Lepas isya ketika saya langkahkan kaki memasuki kembali panggung utama bookfair. Suaranya, bahkan ketika saya belum sempurna memasuki arealnya, terdengar cempreng dan khas. Ada logat-logat ndeso yang sepertinya masih betah melekat dalam intonasi suara itu. Saya sering melihat wajahnya di sampul buku-buku dan juga internet, tapi tidak untuk mendengar suaranya. Sepeeti ada sesuatu, tapi entahlah.
Tasaro! Tentu saja, tak ada pekik heboh layaknya ABG labil saat menjumpai justien bieber. Hanya bergerak tenang mengambil tempat duduk paling belakang di samping seorang anak kecil berjilbab, yang, entahlah, mungkin bersama umminya. Meletakkan barang bawaan, dan mulai menyimak.
“setiap buku tentu saja punya misi. Sebuah buku Harry Potter tentu saja punya misi yang mungkin saja tak kita ketahui dengan pasti. Begitu pula saya menulis Nibiru ini”
“Tiap kali menulis, saya tak akan melepaskan diri dari dua hal ini; keindonesiaan saya dan agama saya”
Dan kalimat-kalimat lain. Dan petikan-petikan lain. Tentu saja saya tak menyempatkan diri untuk mencatat tiap kalimatnya hingga terlupalah ketika ini saya buat.
Ruangan tempat berlangsungnya acara boleh dibilang tak ramai, meski tak bisa pula dikatakan sepi. Sebab tempat duduk (yang sepertinya tak terlalu banyak) habis terduduki. Saya menduga, selain orang-orang yang berkepentingan dengan acara ini semacam panitia, yang datang adalah orang-orang yang membaca buku-buku tasaro. Bahkan mungkin juga lelaki berbatik coklat, bersepatu pantovel, serta menjinjing sekresek buku yang tengah duduk di barisan belakang itu.
Acara talkshow sepertinya menjelang usai ketika Tasaro mengajukan semacam kuis kecil.
“jika Allah mengijikan anda memiliki kekuatan super, kekuatan seperti apakah yang ingin anda miliki?”
Seorang mengangkat tangannya.
“lagi!”
Ragu-ragu. Dua orang. Seorang lagi.
“Perempuan semua. Ayo, seorang lagi yang laki-laki”
Ah, anda, yang membaca ini, pasti mengharap si lelaki batik tadi yang mengangkat tangannya. Mengungkapkan sebuah kekuatan yang entahlah. Tapi tidak, ia memilih tetap duduk menikmati setiap potongan yang tersaji di depannya.
“oke, mas itu. Nggak usah ragu-ragu begitu, dong! Ayo maju!”.
Seorang laki-laki berkaos hijau maju.
Ba’da perkenalan dan ini itu yang tak terlalu penting untuk diceritakan, dimulailah acara andai-andai itu.
“ayo, dimulai dari mbaknya, kekuatan apa yang ingin dimiliki?”, Tasaro mencoba memulainya, “Aduh! BBM-an sama siapa ini?”
Seorang perempuan, yang bahkan ketika mulai maju ke depan masih tetap saja terlihat enjoy mengutak-atik ponselnya, mengacuhkan yang lain, mendapat giliran pertama. “emmhh...kemampuan menghilang” (saya sebenarnya agak ragu dengan apa yang disampaikan perempuan ini, antara menghilang dan tak kelihatan, meski keduanya boleh jadi ada yang menyamakan)
“Oke, kalau mbaknya?”
Ijinkan saya menyebut namanya. Nisa, begitulah ia memperkenalkan diri. Bukan karena apa, karena boleh dibilang tentang apa yang diungkapkannya lah saya kemudian memutuskan membuat catatan yang mulanya tak terlihat penting inii. “mmm...saya ingin anak-anak mengerti dengan apa yang saya maksud”
Saya suka dengan jawabannya. Cerdas. Tak sok superhero. “Kayake guru ini ya?”, tasaro menimpali. “kalau mas?”
“kalau saya ingin bisa berpindah tempat dengan leluasa. Jakarta macet soalnya.”
Sejenak menjadi grrr suasana. “mbak?”
Orang terakhir. Mbak yang tadi menjawab dengan tepat kalau masa sejarah adalah masa ketika manusia mengenal tulisan yang mendapat kesempatan itu. “Bisa menjelajah waktu”, timpalnya mantap.
Selesai. “oke, satu lagi. Sekarang, dalam waktu lima detik, sampaikanlah imajinasi terliar yang ada di pikiran anda! Kali ini dimulai dari mbak”, ujar tasaro sambil mengarahkan pandang pada mbak si penjelajah waktu.
“mmm...” sepertinya si mbak agak gelagapan juga memperoleh pertanyaan itu. Tak jua meluncur kalimat dari mulutnya.
Tasaro mulai menghitung. Si mbak sepertinya sudah mendapatkan jawabannya “apa itu?”
“indonesia bersalju”, pada akhirnya dua kata itu yg keluar.
“selanjutnya, mas!”
“Pas dulu saja”, katanya. Sepertinya memang si mas tak serius-serius amat mengikuti game ini, karena memang karena faktor ditunjuklah ia kemudian maju.
“jakarta tak macet”. Bukan! Itu bukan suara masnya yang tadi menginginkan kekuatan berpindah tempat dengan leluasa untuk menghindari macet di jakarta. Ternyata itu hanya celetukan si lelaki batik yang duduk di barisan belakang. Membuat beberapa pengunjung dan seorang perempuan yang besar kemungkinan istri dari si mas nampak tertawa. Ah, ternyata seorang istri senang juga kala suami dicandai.
“ini...eh, menjadi miliarder sukses”, nah, ini baru celetukan masnya. Celetukan yang sepertinya dengan susah payah ia bangkitkan dari alam pikirannnya.
“oke. Miliarder sukses dunia akhirat. Amin”
Giliran Nisa! “mmm...tadi ketika pas lima detik, yang terpikirkan hanya ini. Tiba-tiba saja berada di Palestine mengikuti perang Palestina-Israel”
Ah, kawan. Terserah kalau kalian bilang ini terlalu gimana, tapi saya suka jawabannya. Tak semua orang mampu mengutarakan mimpi itu dalam sebuah forum kebanyakan seperti ini. Tapi Nisa melakukannya. Dua kali jawabannya bukanlah sebuah jawaban individualis yang cenderung pada pemuasan kepentingan-kepentingan pribadi yang permukaan. Dan, apa yang terpikirkan dalam waktu yang begitu cepat itu, adalah sesuatu yang memang lebih kerap menghuni alam pikiranmu, menjadi daya yang menarikmu.
“kalau mbaknya? Terakhir”
“gaji PNS naik 500 %”..
Saya tertawa mendengar jawaban ini. Juga beberapa yang lain. Gaya si mbak khas gaya-gaya perempuan jakarta di sinetron-sinetron.
Saatnya penjurian.
“yang memilih indonesia bersalju angkat tangan?”
“yang miliarder sukses”
“yang perang palestine” (si lelaki batik mengangkat tangan untuk permintaan ini)
“yang gaji PNS naik 500 %”
Saya tak tahu pasti antara mabak pertama atau yang ketiga yang menang. Sepertinya kedua mbak itu lah yang paling banyak membuat pengunjung mengangkat tangannya.
“oke. Sekarang final berarti. Antara mbak yang indonesia bersalju sama perang palestine”
“yang memilih mbak indonesia bersalju?”
Tasaro mulai menghitung. Sekitar sebelasan orang.
“yang mbak perang palestine”
Kembali tasaro menghitung. “satu dua .....delapan. Wah, kayake liqo semua ini” (si lelaki batik dihitung di urutan ketiga)
Saya tersenyum mendengar candaan Tasaro ini. Sedikit banyak saya mengetahui pandangannya mengenai masalah ini dari tulisan-tulisannya.
Tapi kalah. Mbak perang palestine tadi, yang memperkenalkan dirinya dengan Nisa, ternyata tak mampu melebihi capaian ‘mbak indonesia bersalju’dalam hal pengumpulan jumlah pengangkat tangan. Membuat si lelaki batik agak sedikit kecewa.
Demikianlah akhir dari game itu. Si mbak indonesia bersalju mendapat hadiah buku Nibiru.
Masih ada sesi pertanyaan. Masih ada sesi tanda tangan. Hingga pada akhirnya si lelaki batik keluar. Melangkah melewati jedar-jedur suara musik di acara seberangnya. Antara naik taksi dan busway, akhirnya ia memilih menaiki jembatan penyeberangan itu. Menikmati jakarta dalam himpitan orang-orang lainnya.
Mecet? Ah, ini lah jakarta. Kapan lagi merasakannya. Esok harinya ia sudah harus kembali terbang menuju kota( tercinta)nya.
@kramat sintiong
10 juli 2011
Tasaro! Tentu saja, tak ada pekik heboh layaknya ABG labil saat menjumpai justien bieber. Hanya bergerak tenang mengambil tempat duduk paling belakang di samping seorang anak kecil berjilbab, yang, entahlah, mungkin bersama umminya. Meletakkan barang bawaan, dan mulai menyimak.
“setiap buku tentu saja punya misi. Sebuah buku Harry Potter tentu saja punya misi yang mungkin saja tak kita ketahui dengan pasti. Begitu pula saya menulis Nibiru ini”
“Tiap kali menulis, saya tak akan melepaskan diri dari dua hal ini; keindonesiaan saya dan agama saya”
Dan kalimat-kalimat lain. Dan petikan-petikan lain. Tentu saja saya tak menyempatkan diri untuk mencatat tiap kalimatnya hingga terlupalah ketika ini saya buat.
Ruangan tempat berlangsungnya acara boleh dibilang tak ramai, meski tak bisa pula dikatakan sepi. Sebab tempat duduk (yang sepertinya tak terlalu banyak) habis terduduki. Saya menduga, selain orang-orang yang berkepentingan dengan acara ini semacam panitia, yang datang adalah orang-orang yang membaca buku-buku tasaro. Bahkan mungkin juga lelaki berbatik coklat, bersepatu pantovel, serta menjinjing sekresek buku yang tengah duduk di barisan belakang itu.
Acara talkshow sepertinya menjelang usai ketika Tasaro mengajukan semacam kuis kecil.
“jika Allah mengijikan anda memiliki kekuatan super, kekuatan seperti apakah yang ingin anda miliki?”
Seorang mengangkat tangannya.
“lagi!”
Ragu-ragu. Dua orang. Seorang lagi.
“Perempuan semua. Ayo, seorang lagi yang laki-laki”
Ah, anda, yang membaca ini, pasti mengharap si lelaki batik tadi yang mengangkat tangannya. Mengungkapkan sebuah kekuatan yang entahlah. Tapi tidak, ia memilih tetap duduk menikmati setiap potongan yang tersaji di depannya.
“oke, mas itu. Nggak usah ragu-ragu begitu, dong! Ayo maju!”.
Seorang laki-laki berkaos hijau maju.
Ba’da perkenalan dan ini itu yang tak terlalu penting untuk diceritakan, dimulailah acara andai-andai itu.
“ayo, dimulai dari mbaknya, kekuatan apa yang ingin dimiliki?”, Tasaro mencoba memulainya, “Aduh! BBM-an sama siapa ini?”
Seorang perempuan, yang bahkan ketika mulai maju ke depan masih tetap saja terlihat enjoy mengutak-atik ponselnya, mengacuhkan yang lain, mendapat giliran pertama. “emmhh...kemampuan menghilang” (saya sebenarnya agak ragu dengan apa yang disampaikan perempuan ini, antara menghilang dan tak kelihatan, meski keduanya boleh jadi ada yang menyamakan)
“Oke, kalau mbaknya?”
Ijinkan saya menyebut namanya. Nisa, begitulah ia memperkenalkan diri. Bukan karena apa, karena boleh dibilang tentang apa yang diungkapkannya lah saya kemudian memutuskan membuat catatan yang mulanya tak terlihat penting inii. “mmm...saya ingin anak-anak mengerti dengan apa yang saya maksud”
Saya suka dengan jawabannya. Cerdas. Tak sok superhero. “Kayake guru ini ya?”, tasaro menimpali. “kalau mas?”
“kalau saya ingin bisa berpindah tempat dengan leluasa. Jakarta macet soalnya.”
Sejenak menjadi grrr suasana. “mbak?”
Orang terakhir. Mbak yang tadi menjawab dengan tepat kalau masa sejarah adalah masa ketika manusia mengenal tulisan yang mendapat kesempatan itu. “Bisa menjelajah waktu”, timpalnya mantap.
Selesai. “oke, satu lagi. Sekarang, dalam waktu lima detik, sampaikanlah imajinasi terliar yang ada di pikiran anda! Kali ini dimulai dari mbak”, ujar tasaro sambil mengarahkan pandang pada mbak si penjelajah waktu.
“mmm...” sepertinya si mbak agak gelagapan juga memperoleh pertanyaan itu. Tak jua meluncur kalimat dari mulutnya.
Tasaro mulai menghitung. Si mbak sepertinya sudah mendapatkan jawabannya “apa itu?”
“indonesia bersalju”, pada akhirnya dua kata itu yg keluar.
“selanjutnya, mas!”
“Pas dulu saja”, katanya. Sepertinya memang si mas tak serius-serius amat mengikuti game ini, karena memang karena faktor ditunjuklah ia kemudian maju.
“jakarta tak macet”. Bukan! Itu bukan suara masnya yang tadi menginginkan kekuatan berpindah tempat dengan leluasa untuk menghindari macet di jakarta. Ternyata itu hanya celetukan si lelaki batik yang duduk di barisan belakang. Membuat beberapa pengunjung dan seorang perempuan yang besar kemungkinan istri dari si mas nampak tertawa. Ah, ternyata seorang istri senang juga kala suami dicandai.
“ini...eh, menjadi miliarder sukses”, nah, ini baru celetukan masnya. Celetukan yang sepertinya dengan susah payah ia bangkitkan dari alam pikirannnya.
“oke. Miliarder sukses dunia akhirat. Amin”
Giliran Nisa! “mmm...tadi ketika pas lima detik, yang terpikirkan hanya ini. Tiba-tiba saja berada di Palestine mengikuti perang Palestina-Israel”
Ah, kawan. Terserah kalau kalian bilang ini terlalu gimana, tapi saya suka jawabannya. Tak semua orang mampu mengutarakan mimpi itu dalam sebuah forum kebanyakan seperti ini. Tapi Nisa melakukannya. Dua kali jawabannya bukanlah sebuah jawaban individualis yang cenderung pada pemuasan kepentingan-kepentingan pribadi yang permukaan. Dan, apa yang terpikirkan dalam waktu yang begitu cepat itu, adalah sesuatu yang memang lebih kerap menghuni alam pikiranmu, menjadi daya yang menarikmu.
“kalau mbaknya? Terakhir”
“gaji PNS naik 500 %”..
Saya tertawa mendengar jawaban ini. Juga beberapa yang lain. Gaya si mbak khas gaya-gaya perempuan jakarta di sinetron-sinetron.
Saatnya penjurian.
“yang memilih indonesia bersalju angkat tangan?”
“yang miliarder sukses”
“yang perang palestine” (si lelaki batik mengangkat tangan untuk permintaan ini)
“yang gaji PNS naik 500 %”
Saya tak tahu pasti antara mabak pertama atau yang ketiga yang menang. Sepertinya kedua mbak itu lah yang paling banyak membuat pengunjung mengangkat tangannya.
“oke. Sekarang final berarti. Antara mbak yang indonesia bersalju sama perang palestine”
“yang memilih mbak indonesia bersalju?”
Tasaro mulai menghitung. Sekitar sebelasan orang.
“yang mbak perang palestine”
Kembali tasaro menghitung. “satu dua .....delapan. Wah, kayake liqo semua ini” (si lelaki batik dihitung di urutan ketiga)
Saya tersenyum mendengar candaan Tasaro ini. Sedikit banyak saya mengetahui pandangannya mengenai masalah ini dari tulisan-tulisannya.
Tapi kalah. Mbak perang palestine tadi, yang memperkenalkan dirinya dengan Nisa, ternyata tak mampu melebihi capaian ‘mbak indonesia bersalju’dalam hal pengumpulan jumlah pengangkat tangan. Membuat si lelaki batik agak sedikit kecewa.
Demikianlah akhir dari game itu. Si mbak indonesia bersalju mendapat hadiah buku Nibiru.
Masih ada sesi pertanyaan. Masih ada sesi tanda tangan. Hingga pada akhirnya si lelaki batik keluar. Melangkah melewati jedar-jedur suara musik di acara seberangnya. Antara naik taksi dan busway, akhirnya ia memilih menaiki jembatan penyeberangan itu. Menikmati jakarta dalam himpitan orang-orang lainnya.
Mecet? Ah, ini lah jakarta. Kapan lagi merasakannya. Esok harinya ia sudah harus kembali terbang menuju kota( tercinta)nya.
@kramat sintiong
10 juli 2011
44 comments:
Hmm...
Spontanitas adalah reaksi dari otak belakang (alam bawah sadar), yang bukan berasal dr olahan dr otak depan (pikiran analisis)..
Terus, masnya kenalan sama mbak nisa? :D
@rifzahra...slamat pagi, rifi..
@mutsaqqif...kalo saya sih nggak. Dipleroki suaminya nanti :p. Entah kalo si lelaki batik..
Pagi, mas! Bandung jg macet kok :|
Bandung malah semrawut, rif. G hanya macet. Jalannya sempit2 pula
keren Bal.. asli..
*aku merinding macane...
palestin di dadaq lah..
Aduh, bc tlsanku yg bgni saja fajar bisa merinding ya.. Hmmm
dudu tulisanmuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuune...
hadeeehh.. dudul iki bocah siji..
La, dirimu kan nulise 'merinding macane'.. :D
Merinding gara2 mas berbaju batik mbak jar?
Ah, iya, jangan2 bgtu :p
wekekekekeke...
merinding gara2 cerak AC
=))
:ngakak
mbak jar jd salting.. :D
@jaraway...perasaan nang magelang ra ono ac :p
@mutsaqif.. Kalo d tekim it ada istilah 'salting out'
e, ciee.. Mba jar.. Kena deh! Haha...
Btw, kayaknya aku melihat pria berbaju batik di bukfer kemarin :D
Sepertinya lelaki berbaju batik memang kerap diliati orang2 waktu it, ai. Gtw knp.. :p
ah.. kalian ki..
abang ki raiku
=))
*dudul.. ahahhaha
*asli ngekek weruh komen2 kalian..
=))
ga ngeh sama lelaki berbaju batik. Yang jelas kemarin itu banyak yg pake batik. Haha..
*biasanya orang menyembunyikan kesaltingannya dgn tertawa mba jar.. :nyengir:
hahaha..
aku emang salting koq ai..
kuakui ntu di komenq..
ah.. kalo udah jurnal tentang palestin tu pasti.. jadi deg2an.. wekekekke
hilanglah kemampuan ngelesq.. =))
@fajar...aih, fajar sok2an menghumaira (istilah opo iki?)
@ai... Tp hanya seorang yg sespesifik it..
waa. istilah anyaaarr.. apik2..
*simpen..
@ai...sudahlah, jangan sudutkan fajar. Berilah ia kesempatan untk membuat bantahan dl..
@fajar...iya, percya kok. Mw dkenalkn dg mbak nisa?(sok kenal) :)
Bayar royalti, jar, kalo make
inget kok, ada pria berbaju batik..
orangnyah aneh :))
oh, yang itu di? Untung aku ga pake kacamata ;))
*nyimakterus
eh, Ai dimana?
Diah belum bisa keluar euy..remuk redam *lebay*
iye yang itu Ai..sendirian gitu, kasian :))
jangan2 nt yang ada rasa ama mas berbaju batik ampe nyimak terus,... =))
hmm, indonesia bersalju... kalo nggak ada kulkas raksasa kayak di sini, ya buminya udah renta banget...
eh, yang kedua juga udah terjadi ding, turun salju di deket sini...
kalo bisa buat kesimpulan aneh begini, berarti telah mengamati dg seksama :p
katanya nggak bawa kacamata, kok 'oh yang itu di?'
jangan mengalihkan subjek cerita, jar! :p
malah saljunya jayawijay sdh melelh..hmmmm..
kalau Indonesia bersalju, mungkin saljunya akan cepat mencair, ya ... he he he ...
belum nyampai bumi sdh mencair duluan...
rasa tawar :P
perlu susu manis berarti
satu sisi membenci (ups!) jakarta dengan gedung2nya yang angkuh, tapi juga merindukannya karena berbagai macam isinya
*numpang curcol
Haha. Betul. Kadang ngiri jg dg hal itu-nya.. Pengennya tinggal d bontang tp sejam saja k jakarta :p
iya, pernah berfikiran begitu... dulu pernah ke jakarta pergi sabtu pagi pulang minngu sorenya... rasanya kayak mimpi, kalau liat sisi kemudahan dalam mencari sesuatu kpengen ke jakarta, tapi kalau ingat betapa macetnya jakarta rasanya bersyukur sekali tinggal di bontang (kmana2 dekat.. he2..) alhamdulillah, kurang lebih 20 thn tinggal dsini ga pernah bosan ^^
*menebak2: sejam di jakarta kemungkinan pak iqbal borong buku ya? soalnya di bontang buku2 ga update...
ungkapan yg sering kali menghuni : "jakarta enak dubuat tempat jalan-jalan, tapi tidak untuk tempat tinggal""
mmmm..entahlah
dokter dina (dengan penekanan pada kata dokter) sepertinya amat kerasan di Bontang karena di sini lah bertumbuh..(hoho..bahasane)... Kebanyakan orang amat mencingtai kota kelahirannya
he3... iya juga siy.. tempat dimana keluarga berkumpul dan kita bertumbuh (ijin copy bahasane.. hee..) pastilah tempat yang paling dicintai dan dirindukan..
*kenapa mesti ada penekanan pada kata dokter?
Post a Comment