Waktu kejadiaannya ba’da subuh. Di sebuah mini market dekat rumah yang kebetulan buka 24 jam. Saya sedang memilih-milih produk di barisan sabun dan sampo ketika seseorang menegur. Saya menoleh, dan sebuah wajah yang saya kenal-tapi tak terlalu akrab- terlihat. Saya memilih tetap saja meneruskan kegiatan, kembali mencermati sampo yang tak juga saya temukan. Si bapak, yang tadi menyapa saya, juga terus saja menuruti maksud ia datang ke mini market ini, tak tergoda untuk berbincang. Sapaan tadi adalah sapaan say hello saja, tanpa ada maksud untuk berbicara lanjut.
Kemudian kami berdampingan ngantri di kasir. Saya di depan, dan si bapak di belakang saya. Selain kasir, tak ada lagi orang di sekitar kami kala itu. Waktu selepas subuh memang saat-saat sepi, itu lah alasan kenapa saya sering memanfaatkan waktu ini untuk belanja keperluan harian.
“Besok masuk, ya, mas?” Si bapak membuka obrolan. Saat itu hari kamis, dan besok yang dimaksud adalah hari jumat yang oleh pemerintah ditetapkan sebagai cuti bersama karena harinya yang kecepit tanggal merah.
“iya, Pak!” Jawab saya singkat. Saya sudah bersiap untuk meneruskan kalimat pendek saya itu dengan keluhan “nggak tahu,tuh, dirutnya nggak mau libur” ketika si bapak sudah terlebih dulu menimpali kalimat pertama saya.
“baguslah!” mulanya saya agak kaget juga dengan pernyataan bapak ini mengingat saya hampir saja mengutarakan ketidaksukaan saya dengan keputusan menejemen yang tak mencutibersamakan karyawan, sampai kemudian kalimatnya berlanjut, “Libur terus saja nonshift itu!”
Kemudian, menjadi benderang lah bagi saya urusan ini. Si bapak tadi, yang kebetulan orang shift dan tak terikat oleh aturan libur ataupun tanggal merah, merasa keputusan yang ditetapkan oleh manajemen untuk tak ikut cuti bersama pada hari jumat adalah sebuah keputusan bagus. Sebabnya adalah, jika keputusannya justru sebaliknya, maka baginya, yang merasakan keuntungan adalah orang nonshift. Sedangkan Si bapak mesti masuk seperti biasa karena memang tugas-tugas yang ditangani oleh orang shift yang sifatnya tak mungkin ditinggal.
Cuti bersama, di tempat saya kerja, adalah libur yang mengurangi cuti besar kita. Tidak benar-benar libur sebenarnya, karena itu tadi, mengurangi jatah cuti besar kita. Hanya saja, karena untuk cuti pun sering kali sulit, serta cuti besar yang baru bisa diambil setelah enam tahun kerja bagi karyawan baru macam saya, maka cuti bersama sudah layaknya libur. Memang ada komponen penghasilan yang terkurangi, tapi tak apa lah, untuk sebuah jeda dari rutinitas kerja.
Itulah mungkin letak ke-tak-menguntungannya bagi si Bapak. Ia sama sekali tak mendapatkan imbas atas cuti bersama itu. Sebenarnya ia tak rugi, hanya tak mendapat keuntungan. Orang nonshiftlah yang boleh jadi mendapat keuntungannya. Dan itu cukup sudah buatnya untuk membuat sebuah kesimpulan, bahwa keputusan untuk tak ikut cuti bersama itu adalah keputusan bagus. Bagus, sebab pada akhirnya semuanya sama-sama tak memperoleh keuntungan.
Lalu saya termangu-mangu sendiri.
Kawan, berapa banyak dari kita, yang menilai suatu itu baik atau buruk, adil atau tak adil, benar atau salah, hanya dari seberapa itu tak merugikan kita, atau seberapa itu hanya menguntungkan orang-orang selain kita-tapi tidak kita. Bukan atas kejernihan pikiran yang terbebas tunggangan ego. Bukan atas kebersihan hati yang tersucikan dari iri. Agaknya, jawaban untuk itu adalah ‘banyak’. Saya, dalam kasus di atas, boleh jadi termasuk yang tak bijak ini. Yang tak lebih baik dari si Bapak itu. Sebab ternyata, saya menganggap keputusan tak ikut cuti bersama itu adalah keputusan tak bagus, hanya diakibatkan saya tak jadi memperoleh keuntungan. Bukan atas dasar plus-minusnya bagi perusahaan. Bukan atas analisa untung-rugi untuk sesuatu yang lebih besar.
Ah, agaknya saya mesti sering-sering berkaca. Pada diri sendiri yang telah lalu, juga pada orang-orang sekitar. Itu lah mungkin yang kemudian disebut dengan pelajaran.
Selamat hari libur, kawan!
Kemudian kami berdampingan ngantri di kasir. Saya di depan, dan si bapak di belakang saya. Selain kasir, tak ada lagi orang di sekitar kami kala itu. Waktu selepas subuh memang saat-saat sepi, itu lah alasan kenapa saya sering memanfaatkan waktu ini untuk belanja keperluan harian.
“Besok masuk, ya, mas?” Si bapak membuka obrolan. Saat itu hari kamis, dan besok yang dimaksud adalah hari jumat yang oleh pemerintah ditetapkan sebagai cuti bersama karena harinya yang kecepit tanggal merah.
“iya, Pak!” Jawab saya singkat. Saya sudah bersiap untuk meneruskan kalimat pendek saya itu dengan keluhan “nggak tahu,tuh, dirutnya nggak mau libur” ketika si bapak sudah terlebih dulu menimpali kalimat pertama saya.
“baguslah!” mulanya saya agak kaget juga dengan pernyataan bapak ini mengingat saya hampir saja mengutarakan ketidaksukaan saya dengan keputusan menejemen yang tak mencutibersamakan karyawan, sampai kemudian kalimatnya berlanjut, “Libur terus saja nonshift itu!”
Kemudian, menjadi benderang lah bagi saya urusan ini. Si bapak tadi, yang kebetulan orang shift dan tak terikat oleh aturan libur ataupun tanggal merah, merasa keputusan yang ditetapkan oleh manajemen untuk tak ikut cuti bersama pada hari jumat adalah sebuah keputusan bagus. Sebabnya adalah, jika keputusannya justru sebaliknya, maka baginya, yang merasakan keuntungan adalah orang nonshift. Sedangkan Si bapak mesti masuk seperti biasa karena memang tugas-tugas yang ditangani oleh orang shift yang sifatnya tak mungkin ditinggal.
Cuti bersama, di tempat saya kerja, adalah libur yang mengurangi cuti besar kita. Tidak benar-benar libur sebenarnya, karena itu tadi, mengurangi jatah cuti besar kita. Hanya saja, karena untuk cuti pun sering kali sulit, serta cuti besar yang baru bisa diambil setelah enam tahun kerja bagi karyawan baru macam saya, maka cuti bersama sudah layaknya libur. Memang ada komponen penghasilan yang terkurangi, tapi tak apa lah, untuk sebuah jeda dari rutinitas kerja.
Itulah mungkin letak ke-tak-menguntungannya bagi si Bapak. Ia sama sekali tak mendapatkan imbas atas cuti bersama itu. Sebenarnya ia tak rugi, hanya tak mendapat keuntungan. Orang nonshiftlah yang boleh jadi mendapat keuntungannya. Dan itu cukup sudah buatnya untuk membuat sebuah kesimpulan, bahwa keputusan untuk tak ikut cuti bersama itu adalah keputusan bagus. Bagus, sebab pada akhirnya semuanya sama-sama tak memperoleh keuntungan.
Lalu saya termangu-mangu sendiri.
Kawan, berapa banyak dari kita, yang menilai suatu itu baik atau buruk, adil atau tak adil, benar atau salah, hanya dari seberapa itu tak merugikan kita, atau seberapa itu hanya menguntungkan orang-orang selain kita-tapi tidak kita. Bukan atas kejernihan pikiran yang terbebas tunggangan ego. Bukan atas kebersihan hati yang tersucikan dari iri. Agaknya, jawaban untuk itu adalah ‘banyak’. Saya, dalam kasus di atas, boleh jadi termasuk yang tak bijak ini. Yang tak lebih baik dari si Bapak itu. Sebab ternyata, saya menganggap keputusan tak ikut cuti bersama itu adalah keputusan tak bagus, hanya diakibatkan saya tak jadi memperoleh keuntungan. Bukan atas dasar plus-minusnya bagi perusahaan. Bukan atas analisa untung-rugi untuk sesuatu yang lebih besar.
Ah, agaknya saya mesti sering-sering berkaca. Pada diri sendiri yang telah lalu, juga pada orang-orang sekitar. Itu lah mungkin yang kemudian disebut dengan pelajaran.
Selamat hari libur, kawan!
26 comments:
sering heran dengan cuti bersama akibat-hari-kejepit, kesannya kok yah gimanaaaa gituuu..
sama, ga libur
Kalau saya meliburkan diri hehe..
di tempat saya mengajar, jangankah hari kejepit nasional, wong tanggal merah aja ga libur. Liburnya cuma hari besar islam, kalo waisak, nyepi, wafat/kenaikan isa almasih, natal, dst tetap masuk. Untungnya anak2 ga pernah protes karena teman2nya di sekolah negeri dan sekolah islam yg lain pada libur. Hehe
aku juga libur (ngajarnya, tapi tetep ada kegiatan pengganti) *curcol*
@megalatous...menurut hemat pak menteri2 itu, kalo kejepit gt para pns bnyk yg mangkir, jd lbh baik dicuberkan sekalian biar motong cutinya. Tdk menyelesaikan akar masalah, sih..
@berber...kalo dirimu memang mesti 'kerja bakti' terus. Hehe. Bgaimana pontianaknya?
@kakrahmah...cuti sendiri kah? Sebenarny sy bisa sj, sih, ngambil cuti. Tp sungguh sayang jatah cuti tahunan it diambil tanpa dgunakan untk pulang atau untk sesuat yg lbh penting
@akhwatzone...wah! Tp sepertinya memang jaman2 SD dulu it jaman menyenangkan. Bebas main. Jd tak ada bdanya kali antara masuk sekolah ato tdk. Tp, btw, kalo murid2nya g pada mengeluh atau protes, sy takut jangan2 gurunya yg malah pengen libur..hehe
@pemikirulung..kita memang gboleh benar2 cuti dr berkegiatan, kan, di?
kalo aku menentukan sendiri mau cuti atau tidak. :D
btw, hubungan yang terjalin jadinya simbiosis komensalisme yaa. Hoho.
Berbhagialah! Sblm tak ada cuti dlm hidupmu..hehe
simbiosis apa it?
bisa dikomunikasikan pada si bos nanti :D
dalam simbiosis komensalisme itu, yg satu diuntungkan, yg lain tidak diuntungkan ataupun dirugikan.
Uow, kayak ikan hiu dg ikan remora. Hehe. (biologiku kayake g dudul2 amat)
tp cerita di atas tak pas kalo disebut sbg simbiosis
iyaa.
iyaa.
Cuti bersama itu enak,bisa istirahat di rumah. Jadi isteri "beneran" karna misua mah kaga' libur. O iye,klo kt Pak Mentri,diliburin itu buat naekin sektor pariwisata,begono..
Berarti lbh sering jd istri 'boongan', ya, di? Hehe.
Lama jg g k tempat wisata, nih..
Hahah,begitulah,tsahh. Sama2 kerja soalnyah. Pdhl pengen juga stay di rumah.
Diah jg dah lama kaga' jalan2. Terakhir ke ragunan ama misua, jalan kaki dari rumah,ditotalin mah lbh dr 10km.Nyampe rumah tepar,hahah.
Jd kesimpulannya, jalan kaki berdua it g kerasa lelahnya, ya? Indah mulu. Haha..
Nah tuh tau. Mangkanye sgera nyusul. Mo dibantu u nyariin?*ngarep masjid di akhirat*
aku kan bukan berry :D
mi pontianak? enak :D
ga tau, kemungkinan besar di kalimantan memang, tapi siapa tau dapet kemungkinan kecil
beneran mw? ha ha... kayake diah belum terbukti, nih, membuka 'jasa' ini.. :D
makanan sj !! asyik kok merantau itu...
=))
kan kaga' mesti bikin pengumuman :p
Bikin pengumuman bgaimana? Hehe
Bikin pengumuman bgaimana? Hehe
Post a Comment