Tugas adalah tugas, maka seberat apapun itu, semalas apapun kondisi saat itu, atau bahkan setakmengenakkan apapun sikonnya, mesti dilaksanakan.
Saya membayangkan kalimat ini harusnya terpatri di setiap dada seorang karyawan, atau pekerja, atau buruh, atau tertugas. Yang pasti, ia adalah seseorang yang mendapatkan limpahan tugas dari seorang lain yang boleh jadi secara struktural ada di atasnya hingga berhak memberinya sebuah tugas. Sebab apa, kalimat itu adalah kalimat pelecut yang mengeliminir rasa malas, berat, atau keengganan manusiawi lainnya untuk sebuah kata itu: tugas. Tugas ya tugas, maka segala pemberat manusiawi untuk bergegas melaksanakannya, mau tak mau mesti dikesampingkan barang sejenak. Minimal sampai tugas itu terselesaikan dengan baik. Sebab tugas adalah kewajiban
Tapi saya amat tak merekomendasikan kalimat itu dipegang erat-erat oleh seorang pemimpin, atau bos, atau atasan, atau juragan, atau apalah. Yang penting seorang itu adalah seorang yang punya kuasa untuk memberikan sebuah tugas pada orang-orang yang secara struktural ada di bawahnya. Sebab apa, jika kalimat itu dijiwai betul oleh si penugas, maka yang dikhawatirkan akan timbul adalah kesewenang-wenangan. Karena menganggap tugas adalah tugas, maka menjadi persetan lah rasa malas yang mungkin sedang didera bawahannya, atau suasana berat yang sedang dialami karyawannya, atau mungkin segala tetek bengek yang mungkin menghalangi si tertugas untuk melaksanakannya. Dan ini amat berbahaya.
Apakah tugas ini tak terlalu berat? Apakah ini sudah sesuai dengan kemampuannya? Apakah ini memang tugas yang saat ini sudah tepat dibebankannya padanya?
Nah, kalimat itu lah yang saya bayangkan terngiang-ngiang ada pada diri si penugas. Kalimat yang mengajak si penugas-bos, pemimpin, seorang kepala- untuk sejenak menimbang psikologis dan segala hal yang berhubungan dengan tertugas. Yang outputannya diharapkan sebuah tugas yang benar-benar pas untuk tertugas tersebut, hingga tak menimbulkan omongan di belakang, atau gerutuan di lain hari.
Tapi tentu, kalimat itu justru yang tak seharusnya ada di benak tertugas ketika sebuah tugas mampir ke pundaknya. Sebab jika ia, itu adalah jalan bagi masuknya alasan-alasan, pemakluman-pemakluman diri yang berakhir pada sebuah penolakan tugas, atau paling banter penerimaan tugas dengan disertai gerutuan. Maka ini berbahaya, sebab tugas itu besarkemungkinan akan berstatus terbengkalai atau terjalankan secara tak sempurna. Asal-asalan.
Maka begitulah, dua hal tersebut, dua rangkaian kalimat tersebut, jika secara pas termaknai pada dua pihak yang pas pula, maka akan menghasilkan hubungan yang baik antara penugas dan tertugas. Kemudian, tertugas yang amanah menjalankan setiap tugas yang terbebankan, serta penugas yang secara pas dan bijak mendelegasikan sebuah tugas, bukanlah sebuah hal yang mustahil untuk tercapai. Maka bila dua pihak tersebut itu sudah mengerti, dan tahu betul bahwa masing-masing pastinya akan menggunakan kalimat yang sesuai untuk memaknai sebuah tugas, ekses-ekses buruk hubungan antara penugas dan tertugas akan tereliminir seminimal mungkin. Bila seorang tertugas kemudian mendapati sebuah tugas yang terasa begitu berat, maka yang ada di pikirannya adalah, bahwa atasannya telah memikirkan ini, “Apakah tugas ini tak terlalu berat? Apakah ini sudah sesuai dengan kemampuannya? Apakah ini memang tugas yang saat ini sudah tepat dibebankannya padanya?”. Sehingga, jika sampai tugas itu tetap saja mampir di pundaknya sedangkan ia merasa berat menanggungnya, ia akan percaya, bahwa itu lah hal terbaik yang bisa dilakukan atasannya, bahwa itu lah memang pilihan sulit yang mesti dipilih atasannya. Pun sebaliknya, jika seorang atasan tiba-tiba mendapati bawahannya menolak secara halus tugas yang dibebankan padanya, maka yang ada di pikirannya adalah, bahwa bawahannya itu telah memikirkan ini, “Tugas adalah tugas, maka seberat apapun itu, semalas apapun kondisi saat itu, atau bahkan setakmengenakkan apapun sikonnya, mesti dilaksanakan.” Sehingga, jika toh pada akhirnya bawahannya itu menolak menjalankannya, itu pastinya adalah sebuah keputusan yang telah melalui pertimbangan masak-masak, bahwa tak ada hal lain yang bisa dilakukannya selain menolaknya. Pilihan tunggal yang sulit, begitulah mungkin sebutannya.
Hubungan atasan-bawahan macam ini, kemudian mengingatkan saya pada kalimat ini, “yang berpunya dianjurkan berderma, yang tak berpunya dipantangkan untuk meminta-minta”. Dan itu sungguh pasangan yang benar-benar melengkapi.
Selamat siang!
#lintasan-lintasan pikiran yang berhamburan kala mendapatkan call out di hari libur yang sering kali kusebut sebagai jeda
12 comments:
siap jadi bos, Bal?
Hah iya, ak pengennya karyawanku tu gtu lo... :(
Untung kaga' ada call out call outan,bumil dapet dispensasi,hehe
@topek...kudu siap, to!
@danti... La, emang bosnya punya pandangan seperti di atas belum?
@diah...lo, diah di instnsi apa? Ada call out jg kah?
call out tu apa? jalan2 ya? ;d
Yang lebih nyebelin kalo punya atasan yang sering berubah keputusannya dengan dalih; DINAMIS
lagi kerja dong nih :D
paragraf kedua dari terakhir kepanjangan tuh.
@berry...panggilan masuk kerja d jam nonkerja, ber
@omali... Dinamis it mah ameliorasi dr kata 'plinplan' hehe
@ayana..kalo skrg sdh g. :)
@ai..aku ngerasa gt jg, sih, tadi.. Tp, sudahlah! (eh, kok mlh bhs paragraf)
(obsesi: jadi editor)
yaa harusnya pake konsep QWJ: 'pemimpin yg ikhlas dan bawahan yg taat'. Sederhana saja. *meski aplikasinya mah beraaaat!
Kayake dirimu sdh lama jg g ngoreksi tlsanku.. Haha..
Post a Comment