Rating: | ★★★★ |
Category: | Books |
Genre: | Literature & Fiction |
Author: | tere liye |
Bergenre metropop, atau seperti itulah yang tersebut dalam cover novel setebal 285 halaman ini. Sebuah genre yang wajar oleh sebab buku ini tak diterbitkan oleh Republika, penerbit yang selama ini kerap menerbitkan karya-karyanya dengan tema yang lebih religius (meski sering kali ditolak sendiri oleh penulisnya). Kalau dilihat pertama kali terbitnya, 2006, maka buku ini terbit setelah buku sensasionalnya yang kemudian melejitkan namanya : Hafalan Shalat Delisa.
Bercerita tentang sebuah geng persahabatan. The Gogons nama geng tersebut. Terdiri atas enam cowok metroseksual yang dipertemukan oleh abjad pertama nama mereka. Persahabatan yang bermula dari bangku kuliah yang berlanjut hingga pasca kuliah saat mereka telah mapan dengan hidupnya. Enam tahun persahabatan yang diisi dengan hal-hal konyol dan gila. Untungnya, kekonyolan dan kegilaan tersebut tak menjurus ke hal-hal negatif.
Ari, James, Azhar, Adi, Diar, dan Dito. Itulah nama keenam anggota geng The Gogons itu. Ditambah Citra dan Dahlia yang menjadi anggota tak resmi geng tersebut. Tak resmi, sebab hanya sekali-kali saja mereka berdua bergabung dengan acara geng tersebut. Cerita bermula ketika geng tersebut berkunjung ke Bali untuk menghadiri pernikahan salah satu anggotanya, Adi. Awal yang ceria, begitulah yang tertangkap. Kelucuan, kekonyolan, serta candaan khas sebuah persahabatan memenuhi awal novel ini. Sampai sejauh ini cerita sepertinya bakal datar-datar saja. Sebuah persahabatan yang indah dengan segala bumbu-bumbu kekonyolannya. Di awal-awal inilah, karakter masing-masing tokoh perlahan diperkenalkan.
Masalah itu bermula dari sebuah mimpi aneh James, si cowok play boy anggota geng tersebut, saat berada dalam penerbangan Bali-Jakarta. Sebenarnya, ini bukan mimpi aneh nan menyeramkan yang pertama, di pembukaan novel ini sudah disebutkan tentang James yang mimpi aneh juga. Mimpi aneh yang segera terlupakan saat James terbangun, meski di mimoi itu jelas-jelas ada kalimat ‘terkutuklah!’. Nah, di penerbangan itulah, setelah bangun dari mimpi, saat James menyadari ternyata penerbangan telah berakhir, tak terduga James bertemu dengan Weni. Seseorang dari masa lalulnya. Seseorang dari masa kanak-kanaknya yang seketika mampu menerbangkannya kembali ke masa kanak-kanak, yang seketika mampu mendesak-desak keluar tabiat playboynya dari pikirannya.
Tentu saja ini tak berlanjut datar-datar saja. Pertemuan itu tak berakhir dengan saling tukar nomor Hape atau bertanya alamat, atau bahkan sekedar bertanya tentang bagaimanakah mereka setelah belasan tahun berpisah. Tidak! James lupa untuk menanyakan hal tersebut bahkan ketika mereka akhirnya berpisah. Kelupaan yang kemudian merepotkannya, sebab di kemudian hari dia lah yang blingsatan mencari keberadaan Weni.
Dan tragedi pun dimulai. Satu persatu masalah superserius menggerogoti pertemanan mereka. Bermula dari Diar, si cowok manis yang ternyata divonis menderita diabetes (‘lihatlah, bagaimana mungkin hal ini datang saat ia menapaki karir menjanjikan untuk membuktikan banyak hal pada ayahnya yang selalu menomorsekiankan dirinya’). Bukan diabetes yang biasa sebab itu sudah mengalami komplikasi. Kemudian Azhar yang mengalami kecelakaan parah saat berboncengan dengan Dahlia (‘lihatlah, bagimana kecelakaan itu justru terjadi saat pertama kali mereka kencan –itu jika berboncengan pulang di sebut kencan. Setelah enam tahun yang malu-malu’). Juga Dito yang tertangkap membawa heroin di bandara Soekarno-Hatta. Juga Adi yang terancam mengakhiri pernikahannya dengan sebuah perceraian. Juga Ari! Ari yang mempunyai penyakit mental bawaan, yang selama enam tahun belakangan ini menemukan comfort zonenya lewat persahabatan The Gogons, seketika kembali tertekan oleh rentetan kejadian yang mencabik-cabik persahabatan mereka; menjadi gila.
Dan tentu saja James. James yang terpenjara oleh masa lalunya. Tentang Weni yang selalu muncul secara tiba-tiba, dan seringnya sekelebatan, di hari-hari tak mengenakkan. Juga tentang lelaki dengan wajah menyenangkan. Lelaki dengan wajah menyenangkan? Hei, jika kalian pembaca buku-buku Tere Liye maka kalian akan menemukan kosakata yang sama di buku Rembulan Tenggelam Di Wajahmu.
Tapi tentu saja Tere Liye tak hanya menyajikan tragedi demi tragedi:
“Kau lihat, kehidupan telah menghianati. Semuanya sia-sia. PERCUMA. Dan kenapa harus terjadi sekarang, kenapa tidak dari dulu saja, sebelum semuanya menjanjikan banyak hal.” Diar menggigit bibir.
Matanya mulai berkaca-kaca.
Azhar menengadahkan mukanya ke atas.
“Tidak, Yar! Tidak ada yang sia-sia. Tidak ada yang percuma! Bukanlah kau-lah yang selama ini bilang hidup ini berarti, sekecil apapun itu. Bukankah waktu kita bertengkar di Bali kau berkata, kehidupan ini adalah rangkaian pengorbanan yang indah......Tak peduli harus terjadi dulu, atau sekarang, tak pedulu kecil atau beaar....”
Percakapan itu terjadi di hal 147-148. Antara Diar dan Azhar di sebuah kamar rumah sakit tempat diar dirawat. Rangkain pengorbanan yang indah, sikulus sebab akibat, itulah dua hal yang memang kerap mengisi halaman-halaman buku tere liye. Juga termasuk buku ini. Maka buku ini menyajuikan lebih dari sebuah novel metro po biasa. Beberapa kali perlu merenung larut dalam cerita. Beberapa kali harus berkaca-kaca (Tere Liye tetap saja jago dalam hal ini. Dengan kata-kata sederhana tetap saja ia mampu membawa kita dalam perasaan si tokoh). Beberapa kali bahkan tersenyum agak tertahan.
Namun, seperti halnya novel-novel Tere Liye yang lain, memang seringkali ada kebetulan-kebetulan yang sering, ketakbiasaan-ketakbiasaan. Kadang itu mengganggu. Tapi entahlah. Seperti halnya di buku-buku yang lain, ketakbiasaan itu, kita (-atau saya-) terima sebagai sebuah kelumrahan. Perkara ini, mungkin dipengaruhi oleh bagaimana seorang penulis membawakan ceritanya.
Hanya saja endingnya yang kemudian sedikit menggantung. Ada pencerahan, tapi belum sebuah penyelesaian. Hal yang kemudian sedikit dimaklumi mengingat novel ini diniatkan untuk bersekuel. Sayangnya, sekuelnya sampai saat ini belum juga diterbitkan. Kita tunggu saja.
16 comments:
Lama saya tamatkan, resensi ini mengingatkan...
Memang ceritanya agak sureal.
Tapi, dalam hidup di luar novel ini pun, terkadang kita mengalami kesurealisan tsbt.
aku br dapet nih, tah! sulit dapete..
iya, apes banget mereka! memang bs saja terjadi.. jadi kayak final destination
Saya waktu itu pinjam di rental, Mas.
Terus, pas maen ke Gramedia Manyar, dapat novel ini didiskon gede2an, saya beli deh.
Tapi, akhirnya berpindah ke tangan yg lain juga.
Iya nih, kapan ya sekuelnya keluar???
Ada apa di balik lamanya pemunculan sekuel??? Hehehe...
katanya bang tere sih, seinget sy, krena serial ptamanya g laku keras.. cm satu ctakan kan?
ooo, baru tau kalau tere Liye ada buku ini
sampai saat ini baru baca 3 buku Tere Liye. Rembulan masih jadi favorit :)
Khas Bang Tere ya? Aku belum baca :D
jarang yg tahu memang.. lihat sj di goodreads...
ini saja lama dapatnya
kalo sy sudah lengkap,,he he
ini yg terakhir...
rembulan mbacanya pas sblm diterbitin republika
iya..
tapi metropop...anak2 muda begitu..beda tokoh saja.... Tak ada anak-anak..he he
pengen baca
hubungi rifi tuh! kayake masih ada
ini sdh sulit nyarinya..sdh g dicetak ulang...sama kayak sang penandai atau rosi
Spoiler...spoiler...:D
haha..
komen yg kutunggu :)
blm baca, mb?
belum baca dan nampaknya sulit mencari buku itu...:(
tanya rifzahra itu mb! itu yg sdh komen...
Post a Comment