Menjadi bijak ketika kondisi diri dalam keadaan lapang, mungkin mudah, tetapi bersikap sama ketika kondisi diri dalam keadaan sebaliknya, itulah tantangannya. Itulah yang kemudian terjadi di siang itu. Panas, bising, hilir mudik orang bekerja, dan tekanan pekerjaan untuk terselesaikan secepatnya, itulah gambaran kondisinya. Semuanya normal-normal saja sebenarnya. Tak lebih dari seorang pekerja yang mencoba memberi saran pada seorang lain yang ia anggap bertanggung jawab terhadap pekerjaan itu (kau bisa menyebutnya dengan seorang pekerja pada mandornya). Hanya saja saya, yang memang ditugaskan untuk mensupervisi pekerjaan tersebut, mungkin dalam kondisi tak baik, hingga terjadi lah semuanya.
Tidak! Tenang saja. Ini tidak seburuk itu. Tak ada tindakan-tindakan ekstrem. Hanya masalah sikap, hanya masalah prasangka hati. Dan itu terjadi pada saya, yang di kemudian waktu saya sesalkan terjadinya.
Pekerjaan waktu itu sederhana saja sebenarnya. Beberapa orang tenaga perbantuan musiman mengerjakan pekerjaannya dalam supervisi saya. Mengunload katalis dari reaktor berbentuk tube sebenare pekerjaan ringan, tapi melakukannya terhadap 388 tubeboleh jadi terasa monoton hingga akan memunculkan pemikiran-pemikiran untuk sebuah efektifitas, untuk sebuah percepatan pekerjaan. Itulah mungkin yang ada di pikiran seorang dari pekerja bantuan itu. Melihat saya yang mesti memberitahunya tentang tube mana yang saat itu harus diunload, ia mengusulkan untuk memberi tanda terhadap tube yang sudah terunload. Usul itu sebenare tak terlalu buruk, amat wajar bagi pemikiran kebanyakn orang, dan boleh jadi cukup bagus. Hanya saja, ego saya berkata lain.
Penolakan. Itulah yang kemudian terjadi. Usul itu kemudian saya mentahkan dengan argumentasi tentang setiap tube punya penomoran tersendiri, tentang adanya tanda di tiap berapa tube, tentang semuanya sudah terpikirkan. Dengan intonasi agak menekan itu semua tersampaikan. Tapi tidak, bukan karena saya memiliki argumentasi itu lah kenapa penolakan itu sebenarnya terjadi. Jika semuanya disampaikan dengan baik-baik, dan saya saat itu sedang membawa piranti untuk menandai, amat mudah saja usul itu termanifestasikan dalam kerja. Hanya saja, usul itu ternyata datang dengan cara sebaliknya. Ia datang seolah sebuah perintah kepada saya untuk menyediakan ini itu, bukan sebuah permintaan baik-baik dengan sebuah diskusi kecil. Hingga membuat ego saya sebagai seorang yang mensupervisi dia terlanggar. Hingga membuat saya tak perlu berpikir barang sejenak untuk membuat sebuah kesimpulan; penolakan.
Tapi kemudian semuanya, alhamdulillah, baik-baik saja. Ketika ada seorang rekan kerja datang dengan saku penuh spidol, si pak pekerja tadi, ternyata tak patah arang oleh penolakan keras saya sebelumnya. Kali ini ia menyarankan dengan sedikit memaksa tapi lebih lunak untuk saya meminta spidol si rekan kerja tadi sebagai penanda tube. Dan kali ini, oleh sebuah permintaan dengan maksud sama, tapi dengan cara berbeda, menghasilkan sikap yang berbeda juga pada diri saya. Semoga saja, itu sebuah pertanda bahwa kami sama-sama telah belajar dari kejadian sebelumnya.
Spidol pun berpindah tangan. Tidak cukup mengefektifkan pekerjaan memang, tapi bohong kalau dikatakan sama sekali tak membantu.
Demikianlah pada akhirnya cerita itu. Hingga kemudian tadi malam saya berkesempatan mengenalnya secara personal. Maman namanya. Sudah cukup memakan asam garam kehidupan. Asli Indramayu, pernah kerja di banjarmasin, dan menjejak Bontang tahun 90. Dan tadi malam itu lah, ia memanggil saya dengan sapaan ‘adek’. Sapaan yang terasa nyaman di telinga saya.
****
Kawan, inti dari semua ini, bahwa penolakan atas sebuah ide, seringkali bukan masalah substansinya yang memang tak mengena, tapi tentang cara menyampaikannya yang tak terkenankan.
Semoga kita bisa mengambil pelajaran.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
26 comments:
^^
Betul banget.kdg keputusan menolak atau menerima bkn krn apa yg disampaikan.tp lbh kpd siapa yg menyampaikan
iya, benar ...
Hm.
Itulah namany dunia kerja...
Td br abis blajar itu..
:)
Komunikasi. Lagi dan lagi.
^__^
Iya, kadang egoisme lebih berperan ketika kita mendapat perlakuan yang tidak seharusnya. Penyampaian yang berbeda bisa menghasilkan sesuatu yang berbeda, walaupun tujuannya sama.
Dan itu bisa terjadi pada siapa saja.
iya, kalimat 'lihatlah apa yg dikatakan, bukan siapa yang mengatakan' ternyata berat juga dilaksanakan secara seimbang
dapet seratus berarti..he he
eh, hs-nya balik lagi...
iyo....
uow..gitu ya? yg ngasih nama itu siapa ya, dant? :D
belajar dimana, di? berhasil g?
iya..bang top...
hmm..perlu pembelajaran yg terus menerus tentang hal ini....
yg perlu dilakukan mungkin menarik nafas sebentar, istighfar, lalu....ambil keputusan/tindakan
Aku dong :d
G jadi coment
:D
sdh dipaten kan kah?
kenapa?
t' ap2. :)
hhh..telat baca nih. Judulnya ta kira berbau fishing-fishing..eh ternyata yang lain..:XD
Pernah ga ya ane menolak perintah antum? :p
fishing2? ha ha...nggak lah! aku hampir nggak pernah mbahas hal itu di jurnal
menolak? pernah! di semester2 awal..ha ha
opo kuwi?
ha ha.. nggak, nggak! (tapi ada, ding! tapi g penting juga)
Post a Comment