Di sebuah siang yang sudah melelahkan. Kami, orang-orang (yang ngakunya telah)dewasa, sudah tak terlalu banyak melakukan aktivitas yang berarti. Lebih banyak yang duduk ndeprok, bahkan beberapa sudah tiduran. Mencoba menguapkan penat yang mulai menggejala. Hanya bincang-bincang santai yang terdengar.Tapi, tidak buat anak-anak, bukan? Di masa aktif-aktifnya itu, ada saja cadangan energi yang ia miliki untuk mendukung tiap aktivitasnya yang bagi kita orang-orang dewasa terlihat melelahkan. Tetap semangat jalan hilir mudik, tetap riang melakukan ini itu.
Juga seorang anak usia dua tahunan itu. Rayhan namanya. Putera seorang saudara jauh. Di siang itu, dalam keadaan lelah, ketika para orang tua amat mudah tersulut emosinya, ia sibuk mengutak-atik pecahan keramik itu. Memang, entah karena apa, ada sebuah keramik peyusun lantai ruangan itu pecah menjadi beberapa bagian. Menjadi pecahan besar dan kecil. Sepertinya, si pemilik belum berminat untuk memperbaikinya, terlihat dengan hanya menata pecahan keramik itu di tempat aslinya, tidak menggantinya dengan yang baru. Mungkin karena ruangan itu yang bukanlah ruangan penting hingga tak terlalu memusingkannya.
Di sanalah Rayhan bermain sendiri. Asyik memindahkan pecahan-pecahan keramik itu dari tempat semula ia tertata. Asyik bagi dia, tapi terlihat tidak asyik bagi orang tua dan tantenya. Mereka mulai berkomentar tentang sikap Rayhan ini yang bagi mereka tak seharusnya, apalagi di rumah orang seperti ini. Saat itu lah, entah datang dari mana, kesaadaran itu muncul. Inilah saatnya, ini lah saat memraktekkan apa-apa yang terbaca di buku-buku parenting itu. Maka kemudian saya melangkah mendekatinya. Rayhan ini adalah tipe anak yang cepat akrab dengan orang asing. Sam seperti keponakan saya itu, terakhir kali melihatnya ketika ia masih dalam gendongan ibunya. Entah saat masih usia berapa bulan.Tapi beberap jam sebelum kejadian ini, dengan om asingnya ini, ia sudah berani memencet laptop saya ketika saya asyik menulis.
Saya kemudian jongkok di depannya. Mengambil jarak yang dekat. Pecahan keramik-keramik itu, sudah sempurna berpindah tempat dari awal mulanya. Maka tak perlu menunggu lama, ini lah saat yang tepat. Saya harus mengambil alih persoalan ini..
“nah, sekarang waktunya Rayhan menata kembali. Om kasih waktu lima menit. Bagaimana?”
Suara saya buat menyenangkan. Bukan sebuah perintah. Mencoba membuat ini sebagai sebuah bagian permainan tadi. Tapi tak ada tanggapan dari rayhan.
“jadi, ya? Satu..”, saya mulai menghitung. Menjadikan ini seperti permainan adu kecepatan. “dua”, ia mulai memunguti keramik pertama, mencoba menatanya, “tiga”, sebuah keramik tepat ia susun. Ah, bukankah ini mirip permainan puzzle, “empat”, ia terlihat kebingungan menaruh sebuah pecahan keramik ke sudut yang mana. Saya menikmati permainan ini. Tak mencoba memberitahunya. “lima”, ia mengambil potongan keramik lain. “enam”.....
Sampai seorang tantenya datang, dan membuyarkan semuanya... “Rayhan ini biasa! Ayo, cepat dibereskan!” Begitulah kalimat yang keluar. Tentu saja dengan intonasi yang tak menyenangkan. Saya terbengong sebentar, mencoba mengatasi keadaan. Tapi tak mungkin juga berdebat di waktu itu, bukan?
Selesai! Akhirnya acara menata keramik itu selesai dengan ending yang tak mengenakkan. Si tante mengambil alih urusan, dengan sedikit kasar menuntun tangan Rayhan meletakkan potongan keramik di tempatnya yang benar. Saya terdiam. Saya hanyalah seorang om jauh, yang sedang belajar. Bukan orang tuanya. Bukan tantenya.
***
Kawan, kejadian itu, menyadarkan saya bahwa keberhasilan mendidik anak-anak, bukan hanya tentang mendidik anak-anaknya itu sendiri. Tapi juga tentang ‘mendidik’ lingkungan terdekat. Bagiamana mendidik keluarga, bagaimana mendidik tetangga, bagaimana mendidik teman-teman. Sebab anak-anak kita itu, tak akan 24 jam ada dalam pengawasan kita. Ada kalanya ia mesti digendong neneknya, ada kalanya ia diajak main pamannya, ada kalanya pula ia sedang jalan-jalan ke rumah tetangga. Maka apa yang ia serap, boleh jadi tak melulu dari kita (yang pastinya ingin sebuah kebaikan). Tapi juga dari orang-orang lingkup terdekat kita itu. Ada yang tak sesuai mungkin dengan konsep kita, bahkan beberapa boleh jadi bertolak belakang. Menjadi tugas kita lah kemudian untuk menetralisirnya.
@ruang tunggu bandara juanda
10 juni 2011
26 comments:
wes wayah. wes gek ndang
:p
jadi inget postinga terakhir malambulanbiru :)
haha ho oh
kao gitu... tariiiiiiiik!
emoh. pada-pada kog
eh, Hs-e ganti..ha ha
:D
baterai low batt..saatnya nutup latop
hahaha.... *aku seneng!! Ana Kancane... :D
Asli aku setujuh 100 % gak pakek nawar!!
Hoho.. Bundapiaradaku komen.. Ndi postingane?
postingan apah?
*hih kok tahu si blog wordpress-ku?? :">
Kan dirimu sering promosiin.. Lomba kmarin jg, kan? Hehe..aq g ikut
Bener. Lingkungan sekitar juga ngaruh. Anaknya temenku di rumah cuma nonton tipi kabel yang acaranya dipilih, tapi di sekolah anaknya itu mau ga mau 'teracuni' cerita sinetron yg 'dibahas' temen"nya.
Dan lalu? Lalu piye jal?
oh iya yah? udah lupa :))
Maka sekolahe seng bener jg. Hehe. Tp kalo sudah bgtu, orang tua mesti bekaerja lebih keras, ya, untk memberi pemahaman..
@danti.. Berarti dirimu perlu sering ngisi tts, sama main sudoku. Biar g pikun. Haha
Huh... Baikla...
Kalo beli buku tts jangan beli yg gambar covernya g genah. Haha
Hihih... Gak suka ngisi tts je :D
Aku skrg jg gsuka. Dvlu waktu sd saja suka..
bagus, bagus, bagus :D
Baguslah kalo bgtu...
jadi om jauh beneran yaa? haha..
eh eh, emang nyebelin tuh kalo cara mendidik kita ternyata ga nyambung sama apa yg diterapkan orangtuanya.. jadi kurang punya otoritas utk memberinya pelajaran.
beneran lah... banyak malah
apalagi saat melihat pemandangan yg kita tak punya kuasa papun untuk mengubah itu
wah, IYA! kok baru nyadar ya... mendidik lingkungan juga harus! *tepokjidat*
makasih dah ngingetin mas Latief! :)
samisami...
salam kenal, ya? anak ITS kayake... lingkungan itu penting. Dan jika kita tak mampu mendapatkan lingkungan yg baik, kitalah yg berkewajiban membaikkan lingkungan itu..he he
Post a Comment