Dan dimulailah saat-saat mahal dan merepotkan tentang ketakpercayaan itu. Keadaan merepotkan yang untungnya berimplikasi baik sebab memaksa saya untuk mengreasikan sebuah cara.
Sederhana saja persoalannya. Saat itu saya merasa kebelet ke toilet. Sudah mulai ada indikasi untuk minta dikeluarkan urine itu tapi saya masih saja tak sreg untuk meninggalkan koper bawaan saya begitu saja di antara orang-orang yang sama sekali belum saya kenal. Ruang tunggu di lantai satu sedangkan toilet di lantai atasnya. Saya merutuki rasa percaya saya yang sudah teramat minim ini. Ah, ini kota yang tak begitu saya tahu kultur dan kebiasaannya.
Saya memilih duduk di ruang tunggu luar. Ada orang di samping saya tapi saya juga tak kenal. Tak mungkin begitu saja memasrahkan barang bawaan saya padanya. Saat seperti ini, tentu sedikit menggelisahkan dan tak mungkin dihabiskan dengan membaca buku. Saya memikirkan sebuah cara. Ah, iya, saya punya kurma. Saya belum sempat makan malam dan beberapa butir kurma sepertinya akan cukup untuk mengganjal perut. Satu kunyahan, oke, saatnya strategi dilanjutkan. Klasik sekali; menawarkan makanan yang dipunya. Tapi ternyata gagal. Seorang lelaki muda di samping saya menolak tawaran saya itu denga sopan.
Baiklah.
Lelaki itu kemudian menelepon. Saya masih duduk dan mengunyah kurma. Tak ada yang istimewa mulanya, sampai kemudian saya menyadari sebuah hal. Oi, bukannya lelaki itu menelepon dengan menggunakan bahasa jawa. Hal yang semingguan ini jarang saya temui di Bandung. Tak hanya bahasa jawa itunya juga yang penting, tapi bahasa jawa logat jawa timur yang ia pakai adalah hal lain yang saya sadari bakal menjadi tali penghubung atara kita berdua.
Saya masih menunggu ia selesai menelepon.
Satu menit....
“iya nggak tahu... KPC... xy@#%$@&@*@ kLu7^*^I@U@@@**^((..”, dengan jelas saya dengar suaranya yang sedang menelepon. KPC? Ups. Ini bakalan jadi tali penghubung juga. KPC adalah salah satu perusahaan tambang di kaltim. Saya bahkan pernah melihat salah satu pertambangannya yang menciptakan jurang raksasa.
Selesai. Ia kembai duduk di samping saya. Beberapa saat hening.
“mau ke mana?”, itu suara saya. Membuka percakapan.
“mmm.. Lenteng Agung, jaksel”
“uoww”
“masnya?”
“Ke Cikini”, jawab saya. “orang jawa timur ya?”
Ia tersenyum.
“tadi dengar logatnya jawa timur. Jawa Timur mana?”
“Bojonegoro”
“ooo”
Dan percakapan kemudian beralih menggunakan bahasa jawa timuran. Tentang ini itu. Tentang KPC, tentang orang-orang yang kemungkinan ia kenal dan saya mengenalnya juga. Benar saja, ternyata saya mengenal seorang temannya. Ia juga bercerita tentang esok harinya akan mengikuti rekrutmen kerja di sebuah perusahaan tambang di Kaltim. Umpan tarik yang cantik buat saya untuk dieksekusi menjadi gol pembicaraan yang panjang. Bermodal 2,5 tahun di kaltim cukup buat saya untuk berbicara banyak. Hal yang tentu saja membuatnya tertarik.
Sampai kemudian saya merasa aman untuk meninggalkan bawaan guna ke toilet. Percakapan singkat itu, cukup sudah untuk membuat saya menaruh kepercayaan padanya. Ia pun, mulai aman-aman saja meninggalkan tasnya. Entah karena percaya pada saya, entah karena di tasnya itu tak perlu ada sesuatu yang ia khawatirkan ditinggalkan begitu saja. (kawan, satu bukti lagi tentang harta, bahwa kita yang mesti bersusahpayah menjaganya, bukan dia yang menjaga kita)
“oh ya, mas namnya siapa?” , ia menjulurkan tangannya. Kejadian begini amat sering. Baru bertanya nama ketika sudah asyik ngobrol ke sana ke mari.
“iqbal”, saya sambut uluran tangannya.
“adit”
Acara tukar nomor Hp bahkan terjadi di detik-detik akhir keberangkatan.
“mungkin nanti bisa ketemu lagi”, katanya.
“iya, Mungkin di Kaltim”, lanjut saya.
Friday, July 1, 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)