Membaca cerita-cerita hebat, mencermati cerita-cerita menakjubkan tentang perjuangan, pengabdian, pemberian, dan idealisme, tak ayal sering kali menimbulkan sesak di dada. Ada rasa cemburu, gundah, marah, betapa diri ini masih di sini, dan masih melakukan hal-hal yang itu-itu saja. Tenggelam dalam keumuman dan menjadi manusia umum yang sebentar lagi akan dilupakan sejarah. Kemudian, episode hidupnya hanya akan dirangkum dalam tiga buah catatan pada patok putih yang sebentar lagi akan penuh dengan bercak tanah: fulan bin fulan, lahir tanggal sekian, mati tanggal sekian. Selesai.
Menekuri tiap kalimat hidup itu, yang bercerita tentang sebuah capaian gemilang di masa lalu, yang mengabarkan ke masa kini tentang semangat dan idealisme yang menggelora, tak bisa tidak akan turut serta mengajak kita ke masa lalu itu juga. Dan betapa kecewanya diri ini, merutuk tak henti, bahwa di masa yang sama dengan yang terceritakan itu, tak banyak yang bisa diceritakan selain kisah umum seseorang yang berada di masa itu. Kau akan memakluminya kala ‘tak banyak’ itu berasosiasi dengan ‘itulah hal terbaik yang bisa kita lakukan’. Tapi tidak, saat ‘tak banyak’ itu berarti tak optimalnya kita mengeksplorasi kemampuan diri.
Masa lalu mungkin memang bisa menghukum. Membuat kita menundukkan muka, malu bahkan pada diri sendiri, tentang kenyataan bahwa hanya sampai segitu saja kita. Tak terlihat, mengerdil, dan terselip dalam hiruk pikuk dunia. Ketakterlihatan itu, menjadi baik kalau itu berarti pahlawan sunyi, tapi akan begitu menjijikkan jika itu bermakna pecundang kesepian.
Kita adalah kumpulan waktu, detik demi detik, yang menggumpal dengan sebutan usia. Maka kualitas kita, adalah kualitas detik-detik itu. Kepadatan detik-detik itu dengan perjuangan dan amal jempolan akan menentukan seperti apakah kita. Tentang apakah satu satuan waktu mengahasilkan satu satuan amal, atau dua, atau tiga, atau banyak, atau bahkan tidak. Kita memang tak perlu menghitung dan terlalu mengingatnya, sebab sejarah sendiri lah yang akan mencatatatnya. Tapi kesadaran tentang itu, harus senantiasa tertumbuhkan. Tak bisa tidak. Sebab kesadaran itu lah yang penting. Lalu penyikapannya.
Penyikapan. Aha, ini lah point pentingnya. Tindakan nyata itulah yang penting. Mari kita tinggalkan masa lalu itu. Sebetapa menyakitakan itu, sebetapa tak berkontribusinya masa itu, sebetapa jahiliahnya masa itu, ia tetaplah masa lalu. Sebetapa menghukum itu terhadap sekarang, sebetapa itu kerap membuat kita menutup muka, ia tetaplah menjadi sesuatu yang sudah tertinggal jauh yang tak mungkin kita pungut dan perbaiki lagi. Ia telah menjadi diri kita dan telah menyatu dalam satuan-satuan penyusun usia kita.
Barang siapa hari ini lebih baik dari kemarin, maka ia termasuk orang yang beruntung. Cukup! Itu sudah cukup menjawab kesemuanya. Bukanlah begini landasannya: barang siapa yang hari kemarin lebih buruk dari hari ini, ia termasuk hina. Bukan. Menjadi mantan preman lebih baik daripada mantan ustad. Maka, yang perlu dilakukan sekarang, adalah memperbaiki kualitas detik-detik kita senyampang waktu-waktu itu belum terhenti. Senyampang masih ada kesempatan untuk membentuk batang usia kita dengan satuan-satuan waktu itu. Satuan-satuan waktu yang harus kita buat seproduktif mungkin. Sepadat mungkin.
Kesadaran itu penting, tapi penyikapannya itulah yang kemudian jauh lebih penting. Kesadaran akan masa lalu yang tak terlalu cemerlang itu penting, tapi sebuah tekat hati untuk menjadikan kesadaran itu sebagai cambuk yang melecuti hari-hari ke depan untuk bertindak jauh lebih baik, jauh lebih penting. Seperti Umar yang menangis sekaligus tersenyum mengingati masa lalunya, suatu saat kita mungkin begitu. Tapi pastikan, pastikanlah saat itu kita hanya mengingat dan bukan larut di dalamnya. Pastikanlah saat itu kita akan segera bangkit, untuk menyerukan ini pada dada : aku telah menjadi manusia yang lebih baik dari kemarin, dan akan terus berusaha lebih baik, lebih baik, sampai waktuku habis.
#aha, kalimat ini sungguh benar: yang memberi nasehat sejatinya lebih membutuhkan nasehat itu sendiri.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
36 comments:
Jfs ya Mas Iqbal :)
Jadi inget QN terbaruku, ttg kaburo maqtan...
Waktu yg kita punyai itu adalah saat ini, esok blm tentu milik kita. Dan qt tdk tau apakah esok masih dalam hidayahNya atau tidak. Intinya, manfaatkan apa yg ada digenggaman seoptimal mngkn, tak ada alasan utk menunda amal.
Wallahu a'lam
Wow..nice sharing.
Makasih ya mas iq.
ada buku bagus tentang cermin diri, tapi belum kubaca niih.. baru nemu tadi...
ahahaha.. juduleee.. =))
baca paragraf pertama dadi kelingan film Sang Murobbi
aku suka pilihan diksimu.. seperti biasanya...
hehehe
apik lah..
*merenung
samasama mas hay.. semoga bermanfaat
jangan menunda! aha, dua kata yang mudah diucapkan tapi tak selalu mudh untuk diistiqomahi.. Apalagi tak setiap saat berada dalam kesadaran penuh....
samasama, mbak!
bener kan, komenku sebelumnya....
kaloa tak lihat2 banyak juga komenmu yg sekata ini :D
tapi oke lah sudah bersedia mbaca
karangannya siapa, mb?
karangan siapa, mb?
he he...
iya, memang yg nisan itu katakatanya ust rahmat kalo g salah...
ho ho... aku sering nulis hal umum sebenare...
tulisan ini muncul setelah membaca sebuah postingan blog..membuatku malu.. Hu hu
opo?
nggak ah.. he he.. Akeh kok...
seperti saat aku membaca blognya anak2 indonesia mengajar...hu hu.. Merasa kerdil jadinya. Merasa nggak berbuat apaapa.. Ngiri sengiringirinya...
yaaaaaahhhhhh......... kan pengen moco juga
*kesalahan iki ngandani fajar*
#baca blog indonesia mengajar ae... sama mungkin efeknya
jik tetep penasaran..
mosok ga bagi2 ik..
pm lah..
ha ha..fajar,fajar
btw, harus ejurnal ini judulnya: [jurnal ala iqbie]
haha
ah, mengalihkan!
nggak kok....
ngga salah
eh, fajr..ada bolung ngikutan njawab.. kayak tahu saja dia..ha ha
wikikiki..
*ngikik.. =))
hihi
*ngintip
mbayar!
*nyari duit di saku, adanya 25 perak
ah, yg benar..
.............
.................
jadi aris
_____________
jadi kumpulan garis..
hbs itu bs dibentuk sebuah bangunan yg indah
aku sedang berkutat dengan vertex yg diubah jadi edge..lalu face..lalu volume....
he he
aku ndak paham
vertex=titik
edge=garis
yaya
Post a Comment