Rindu! Aku rindu rumah, rindu kamar kecilku, rindu bantal teposnya, rindu tiap aromanya.
Demikianlah! Itu adalah kata-kata lazim yang diucapkan oleh seseorang yang rindu. Kala jarak memisahkannya dengan kampung halaman. Rindu rumah, rindu kamar tidurnya, rindu kucingnya. Benarkah? Benarkah benda dan suasana itu yang mereka rindui? Bohong! Saat mereka berkata kalau sedang rindu rumahnya, rindu dengan tiap detail kamar tidurnya, rindu dengan masakan rumahnya, mereka sebenarnya sedang rindu dengan orang-orangnya. Mereka sedang rindu dengan ayahnya, atau Ibunya, atau adik nakalnya, atau kakak pendiamnya, atau neneknya.
Mereka tak mau mengakuinya. Segan, canggung, malu, atau apalah. Mereka memilih untuk memakai sarana. Mereka memakai sesuatu yang sesuatu itu membawa keotomatisan pada yang benar-benar mereka rindui. Maka lihatlah! Lihatlah saat pertemuan itu terlaksana, saat kesempatan pulang kampung itu datang. Bukan kamar yang langsung mereka tuju—bukankah mereka sering mengumbar kerinduan akan kamarnya. Bukan aroma rumahnya yang mereka ciumi hingga terpuaskan –bukankah aroma itu yang kerap mereka katakan amat mereka rindui. Bukan! Bukan juga tiap detail rumahnya yang langsung ia seksamai. Tapi lihatlah! Lihatlah mereka yang mencium tangan ibunya, bapaknya. Menatap kedua bola mata mereka lama-lama. Lamat-lamat. Mendekap hangat kakaknya. Memeluk jahil adiknya. Mengobrol lama. Menceritakan kisah-kisah. Melupakan perkara aroma rumah, kamar kesayangan, atau detail fisik lain yang awalnya mereka nyatakan sebagai pemicu datangnya rindu. Orang-orangnyalah yang ia rindui, bukan benda-bendanya.
Orang-orangnya lah yang penting. Ya, orang-orangnya lah yang menentukan. Maka lihatlah juga lelaki ini. Di Bandung, di Jawa, yang seringkali dianggap surga bagi orang-orang pedalaman. Sebuah tempat pemutus rutinitas, yang pada mulanya ia anggap akan menajanjikan banyak hal, ternyata hanya begitu saja. Sebab memang bukan tentang dimananya yang penting, tapi tentang siapa yang membersamaimu lah yang menjadi penting. Bukan tentang Bandung, Bontang, Jakarta, Surabaya, atau Balikpapan. Bukan tentang pantai, hutan, gunung, kota, atau desa. Tapi tentang dengan siapa kau melewatkannya. Orangnya lah yang primer, baru kemudian tempatnya. Maka bila kau bersama dengan orang yang tepat, yang kau nyamani, segala tempat menjadi tepat. Jika tidak, maka segala tempat menjadi tak tepat. Bahkan di sebuah tempat yang kau anggap membahagiakan. Sebab yang paling menyakitkan dari sebuah kesendirian itu bukan saat kita sedih, tapi saat kita bahagia dan tertawa riang namun tak ada seorang teman untuk kita bisa membagi kebahagian itu. Kalimat itu ada di film cinta silver. Tapi bagi saya, kata ‘teman’ seharusnya menjadi ‘teman yang tepat’. Kau pasti sering mengalami hal ini, di sebuah tempat yang indah, di sebuah tempat yang mampu membasahkan lisanmu dengan kalimat tasbih, kau ingin ada seseorang yang membersamai. Seseorang yang spesifik. Sama-sama menatap indahnya, sama-sama merasakan sejuknya, sama-sama mendengarkan merdunya. Dan perasaan seperti itu, perasaan membayangkan seseorang tadi benar-benar membersamai menikmati semuanya, justru malah menyedihkan.
Maka kau perlu bertanya, jika ada orang yang berkata ‘rumahku seperti neraka’, atau merasa tak nyaman dengan rumah kecilnya yang penuh sesak, tentang satu hal. Atau dua hal mungkin. Tapi bukan tentang rumahnya yang perlu kau tanyakan mula-mula. Meski itulah yang ia keluhkan pada awalnya. Kau perlu tanyakan tentang ia sendiri. Orang seperti apakah dia. Orang seperti bagaimanakah dia. Setelah itu, kau mesti bertanya, orang yang bagaimanakah yang membersamainya. Sebab itulah justru poin pentingnya. Tak ada rumah yang terlalu sesak untuk dua jiwa yang lapang. Yang menemukan harmoni dalam kolaborasinya. Yang menemukan ketersalingan indah dalam hubungannya. Tempat menjadi sekunder. Bangunan fisik menjadi yang kedua.
Bukan tentang dimananya, tapi tentang kau, serta orang-orang yang membersamaimu.
Selamat malam
#ketika justru merindukan bontang dan orang-orangnya (Bohong! Ia tak rindu bontang. Ia hanya rindu orang di bontang), atau rumah.
42 comments:
ceracauan malam... hanya lintasan-lintasan pikiran
aku ga malu mengakui kalo merindukan subjeknya dan bukan objeknya kok bal :p
rest off all..setuju banget..
*sekali ini berdamai ah ma iqbal :D
hahaha.. jadi inget postingan Ai yang nasi goreng
tapi aku kadang bener2 mrindukan tempat.. karna sring kluyuran sendiri ke suatu tempat buat kontemplasi
misi oom,, numpang promosi..
jika para pembaca penasaran dengan postingan tentang nasi goreng itu, silakan mampir ke sini :))
judulnya kepanjangan.
ah, dari duludulu juga setuju..
nggak kreatif
:D
gara2 komen ini jadi ada orang promosi
iya...gpp. Anomali utk fajar selalu bisa dimaklumi :p
jiah jiah.. Apa pula ini... Bayar retribusi!
aduh... Sejak kemren komennya bukan konten...
aku sdh sering kan tuh pake judul satu kata.....
-kalo panjang tp koren kan gpp-- *hwekk
Mas iqbal gaya nulisnya kepengaruh Bang Tere ya...tp dimodifikasi, keren. Jd gaya tulisan Mas Iqbal sendiri :)
Banyak cara untuk 'menemui' orang yang kita rindu, tp tak pernah ada yg bisa menggantikan sentuhan tangan, tatapan mata, dan obrolan langsung dengan orang2 yang kita sayang itu :')
Betuuuuullll Ai...sepakat deh ma Ai :P
jiah perasaan Iqbal aja tuh..kapan ya aku pernah bilang setuju ma kamu Bal :P
TOSS mba! ^^b
jadi enak neh. ngerasa terkenal di blog orang. dari tadi disebut2 terus namaku. haha..
sila sila, yang mau mampir ke blog akuai, gratis lho...!
he he...seperti itu ya? sepertinya bukan orang pertama yang mengatakannya...
--sepertinya sedang rindu juga--
nah ini...sukanya memang sepakat saja... :D
nah..jadi pelupa...tuh komen pertama :p
nah memang...kayak di tv itu...semakin tinggi rating sebuah acara...semakin efektif lah beriklan di situ :p
kuralat..yang bener...kapan ya aku pernah bilang setuju ma kamu Bal (selain yang ditulisan ini) :P
eh..salah..nanti dikira memihak..setuju aja deh :P
pake peraturan family 100 :)
ndak ngerti aturannya..bukan pecinta family 100 :P
btw,,rindu Andri ta kamu?? :))
mmm...sebenare kalimat terakhir itu utk dramitisasi cerita saja..haha...
--tidak sebegitunya....
tp mungkin saja kangen andri..haha..
haha..ndak jujur..liat dong tulisan sendiri :p
ada perasaan absurd saat kau mulai tak nyaman di sini.. ingin berpindah...atau ingin ada yang menemani yg pas... Sepertinya ingin ke Bontang..atau ke rumah..atau kemanalah...
atau tak mampu mendefinisikannya sendiri...
dan Bontang adalah yg terealistis.... maka ke sanalah harusnya aku segera menuju
(baca qn ku sebelumnya)
hee? iki maksude opo?
hahahahha
bisa diperjelas pernyataan itu?
=))
bagian mana yg perlu diperjelas?
anomali untuk fajar selalu bisa dimaklumi..hihihi
yang ini baru keren..
lo....Bukane dirimu memang penuh anomali :p
bagian apanya yg keren?
abstrak.
dari bandung ke pasuruan dulu aja terus baru ke Bontang :)
begitu sebaiknya *bukan seharusnya siy :)
dasar miss abstrak...
itu g abstrak kok
eeh? bc qn sebelumnya deh.... sdh belum?
ya...rindu temen2 di lampung :D
lampung? ho ho..rekan kerja saya ada yg dari lampung
oooo ini tah postingan yg terbaru... :D
bisa mengaitkan dg yg tadi?
Hmm, ya sepertinya mulai paham.
Intinya walau kemanapun tempatnya tp jika merasa sepi dan sendiri akan menimbulkan suatu kehampaan dan kerinduan akan org2 yg dirindu.
Post a Comment