Sepertinya memang begitu; awalnya kita akan sulit mengaku, atau menyebutkan; sesuatu yang seperti apakah yang kita sukai? Sulit saja rasanya. Rasa-rasanya apa yang kita pilih untuk kita sukai tersebut, tak mengerucut terhadap satu spesifikasi tertentu hingga kita memutuskan untuk menyukainya. Misal untuk tinggi atau tipe wajah untuk seseorang, misal biru untuk sebuah warna, misal polos untuk sebuah corak baju, misal ini untuk sebuah itu. Kita merasa biasa-biasa saja dan tak (mampu) mengakui kalau sebenarnya ada ciri khusus dari yang kita sukai itu.
Saya sepertinya dulu begitu. Tentang warna, saya dulu akan sulit kalau ditanyai warna apakah yang lebih saya sukai dari yang lain. Saya menganggap tak ada yang spesial dari warna tertentu maka tak perlu perlakuan spesial lah terhadap salah satu warna tersebut. Sama saja. Hingga saya menyadari, dalam perjalanan waktu, kok sepertinya ada sebuah pola khusus yang bisa disarikan atas sebuah pilihan-pilihan yang saya jatuhkan. Ini tentang warna. Bila memilih baju, saya lebih sering memilih warna ini dari pada warna itu. Bila memilih peralatan lain (yang memberi peluang untuk memilih dengan berbagai macam warna), saya ternyata lebih memilih warna ini juga daripada yang lain. Dalam memandangpun, saya lebih nyaman memandang suatu objek dengan warna ini daripada warna itu. Hingga secara diam-diam pun, saya mulai berkesimpulan kalau saya menyukai warna ini, lebih dari warna itu.
Pada awalnya memang ketaksadaran. Dan suatu yang tak disadari tak mungkin untuk diceritakan. Lebih sering menganggap segalanya serba normal dan tak ada yang spesial. Tak terkhususkan. Sebab segalanya serba otomatis, ujug-ujug, dan diluar kendali kita. Seperti gerakan pompa jantung dibandingkan helaan napas. Pompaan jantung di luar kendali kita, sedangkan helaan napas di dalam. Kita bisa mengatur berapa helaan napas kita per menit, tapi tidak untuk berapa kecepatan jantung kita memompa darah.
Apakah memang begitu? Rasa-rasanya juga tidak. Sebab memilih adalah sebuah keputusan. Maka segala yang kita putuskan (bukan terputuskan), akan perlu diri kita untuk campur tangan. Bukankah kita memilih baju warna ini karena kita yang mengambilnya dari gantungan yang terpajang, mematut-matutnya, mecobanya di bilik sempit, lalu membawanya ke kassa. Dan sebuah keputusan, apalagi ada sebuah jedah waktu untuk mempertimbangkan, akan selalu berlandasan. Sekecil apapun itu. Landasan itulah yang harusnya tersadari untuk kita kumpulkan dengan landasan-landasan lain dalam kasus memilih hal yang sejenis guna membentuk sebuah pola. Pola yang kemudian kita generalisir untuk menjawab pertanyaan tentang yang bagaimanakah yang kita sukai.
Lalu mengapa kita bisa tak menyadarinya? Mungkin jawabannya ini; sebab landasan yang menjadikan kita memutuskan untuk memilih ini dibandingkan itu tadi, terbangun tidak melalui sesuatu yang seketika. Ada proses. Evolusi, bukan revolusi. Perlahan-lahan. Sedikit-demi sedikit. Hingga tak terasa, hingga tak tersadari tadi. Jadilah itu kemudian sebagai keputusan tak sadar. Kita menyadari telah memutuskan itu, tapi tak sadar mengapa memutuskan itu.
Seperti kasus warna itu tadi. Bila kita mampu mengingat lebih jauh, rasanya pilihan warna kita dulu tak seperti yang sekarang ini, bahkan berkebalikan. Waktu kecil dulu suka yang ngejreng-ngejreng, sekarang tak lagi. Dulu suka merah, sekarang biru. Dulu suka yang cerah, sekarang yang kelam-kelam. Berubah. Berubah yang tak instant. Berubah yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pemahaman, lingkungan, pengetahuan, serta yang lain. Dan itu berlangsung perlahan-lahan. Bergerak halus mempengaruhi kita. Hingga tak tersadari tadi.
Ujug-ujug kita lebih memilih warna ini saat membeli baju. Ujug-ujug kita suka buku bersampul warna ini saat melihat-lihat di toko buku. Ujug-ujug kita damai melihat warna ini. Ujug-ujug.
Maka kemudian, apa yang terjadi saat kita sudah sadar benar apa yang kita sukai. Jawabannya bisa jadi berbeda. Ketika kau sudah punya definisi tentang apa yang kau sukai, kau akan sedikit mengurangi sebuah fase bernama memilih. Ketiadaannya ini, boleh jadi menyenangkan, boleh jadi membosankan. Dalam kasus memilih baju, kita akan langsung cenderung menuju baju-baju dengan warna yang kita sukai, baru kemudian model. Atau, kalau kita sudah tahu benar model baju yang bagimanakah yang kita sukai, kita akan langsung menuju baju dengan model tersebut baru kemudian memilih warna. Maka kemudian akan muncul satu akibat dengan dua penafsiran yang berbeda; waktu yang dihemat atau ‘keasyikan’ memilih yang terpangkas. Dua tafsiran inilah yang kemudian mebedakan si pelaku.
Contoh lainnya seperti ini. Taruhlah Anda ke sebuah toko buku. Kasus pertama Anda ingin mencari buku x. Anda tahu betul judulnya, tahu betul penulisnya. Maka yang Anda lakukan tinggal ke komputer yang tersedia dan mengetikkan judulnya. Tinggal klik, maka tampil. Lalu Anda tinggal menuju rak yang disebutkan. Selesai! Beda lagi untuk kasus kedua, Anda ke toko buku untuk mencari buku. Tak tahu judulnya, yang penting mencari. Mungkin novel, tapi tak terspesifik judulnya apa. Maka Anda mulai menjengkali setiap sudut toko buku itu, mengamati tiap judul yang menarik Anda, membaca resensinya, menimbang-nimbang harganya, sampai….aha! Sepertinya sudah Anda temukan bukunya. Lama? Mungkin iya. Menyenangkan? Mungkin juga iya. Mengasyikkan?? Mungkin juga iya. Yang pasti, beda rasanya dengan ketika menemukan buku pertama.
Lalu sekarang, manakah yang Anda pilih? Bagi saya, agaknya kita perlu sekali-kali menjadi orang yang masa bodoh dengan kesukaan kita. Memulai dari awal. Sebab proses menemukan itu ternyata menyenangkan. Ada kepuasan. Semakin lama semakin asyik. Tentu saja, ini berlaku kala tak ada keterburu-buruan, kala banyak waktu yang kita punya. Tak ada pula kejhar tayang…
Mari memilih! Dengan mengenyampingkan sejenak kesukaan kita. Memulai dari nol. Barangkali, cara ini yang justru lebih jernih. J
NB: Saya menulis ini, kecuali tiga paragraf terakhir, di Bandung. Awalnya ingin menceritakan kalau saya menyukai Bandung ini oleh sebab pohon-pohon tingginya sepanjang jalan. Membuat adem mata yang melihat. Tapi, entahlah! Kok jadinya malah tulisan ini. Ternyata saya tak mampu mengontrol gerak jemari saya yang meliar. Dan, sepertinya, hasilnya liar juga.. Ha ha.. Yuk didiskusikan!