Adalah waktu antara isya dan maghrib. Tak panjang. Hanya sekitar satu jam atau bahkan kurang. Dulu-dulu, waktu ini adalah waktu spesial. Waktu berkumpul dengan rekan-rekan seangkatan sembari makan malam di warung langganan. Menunggu isya bersama sambil mengobrolkan segala hal. Apalagi kala semuanya masih tak memiliki kendaraan. Jalan beriringan dari rumah untuk menjangkau masjid yang jaraknya sekitar satu kilometeran, menjadi keseharian.
Hari meniti minggu. Minggu menjangkau bulan. Dan satu persatu personel kebersamaan itu mulai memiliki kendaraan. Awalnya, logika pertama yang muncul harusnya adalah kemudahan. Kemudahan, sebab sudah adanya kemampuan mereduksi pengertian satu kilometer jarak dari 5-10 menit menjadi kurang dari dua menit. Ya, awalnya iya. Yang seharusnya itu pun terjadi. Semuanya serba cepat. Meski berimplikasi tak terlalu baik. Tinggal menjelang iqomat baru berangkat, atau ‘sebentar dulu ah, lagipula ada motor’ kalimat pembenaran untuk tak segera menjawab panggilan adzan. Mungkin seperti itu, andai aku tahu apa yang tersembunyi di pikiran orang-orang. Tapi satu yang pasti, yang aku tahu, hilang sudah kebersamaan itu. Saat semuanya sudah memiliki kendaraan sendiri, saat semuanya sudah merasa mampu menjelajahi setiap warung di sini, tak ada lagi acara menunggu isya di warung langganan itu. Tak ada lagi sesi ngobrol bersama mempertukarkan pemikiran. Tak ada.
Untungnya masih ada seorang yang konsisten. Yang masih mau makan di warung langganan depan masjid sembari menunggu isya. Tak jarang berlama-lama di sana sembari menunggu isya. Mengobrol. Sharing problem pabrik. Sharing hal-hal lain. Atau kadang kala, lepas sholat maghrib, tak langsung makan. Memilih tetap tinggal sambil tak jarang terkantuk-kantuk mendengar kajian pekanan. Lalu setelahnya, saat kajian berakhir, atau memutuskan mengakhiri sebelum berakhir, saling meledek tentang mata masing-masing yang memerah sebab ngantuk. Lalu melangkah menuju warung langganan itu. Menu yang itu-itu masih.
Tapi itu pun ternyata ada usianya. Lebaran terakhir, pada akhirnya ia menikah. Sebuah kosakata yang mengandung pengertian ia tak akan lagi membersamai di waktu maghrib-isya sebab ada seseorang lain yang sedang menunggunya di rumah. Maka kemudian sendiri. Makan di warung langganan sendiri untuk kemudian segera beranjak. Mengambil sebuah buku dari jok motor untuk membacanya dalam penerangan lampu selasar masjid. Atau, kalau telah makan sore harinya, atau memang tak meniatkan untuk makan malam, serta lagi bener-benernya, terlebih dulu menyiapkan mushaf dan sebuah buku untuk dimasukkan dalam wadah hitam tempat buku ESQ dulu sebelum berangkat. Kemudian memilih memojok di masjid sembari menunggu isya’nya. Sama sekali tak mencantumkan kalimat ‘pulang dulu lalu isyanya balik’ dalam alternatif pilihan itu. Sebabnya tiga: mengehemat bahan bakar, segala hal yang ingin dilakukan di rumah bisa dilakukan di situ juga, serta adanya kemungkinan resistensi untuk segera menjawab panggilan adzan isya dengan segera.
Tapi yang pasti, semanjur apapun pulihan-pilihan antara maghrib-isya itu, perlu ada sebuah tindakan-tindakan matang dan terencana untuk segera mengisinya dengan kejutan yang lebih beraneka.
Adalah waktu antara isya dan maghrib. Tak panjang. Hanya sekitar satu jam atau bahkan kurang. Dulu-dulu, waktu ini adalah waktu spesial. Waktu berkumpul dengan rekan-rekan seangkatan sembari makan malam di warung langganan. Menunggu isya bersama sambil mengobrolkan segala hal. Apalagi kala semuanya masih tak memiliki kendaraan. Jalan beriringan dari rumah untuk menjangkau masjid yang jaraknya sekitar satu kilometeran, menjadi keseharian.
Hari meniti minggu. Minggu menjangkau bulan. Dan satu persatu personel kebersamaan itu mulai memiliki kendaraan. Awalnya, logika pertama yang muncul harusnya adalah kemudahan. Kemudahan, sebab sudah adanya kemampuan mereduksi pengertian satu kilometer jarak dari 5-10 menit menjadi kurang dari dua menit. Ya, awalnya iya. Yang seharusnya itu pun terjadi. Semuanya serba cepat. Meski berimplikasi tak terlalu baik. Tinggal menjelang iqomat baru berangkat, atau ‘sebentar dulu ah, lagipula ada motor’ kalimat pembenaran untuk tak segera menjawab panggilan adzan. Mungkin seperti itu, andai aku tahu apa yang tersembunyi di pikiran orang-orang. Tapi satu yang pasti, yang aku tahu, hilang sudah kebersamaan itu. Saat semuanya sudah memiliki kendaraan sendiri, saat semuanya sudah merasa mampu menjelajahi setiap warung di sini, tak ada lagi acara menunggu isya di warung langganan itu. Tak ada lagi sesi ngobrol bersama mempertukarkan pemikiran. Tak ada.
Untungnya masih ada seorang yang konsisten. Yang masih mau makan di warung langganan depan masjid sembari menunggu isya. Tak jarang berlama-lama di sana sembari menunggu isya. Mengobrol. Sharing problem pabrik. Sharing hal-hal lain. Atau kadang kala, lepas sholat maghrib, tak langsung makan. Memilih tetap tinggal sambil tak jarang terkantuk-kantuk mendengar kajian pekanan. Lalu setelahnya, saat kajian berakhir, atau memutuskan mengakhiri sebelum berakhir, saling meledek tentang mata masing-masing yang memerah sebab ngantuk. Lalu melangkah menuju warung langganan itu. Menu yang itu-itu masih.
Tapi itu pun ternyata ada usianya. Lebaran terakhir, pada akhirnya ia menikah. Sebuah kosakata yang mengandung pengertian ia tak akan lagi membersamai di waktu maghrib-isya sebab ada seseorang lain yang sedang menunggunya di rumah. Maka kemudian sendiri. Makan di warung langganan sendiri untuk kemudian segera beranjak. Mengambil sebuah buku dari jok motor untuk membacanya dalam penerangan lampu selasar masjid. Atau, kalau telah makan sore harinya, atau memang tak meniatkan untuk makan malam, serta lagi bener-benernya, terlebih dulu menyiapkan mushaf dan sebuah buku untuk dimasukkan dalam wadah hitam tempat buku ESQ dulu sebelum berangkat. Kemudian memilih memojok di masjid sembari menunggu isya’nya. Sama sekali tak mencantumkan kalimat ‘pulang dulu lalu isyanya balik’ dalam alternatif pilihan itu. Sebabnya tiga: mengehemat bahan bakar, segala hal yang ingin dilakukan di rumah bisa dilakukan di situ juga, serta adanya kemungkinan resistensi untuk segera menjawab panggilan adzan isya dengan segera.
Tapi yang pasti, semanjur apapun pulihan-pilihan antara maghrib-isya itu, perlu ada sebuah tindakan-tindakan matang dan terencana untuk segera mengisinya dengan kejutan yang lebih beraneka.
iya mas, ga tau nih lemot kali ya? makanya sy delete aja
komen ttg isi QN life is continuous changes... selalu berubah dan berubah kalo mandeg berarti kita udah mati.. kepergian orang, kedatangan orang itu wajar...
iya mas, ga tau nih lemot kali ya? makanya sy delete aja
komen ttg isi QN life is continuous changes... selalu berubah dan berubah kalo mandeg berarti kita udah mati.. kepergian orang, kedatangan orang itu wajar...
@mbak sari..he he..yup. memang. Sebenarnya isi tulisan ini panjang. Kalo di jurnal mungkin minimal dua halaman A4... @mbak siska...biasanya itu posting dobel via hp, mb!
Wah... selamat ya... berhasil lolos dari jebakan diskualifikasi...:) Perubahan itu gak bisa dihindari, tapi kita bisa memilih mau berubah kearah kebaikan atau sebaliknya... *selamat menikmati perubahan seperti metamorfosis kupu-kupu...:)*
@akuai...karena sdh nggak ada teman makan, selain berbarengan dg puasa, dan demi kesehatan, makan malamnya sekarng seringnya sblm mghrib. Beli sambil pulang kerja
Wah pindah pindah e. Cilikane akeh ndik Tanjung Perak. Trus pindah ngGubeng, omahe simbah. Persis mburine pasar krempyeng. Wis bangkotan pindah mBabatan Pilang. Suroboyone kuliah ndek endi?
Wah pindah pindah e. Cilikane akeh ndik Tanjung Perak. Trus pindah ngGubeng, omahe simbah. Persis mburine pasar krempyeng. Wis bangkotan pindah mBabatan Pilang. Suroboyone kuliah ndek endi?
waaaaaaaaaa... bal.. aku juga nduwe solmet nggo ngunu iku.. mlaku bar maghrib.. mesen ma'em bareng meski gur dibungkus.. trus golek bis trans bareng.. saiki bocahe yo wis nikah.. tapi tetep iso.. haha..lha wong akhwat.. cuma emang ga tiap hari.. gur sesekali
59 comments:
Adalah waktu antara isya dan maghrib. Tak panjang. Hanya sekitar satu jam atau bahkan kurang. Dulu-dulu, waktu ini adalah waktu spesial. Waktu berkumpul dengan rekan-rekan seangkatan sembari makan malam di warung langganan. Menunggu isya bersama sambil mengobrolkan segala hal. Apalagi kala semuanya masih tak memiliki kendaraan. Jalan beriringan dari rumah untuk menjangkau masjid yang jaraknya sekitar satu kilometeran, menjadi keseharian.
Hari meniti minggu. Minggu menjangkau bulan. Dan satu persatu personel kebersamaan itu mulai memiliki kendaraan. Awalnya, logika pertama yang muncul harusnya adalah kemudahan. Kemudahan, sebab sudah adanya kemampuan mereduksi pengertian satu kilometer jarak dari 5-10 menit menjadi kurang dari dua menit. Ya, awalnya iya. Yang seharusnya itu pun terjadi. Semuanya serba cepat. Meski berimplikasi tak terlalu baik. Tinggal menjelang iqomat baru berangkat, atau ‘sebentar dulu ah, lagipula ada motor’ kalimat pembenaran untuk tak segera menjawab panggilan adzan. Mungkin seperti itu, andai aku tahu apa yang tersembunyi di pikiran orang-orang. Tapi satu yang pasti, yang aku tahu, hilang sudah kebersamaan itu. Saat semuanya sudah memiliki kendaraan sendiri, saat semuanya sudah merasa mampu menjelajahi setiap warung di sini, tak ada lagi acara menunggu isya di warung langganan itu. Tak ada lagi sesi ngobrol bersama mempertukarkan pemikiran. Tak ada.
Untungnya masih ada seorang yang konsisten. Yang masih mau makan di warung langganan depan masjid sembari menunggu isya. Tak jarang berlama-lama di sana sembari menunggu isya. Mengobrol. Sharing problem pabrik. Sharing hal-hal lain. Atau kadang kala, lepas sholat maghrib, tak langsung makan. Memilih tetap tinggal sambil tak jarang terkantuk-kantuk mendengar kajian pekanan. Lalu setelahnya, saat kajian berakhir, atau memutuskan mengakhiri sebelum berakhir, saling meledek tentang mata masing-masing yang memerah sebab ngantuk. Lalu melangkah menuju warung langganan itu. Menu yang itu-itu masih.
Tapi itu pun ternyata ada usianya. Lebaran terakhir, pada akhirnya ia menikah. Sebuah kosakata yang mengandung pengertian ia tak akan lagi membersamai di waktu maghrib-isya sebab ada seseorang lain yang sedang menunggunya di rumah. Maka kemudian sendiri. Makan di warung langganan sendiri untuk kemudian segera beranjak. Mengambil sebuah buku dari jok motor untuk membacanya dalam penerangan lampu selasar masjid. Atau, kalau telah makan sore harinya, atau memang tak meniatkan untuk makan malam, serta lagi bener-benernya, terlebih dulu menyiapkan mushaf dan sebuah buku untuk dimasukkan dalam wadah hitam tempat buku ESQ dulu sebelum berangkat. Kemudian memilih memojok di masjid sembari menunggu isya’nya. Sama sekali tak mencantumkan kalimat ‘pulang dulu lalu isyanya balik’ dalam alternatif pilihan itu. Sebabnya tiga: mengehemat bahan bakar, segala hal yang ingin dilakukan di rumah bisa dilakukan di situ juga, serta adanya kemungkinan resistensi untuk segera menjawab panggilan adzan isya dengan segera.
Tapi yang pasti, semanjur apapun pulihan-pilihan antara maghrib-isya itu, perlu ada sebuah tindakan-tindakan matang dan terencana untuk segera mengisinya dengan kejutan yang lebih beraneka.
gambar diambil dari sini
Adalah waktu antara isya dan maghrib. Tak panjang. Hanya sekitar satu jam atau bahkan kurang. Dulu-dulu, waktu ini adalah waktu spesial. Waktu berkumpul dengan rekan-rekan seangkatan sembari makan malam di warung langganan. Menunggu isya bersama sambil mengobrolkan segala hal. Apalagi kala semuanya masih tak memiliki kendaraan. Jalan beriringan dari rumah untuk menjangkau masjid yang jaraknya sekitar satu kilometeran, menjadi keseharian.
Hari meniti minggu. Minggu menjangkau bulan. Dan satu persatu personel kebersamaan itu mulai memiliki kendaraan. Awalnya, logika pertama yang muncul harusnya adalah kemudahan. Kemudahan, sebab sudah adanya kemampuan mereduksi pengertian satu kilometer jarak dari 5-10 menit menjadi kurang dari dua menit. Ya, awalnya iya. Yang seharusnya itu pun terjadi. Semuanya serba cepat. Meski berimplikasi tak terlalu baik. Tinggal menjelang iqomat baru berangkat, atau ‘sebentar dulu ah, lagipula ada motor’ kalimat pembenaran untuk tak segera menjawab panggilan adzan. Mungkin seperti itu, andai aku tahu apa yang tersembunyi di pikiran orang-orang. Tapi satu yang pasti, yang aku tahu, hilang sudah kebersamaan itu. Saat semuanya sudah memiliki kendaraan sendiri, saat semuanya sudah merasa mampu menjelajahi setiap warung di sini, tak ada lagi acara menunggu isya di warung langganan itu. Tak ada lagi sesi ngobrol bersama mempertukarkan pemikiran. Tak ada.
Untungnya masih ada seorang yang konsisten. Yang masih mau makan di warung langganan depan masjid sembari menunggu isya. Tak jarang berlama-lama di sana sembari menunggu isya. Mengobrol. Sharing problem pabrik. Sharing hal-hal lain. Atau kadang kala, lepas sholat maghrib, tak langsung makan. Memilih tetap tinggal sambil tak jarang terkantuk-kantuk mendengar kajian pekanan. Lalu setelahnya, saat kajian berakhir, atau memutuskan mengakhiri sebelum berakhir, saling meledek tentang mata masing-masing yang memerah sebab ngantuk. Lalu melangkah menuju warung langganan itu. Menu yang itu-itu masih.
Tapi itu pun ternyata ada usianya. Lebaran terakhir, pada akhirnya ia menikah. Sebuah kosakata yang mengandung pengertian ia tak akan lagi membersamai di waktu maghrib-isya sebab ada seseorang lain yang sedang menunggunya di rumah. Maka kemudian sendiri. Makan di warung langganan sendiri untuk kemudian segera beranjak. Mengambil sebuah buku dari jok motor untuk membacanya dalam penerangan lampu selasar masjid. Atau, kalau telah makan sore harinya, atau memang tak meniatkan untuk makan malam, serta lagi bener-benernya, terlebih dulu menyiapkan mushaf dan sebuah buku untuk dimasukkan dalam wadah hitam tempat buku ESQ dulu sebelum berangkat. Kemudian memilih memojok di masjid sembari menunggu isya’nya. Sama sekali tak mencantumkan kalimat ‘pulang dulu lalu isyanya balik’ dalam alternatif pilihan itu. Sebabnya tiga: mengehemat bahan bakar, segala hal yang ingin dilakukan di rumah bisa dilakukan di situ juga, serta adanya kemungkinan resistensi untuk segera menjawab panggilan adzan isya dengan segera.
Tapi yang pasti, semanjur apapun pulihan-pilihan antara maghrib-isya itu, perlu ada sebuah tindakan-tindakan matang dan terencana untuk segera mengisinya dengan kejutan yang lebih beraneka.
gambar diambil dari sini
waduh..salah ya?
--dong dong-
lho kok ada dua? apus cepet salah satunya...
he he..saya kan jujur :p
he he..saya kan jujur :p
waduh, ini ada dua begini?
sebenarnya ga ada ketentuannya sih kalo syliat
ga masalah ada dua asal tdk kena pertamax/awalan
setor link juga cuma beda 2 menit
tunggu polisi Lomba mba nita yaaa
hehe
nggak ada kah?
kayake pernah baca ada...
nggak ada kah?
kayake pernah baca ada...
kok komen saya jadi dua gitu ya? aneh... serba dua
ohya, umur notesnya kurang dari 24jam yaaa?
kena dis deh
@beauterfly.... maksudnya? ini yg pertama kok
soalnya di postingan ini ada yg ngelaporin (aisavitri) QN latihan ituu
tapi, sepertinya ini tetap lolos kok, soalnya sblm tgl 20..
jadi anda aman
eh, ya salam kenal
saya sari
soalnya di postingan ini ada yg ngelaporin (aisavitri) QN latihan ituu
tapi, sepertinya ini tetap lolos kok, soalnya sblm tgl 20..
jadi anda aman
eh, ya salam kenal
saya sari
12.12 vs 12.12
449 kata
2 kata judul.
for network
lebih dari 3 paragraf
setor link 2 menit
great... sampe ketemu 24 jam lagi mas :)
btw life goes on, selalu dinamis ya,selalu ada yang berubah
tinggal kita gimana bisa terima perubahan apapun itu, apa engga...
@beauterfly....wah..masak latihan dilaporin.. Tega sekali si atik..
salam kenal balik.. lomba ini memperkenalkan banyak orang nih...
@mbak arie...wah ternyata lolos.... sip sip mbak..
mungkin beliau jg ga nyadar
mungkin beliau jg ga nyadar
nah..mbak sari kok ngikut2 saya posting dobel....
iya mas, ga tau nih
lemot kali ya?
makanya sy delete aja
komen ttg isi QN
life is continuous changes...
selalu berubah dan berubah
kalo mandeg berarti kita udah mati..
kepergian orang, kedatangan orang
itu wajar...
iya mas, ga tau nih
lemot kali ya?
makanya sy delete aja
komen ttg isi QN
life is continuous changes...
selalu berubah dan berubah
kalo mandeg berarti kita udah mati..
kepergian orang, kedatangan orang
itu wajar...
Mas iqbal, sampeyan itu kalo posting ato reply emg sering dobel. Mgkn faktor inetnya ya?
@mbak sari..he he..yup. memang. Sebenarnya isi tulisan ini panjang. Kalo di jurnal mungkin minimal dua halaman A4...
@mbak siska...biasanya itu posting dobel via hp, mb!
wiihh, panjang bener
saran aja, mungkin fotonya bisa diresize lg...
wiihh, panjang bener
saran aja, mungkin fotonya bisa diresize lg...
Wah... selamat ya... berhasil lolos dari jebakan diskualifikasi...:)
Perubahan itu gak bisa dihindari, tapi kita bisa memilih mau berubah kearah kebaikan atau sebaliknya...
*selamat menikmati perubahan seperti metamorfosis kupu-kupu...:)*
wuih, keduluan neh.. Aku blum setoran euy!
Btw, bukankah meski sudah beristri, sholat di masjid tetap wajib yaa? :D
bagus :)
@beautterfly....maksudnya kalo nulisnya dibuat utk jurnal mungkin bs dibuat sampei dua halaman..he he. Resize? maksudnya diapakan ya? dikecilin gitu? kenapa? diedit dong....
@lolytadiah....oh ya...perubahan adalah keniscayaan. Dan mungkin saatnya saya utk berubah juga
@akuai...ai, temen itu masih sholat di masjid kok. Hanya saja nggak ada acara makan bareng lagi.. Ia sudah ada yg memasakan.. :)
@berry89...dirimu ini kalau komen memang singkat2
hwhw.. iyaka? :P
hwhw.. iyaka? :P
iya...
g nyadar lagi
oalah, gitu toh? Maaf maaf..
Jadi cuma soal ga ada temen makan n ngobrol toh... Kasian. :D
nggak selalu ah.........................................................
enggak,
enggak,
enggak
panjang kan?
nggak selalu ah.........................................................
enggak,
enggak,
enggak
panjang kan?
selamat..amannn
@akuai...karena sdh nggak ada teman makan, selain berbarengan dg puasa, dan demi kesehatan, makan malamnya sekarng seringnya sblm mghrib. Beli sambil pulang kerja
@berber... panjang apanya.... kurang kreatif. :p
@rengganiez.... he he..sip
pesannya dalem. tapi yahh begitulah, namanya perubahan. nggak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri.
Salam kenal
Evia si arek Suroboyo
pesannya dalem. tapi yahh begitulah, namanya perubahan. nggak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri.
Salam kenal
Evia si arek Suroboyo
@enkoos...wah suraboyo ngendi? saya kuliah di surabaya dulu....
iya, perubahan memang keniscayaan. Sebab hari ini pastinya beda dengan hari kemaren. Sabtu ini lain dengan sabtu kemaren
Wah pindah pindah e. Cilikane akeh ndik Tanjung Perak. Trus pindah ngGubeng, omahe simbah. Persis mburine pasar krempyeng. Wis bangkotan pindah mBabatan Pilang.
Suroboyone kuliah ndek endi?
Wah pindah pindah e. Cilikane akeh ndik Tanjung Perak. Trus pindah ngGubeng, omahe simbah. Persis mburine pasar krempyeng. Wis bangkotan pindah mBabatan Pilang.
Suroboyone kuliah ndek endi?
komenku kok dobal dobel yo?
komenku kok dobal dobel yo?
nang ITS...keputih..he he
iya, kalau pakai reply jadi dobel memang...
oke..salam kenal
Iqbal
ITS = Institut Tengah Sawah. qeqeqeqe...
cedak omahku kiye. Adikku yo kuliah neng kono, njupuk TI Kimia
lha sampeyan saiki ndek endi?
waaaaaaaaaa... bal.. aku juga nduwe solmet nggo ngunu iku.. mlaku bar maghrib.. mesen ma'em bareng meski gur dibungkus.. trus golek bis trans bareng.. saiki bocahe yo wis nikah.. tapi tetep iso.. haha..lha wong akhwat.. cuma emang ga tiap hari.. gur sesekali
eh.. gambare apik deh..
he he.. apa itu TI kimia? teknik kimia kah? saya juga....
skrg d Bontang
he he.. apa itu TI kimia? teknik kimia kah? saya juga....
skrg d Bontang
@fajar....tapi koncoku iku rencanae istrinya mau melahirkan di tempat asal..he he... Bakalan makan di warung lagi dia :p....
jogja enak yo ono trans.. sby ra ono. ra karuan angkutane
kadang suka mikir gitu juga si,,
everybodys changing,and I dont feel the same
iya ya..... mungkin krn lbh mudah mlihat prubahan orang lain dibandingkn diri sndiri...
Salam kenal, Mbak Sari *mesem*
Salam kenal, Mbak Sari *mesem*
la?
hehehehe...
Salam kenal juga untuk yang punya rumah :)
salam kenal balik....
:)
Post a Comment