Friday, November 2, 2012
Monday, October 8, 2012
Wednesday, September 5, 2012
Thursday, August 30, 2012
Sunday, August 26, 2012
Friday, August 24, 2012
Thursday, August 23, 2012
Saturday, August 18, 2012
Quiz Lebaran kecil-kecilan
Ceritanya, setelah saya bagi ke beberapa teman yang tak hadir di pernikahan saya, buku souvenir pernikahan saya yang berjudul 'Dear Allah' ternyata masih banyak juga. Sudah sejak lama ingin mengadakan quiz kecil-kecilan berhadiah buku ini, tapi tak kunjung jua terrealisasi. Sampai kemudian siang tadi, ide itu muncul sehari menjelang hari yang fitri...i..i..i..i..i..
Jadi, karena namanya juga kecil-kecilan, maka caranya sangat mudah sekali. Anda tak perlu menulis panjang lebar, atau menyalakan laptop maupun komputer untuk mengerjakannya.Cukup dengan ponsel anda. Yang perlu anda lakukan pun sudah menjadi kegiatan reguler anda di tiap tahunnya. Anda, cukup menulis ucapan selamat idul fitri sekreatif yang anda bisa, lalu kirimkan ke nomor hp saya yang ini: 081250895636. Jangan lupa, di setiap ucapan itu, sertakan id mp anda. tak ada nama tak apa. (sekaligus sebagai pemberitahuan, bagi anda yang punya nomor hp telkomselaya sebelumnya, ketahuilah bahwa hp saya itu sudah hilang dengan saya tak dapat membuktikan bahwa nomor yang itu adalah benar-benar nomor saya).
lalu, yang menang yang bagaimana? nah, bila anda bertanya seperti itu, maka jawabannya adalah ini: yang menang adalah yang ucapan selamat idul fitri-nya saya sukai. He he. Maka karena sesimpel itu penilaiannya, pemenang untuk quiz ini boleh jadi bakalan banyak, mengingat buku yang tersedia juga cukup banyak. Anda boleh mengirim ucapan sebanyak-banyaknya tapi sekali saja saya menemukan yang sejenis dengan ucapan itu, dengan berat hati anda saya diskualifikasi. Orisinilatas begitu dihargai di quiz kecil-kecilan ini.
Quiz ini, berlaku hingga kamis depan tanggal 23 agustus pukul 24.00. alasannya, agar saya punya waktu sehari untuk menentukan pemenang-pemenangnya, untuk rencanya hari sabtu saya bawa buku-buku itu ke Jawa. Anda pasti sudah maklum kalau kebanyakan Mp-ers ada di Jawa dan itu artinya ongkos kirim untuk pengiriman hadiah juga lebih murah. Quiz ini juga berlaku bagi kontak di luar negeri, dengan catatan, apabila menang, pengiriman hadiah ke dalam negeri saja.
Baik. Itu saja. Selamat idul fitri!
AyuIqbal
Jadi, karena namanya juga kecil-kecilan, maka caranya sangat mudah sekali. Anda tak perlu menulis panjang lebar, atau menyalakan laptop maupun komputer untuk mengerjakannya.Cukup dengan ponsel anda. Yang perlu anda lakukan pun sudah menjadi kegiatan reguler anda di tiap tahunnya. Anda, cukup menulis ucapan selamat idul fitri sekreatif yang anda bisa, lalu kirimkan ke nomor hp saya yang ini: 081250895636. Jangan lupa, di setiap ucapan itu, sertakan id mp anda. tak ada nama tak apa. (sekaligus sebagai pemberitahuan, bagi anda yang punya nomor hp telkomselaya sebelumnya, ketahuilah bahwa hp saya itu sudah hilang dengan saya tak dapat membuktikan bahwa nomor yang itu adalah benar-benar nomor saya).
lalu, yang menang yang bagaimana? nah, bila anda bertanya seperti itu, maka jawabannya adalah ini: yang menang adalah yang ucapan selamat idul fitri-nya saya sukai. He he. Maka karena sesimpel itu penilaiannya, pemenang untuk quiz ini boleh jadi bakalan banyak, mengingat buku yang tersedia juga cukup banyak. Anda boleh mengirim ucapan sebanyak-banyaknya tapi sekali saja saya menemukan yang sejenis dengan ucapan itu, dengan berat hati anda saya diskualifikasi. Orisinilatas begitu dihargai di quiz kecil-kecilan ini.
Quiz ini, berlaku hingga kamis depan tanggal 23 agustus pukul 24.00. alasannya, agar saya punya waktu sehari untuk menentukan pemenang-pemenangnya, untuk rencanya hari sabtu saya bawa buku-buku itu ke Jawa. Anda pasti sudah maklum kalau kebanyakan Mp-ers ada di Jawa dan itu artinya ongkos kirim untuk pengiriman hadiah juga lebih murah. Quiz ini juga berlaku bagi kontak di luar negeri, dengan catatan, apabila menang, pengiriman hadiah ke dalam negeri saja.
Baik. Itu saja. Selamat idul fitri!
AyuIqbal
Sunday, August 12, 2012
Monday, August 6, 2012
Sunday, July 29, 2012
Thursday, July 19, 2012
Saturday, July 14, 2012
detik-detik menjelang akad
Sabtu, 25 Februari 2012. Hari masih pagi, tapi saya telah berganti pakaian. Celana putih, baju putih, serta peci putih –yang meski kekecilan untuk kepala besar saya- , telah sempurna saya pakai. Saya tak cemberut, tak juga terlalu sumringah, begitu yang masih saya ingat. Semuanya sudah siap, mahar pun juga telah selesai dihias meski dengan tingkat kemendadakan yang lumayan berat. Saya tak perlu memikir banyak hal. Saya mesti memfokuskan diri pada sebuah waktu beberapa jam lagi, saat saya duduk, lalu mengucapkan sebuah kalimat yang akan menjadi pembeda banyak hal.
Mungkin ini yang disebut dengan keadaan ketika kita dalam keadaan berbaik sangka pada Allah dalam kadar yang begitu tinggi.
Rumah tentu saja masih sepi. Hanya ada keluarga yang memang menginap sejak kemarin-kemarin. Beberapa makanan seadanya juga telah siap. Ada yang beli jadi, ada yang memang sengaja dimasak—hal yang membuat dapur kembali berfungsi setalah mengalami masa vakumnya. Tapi tamu-tamu yang sedianya mengiringi rombongan tentu saja belum datang.
Seorang lelaki kemudian masuk. Teman saya. Teman yang jauh-jauh hari telah saya mintai tolong untuk mendapatkan tugas mulia ini: tukang memutar nasyid di laptop pas acara. Sebelumnya ia memang janji akan datang pagi-pagi sekali ke rumah. Saya kemudian mengeluarkan laptop kecil saya. Disanalah nasyid-nasyid yang telah saya pilih sudah saya kumpulkan. Memang, sampai sejauh ini, kami bahkan belum bertemu langsung untuk membicarakan ini. Entahlah, mungkin kami yang sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing, hingga permasalahan ini hanya terdiskusikan via sms. Tapi tak perlu ada yang dicemaskan, semuanya akan baik-baik saja. Saya telah mimilih nasyid-nasyidnya, ia tinggal menyesuaiakn nasyid apa yang cocok diputar untuk momen-momen tertentu. Dan itu butuh kepiawaian tersendiri.
Ini cocok pas momen ini, ini cocok pas salaman. Ini enaknya pas makan. Begitulah! Pada akhirnya diskusi tentang nasyid tertap saja tak terhindarkan, hingga tercetuslah sebuah ide, yang kemudian disepakati, bahwa nasyid ‘Robithoh’nya Izzis akan sangat pas saat diputar ketika calon pengantin pria datang dan berjalan menuju tempat akad.
Selesai. Kemudian si teman bergegas menuju rumah mempelai perempuan untuk mulai bersiap-siap dan mengepaskan koneksi laptop dan audio yang ada di sana.
Demikianlah! Ringkas cerita, tibalah saya pada saat itu: ketika saya bersama rombongan, sejarak seratus meter dari tempat berlangsungnya akad, berjalan dalam langkah pelan. Di depan, yang tentu saja cukup jelas dalam pandangan, nampak orang-orang berdiri menyambut. Dan senandung itu!
Sesungguhnya Engkau tahu
bahwa hati ini telah berpadu
berhimpun dalam naungan cintaMu
bertemu dalam ketaatan
bersatu dalam perjuangan
menegakkan syariat dalam kehidupan
(Duh, Gusti, inikah memang saat yang paling menghunjam untuk menikmati nasyid ini? Dulu-dulu memang selalu menghunjam kala disenandungkan, tapi mendengarkannya dalam keadaan harap untuk hati yang saling bertaut dalam bingkai iman dan perjuangan, jelas menimbulkan efek menghunjam dengan dosis yang lebih berat)
Kuatkanlah ikatannya
kekalkanlah cintanya
tunjukilah jalan-jalannya
terangilah dengan cahayamu
yang tiada pernah padam
Ya Rabbi bimbinglah kami
(maka inilah doa indah itu. Hati siapa yang tak lumer, hati siapa yang tak meleleh)
Lapangkanlah dada kami
dengan karunia iman
dan indahnya tawakal padaMu
hidupkan dengan ma'rifatMu
matikan dalam syahid di jalan Mu
Engkaulah pelindung dan pembela
(Amin, ya Allah! Kabulkanlah!)
Saya terus melangkah, sampai kemudian nasyid itu dihentikan. Saya berhenti, rombongan berhenti. Masing-masing perwakilan keluarga maju untuk melakukan prosesi serah terima. Saya tak tahu akan ada sesi ini, tapi saya ikut saja. Tak ada ruginya.
Saya kemudian maju selangkah. Calon mertua juga. Kemudian, dalam waktu yang cepat, kalung bunga melati diulurkan. Saya merundukkan kepala sedikit, memberikan keluasaan kalungan bunga itu mendarat di leher. Lalu, kami saling menjabat tangan.
Tapi tidak selesai sampai di situ. Biarlah! Biarlah saya teruskan ini dengan cara saya. Toh, tak ada pembicaraan apapun sebelumnya bakal ada prosesi ini. Maka, belum juga usai jabat tangan itu, saya dekap bapak berumur 50an tahun itu. Untuk yang pertama kalinya. Tak ada kata, tak ada kalimat apapun. Hanya merasai degup jantung itu, hanya merasakan persentuhan kami. Meski ingin sekali saya bisikkan kalimat ini : “terimakasih, Pak! Terimakasih telah mendidik calon pengantinku sampai sejauh ini. Maafkanlah lelaki ini yang lancang mengetuk pintu rumahmu, untuk meminta salah satu sumber kebahagianmu. Bahkan tanpa sebuah janji. Hanya keinginan hati, untuk memberi kebahagian lain setelah ini”
Beberapa saat kemudian, Robithohnya Izzis kembali mengalun.
(mungkin akan ada sambungannya)
Mungkin ini yang disebut dengan keadaan ketika kita dalam keadaan berbaik sangka pada Allah dalam kadar yang begitu tinggi.
Rumah tentu saja masih sepi. Hanya ada keluarga yang memang menginap sejak kemarin-kemarin. Beberapa makanan seadanya juga telah siap. Ada yang beli jadi, ada yang memang sengaja dimasak—hal yang membuat dapur kembali berfungsi setalah mengalami masa vakumnya. Tapi tamu-tamu yang sedianya mengiringi rombongan tentu saja belum datang.
Seorang lelaki kemudian masuk. Teman saya. Teman yang jauh-jauh hari telah saya mintai tolong untuk mendapatkan tugas mulia ini: tukang memutar nasyid di laptop pas acara. Sebelumnya ia memang janji akan datang pagi-pagi sekali ke rumah. Saya kemudian mengeluarkan laptop kecil saya. Disanalah nasyid-nasyid yang telah saya pilih sudah saya kumpulkan. Memang, sampai sejauh ini, kami bahkan belum bertemu langsung untuk membicarakan ini. Entahlah, mungkin kami yang sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing, hingga permasalahan ini hanya terdiskusikan via sms. Tapi tak perlu ada yang dicemaskan, semuanya akan baik-baik saja. Saya telah mimilih nasyid-nasyidnya, ia tinggal menyesuaiakn nasyid apa yang cocok diputar untuk momen-momen tertentu. Dan itu butuh kepiawaian tersendiri.
Ini cocok pas momen ini, ini cocok pas salaman. Ini enaknya pas makan. Begitulah! Pada akhirnya diskusi tentang nasyid tertap saja tak terhindarkan, hingga tercetuslah sebuah ide, yang kemudian disepakati, bahwa nasyid ‘Robithoh’nya Izzis akan sangat pas saat diputar ketika calon pengantin pria datang dan berjalan menuju tempat akad.
Selesai. Kemudian si teman bergegas menuju rumah mempelai perempuan untuk mulai bersiap-siap dan mengepaskan koneksi laptop dan audio yang ada di sana.
Demikianlah! Ringkas cerita, tibalah saya pada saat itu: ketika saya bersama rombongan, sejarak seratus meter dari tempat berlangsungnya akad, berjalan dalam langkah pelan. Di depan, yang tentu saja cukup jelas dalam pandangan, nampak orang-orang berdiri menyambut. Dan senandung itu!
Sesungguhnya Engkau tahu
bahwa hati ini telah berpadu
berhimpun dalam naungan cintaMu
bertemu dalam ketaatan
bersatu dalam perjuangan
menegakkan syariat dalam kehidupan
(Duh, Gusti, inikah memang saat yang paling menghunjam untuk menikmati nasyid ini? Dulu-dulu memang selalu menghunjam kala disenandungkan, tapi mendengarkannya dalam keadaan harap untuk hati yang saling bertaut dalam bingkai iman dan perjuangan, jelas menimbulkan efek menghunjam dengan dosis yang lebih berat)
Kuatkanlah ikatannya
kekalkanlah cintanya
tunjukilah jalan-jalannya
terangilah dengan cahayamu
yang tiada pernah padam
Ya Rabbi bimbinglah kami
(maka inilah doa indah itu. Hati siapa yang tak lumer, hati siapa yang tak meleleh)
Lapangkanlah dada kami
dengan karunia iman
dan indahnya tawakal padaMu
hidupkan dengan ma'rifatMu
matikan dalam syahid di jalan Mu
Engkaulah pelindung dan pembela
(Amin, ya Allah! Kabulkanlah!)
Saya terus melangkah, sampai kemudian nasyid itu dihentikan. Saya berhenti, rombongan berhenti. Masing-masing perwakilan keluarga maju untuk melakukan prosesi serah terima. Saya tak tahu akan ada sesi ini, tapi saya ikut saja. Tak ada ruginya.
Saya kemudian maju selangkah. Calon mertua juga. Kemudian, dalam waktu yang cepat, kalung bunga melati diulurkan. Saya merundukkan kepala sedikit, memberikan keluasaan kalungan bunga itu mendarat di leher. Lalu, kami saling menjabat tangan.
Tapi tidak selesai sampai di situ. Biarlah! Biarlah saya teruskan ini dengan cara saya. Toh, tak ada pembicaraan apapun sebelumnya bakal ada prosesi ini. Maka, belum juga usai jabat tangan itu, saya dekap bapak berumur 50an tahun itu. Untuk yang pertama kalinya. Tak ada kata, tak ada kalimat apapun. Hanya merasai degup jantung itu, hanya merasakan persentuhan kami. Meski ingin sekali saya bisikkan kalimat ini : “terimakasih, Pak! Terimakasih telah mendidik calon pengantinku sampai sejauh ini. Maafkanlah lelaki ini yang lancang mengetuk pintu rumahmu, untuk meminta salah satu sumber kebahagianmu. Bahkan tanpa sebuah janji. Hanya keinginan hati, untuk memberi kebahagian lain setelah ini”
Beberapa saat kemudian, Robithohnya Izzis kembali mengalun.
(mungkin akan ada sambungannya)
Friday, June 29, 2012
Tuesday, June 26, 2012
cerita dari kubangan lumpur
Ini cerita pada sebuah pagi ba’da mabit anak rohis SMA… Cerita tentang penanaman kepedulian pada lingkungan sekitaran.
: menanam bakau!
Pernahkah kau melihat anak-anak remaja bergumul lumpur di sebuah padang lumpur yang ingin diimpikan menjadi hutan bakau yang rimbun? Pernahkah kau melihat antusiame muda-mudi yang bersimbah peluh tetap mencoba mengarifi buminya?
Jika tak pernah, ijinkan aku bercerita pada kalian. Mereka masih usia belasan, masih mencoba menatap tajam masa depan. Amat menyenangkan sekali memandang mereka. Sungguh, menyenangkan sekali. Jika yang sering kalian saksikan adalah muda-mudi alay yang jingkrak-jingkrak nonton konser musik di lapangan, maka saat di kemudian hari yang kau tatap adalah sekelompok anak muda yang bersusah-susah menjaga lingkungannya, menyingsingkan lengan, serta membiarkan kaki telanjangnya terperosok dalam kubangan, kau akan merasakan keteduhan yang terlalu hebat untuk diceritakan.
Ada tawa. Ada celoteh khas remaja. Ada cinta.
Tapi kemudian menjadi beda. Bukan gerimis, bukan hujan lebat, atau bahkan bukan bibit yang kurang yang membuat beda. Adalah seorang gadis yang tiba-tiba terdiam, tertunduk, terisak dalam kesendiriannya lah yang kemudian mengundang perhatian. Lihatlah, kakinya benar-benar terperosok dalam, dan butuh waktu lama untuk membantunya lepas dari cengkraman lumpur nan berat itu. Tapi, orang-orang yang sempat mengira kalau sesenggukan kecil itu bermula dari keterjebakan si gadis dalam lumpur, menjadi heranlah setelahnya. Sebab bahkan ketika kakinya telah terbebas, ketika ia sudah bisa kembali berjalan dengan lebih leluasa, tangis itu ternyata tak kunjung reda. ‘Ada apa’, begitu tanya orang-orang lewat tatapan matanya.
Kau mungkin seperti aku mulanya, yang menganggap si gadis terbiasa dalam keberadaan, terlimpahi kemudahan, hingga mudahlah baginya untuk mengeluarkan air mata kala kesulitan yang tak biasa ia hadapi itu kemudian menderanya. Tapi kemudian, seperti halnya aku, harusnya kalian akan tertohok setelah mendengar penjelasan ini. Ya, lewat kalimat yang patah-patah, si gadis akhirnya mau bercerita pada pembimbingnya, beberapa saat ketika kegiatan berakhir.
Ia ingat ibunya. Hanya itu. ia ingat ibunya yang tiap hari mesti mencari kerang di hutan bakau. Bertahun-tahun ia mengira, bahwa itu adalah pekerjaan biasa yang tak membutuhkan banyak perhatiannya. Bahwa itu mudah saja dilakukan oleh ibunya. Tapi baru hari itu ia mengerti dengan sepenuh hati. Kala kakinya terperosok cukup dalam, kala ia merasakan berat yang sangat bahkan untuk melangkah, ia sadar, pekerjaan yang dilakoni ibunya itu adalah pekerjan luar biasa yang tak akan mungkin dapat dilakukan dengan begitu istiqomah. Kecuali karena cinta, karena tanggung jawab, karena rasa ingin yang besar untuk melihat keluarganya memperoleh penghidupan yang layak.
Menjadi pecahlah tangisnya.
#berdasarkanceritaistri,dengandramatisasiseperlunya:)
: menanam bakau!
Pernahkah kau melihat anak-anak remaja bergumul lumpur di sebuah padang lumpur yang ingin diimpikan menjadi hutan bakau yang rimbun? Pernahkah kau melihat antusiame muda-mudi yang bersimbah peluh tetap mencoba mengarifi buminya?
Jika tak pernah, ijinkan aku bercerita pada kalian. Mereka masih usia belasan, masih mencoba menatap tajam masa depan. Amat menyenangkan sekali memandang mereka. Sungguh, menyenangkan sekali. Jika yang sering kalian saksikan adalah muda-mudi alay yang jingkrak-jingkrak nonton konser musik di lapangan, maka saat di kemudian hari yang kau tatap adalah sekelompok anak muda yang bersusah-susah menjaga lingkungannya, menyingsingkan lengan, serta membiarkan kaki telanjangnya terperosok dalam kubangan, kau akan merasakan keteduhan yang terlalu hebat untuk diceritakan.
Ada tawa. Ada celoteh khas remaja. Ada cinta.
Tapi kemudian menjadi beda. Bukan gerimis, bukan hujan lebat, atau bahkan bukan bibit yang kurang yang membuat beda. Adalah seorang gadis yang tiba-tiba terdiam, tertunduk, terisak dalam kesendiriannya lah yang kemudian mengundang perhatian. Lihatlah, kakinya benar-benar terperosok dalam, dan butuh waktu lama untuk membantunya lepas dari cengkraman lumpur nan berat itu. Tapi, orang-orang yang sempat mengira kalau sesenggukan kecil itu bermula dari keterjebakan si gadis dalam lumpur, menjadi heranlah setelahnya. Sebab bahkan ketika kakinya telah terbebas, ketika ia sudah bisa kembali berjalan dengan lebih leluasa, tangis itu ternyata tak kunjung reda. ‘Ada apa’, begitu tanya orang-orang lewat tatapan matanya.
Kau mungkin seperti aku mulanya, yang menganggap si gadis terbiasa dalam keberadaan, terlimpahi kemudahan, hingga mudahlah baginya untuk mengeluarkan air mata kala kesulitan yang tak biasa ia hadapi itu kemudian menderanya. Tapi kemudian, seperti halnya aku, harusnya kalian akan tertohok setelah mendengar penjelasan ini. Ya, lewat kalimat yang patah-patah, si gadis akhirnya mau bercerita pada pembimbingnya, beberapa saat ketika kegiatan berakhir.
Ia ingat ibunya. Hanya itu. ia ingat ibunya yang tiap hari mesti mencari kerang di hutan bakau. Bertahun-tahun ia mengira, bahwa itu adalah pekerjaan biasa yang tak membutuhkan banyak perhatiannya. Bahwa itu mudah saja dilakukan oleh ibunya. Tapi baru hari itu ia mengerti dengan sepenuh hati. Kala kakinya terperosok cukup dalam, kala ia merasakan berat yang sangat bahkan untuk melangkah, ia sadar, pekerjaan yang dilakoni ibunya itu adalah pekerjan luar biasa yang tak akan mungkin dapat dilakukan dengan begitu istiqomah. Kecuali karena cinta, karena tanggung jawab, karena rasa ingin yang besar untuk melihat keluarganya memperoleh penghidupan yang layak.
Menjadi pecahlah tangisnya.
#berdasarkanceritaistri,dengandramatisasiseperlunya:)
Sunday, June 24, 2012
Thursday, June 21, 2012
Wednesday, June 20, 2012
Tuesday, June 19, 2012
Thursday, June 14, 2012
(surat dari jakarta) ; Dear Allah
Surat teruntuk,
Iqbal Latif & Ayu Mayangsari
Assalamu’alaykum wr wb…
Saat saya pertama kali mendengar bahwa souvenir pernikahan kalian adalah buku, saya benar-benar dibuat penasaran, bagaimana bentuk bukunya? apa isi bukunya? koq bisa terpikir memberi memberi souvenir buku? Menarik, sangat menarik, terutama buat saya yang begitu menyukai buku. Saya yakin kalian pastinya sangat suka membaca, karena tidak mungkin terbersit memberi souvenir pernikahan ‘tak lazim’ ini di kepala seseorang yang tidak menyukai buku. Saya kemudian jadi berharap semoga kreativitas ini menjadi inspirasi dan bahan pertimbangan bagi para calon pengantin dalam memilih souvenir yang insyaALLAH akan berperan untuk membangkitkan semangat membaca.
Alhamdulillah, rasa penasaran saya tertuntaskan setelah minggu lalu pak pos menyerahkan paket yang berisikan buku berjudul ‘Dear Allah ...’ Rupa-rupanya, buku ini berisikan kumpulan surat yang ditujukan ke berbagai pihak, dari keluarga, sahabat, hingga pemimpin bangsa. Membaca sebuah surat memang lebih bisa merasakan apa yang ingin disampaikan si penulis , seperti ketika saya membaca buku harian. Maka sepanjang membaca surat demi surat, ada sebagian yang membuat saya berpikir, “ya ya, saya juga merasakan hal yang sama.” Sentilan akan kerapuhan moral bangsa, pentingnya budaya membaca dan berdirinya perpustakaan yang tepat guna, serta kenangan, kebahagiaan, kesedihan ketika bersama keluarga, semua pernah juga saya pikir dan rasakan. Hanya bedanya, saya tidak menuliskannya, dan disitulah letak kerugiannya. Beruntung untuk kalian yang senantiasa ringan untuk menggerakkan jemari.
Hai Iq, kalau boleh saya berkata, “meski sebagian besar surat ditulis olehmu, tapi penutup berjudul Dear Allah yang ditulis istrimu, Ayu, sangat menyentuh.” Renungannya berhasil membuat saya kembali menengok niatan awal pernikahan dan merenung tentang hakikat hidup dan apa yang telah saya raih sejauh ini. Sungguh, buku yang ditutup dengan tulisan yang begitu cantik.
Kalau boleh sedikit menyampaikan saran ya. Buku ini sebenarnya layak untuk diterbitkan pada pembaca yang lebih luas. Tapi mungkin akan diperlukan pembenahan, terutama dalam penyusunan tulisan yang menurutku masih ‘morat-marit’. Mungkin akan lebih membekas lagi jika surat-surat diklasifikasikan, berdasarkan tema, tokoh, atau apapun ide yang ada di kepala kalian. Dan kemudian, klasifikasi itupun dikerucutkan hingga berujung pada perenungan di tulisan penutup yang sudah sangat bagus peletakkannya.
Saya rasa rasa sekian dulu suratku untuk kalian. Semoga isinya berkenan dan akhir kata, saya hanya ingin berdoa,
Barakallahu lakaa wabarakah ‘alaika wajama'a baynakuma fii khair
Wassalamu’alaykum wrw wb,
Sinta, yang mewakili juga keluarga di Rawadas, Jaktim
sumber: blog sinta nisfuana
Thursday, June 7, 2012
Monday, June 4, 2012
Saturday, June 2, 2012
petuah pak dosen; sumber daya, urea, dan lingkungan
Dosen itu tiba-tiba menghentikan penjelasannya. Mukanya terasa menegas seolah ada sesuatu hal besar yang tiba-tiba menyergap pikirannya, dan mendesak untuk segera disampaikan.
“Dunia sekarang bergerak ke kutub-kutub ini: optimis, pesimis, juga antisipatif”, begitu mulainya. Tentu saja ini melenceng jauh dari pembahasan training kali ini. “Yang optimis, menganggap sumber daya alam ini tak akan pernah habis, akan cukup melimpah untuk memnuhi kebutuhan manusia. Maka mereka mengeksploitasi dengan gila-gilaan sumber daya yang ada tanpa sekalipun memikirkan apakah akan ada yang tersisa bagi generasi berikuntnya.”
Percayalah! Taka da satu hal kecil sekalipun yang sedang kami bicarakan sebelumnya yang menyinggung permasalahan ini. Jika kemudian Pak Dosen ini tiba-tiba melontarkan kalimatnya tersebut, pasti ada sesuatu hal besar yang harus ia sampaikan. Semacam tanggung jawab moral. Saat itu kami training Computational fluid dynamic, sebuah software yang dapat digunakan untuk mengetahui pola aliran sebuah fluida, ataupun panas.
“Yang pesimis, adalah mereka yang berpikir sebaliknya. Mereka yang percaya bahwa sumber daya ini akan segera habis. Tapi mereka tak melakukan satu halpun untuk mencoba mencari penyelasaian atas apa yang ia percayai itu”
Saya terdiam. Manggut-manggut. Tema ini terlalu menarik untuk diabaikan.
“Nah, yang berdiri di antara keduanya, adalah orang-orang yang kita sebut dengan golongan antisipatif. Mereka percaya bahwa sumberdaya ini bakalan habis, maka mereka melakukan banyak hal agar itu tidak terjadi, atau minimal tertunda. Mereka melakukan penghematan, mereka melakukan penelitian-penelitian untuk substitusi-substitusi.”, ada antusiasme terpancar di wajah dosen itu.” Sekarang, tinggal kita. Kita sedang berdiri di barisan mana. Keyakinan kita itu, akan menentukan tindakan kita selanjutnya”
Sebuah pertanyaan yang tak perlu dijawab, saya tahu itu. Sejak dulu, kami sudah diajarkan bahwa sumber daya alam ini suatu saat akan habis. Maka, bagi saya, tiga golongan di atas sebenarnya menjadi dua saja; yang peduli, dan yang masa bodoh.
“Saya yakin kalian yang hadir di sini termasuk golongan yang percaya bahwa sumber daya alam ini suatu saat akan habis. Tentu saja yang saya maksud di sini adalah minyak, gas alam, batu bara, serta barang tambang lain”
Kami masih diam.
“Pernahkah kalian sadari, bahwa permintaan akan sumber daya alam ini nyatanya tak bergerak segaris dengan pertumbuhan penduduk. Kian menuju kemari, dengan kian bertambahnya manusia –spesies pengeksploitasi sumber daya alam itu, ternyata kebutuhan akan sumber daya bukan sekedar bertambah, tapi justru bertambah berlipat-lipat. Artinya apa? Jika dulu satu orang , taruhlah, rata-rata menghabiskan satu satuan sumber daya dalam tiap satu periode waktu, manusia sekarang bisa menghabiskan dua, atau tiga, atau bahkan sepuluh”
Kebutuhan, saudara-saudara. Betapa tema ini sudah sering kali diulas. Betapa kebutuhan jaman sekarang kian mengabur dengan sebuah keinginan-keinginan kita.
“Apa sebenarnya kebutuhan kita? Pangan, papan, pakaian. Itu saja”, ada bulatan-bulatan yang kemudian digambar oleh pak dosen itu di papan. “Mari kita tinjau tentang pangan ini. Orang-orang dulu membutuhakan makanan secukupnya saja, cukup untuk menghilangkan lapar. Tak lebih. Lebih banyak memanfaatkan sumber pangan di sekitarnya. Tapi sekarang, hal seperti itu tidak lagi cukup. Kita tak hanya makan tiga kali sehari, tapi juga memerlukan cemilan-cemilan di antara ketiganya. Bahkan sekedar makan tiga kali pun belum cukup. Harus enak. Harus dengan lauk banyak. Harus dengan porsi besar. Tidak cukup dengan sekedar menghilangkan lapar, tapi juga mesti kenyang, kalau perlu kekenyangan. Maka jadinya apa? Kian menuju kemari, kebutuhan akan makanan ini kian berlipat-lipat. Sementra bumi, tempat makanan itu tumbuh dan berkembang, ya tetap itu-itu saja sejak dulu.”
Ah, saya tahu, ini perkara tanggung jawab. Ini tentang kewajiban menyampaian apa yang diketahuinya.
“Maka karena kebutuhannya yang memang berlipat-lipat, ketersediaan bahan makanan itu juga mesti berlipat-lipat. Jika kita bicara tentang beras, maka sawah-sawah mesti ditambah, kalau perlu menebangi hutan untuk membuka lahan. Jika tak bisa, maka harus diupayakan agar sawah-sawah yang ada bisa berproduksi jauh lebih banyak, dengan waktu panen yang semakin singkat. Jadilah kita kemudian mengenal urea untuk menggenjot produktivitas. Bila orang-orang jaman dulu memupuk sawahnya cukup dengan kotoran hewan, itupun juga tak sering-sering amat, maka petani sekarang memerlukan berkarung-karung urea untuk menyuburkan lahannya. Tanpa urea itu, padi-padinya seakan mandul hingga tak mampu lagi membulirkan biji-biji padi. Tentu saja, urea-urea itu telah mematikan kemampuan tanah untuk bisa menyuburkan dirinya sendiri. Ada mekanisme yang terputus, atau diputus”
Saya menelan ludah. Ini kiranya point yang ingin disampaikan itu. Permasalahan lingkungan yang sedang dipaparkan pada orang-orang yang bertanggung jawab atas ketersediaan pupuk nasional.
“Dan urea itu, kita semua tahu, diproduksi dari gas alam. Memang bahan makanan itu dapat kita perbarui, tapi yang tidak kita sadari, pembaruan itu mesti harus mengkonsumsi sumber daya alam yang sama-sama kita pahami sebagai sumber daya terbatas. Inilah masalahnya”
Hmmm. Pilihan sulit.
“Sebenarnya, apa, sih yang dibutuhkan tanaman dari urea itu? Dari unsur C, O, N, dan juga H yang ada pada urea, sebenarnya hanya unsur N dan O saja yang dibutuhkan. Tanaman-tanaman itu hanya membutuhkan nitrat. Nitrat yang sebenarnya bisa dihasilkan oleh bakteri pada tanaman kacang-kacangan, atau petir”, dosen itu sejenak menjeda kalimatnya. Menarik nafas dan mengedarkan pandangannya kea rah kami. “N dan O itu, seperti kita ketahui, pada produksi urea memang ditambahkan dari udara. Sedangkan C dan H, yang sebenarnya tidak diperlukan oleh tanaman dari urea itu, ironisnya yang justru berasal dari gas alam. Artinya, gas alam yang kita pakai untuk memproduksi urea itu, sebenarnya hanya sebagai carrier saja, agar N dan O itu bisa sampai ke tanaman, agar N dan O itu bisa terlarut dan bisa diserap akar tanaman. Artinya gas alam itu kita pakai untuk kemudian kita buang ke lingkungan begitu saja”
Sudah dua tahun lebih saya bekerja di pabrik urea ini, tapi baru sekarang saya menyadari fakta ini.
“Tugas kita sebagai orang proses sebenarnya yang mesti mencari solusi untuk ini. Anda-anda yang ada di sini, mesti bisa memikirkan agar bagaimana granulator-granulator yang sekarang ada, pililing-prilling tower yang sekarang berdiri, suatu saat akan menghasilkan pupuk kompos granule atau pupuk kandang prill. Tak bisa tidak. Masa depan bumi tidak terletak pada urea prill atau granule yang sekarng, tapi terletak pada pupuk organic. Kita sedang berpacu dengan waktu, kapankah saatnya pupuk ramah lingkungan itu bisa mensubstitusi pupuk urea yang sekarang. Bumi kita tak bisa menunggu lama “
Dan inilah pointnya . inilah ujung dari semua itu.
Sesi computational fluid dynamic pun dilanjutkan kembali.
2 juni 2012
Kecubung 17
“Dunia sekarang bergerak ke kutub-kutub ini: optimis, pesimis, juga antisipatif”, begitu mulainya. Tentu saja ini melenceng jauh dari pembahasan training kali ini. “Yang optimis, menganggap sumber daya alam ini tak akan pernah habis, akan cukup melimpah untuk memnuhi kebutuhan manusia. Maka mereka mengeksploitasi dengan gila-gilaan sumber daya yang ada tanpa sekalipun memikirkan apakah akan ada yang tersisa bagi generasi berikuntnya.”
Percayalah! Taka da satu hal kecil sekalipun yang sedang kami bicarakan sebelumnya yang menyinggung permasalahan ini. Jika kemudian Pak Dosen ini tiba-tiba melontarkan kalimatnya tersebut, pasti ada sesuatu hal besar yang harus ia sampaikan. Semacam tanggung jawab moral. Saat itu kami training Computational fluid dynamic, sebuah software yang dapat digunakan untuk mengetahui pola aliran sebuah fluida, ataupun panas.
“Yang pesimis, adalah mereka yang berpikir sebaliknya. Mereka yang percaya bahwa sumber daya ini akan segera habis. Tapi mereka tak melakukan satu halpun untuk mencoba mencari penyelasaian atas apa yang ia percayai itu”
Saya terdiam. Manggut-manggut. Tema ini terlalu menarik untuk diabaikan.
“Nah, yang berdiri di antara keduanya, adalah orang-orang yang kita sebut dengan golongan antisipatif. Mereka percaya bahwa sumberdaya ini bakalan habis, maka mereka melakukan banyak hal agar itu tidak terjadi, atau minimal tertunda. Mereka melakukan penghematan, mereka melakukan penelitian-penelitian untuk substitusi-substitusi.”, ada antusiasme terpancar di wajah dosen itu.” Sekarang, tinggal kita. Kita sedang berdiri di barisan mana. Keyakinan kita itu, akan menentukan tindakan kita selanjutnya”
Sebuah pertanyaan yang tak perlu dijawab, saya tahu itu. Sejak dulu, kami sudah diajarkan bahwa sumber daya alam ini suatu saat akan habis. Maka, bagi saya, tiga golongan di atas sebenarnya menjadi dua saja; yang peduli, dan yang masa bodoh.
“Saya yakin kalian yang hadir di sini termasuk golongan yang percaya bahwa sumber daya alam ini suatu saat akan habis. Tentu saja yang saya maksud di sini adalah minyak, gas alam, batu bara, serta barang tambang lain”
Kami masih diam.
“Pernahkah kalian sadari, bahwa permintaan akan sumber daya alam ini nyatanya tak bergerak segaris dengan pertumbuhan penduduk. Kian menuju kemari, dengan kian bertambahnya manusia –spesies pengeksploitasi sumber daya alam itu, ternyata kebutuhan akan sumber daya bukan sekedar bertambah, tapi justru bertambah berlipat-lipat. Artinya apa? Jika dulu satu orang , taruhlah, rata-rata menghabiskan satu satuan sumber daya dalam tiap satu periode waktu, manusia sekarang bisa menghabiskan dua, atau tiga, atau bahkan sepuluh”
Kebutuhan, saudara-saudara. Betapa tema ini sudah sering kali diulas. Betapa kebutuhan jaman sekarang kian mengabur dengan sebuah keinginan-keinginan kita.
“Apa sebenarnya kebutuhan kita? Pangan, papan, pakaian. Itu saja”, ada bulatan-bulatan yang kemudian digambar oleh pak dosen itu di papan. “Mari kita tinjau tentang pangan ini. Orang-orang dulu membutuhakan makanan secukupnya saja, cukup untuk menghilangkan lapar. Tak lebih. Lebih banyak memanfaatkan sumber pangan di sekitarnya. Tapi sekarang, hal seperti itu tidak lagi cukup. Kita tak hanya makan tiga kali sehari, tapi juga memerlukan cemilan-cemilan di antara ketiganya. Bahkan sekedar makan tiga kali pun belum cukup. Harus enak. Harus dengan lauk banyak. Harus dengan porsi besar. Tidak cukup dengan sekedar menghilangkan lapar, tapi juga mesti kenyang, kalau perlu kekenyangan. Maka jadinya apa? Kian menuju kemari, kebutuhan akan makanan ini kian berlipat-lipat. Sementra bumi, tempat makanan itu tumbuh dan berkembang, ya tetap itu-itu saja sejak dulu.”
Ah, saya tahu, ini perkara tanggung jawab. Ini tentang kewajiban menyampaian apa yang diketahuinya.
“Maka karena kebutuhannya yang memang berlipat-lipat, ketersediaan bahan makanan itu juga mesti berlipat-lipat. Jika kita bicara tentang beras, maka sawah-sawah mesti ditambah, kalau perlu menebangi hutan untuk membuka lahan. Jika tak bisa, maka harus diupayakan agar sawah-sawah yang ada bisa berproduksi jauh lebih banyak, dengan waktu panen yang semakin singkat. Jadilah kita kemudian mengenal urea untuk menggenjot produktivitas. Bila orang-orang jaman dulu memupuk sawahnya cukup dengan kotoran hewan, itupun juga tak sering-sering amat, maka petani sekarang memerlukan berkarung-karung urea untuk menyuburkan lahannya. Tanpa urea itu, padi-padinya seakan mandul hingga tak mampu lagi membulirkan biji-biji padi. Tentu saja, urea-urea itu telah mematikan kemampuan tanah untuk bisa menyuburkan dirinya sendiri. Ada mekanisme yang terputus, atau diputus”
Saya menelan ludah. Ini kiranya point yang ingin disampaikan itu. Permasalahan lingkungan yang sedang dipaparkan pada orang-orang yang bertanggung jawab atas ketersediaan pupuk nasional.
“Dan urea itu, kita semua tahu, diproduksi dari gas alam. Memang bahan makanan itu dapat kita perbarui, tapi yang tidak kita sadari, pembaruan itu mesti harus mengkonsumsi sumber daya alam yang sama-sama kita pahami sebagai sumber daya terbatas. Inilah masalahnya”
Hmmm. Pilihan sulit.
“Sebenarnya, apa, sih yang dibutuhkan tanaman dari urea itu? Dari unsur C, O, N, dan juga H yang ada pada urea, sebenarnya hanya unsur N dan O saja yang dibutuhkan. Tanaman-tanaman itu hanya membutuhkan nitrat. Nitrat yang sebenarnya bisa dihasilkan oleh bakteri pada tanaman kacang-kacangan, atau petir”, dosen itu sejenak menjeda kalimatnya. Menarik nafas dan mengedarkan pandangannya kea rah kami. “N dan O itu, seperti kita ketahui, pada produksi urea memang ditambahkan dari udara. Sedangkan C dan H, yang sebenarnya tidak diperlukan oleh tanaman dari urea itu, ironisnya yang justru berasal dari gas alam. Artinya, gas alam yang kita pakai untuk memproduksi urea itu, sebenarnya hanya sebagai carrier saja, agar N dan O itu bisa sampai ke tanaman, agar N dan O itu bisa terlarut dan bisa diserap akar tanaman. Artinya gas alam itu kita pakai untuk kemudian kita buang ke lingkungan begitu saja”
Sudah dua tahun lebih saya bekerja di pabrik urea ini, tapi baru sekarang saya menyadari fakta ini.
“Tugas kita sebagai orang proses sebenarnya yang mesti mencari solusi untuk ini. Anda-anda yang ada di sini, mesti bisa memikirkan agar bagaimana granulator-granulator yang sekarang ada, pililing-prilling tower yang sekarang berdiri, suatu saat akan menghasilkan pupuk kompos granule atau pupuk kandang prill. Tak bisa tidak. Masa depan bumi tidak terletak pada urea prill atau granule yang sekarng, tapi terletak pada pupuk organic. Kita sedang berpacu dengan waktu, kapankah saatnya pupuk ramah lingkungan itu bisa mensubstitusi pupuk urea yang sekarang. Bumi kita tak bisa menunggu lama “
Dan inilah pointnya . inilah ujung dari semua itu.
Sesi computational fluid dynamic pun dilanjutkan kembali.
2 juni 2012
Kecubung 17
Saturday, May 26, 2012
yang tersisa dari Bangka
Friday, May 25, 2012
Wednesday, May 23, 2012
(catatan pernikahan); tas punggung atau tas dada?
Seorang teman kerja protes!
Hari itu hari jumat. Beberapa sudah selesai sholat ashar, dan tinggal sejam lagi sebelum kepulangan. Saya sedang mencomot gorengan dan menghampiri tempat duduk saya ketika teman ini nyeletuk. Sebenarnya, teman yang satu ini agak jauh tempat duduknya dari saya. Hanya karena faktor kebetulan dia menghampiri teman lain yang tempat duduknya di belakang saya lah ia kemudian berada di sekitaran saya kala itu
.
“kamu itu, lo, nggak kasihan ta sama istrimu. Mbok, ya, waktu mbonceng tasnya ditaruh di depan”, demikianlah celetuknya.
Sudah hampir tiga bulan saya menikah, maka sudah hampir selama itu pulalah telah ada perempuan yang duduk di boncengan motor saya. Dengan cara membonceng yang begitu-begitu saja –tak ada perubahan. Tapi tentu saja, bukan sebuah keterlambatan jika teguran teman kerja itu baru muncul belakangan. Sebab, memang baru-baru ini sajalah ia kembali masuk kerja setelah cuti melahirkan tiga bulan, hingga baru akhir-akhir ini juga lah ia kerap melihat saya membonceng istri saya. Dan, baginya, cara membonceng saya itu, tidak seharusnya.
Ceritanya memang tentang tas. Tas yang tetap saya paksakan tetap tersandang di punggung ketimbang ditaruh di dada saat membonceng istri. Bagi teman saya, tas itu berpotensi mengganggu istri saya yang ada di boncengan . Menjadikannya uyel-uyelan dengan tas.
“tapi istriku nggak papa, tuh! Nggak protes juga”, kilah saya.
“ya iya. Sungkan karo awakmu arep protes”
Haha. Saya tersenyum. Tentu saja, permasalahan ini sudah saya pertimbangkan betul sejak awal. Keputusan untuk tetap menaruh tas di punggung saat membonceng pun sudah melalui syuro kecil dengan hasilnya adalah persetujuan istri. Alasan saya kala itu, untuk tetap menaruh tas di punggung, adalah karena jadi agak repot mengendalikan motor apabila tas disandang di dada. Apalagi dengan tas yang lumayan berat sebab terisi laptop. Maka masalah safety, bagi saya, dan juga mungkin bagi anda, adalah suatu hal yang harus diutamakan lebih dari sekedar rasa tak nyaman.
“kalau ditaruh di depan nggak enak, tuh”, jawab saya kemudian.
“ya iya memang!” jawab teman saya serempak. Ada satu teman perempuan lain yang menimpali jawaban itu.
Tapi dalam hati saya sedikit membenarkan teguran teman itu. Jangan-jangan memang istri merasa tak nyaman, jangan-jangan selama ini istri memang tak enak saja untuk menolak saat saya tetap menaruh tas di punggung, jangan-jangan….
“anti terganggu nggak dengan tas tetap di punggung seperti ini?”, demikian tanya saya sekitar satu jam telah lewat dari teguran seorang teman tadi. Saat itu istri sudah duduk nyaman di boncengan, dan motor telah melaju beberapa ratus meter dari area parkir.
“nggak, kok! Nggak apa-apa”, jawab istri saya.
“nggak! Soalnya…”, maka meluncurlah cerita saya tentang percakapan dengan seorang teman sejam sebelumnya. Tentang protesnya, tentang kemungkinan istri sungkan, tentang apakah perlu tas ini ditaruh di dada saja.
“malah enak begini, bisa dipeluk-peluk tasnya” sahutnya.
Saat itu, tanpa menoleh, tanpa melirik ke spion, saya tahu istri sedang memeluk tas punggung saya. Kedua tangannya terasa sedang saling terkait di antara tas dan punggung saya. Saya tak melihat ekspresi wajahnya hingga tak bisa saya simpulkan apakah ia sedang serius ataukah sedang bercanda.
“masak yang dipeluk tasnya?” goda saya kemudian.
Tak ada jawaban. Hanya yang saya tahu, jawaban atas pertanyaan itu, pelukan ke tas perlahan melonggar. Kemudian tangan itu beralih. Saat itu, saya berharap jalanan seketika menyepi.
Hari itu hari jumat. Beberapa sudah selesai sholat ashar, dan tinggal sejam lagi sebelum kepulangan. Saya sedang mencomot gorengan dan menghampiri tempat duduk saya ketika teman ini nyeletuk. Sebenarnya, teman yang satu ini agak jauh tempat duduknya dari saya. Hanya karena faktor kebetulan dia menghampiri teman lain yang tempat duduknya di belakang saya lah ia kemudian berada di sekitaran saya kala itu
.
“kamu itu, lo, nggak kasihan ta sama istrimu. Mbok, ya, waktu mbonceng tasnya ditaruh di depan”, demikianlah celetuknya.
Sudah hampir tiga bulan saya menikah, maka sudah hampir selama itu pulalah telah ada perempuan yang duduk di boncengan motor saya. Dengan cara membonceng yang begitu-begitu saja –tak ada perubahan. Tapi tentu saja, bukan sebuah keterlambatan jika teguran teman kerja itu baru muncul belakangan. Sebab, memang baru-baru ini sajalah ia kembali masuk kerja setelah cuti melahirkan tiga bulan, hingga baru akhir-akhir ini juga lah ia kerap melihat saya membonceng istri saya. Dan, baginya, cara membonceng saya itu, tidak seharusnya.
Ceritanya memang tentang tas. Tas yang tetap saya paksakan tetap tersandang di punggung ketimbang ditaruh di dada saat membonceng istri. Bagi teman saya, tas itu berpotensi mengganggu istri saya yang ada di boncengan . Menjadikannya uyel-uyelan dengan tas.
“tapi istriku nggak papa, tuh! Nggak protes juga”, kilah saya.
“ya iya. Sungkan karo awakmu arep protes”
Haha. Saya tersenyum. Tentu saja, permasalahan ini sudah saya pertimbangkan betul sejak awal. Keputusan untuk tetap menaruh tas di punggung saat membonceng pun sudah melalui syuro kecil dengan hasilnya adalah persetujuan istri. Alasan saya kala itu, untuk tetap menaruh tas di punggung, adalah karena jadi agak repot mengendalikan motor apabila tas disandang di dada. Apalagi dengan tas yang lumayan berat sebab terisi laptop. Maka masalah safety, bagi saya, dan juga mungkin bagi anda, adalah suatu hal yang harus diutamakan lebih dari sekedar rasa tak nyaman.
“kalau ditaruh di depan nggak enak, tuh”, jawab saya kemudian.
“ya iya memang!” jawab teman saya serempak. Ada satu teman perempuan lain yang menimpali jawaban itu.
Tapi dalam hati saya sedikit membenarkan teguran teman itu. Jangan-jangan memang istri merasa tak nyaman, jangan-jangan selama ini istri memang tak enak saja untuk menolak saat saya tetap menaruh tas di punggung, jangan-jangan….
“anti terganggu nggak dengan tas tetap di punggung seperti ini?”, demikian tanya saya sekitar satu jam telah lewat dari teguran seorang teman tadi. Saat itu istri sudah duduk nyaman di boncengan, dan motor telah melaju beberapa ratus meter dari area parkir.
“nggak, kok! Nggak apa-apa”, jawab istri saya.
“nggak! Soalnya…”, maka meluncurlah cerita saya tentang percakapan dengan seorang teman sejam sebelumnya. Tentang protesnya, tentang kemungkinan istri sungkan, tentang apakah perlu tas ini ditaruh di dada saja.
“malah enak begini, bisa dipeluk-peluk tasnya” sahutnya.
Saat itu, tanpa menoleh, tanpa melirik ke spion, saya tahu istri sedang memeluk tas punggung saya. Kedua tangannya terasa sedang saling terkait di antara tas dan punggung saya. Saya tak melihat ekspresi wajahnya hingga tak bisa saya simpulkan apakah ia sedang serius ataukah sedang bercanda.
“masak yang dipeluk tasnya?” goda saya kemudian.
Tak ada jawaban. Hanya yang saya tahu, jawaban atas pertanyaan itu, pelukan ke tas perlahan melonggar. Kemudian tangan itu beralih. Saat itu, saya berharap jalanan seketika menyepi.
Sunday, May 20, 2012
untuk seseorang yang hanif hatinya
***
Sebab di rumah ini lah segala kenangan telah kita tanam untuk selalu mereka rindui. Di rumah itu pula, segala cerita-cerita baik kita hamburkan untuk senantiasa ingin mereka dengar kembali. Tapi yang paling penting, yang benar-benar harus kita pastikan, sebab di rumah itulah , sepasang orang tua yang tak pernah jemu mengajarkan kebaikan, selalu ingin mereka temui.
***
Sebab di rumah ini lah segala kenangan telah kita tanam untuk selalu mereka rindui. Di rumah itu pula, segala cerita-cerita baik kita hamburkan untuk senantiasa ingin mereka dengar kembali. Tapi yang paling penting, yang benar-benar harus kita pastikan, sebab di rumah itulah , sepasang orang tua yang tak pernah jemu mengajarkan kebaikan, selalu ingin mereka temui.
***
Dik,
Apakah yang kau artikan dengan rumah? Kamus besar bahasa Indonesia kita mendefinisikan rumah sebagai sebuah bangunan untuk tempat tinggal. Sesederhana itu saja, hanya sebuah definisi fisik tanpa imbuhan lain. Tapi Fahd Djibran, dalam sebuah bukunya, yang kuharapkan kelak kau mau ikut membacanya, menyebutkan rumah sebagai sebuah tempat dimana segala kenangan tertanam, segala doa tercurah, segala harapan bertumbuh, dan rasa rindu harus dituntaskan di sana. Memang manis benar definisi itu, terasa bombastis, tapi mungkin begitulah harusnya. Rumah itulah memang, sumber sekaligus muara, titik tolak beserta titik tuju.
Jika kau mau sedikit merenunginya, di rumahlah kita merancang masa depan, kemudian merincinya menjadi kerja-kerja harian. Lalu atas rincian-rincian itu, tak jarang kita mesti berangkat di sebuah titik waktu tertentu.Bukan untuk meninggalkannya dan tak kembali, tapi hanya pergi. Pergi untuk memenuhi janji-janji masa depan. Sesaaat ataupun lama, karena rumah adalah titik tolak sekaligus titik tuju tadi, kita selalu berjanji untuk kembali. Kembali yang tak hanya sekedar kembali, tapi kembali sembari menjinjing rindu yang berpelangi. Rindu akan teras depan rumah, rindu akan pojokan tenteramnya, serta yang pasti, rindu akan penghuninya. Maka di sebuah titik waktu ketika kita hendak pergi itulah, akan selalu ada dua rasa itu; enggan dan ingin. Enggan untuk meninggalkan rumah, sebab segala kenyamanan yang sudah begitu dalam tertanam di sana. Tapi juga ada ingin, sebab ada hal-hal baik lain yang mesti dikerjakan di luaran sana. Menjadi tak heranlah kemudian bila, di saat-saat pergi itu, kita kemudian menatap lamat-lamat sepasang, atau dua pasang, atau banyak pasang mata yang melepas. Untuk memberi sebuah keyakinan pada pemilik mata itu, bahwa pergi ini untuk sebuah hal yang baik, dan akan kembali dalam keadaan lebih baik. Lalu kita mengatur langkah, guna meneladani nabi kita, tentang kaki mana yang lebih dahulu menjejak tanah. Lalu mengucap salam. Lalu pergi.
Begitulah, Dik. Di teras depan rumah itulah fragmen pelepasan akan sering terjadi. Tapi di tempat itu pula, pertemuan-pertemuan juga bakalan mementas. Polibag-polibag yang berisi tanaman sayur depan rumah kita itu, akan menjadi saksi bisu ketika seseorang pergi, dan yang lain dengan hangat melepas. Suatu saat, aku, kau, atau kita, mesti pergi untuk sebuah hal, lalu meninggalkan rumah dalam kesendiriannya, atau kelak meninggalkan anak-anak dalam kemandiriannya. Lalu di kemudian hari, kala waktu telah menuakan, kitalah yang akan melepas anak-anak untuk menjemput janji kehidupannya. Tapi kita yakin, benar-benar yakin, bahwa mereka pada akhirnya akan pulang, sejauh apapun mereka telah melanglang. Sebab di rumah ini lah segala kenangan telah kita tanam untuk selalu mereka rindui. Di rumah itu pula, segala cerita-cerita baik kita hamburkan untuk senantiasa ingin mereka dengar kembali. Tapi yang paling penting, yang benar-benar harus kita pastikan, sebab di rumah itulah , sepasang orang tua yang tak pernah jemu mengajarkan kebaikan, selalu ingin mereka temui.
Tapi dari rumah juga harapan-harapan bertumbuh, cita-cita melangit, dan doa-doa berhamburan. Di setiap ruangnya, diskusi-diskusi begitu hidup, dan majelis ilmu senantiasa tergelar. Ada hikmah yang rajin dibagi, ada pengetahuan yang tak bosan ditularkan. Juga ada rapat keluarga ketika si kecil kita biarkan bersuara. Maka dari rumah itulah ide-ide dikonstruksi dan sebuah peradaban kita miniaturkan. Rumahlah gambaran itu semua. Bagaimana caranya mengisi sudut ruangan dengan perabotan, atau menghias halaman dengan tanaman, adalah sedikit dari berbagai gambaran yang akan menunjukkan cita-cita sebuah keluarga.
Dan inilah uniknya. Ketika dari rumah ide-ide terlahir, gerak-gerak dirancang untuk sebuah frase qur’ani bernama bertebaran di muka bumi, maka di rumah pulalah energi itu mesti berlimpah untuk setiap saat diserap. Kita boleh saja lelah seharian bergumul di luaran, jerih oleh hantaman kanan-kiri, serta limbung oleh realitas-realitas hidup, tapi kita harus bisa memastikan bahwa rumah, adalah sebuah tempat dimana segala penat itu mesti menguap, dan energi dengan cepat tercerap. Maka pulang selalu menjadi solusi menarik ketika energi itu begitu menipis. Bukan untuh sebuah kekalahan, layaknya pasukan yang kalah perang. Tapi untuk sebuah penghimpunan kekuatan, untuk kemudian kembali ke pertarungan. Fragmen seorang ayah yang kelelahan sepulang kerja, lalu tiba-tiba bersemangat main kuda-kudaan demi melihat puteranya yang masih batita, adalah sebuah contoh bagus dimana di dalam rumah, energi itu begitu cepatnya terserap.
Begitulah, Dik. Akan sangat panjang. Ide tentang rumah ini, seberbusa apapun aku membincangkannya, pada akhirnya adalah ide tentangmu. Maka, meminjam kalimat Salim A Fillah dalam sebuah bukunya yang cukup monumental itu, pertanyaan inilah yang pada akhirnya aku kemukakan; bersediakah kau menjadi ustadzah rumah ini? Sebab, yang sama-sama kita ketahui, rumah inilah madrasah pertama anak-anak kita nanti. Jauh sebelum mereka mengenal sekolah formal, jauh sebelum mereka mengenal lingkungan luar. Dan menjadi kewajibankulah, untuk mencari ustadzah yang sholihah bagi mereka. Maka, menutup surat ini, pertanyaan ini agaknya cukup krusial untuk dikemukakan; Dik, adakah itu kau?
20 desember 2011
*dipetik dari buku 'Dear Allah'*
Tuesday, May 15, 2012
Thursday, May 10, 2012
Saturday, May 5, 2012
(catper); empek-empek palembang
Meski boleh dibilang baru-baru saja merasakan pengalaman pertamanya, saya sudah pernah makan empek-empek Palembang ini. Pernah juga Tekwan. Pernah juga Model. Pernah juga kue delapan jam. Dua yang pertama, di Bontang, sudah cukup banyak yang menjual, baik di warung-warung pujasera yang setiap saat bisa disambangi, maupun yang hanya melayani pesanan dalam jumlah yanag cukup besar. Di Bontang, masyarakatnya memang cukup beragam hingga tak heran makanannya menjadi ikut beraneka. Di Bontang itu pulalah memang saya pertama kali mencicipi makanan khas Palembang itu.
Tapi tetap saja, mencicipi keduanya langsung di tempat muasalnya, adalah sebuah hal yang sepertinya amat sayang untuk dilewatkan kala kesempatan untuk itu terhampar di hadapan. Pasti ada yang beda. Pasti! Jika bukan persoalan rasa, mungkin persoalan perasaan berbunga karena memakan sesuatu di tempat lahirnya sesuatu itu. Maka rencana saya kala ke Palembang tentu saja, salah satunya, adalah hal itu. Jika makan pagi di penginapan, makan siangnya disediakan panitia acara, makan malam lah kiranya waktu yang dapat digunakan untuk memenuhi keinginan itu.
Ada beberapa tempat yang sudah di rekomendasikan sebenarnya. Tapi tentu saja saya tak tahu itu di mana. Saya butuh teman. Selain untuk membersamai, tentu saja sebagai penunjuk letak—meski ini bisa dieliminisir dengan memanggil taksi yang akan mengantarkan ke tempat yang kita tuju. Untuk itulah, mengajak teman yang sudah lama di Palembang adalah pilihan yang menarik. Makan empek-empek di Palembang, ngobrol dengan orang Palembang (baru), membincangkan sriwijaya FC, kemacetannya, Alex Nurdin….ah, rasa-rasanya bakalan nikmat.
Hari selasa, rencana itu justru saya sangsikan sendiri. Tapi tenang saja, bukan hal tak mengenakkanlah yang menyebabkannya. Sebab ketika ada sekelompok orang telah masak-masak menjadwalkann sesuatu untuk kita, kenapa pula kita mesti repot-repot untuk menjadwalkannya sendiri. Dan,nyatanya, itulah yang kemudian berlaku. Jika di acara-acara yang biasa saya ikuti, coffe break diisi dengan makan kue-kue, atau buah, atau sekedar membuat kopi, tapi di Palembang ini lain. Bayangkan saja, coffe break pagi hari ada tekwan, di sore hari ada empek-empek kapal selam. Jika di pagi hari saya merasakan tekwan dengan rasa yang lebih enak dengan yang biasa saya makan di Bontang, maka di sore harinya saya memakan dua potong kapal selam ketika yang lainnya umumnya mengambil sepotongan. Maka puaslah saya, maka tak perlu lah untuk mencarinya sendiri. Ini sudah cukup. Lebih dari cukup.
Kemudian, demi merayakan euphoria merasakan nikmatnya empek-empek Palembang ini, saya kemudian meng-sms seorang teman kantor yang asal lampung, yang istrinya orang Baturaja—kota yang tak jauh dari Palembang; “empek-empek Palembang enak, yo?”. Tentu saja sms ini terkesan nakal dan menggoda. Sebab, sehari sebelumnya, sebenarnya ia sms saya lebih dulu dengan harapan nitip empek-empek Palembang agar bisa ia nikmati di Bontang. Tapi, apalah daya, saya tak langsung pulang. Saya mesti meluncur dulu ke Pangkal Pinang. Tak mungkinlah membawa empek-empek turut serta ke sana. Selain merepotkan, tentu saja karena bakalan basi setiba di Bontang.
Ada yang mesti dikorbankan dari rencana saya ke Pulau Bangka ini. Saya sadari betul hal itu, dengan kadar rendah mulanya, dengan kadar lebih tinggi pada akhirnya. Salah satunya memang itu; tak bisa membawa oleh-oleh empek-empek special Palembang buat orang-orang yang dicinta. Tapi itulah resikonya.
Ruang tunggu SHIA
6 mei 2012
Tapi tetap saja, mencicipi keduanya langsung di tempat muasalnya, adalah sebuah hal yang sepertinya amat sayang untuk dilewatkan kala kesempatan untuk itu terhampar di hadapan. Pasti ada yang beda. Pasti! Jika bukan persoalan rasa, mungkin persoalan perasaan berbunga karena memakan sesuatu di tempat lahirnya sesuatu itu. Maka rencana saya kala ke Palembang tentu saja, salah satunya, adalah hal itu. Jika makan pagi di penginapan, makan siangnya disediakan panitia acara, makan malam lah kiranya waktu yang dapat digunakan untuk memenuhi keinginan itu.
Ada beberapa tempat yang sudah di rekomendasikan sebenarnya. Tapi tentu saja saya tak tahu itu di mana. Saya butuh teman. Selain untuk membersamai, tentu saja sebagai penunjuk letak—meski ini bisa dieliminisir dengan memanggil taksi yang akan mengantarkan ke tempat yang kita tuju. Untuk itulah, mengajak teman yang sudah lama di Palembang adalah pilihan yang menarik. Makan empek-empek di Palembang, ngobrol dengan orang Palembang (baru), membincangkan sriwijaya FC, kemacetannya, Alex Nurdin….ah, rasa-rasanya bakalan nikmat.
Hari selasa, rencana itu justru saya sangsikan sendiri. Tapi tenang saja, bukan hal tak mengenakkanlah yang menyebabkannya. Sebab ketika ada sekelompok orang telah masak-masak menjadwalkann sesuatu untuk kita, kenapa pula kita mesti repot-repot untuk menjadwalkannya sendiri. Dan,nyatanya, itulah yang kemudian berlaku. Jika di acara-acara yang biasa saya ikuti, coffe break diisi dengan makan kue-kue, atau buah, atau sekedar membuat kopi, tapi di Palembang ini lain. Bayangkan saja, coffe break pagi hari ada tekwan, di sore hari ada empek-empek kapal selam. Jika di pagi hari saya merasakan tekwan dengan rasa yang lebih enak dengan yang biasa saya makan di Bontang, maka di sore harinya saya memakan dua potong kapal selam ketika yang lainnya umumnya mengambil sepotongan. Maka puaslah saya, maka tak perlu lah untuk mencarinya sendiri. Ini sudah cukup. Lebih dari cukup.
Kemudian, demi merayakan euphoria merasakan nikmatnya empek-empek Palembang ini, saya kemudian meng-sms seorang teman kantor yang asal lampung, yang istrinya orang Baturaja—kota yang tak jauh dari Palembang; “empek-empek Palembang enak, yo?”. Tentu saja sms ini terkesan nakal dan menggoda. Sebab, sehari sebelumnya, sebenarnya ia sms saya lebih dulu dengan harapan nitip empek-empek Palembang agar bisa ia nikmati di Bontang. Tapi, apalah daya, saya tak langsung pulang. Saya mesti meluncur dulu ke Pangkal Pinang. Tak mungkinlah membawa empek-empek turut serta ke sana. Selain merepotkan, tentu saja karena bakalan basi setiba di Bontang.
Ada yang mesti dikorbankan dari rencana saya ke Pulau Bangka ini. Saya sadari betul hal itu, dengan kadar rendah mulanya, dengan kadar lebih tinggi pada akhirnya. Salah satunya memang itu; tak bisa membawa oleh-oleh empek-empek special Palembang buat orang-orang yang dicinta. Tapi itulah resikonya.
Ruang tunggu SHIA
6 mei 2012
Friday, May 4, 2012
(catper): bontang-pasuruan-kebumen-surabaya-palembang
Tak terlalu terpikirkan sebelumnya kalau pengalaman pertama ke Sumatera ini ternyata melelahkan juga. Saya ketahui dan sadari sebelumnya memang, bahwa tak ada maskapai yg melayani penerbangan langsung Surabaya-Palembang. Semuanya harus transit via jakarta, baik yg mau connect maupun yg terpisah. Dalam hal ini, Jakarta memang bikin ngiri. Kemana-mana mudah saja dan tak perlu berpanjang jalan. Tidak seperti orang medan, misalnya, yg mesti terbang ke jakarta dulu untuk ke Palembang.
Tak ada pilihan yg benar-benar menarik untuk penerbangan connect Surabaya-Palembang ini. Semuanya menawarkan transit dengan durasi yg panjang. Kalaupun tak terlalu, jam terbang dari Surabayanya yg terlalu pagi. Dengan berangkat dari Pasuruan, tak mungkinlah sebelum subuh saya bertolak demi mengejar penerbangan pagi itu.
Tapi saya mesti memilih salah satunya. Mau tak mau. Untuk memilih penerbangan terpisah agaknya terlalu beresiko sebab ancaman ketinggalan pesawat akan menghantui. Maka, kemudian, transit empat jam tak apalah. Toh saya bisa baca-baca. Toh saya bisa sambil ngenet. Waktu akan cepat bergulir bagi orang-orang yg menikmati betul aktivitasnya.
Pesawat yg Surabaya-Jakarta ternyata tepat waktu. In.i kabar baik sekaligus kabar tak baik. Baiknya, tentu saja tentang ketepatannya itu tadi. Tapi kurang baiknya, transit minimal 4 jam benar-benar akan saya lakui. Tidak terbagi di Surabaya lebih dulu.
Melelahkan juga. Transit selama itu ternyata cukup lumayan menggerogoti stamina, meski saya sudah mengisinya dengan ngenet ria untuk cari tiket kepulangan. Saya memang tak memiliki kartu kredit hingga tak memiliki kesempatan menikmati fasilitas lounge di bandara dengan gratis.
Untungnya pesawat lagi-lagi tepat waktu. Di kisaran jam keberangkatan, petugas mempersilakan kami naik pesawat. Berduyunlah kemudian kami masuk. Saya juga menyempatkan diri untuk sms teman yg ada di Palembang mengabarkan tentang telah masuknya saya ke pesawat ini. Teman saya itu memang meminta saya untuk meng-sms-nya ketika akan berangkat agar ia yg berencana menjemput saya itu dapat memperkirakan sampainya.
Tapi pesawat tak kunjung berangkat. Penumpang sudah siap di tempat duduknya masing-masing, tapi tak ada tanda-tanda akan segera take off. Cukup lama waktu menunggu itu sampai akhirnya suara empuk itu menyapa lewat pengeras suara: permintaan maaf atas keterlambatan, serta pemberitahuan tentang keberangkatan yg segera. Saya sedikit menggerutu sebab pastinya saya bakalan membuat teman menunggu.
Pesawat mendarat di Palembang sekitar jam enam. Sekitar satu jam lebih lambat dari jadual. Maka sembari menunggu bagasi, segera saya sms teman yg mau menjemput tadi tentang kedatangan saya. Barangkali ia tak tahu, barangkali ia kemana gitu karena kebosanan menunggu tanpa adanya konfirmasi.
Teman saya itu sedang ke masjid, begitulah kiranya ucapnya. Ia juga meminta saya menyusulnya ke sana setelah itu sebab lokasinya yg tak jauh dari pintu kedatangan. Ide bagus juga. Tak apalah.
Pintu kedatangan itu seperti pintu kedatangan bandara lain pada umumnya. Ramai oleh penjemput dengan beberapa membentangkan kertas nama, juga ramai oleh orang-orang yg menawarkan jasa transportasi. Saya, seperti rencana sebelumnya, sibuk mengitarkan pandangan mencari keberadaan masjid yg dimaksud teman saya. Hingga tak terlalu mengamati wajah-wajah, hingga sedikit abai sekitaran. Saat itulah, ketika saya masih celingukan, sebuah suara yg dekat sekali di telinga menyapa untuk menawarkan taksi. Saya menggeleng, mengucap bakalan dijemput, sembari terus melangkah. Saat itu saya memang sudah mendapatkan lokasi masjid yg dimaksud.
"dijemput siapa, pak?" hei, sopir ini lancang betul tanya-tanya mengingat saya sudah bergeser cukup banyak langkah dari pertama kali ia menyapa.
"teman" toh, akhirnya saya jawab juga.
Dan tak tertahankanlah tawa itu. Saya menoleh. Menemukan sepotong wajah yg sudah lama sekali tak saya temu. Senyumnya tetap jenaka, penampakannya pun tak segemuk yg ia kabarkan via internet. Tapi kami tak berpelukan. Hanya berjabat tangan, lalu bertukar senyum. Ah, saya tak tahu apakah rindu dengan lelaki ini. Dua tahun kami sekamar waktu kuliah dulu, menjalani masa-masa perjuangan di surabaya bersama, mencari beasiswa bersama, juga tak terhitung durasi waktu dimana kita isi berdua. Ada banyak cerita dengannya yg tak akan habis dibahas semalaman. Dan kini kita kembali bertemu, setelah tiga tahun lebih. Dalam keadaan berbeda, dalam status yang tak lagi sama.
Saya kemudian ke masjid. Sementara ia menunggu di luarannya. Lihatlah, ia 'memamerkan' mobil yg baru dua bulan dibelinya.
Sepanjang jalan muntok-pangkalpinang
4 mei 2012
Tak ada pilihan yg benar-benar menarik untuk penerbangan connect Surabaya-Palembang ini. Semuanya menawarkan transit dengan durasi yg panjang. Kalaupun tak terlalu, jam terbang dari Surabayanya yg terlalu pagi. Dengan berangkat dari Pasuruan, tak mungkinlah sebelum subuh saya bertolak demi mengejar penerbangan pagi itu.
Tapi saya mesti memilih salah satunya. Mau tak mau. Untuk memilih penerbangan terpisah agaknya terlalu beresiko sebab ancaman ketinggalan pesawat akan menghantui. Maka, kemudian, transit empat jam tak apalah. Toh saya bisa baca-baca. Toh saya bisa sambil ngenet. Waktu akan cepat bergulir bagi orang-orang yg menikmati betul aktivitasnya.
Pesawat yg Surabaya-Jakarta ternyata tepat waktu. In.i kabar baik sekaligus kabar tak baik. Baiknya, tentu saja tentang ketepatannya itu tadi. Tapi kurang baiknya, transit minimal 4 jam benar-benar akan saya lakui. Tidak terbagi di Surabaya lebih dulu.
Melelahkan juga. Transit selama itu ternyata cukup lumayan menggerogoti stamina, meski saya sudah mengisinya dengan ngenet ria untuk cari tiket kepulangan. Saya memang tak memiliki kartu kredit hingga tak memiliki kesempatan menikmati fasilitas lounge di bandara dengan gratis.
Untungnya pesawat lagi-lagi tepat waktu. Di kisaran jam keberangkatan, petugas mempersilakan kami naik pesawat. Berduyunlah kemudian kami masuk. Saya juga menyempatkan diri untuk sms teman yg ada di Palembang mengabarkan tentang telah masuknya saya ke pesawat ini. Teman saya itu memang meminta saya untuk meng-sms-nya ketika akan berangkat agar ia yg berencana menjemput saya itu dapat memperkirakan sampainya.
Tapi pesawat tak kunjung berangkat. Penumpang sudah siap di tempat duduknya masing-masing, tapi tak ada tanda-tanda akan segera take off. Cukup lama waktu menunggu itu sampai akhirnya suara empuk itu menyapa lewat pengeras suara: permintaan maaf atas keterlambatan, serta pemberitahuan tentang keberangkatan yg segera. Saya sedikit menggerutu sebab pastinya saya bakalan membuat teman menunggu.
Pesawat mendarat di Palembang sekitar jam enam. Sekitar satu jam lebih lambat dari jadual. Maka sembari menunggu bagasi, segera saya sms teman yg mau menjemput tadi tentang kedatangan saya. Barangkali ia tak tahu, barangkali ia kemana gitu karena kebosanan menunggu tanpa adanya konfirmasi.
Teman saya itu sedang ke masjid, begitulah kiranya ucapnya. Ia juga meminta saya menyusulnya ke sana setelah itu sebab lokasinya yg tak jauh dari pintu kedatangan. Ide bagus juga. Tak apalah.
Pintu kedatangan itu seperti pintu kedatangan bandara lain pada umumnya. Ramai oleh penjemput dengan beberapa membentangkan kertas nama, juga ramai oleh orang-orang yg menawarkan jasa transportasi. Saya, seperti rencana sebelumnya, sibuk mengitarkan pandangan mencari keberadaan masjid yg dimaksud teman saya. Hingga tak terlalu mengamati wajah-wajah, hingga sedikit abai sekitaran. Saat itulah, ketika saya masih celingukan, sebuah suara yg dekat sekali di telinga menyapa untuk menawarkan taksi. Saya menggeleng, mengucap bakalan dijemput, sembari terus melangkah. Saat itu saya memang sudah mendapatkan lokasi masjid yg dimaksud.
"dijemput siapa, pak?" hei, sopir ini lancang betul tanya-tanya mengingat saya sudah bergeser cukup banyak langkah dari pertama kali ia menyapa.
"teman" toh, akhirnya saya jawab juga.
Dan tak tertahankanlah tawa itu. Saya menoleh. Menemukan sepotong wajah yg sudah lama sekali tak saya temu. Senyumnya tetap jenaka, penampakannya pun tak segemuk yg ia kabarkan via internet. Tapi kami tak berpelukan. Hanya berjabat tangan, lalu bertukar senyum. Ah, saya tak tahu apakah rindu dengan lelaki ini. Dua tahun kami sekamar waktu kuliah dulu, menjalani masa-masa perjuangan di surabaya bersama, mencari beasiswa bersama, juga tak terhitung durasi waktu dimana kita isi berdua. Ada banyak cerita dengannya yg tak akan habis dibahas semalaman. Dan kini kita kembali bertemu, setelah tiga tahun lebih. Dalam keadaan berbeda, dalam status yang tak lagi sama.
Saya kemudian ke masjid. Sementara ia menunggu di luarannya. Lihatlah, ia 'memamerkan' mobil yg baru dua bulan dibelinya.
Sepanjang jalan muntok-pangkalpinang
4 mei 2012
Thursday, May 3, 2012
(catper): ide bangka
"Yang terpenting dari sebuah perjalanan bukanlah tujuan, tapi perjalanan itu sendiri"
Saya benar-benar tak merencanakannya! Mulanya, ketika memperoleh kepastian bahwa saya akan didinaskan ke Palembang, yang ada di benak saya adalah ini: saya akan mengambil cuti hari senin agar bisa pulang kampung lebih dulu, berangkat lagi ke Palembang hari selasa, lalu saya akan menunda pulang di hari sabtu untuk memberi kesempatan diri untuk menelusuri Palembang. Acaranya sendiri memang hari rabu dan kamis hingga seyogyanya saya pulang jum'at untuk masuk kerja lagi seninnya.
Tapi tak ada yang tahu dengan hari esok. Tak ada! Tak ada yg tahu selain yg Maha Tahu. Bahkan hari Jum'at malam ketika saya telah meninggalkan Bontang, bahkan ketika saya sudah tiba dengan selamat di kampung halaman, rencana awal itu masih berbaris rapi dalam bayang pikiran. Hanya saja, yg belum benar pasti, adalah tempat-tempat mana saja yg kiranya bakal saya kunjungi sewaktu di Palembang nanti. Untuk itulah kemudian saya searching-searching. Untuk itulah kemudian saya membuat pertanyaan terbuka di mp untuk minta masukan.
Ada beberapa saran yg kemudian masuk: menyusuri musi, wisata kuliner, sampai dengan meng-explore kompleks Jakabaring. Semuanya terlihat menarik meski tidak menarik-menarik amat. Saya antusias, meski tak terlalu. Tapi kemudian, di akhir-akhir, saran dari teman mp bernama ludi lah yg menggoyahkan iman rencana awal saya : Bangka.
Saya tak tahu benar, apakah ini pengaruh buku 'Meraba Indonesia' yg sedang saya baca, ataukah memang kata 'Bangka' terdengar begitu sexy di telinga hingga terlalu sayang untuk dilewatkan. Yang jelas, setelah itu, saya jadi lebih antusias menjalani perjalanan ini. Pertanyaan-pertanyaan kemudian berlanjut tentang apa saja cara menuju ke sana, juga tentang tempat-tempat yg direkomendasikan untuk dikunjungi. Saya lumayan malu soat ini; saya termasuk suka dg pelajaran geografi, tapi saya tak menyadari kalau Pulau Bangka itu tinggal menyeberang saja dari Palembang.
Jika jadual acara yg bakal saya ikuti benar, maka setidaknya hari kamis siang sudah selesai. Maka setidak-tidaknya kamis sore atau malamnya saya sudah bisa bertolak. Saya memang mesti menghemat waktu untuk ini. Untuk itulah, pilihan menyeberang dengan feri lebih menarik ketimbang kapal cepat. Kapal feri ada yg berangkat malam hari sementara kapal cepat adanya cuma pagi hari. Selain ada keinginam untuk melakukan perjalanan ini sebiasa mungkin yg bisa saya mampu dalam hal pemilihan fasilitas. Kapal feri malam adalah jawaban itu. Saya akan bermalam dan tidur di kapal, sementara paginya langsung bertualang di bangka barat, untuk kemudian lanjut ke Pangkal Pinang.
Tapi kemudian permasalahan timbul. Karena mulanya hanya dimaksudkan untuk keliling di Palembang saja dan tak ngelayap ke Bangka, saya menghadapi permasalahan barang bawaan. Akan saya kemanakan bawaan itu? Tak mungkin kiranya kalau menenteng tas jinjing itu kemana-mana sementara punggung sudah dibebani ransel. Saya memang hanya membawa tas jinjing, itupun mulanya saya maksudkan untuk ditukar dengan koper yg dibawa keluarga sewaktu berkunjung ke Bontang dua bulan sebelumnya.
Sebenarnya saya punya rencana cantik untuk mensiasati itu. Barang bawaan akan saya titipkan di teman yg ada di palembang sementara saya ke Bangka. Esoknya, atau dua hari setelahnya, saya akan menyeberang lagi ke Palembang. Lalu pulang.
Tapi geografi saya masih payah juga. Saya tak sadar kalau banka itu luas dan tak cukup satu jam menjangkau pangkal pinang dari pelabuhan. Amat tak enaklah bila saya memilih kembali ke Palembang ketika kaki sudah menjejak Pangkal pinang. Apalagi dengan adanya pilihan untuk ke Jakarta langsung dari pangkal pinang.
Isi tas jinjing saya tak banyak sebenarnya. Hanya potongan pakaian resmi untuk acara, juga kaos. Juga buku. Tapi tetap saja itu banyak. Seandainya rencana ini sudah digagas sejak awal, tentunya saya hanya membawa ransel saja dengan isi seperlunya. Tentunya juga, saya tak membeli banyak buku di surabaya. Apalagi buku resep masakan berhalaman ribuan yg saya maksudkan untuk dihadiahkan ke istri.
Tapi semuanya sudah terjadi. Tak ada yg perlu disesali terjadinya. Kini saatnya menjadikan yang telah membubur menjelma menjadi bubur ayam istimewa. Meskipun butuh ayam, meskipun butuh bumbu-bumbu tambahan. Tapi kenikmatan kala menyantapnya, akan membayar lunas jerih-jerih usahanya. Dan inilah kemudian rencana saya terbaru: buku-buku akan saya poskan ke bontang dari pasuruan, sementara kelengkapan lain yg masih diperlukan di Palembang, akan saya poskan di sana. Untuk itu lah saya hanya akan membawa tas jinjing. Tas itu akan saya lipat-lipat untuk dijebloskan ke kardus. Ditambah baju-baju. Ditambah oleh-oleh yg mungkin. Saya sendiri akan terbang langsung dari pangkal pinang ke jakarta. Cantik betul rencana itu.
4 mei 2012
di atas kapal sinar bangka
Saya benar-benar tak merencanakannya! Mulanya, ketika memperoleh kepastian bahwa saya akan didinaskan ke Palembang, yang ada di benak saya adalah ini: saya akan mengambil cuti hari senin agar bisa pulang kampung lebih dulu, berangkat lagi ke Palembang hari selasa, lalu saya akan menunda pulang di hari sabtu untuk memberi kesempatan diri untuk menelusuri Palembang. Acaranya sendiri memang hari rabu dan kamis hingga seyogyanya saya pulang jum'at untuk masuk kerja lagi seninnya.
Tapi tak ada yang tahu dengan hari esok. Tak ada! Tak ada yg tahu selain yg Maha Tahu. Bahkan hari Jum'at malam ketika saya telah meninggalkan Bontang, bahkan ketika saya sudah tiba dengan selamat di kampung halaman, rencana awal itu masih berbaris rapi dalam bayang pikiran. Hanya saja, yg belum benar pasti, adalah tempat-tempat mana saja yg kiranya bakal saya kunjungi sewaktu di Palembang nanti. Untuk itulah kemudian saya searching-searching. Untuk itulah kemudian saya membuat pertanyaan terbuka di mp untuk minta masukan.
Ada beberapa saran yg kemudian masuk: menyusuri musi, wisata kuliner, sampai dengan meng-explore kompleks Jakabaring. Semuanya terlihat menarik meski tidak menarik-menarik amat. Saya antusias, meski tak terlalu. Tapi kemudian, di akhir-akhir, saran dari teman mp bernama ludi lah yg menggoyahkan iman rencana awal saya : Bangka.
Saya tak tahu benar, apakah ini pengaruh buku 'Meraba Indonesia' yg sedang saya baca, ataukah memang kata 'Bangka' terdengar begitu sexy di telinga hingga terlalu sayang untuk dilewatkan. Yang jelas, setelah itu, saya jadi lebih antusias menjalani perjalanan ini. Pertanyaan-pertanyaan kemudian berlanjut tentang apa saja cara menuju ke sana, juga tentang tempat-tempat yg direkomendasikan untuk dikunjungi. Saya lumayan malu soat ini; saya termasuk suka dg pelajaran geografi, tapi saya tak menyadari kalau Pulau Bangka itu tinggal menyeberang saja dari Palembang.
Jika jadual acara yg bakal saya ikuti benar, maka setidaknya hari kamis siang sudah selesai. Maka setidak-tidaknya kamis sore atau malamnya saya sudah bisa bertolak. Saya memang mesti menghemat waktu untuk ini. Untuk itulah, pilihan menyeberang dengan feri lebih menarik ketimbang kapal cepat. Kapal feri ada yg berangkat malam hari sementara kapal cepat adanya cuma pagi hari. Selain ada keinginam untuk melakukan perjalanan ini sebiasa mungkin yg bisa saya mampu dalam hal pemilihan fasilitas. Kapal feri malam adalah jawaban itu. Saya akan bermalam dan tidur di kapal, sementara paginya langsung bertualang di bangka barat, untuk kemudian lanjut ke Pangkal Pinang.
Tapi kemudian permasalahan timbul. Karena mulanya hanya dimaksudkan untuk keliling di Palembang saja dan tak ngelayap ke Bangka, saya menghadapi permasalahan barang bawaan. Akan saya kemanakan bawaan itu? Tak mungkin kiranya kalau menenteng tas jinjing itu kemana-mana sementara punggung sudah dibebani ransel. Saya memang hanya membawa tas jinjing, itupun mulanya saya maksudkan untuk ditukar dengan koper yg dibawa keluarga sewaktu berkunjung ke Bontang dua bulan sebelumnya.
Sebenarnya saya punya rencana cantik untuk mensiasati itu. Barang bawaan akan saya titipkan di teman yg ada di palembang sementara saya ke Bangka. Esoknya, atau dua hari setelahnya, saya akan menyeberang lagi ke Palembang. Lalu pulang.
Tapi geografi saya masih payah juga. Saya tak sadar kalau banka itu luas dan tak cukup satu jam menjangkau pangkal pinang dari pelabuhan. Amat tak enaklah bila saya memilih kembali ke Palembang ketika kaki sudah menjejak Pangkal pinang. Apalagi dengan adanya pilihan untuk ke Jakarta langsung dari pangkal pinang.
Isi tas jinjing saya tak banyak sebenarnya. Hanya potongan pakaian resmi untuk acara, juga kaos. Juga buku. Tapi tetap saja itu banyak. Seandainya rencana ini sudah digagas sejak awal, tentunya saya hanya membawa ransel saja dengan isi seperlunya. Tentunya juga, saya tak membeli banyak buku di surabaya. Apalagi buku resep masakan berhalaman ribuan yg saya maksudkan untuk dihadiahkan ke istri.
Tapi semuanya sudah terjadi. Tak ada yg perlu disesali terjadinya. Kini saatnya menjadikan yang telah membubur menjelma menjadi bubur ayam istimewa. Meskipun butuh ayam, meskipun butuh bumbu-bumbu tambahan. Tapi kenikmatan kala menyantapnya, akan membayar lunas jerih-jerih usahanya. Dan inilah kemudian rencana saya terbaru: buku-buku akan saya poskan ke bontang dari pasuruan, sementara kelengkapan lain yg masih diperlukan di Palembang, akan saya poskan di sana. Untuk itu lah saya hanya akan membawa tas jinjing. Tas itu akan saya lipat-lipat untuk dijebloskan ke kardus. Ditambah baju-baju. Ditambah oleh-oleh yg mungkin. Saya sendiri akan terbang langsung dari pangkal pinang ke jakarta. Cantik betul rencana itu.
4 mei 2012
di atas kapal sinar bangka
Wednesday, May 2, 2012
Tuesday, May 1, 2012
sebuah kritik sosial, pak #wapres mengatur azan | bingkai hidup ridwansyah
http://ridwansyahyusufachmad.com/2012/04/29/sebuah-kritik-sosial-pak-wapres-mengatur-azan/
ini saya copast saja.. Menggelitik
###
Ini apa pula boediono minta suara azan diatur atur. . . . Lama ga tampil tau tau bicara azan. Ckckck
mending pak boediono bantu bung hatta deh ngurus ekonomi. Masa suara azan dikecilkan ? Kalau perlu dikencengin tuh azan, terutama subuh
Kalau azan subuh kenceng banget. Kan bangun tuh semua muslim. Pada ke mesjid deh jadinya. Insya Allah berkah negeri ini.
Kalau perlu boediono minta saat azan semua kerjaan berhenti. Biar makin sholeh negeri ini.
Di korea, pemerintah mereka larang lady gaga tampil. Biasa aja tuh. Ini di indonesia, MUI di bilang ga ngerti seni.
Besok besok bisa jadi tampil bugil di depan panggung disebut seni, campur baur ga jelas di bilang seni. Ckck. . Suju dtn bandara macet
Di negara sekuler bernama turki aja ada kawasan industri yg saat azan mereka pending produksi utk sholat dulu sejenak
Kita mau sholat aja dibilang ekstrim. Hadeeeh. Ini katanya negeri mayoritas muslim. Tp kelas menengahnya begini banget ya hehe
Maaf kalau kasar pak wapres. Tapi saya jd meragukan bapak. Terutama ttg bgmn anda memandang dan menyikapi anda. Anda muslim kan ?
oke gini deh pak #wapres.. bapak mau nya gimana ? azan di sayup sayup agar masuk ke kalbu ? masa sih ? kalau sayup ngantuk ada juga
saya bisa bangun subuh meski badan sedang lelah karena muazin masjid dekat rumah memasang suara azan sangat kencang. kalau sayup ? tdr lagi
anda tau pak #wapres , ada negara yg sdh lama atur-atur ttg azan juga. nama negara tersebut Israel pak #wapres . bapak berafiliasi kesana ?
pak #wapres yth (ini gw masih sopan loh ya, gak maki-maki). yang suara lirih dan sayup itu saat doa , bukan azan. beda konteks dan tujuan
doa itu komunikasi antara insan manusia dgn penciptanya, bersifat pribadi. sedangkan azan itu seruan dan panggilan. hakekatnya mmg keras
ini kata pak #Wapres: Masjid Jangan Jatuh ke Tangan Radikalis http://dlvr.it/1V9zHS <– kata siapa radikalis ? masjid yg mana ? :-)
apakah kalau saya mengajak orang sholat, perempuan menggunakan jilbab, anak muda agar berprestasi,dan komitmen dgn syahadat itu dsb radikal?
atau kah karena di masjid masjid sekarang mulai ramai gerakan #indonesiaTanpaJIL , jadinya sama pak #wapres itu dianggap radikal ? :-)
saya baru dua kali nge tweet ttg #wapres , pertama saat beliau ngumpet dan menghilang saat kisruh BBM awal april lalu. ini yg kedua
setelah menghilang berbulan bulan dari pengumpatannya, pak #wapres dpt ilham utk mengecilkan suara azan. bisikan dr mana ya ?
pak #wapres yth.ini negara mayoritas muslim.apa ada yg salah bila warga bapak ingin menikmati azan dengan jelas.bisa tau kpn hrs sholat
saya sedang di palu, tinggal di hotel yg jauh dr masjid. saya tdk dengar azan sejak saya tiba. tdk tau kapan harus sholat. tdk menyenangkan
bapak #wapres , saya tidak sedang mengecam pribadi bapak. saya sedang mempertanyakan ucapan bapak, dan juga aqidah bapak. mohon maaf
buat saya, himbauan mengecilkan azan sama seperti himbauan untuk memendekkan hijab/jilbab. mohon maaf, azan itu lah kekuatan umat Islam
Pak #wapres ,setau saya anda di pilih oleh mayoritas rakyat negeri ini. negeri yg dominan muslim. apakah itu suara rakyat yg memilih anda ?
pak #wapres , anda bicara di depan dewan masjid Indonesia ya ? semoga masjid kampus, dan masjid dekat rumah saya tdk hadir dipertemuan itu
pak #wapres , anda pernah tidak hidup sepekan tanpa dengar azan. saya pernah pak, saya di portugal tdk dengar suara azan. saya rindu pak
sampai satu hari, di hari jumat,saya mencari2 dimana masjid di kota lisbon itu. dan saya menemukannya.azan berkumandang,air mata saya jatuh
saya rindu azan pak #wapres , ternyata ada bbrp mushola dan mesjid di sana. tp azan nya tdk dikeraskan. saya tdk ingin negeri kita spt itu
pak #wapres , bapak pernah lihat MTQ kan pak ? azan itu bukan utk dilombakan, bukan merdu2an aja pak.ini masalah jiwa yg disemai oleh azan
pak #wapres. pagi ini saya akan bicara di universitas tadulako,seminar besar. saya mohon izin utk mengkritik bapak di acara tsb nanti
pak #wapres , kebetulan saya jg sdh siap perbanyak flyer #indonesiatanpaJIL , apakah saya perlu mengaitkan ucapan bapak dgn flyer tsb ?
saya seorang muslim pak #wapres ,bapak saya juga.beliau selalu didik saya utk bergegas ke mesjid saat azan berkumandang.tunda semua kerjaan
pak #wapres , azan itu seruan dari Allah. muazin itu media nya saja. mic dan pengeras itu adalah sub-media nya saja. panggilan Allah pak
bapak #wapres kalau bicara di depan umum, pengennya mic nya keras atau sayup2 pak ?kalau sayup pada bisa denger gak pak ? apa jadi meresap?
kalau suara Allah saja dikecilkan suaranya. buat apa saya kenceng2 dengar suara bapak. suara pak #wapres lebih oke kalau lirih senyap pak
pak #wapres ,dulu saya masih agak bela bapak kalau bpk gak neolib banget.tapi sekarang saya harus tegas mengatakan bapak itu liberal banget
bapak #wapres , kalau bapak ingin suara azan sayup sayup. saya ingin suara bapak SENYAP .. boleh tidak pak ? ini aspirasi warga pak
pak #wapres . maaf pak. saya cinta sama bapak. maka nya saya ingatkan bapak. dgn cara yg halus. agar kita bersama di surga pak kelak. amiiin
pak #wapres . maaf pak. saya cinta sama bapak. maka nya saya ingatkan bapak. dgn cara yg halus. agar kita bersama di surga pak kelak. amiin
pak #wapres , kembalilah ke jalan ilahi pak. suara Allah itulah petunjuk kehidupan. hidup ini utk pecahkan soal kehidupan pak.
pak #wapres , saya bukan muslim radikal kok pak. saya cuma muslim biasa yg selalu rindu suara azan. yuk pak #wapres , kita dengerin azan
jangan lukai perasaan sesama muslim pak #wapres , bapak tokoh publik. bapak muslim kan ? mana ada muslim sejati minta azan di kecilkan . .
waktu SD saya ikut TPA, belajar ngaji. diminta latihan azan. saya di ingatkan guru ngaji saya “yusuf, kalau azan itu yg kenceng banget”
teman saya dipuji dan disemangati oleh guru ngaji saya pak #wapres,karena dia teriak keras saat azan. katanya “azan harus keras”
kenapa azan harus keras? kata guru ngaji saya, “supaya setan kabur terbirit birit” .. jd yg takut azan itu adalah setan pak #wapres .
kenapa azan harus keras? kata guru ngaji saya, “supaya setan kabur terbirit birit” jadi yg takut azan itu adalah setan pak #wapres .
ini pak #wapres kata sahabat saya –> @bintansholihat : udayusuf : saya yg perantau ini malah kangen bgt denger suara azan kenceng2 #wapres
pak #wapres , akibat pernyataan bapak.saya meniatkan diri utk membelikan masjid deket rumah saya sebuah speaker yg baru.doakan bisa terwujud
pak #wapres .. ketemuan yuk di istiqlal . kita belajar azan bareng. agar bapak bisa merasakan indahnya azan pak. makin keras makin sejuk
sekali lagi ya pak #wapres , saya mohon izin utk kritik bapak di depan 300 mahasiswa univ tadulako pagi ini. agar warga palu tau siapa bpk
pak #wapres , drpd minta kurangi volume azan. mending bapak minta kurangi volume suara diskotik, tempat dugem, atau konser konser gak jelas
pak #wapres :-) .. ah aku manggil2 pak wapres mulu. beliau dengar gak ya ? semoga. kan saya pakai “pengeras” suara bernama twitter hehe
pak #wapres .. tobat lah pak. kembali jalan yg benar jangan mencla mencle. fokus ke keahian bapak di bidang ekonomi.
kecuali bapak #wapres dpt membuktikan kaitan antara tingkat suara azan dgn pertumbuhan ekonomi sebuah negara ?
udahan dulu ya pak #wapres ,saya mau mandi,sarapan, lalu siap2 berkoar2 kritik bapak di mahasiswa se-palu. jangan di boikot ya acara saya
pak #wapres , sholat dhuha yuk. ini sholat gak pakai azan loh pak wapres :-)
ini saya copast saja.. Menggelitik
###
Ini apa pula boediono minta suara azan diatur atur. . . . Lama ga tampil tau tau bicara azan. Ckckck
mending pak boediono bantu bung hatta deh ngurus ekonomi. Masa suara azan dikecilkan ? Kalau perlu dikencengin tuh azan, terutama subuh
Kalau azan subuh kenceng banget. Kan bangun tuh semua muslim. Pada ke mesjid deh jadinya. Insya Allah berkah negeri ini.
Kalau perlu boediono minta saat azan semua kerjaan berhenti. Biar makin sholeh negeri ini.
Di korea, pemerintah mereka larang lady gaga tampil. Biasa aja tuh. Ini di indonesia, MUI di bilang ga ngerti seni.
Besok besok bisa jadi tampil bugil di depan panggung disebut seni, campur baur ga jelas di bilang seni. Ckck. . Suju dtn bandara macet
Di negara sekuler bernama turki aja ada kawasan industri yg saat azan mereka pending produksi utk sholat dulu sejenak
Kita mau sholat aja dibilang ekstrim. Hadeeeh. Ini katanya negeri mayoritas muslim. Tp kelas menengahnya begini banget ya hehe
Maaf kalau kasar pak wapres. Tapi saya jd meragukan bapak. Terutama ttg bgmn anda memandang dan menyikapi anda. Anda muslim kan ?
oke gini deh pak #wapres.. bapak mau nya gimana ? azan di sayup sayup agar masuk ke kalbu ? masa sih ? kalau sayup ngantuk ada juga
saya bisa bangun subuh meski badan sedang lelah karena muazin masjid dekat rumah memasang suara azan sangat kencang. kalau sayup ? tdr lagi
anda tau pak #wapres , ada negara yg sdh lama atur-atur ttg azan juga. nama negara tersebut Israel pak #wapres . bapak berafiliasi kesana ?
pak #wapres yth (ini gw masih sopan loh ya, gak maki-maki). yang suara lirih dan sayup itu saat doa , bukan azan. beda konteks dan tujuan
doa itu komunikasi antara insan manusia dgn penciptanya, bersifat pribadi. sedangkan azan itu seruan dan panggilan. hakekatnya mmg keras
ini kata pak #Wapres: Masjid Jangan Jatuh ke Tangan Radikalis http://dlvr.it/1V9zHS <– kata siapa radikalis ? masjid yg mana ? :-)
apakah kalau saya mengajak orang sholat, perempuan menggunakan jilbab, anak muda agar berprestasi,dan komitmen dgn syahadat itu dsb radikal?
atau kah karena di masjid masjid sekarang mulai ramai gerakan #indonesiaTanpaJIL , jadinya sama pak #wapres itu dianggap radikal ? :-)
saya baru dua kali nge tweet ttg #wapres , pertama saat beliau ngumpet dan menghilang saat kisruh BBM awal april lalu. ini yg kedua
setelah menghilang berbulan bulan dari pengumpatannya, pak #wapres dpt ilham utk mengecilkan suara azan. bisikan dr mana ya ?
pak #wapres yth.ini negara mayoritas muslim.apa ada yg salah bila warga bapak ingin menikmati azan dengan jelas.bisa tau kpn hrs sholat
saya sedang di palu, tinggal di hotel yg jauh dr masjid. saya tdk dengar azan sejak saya tiba. tdk tau kapan harus sholat. tdk menyenangkan
bapak #wapres , saya tidak sedang mengecam pribadi bapak. saya sedang mempertanyakan ucapan bapak, dan juga aqidah bapak. mohon maaf
buat saya, himbauan mengecilkan azan sama seperti himbauan untuk memendekkan hijab/jilbab. mohon maaf, azan itu lah kekuatan umat Islam
Pak #wapres ,setau saya anda di pilih oleh mayoritas rakyat negeri ini. negeri yg dominan muslim. apakah itu suara rakyat yg memilih anda ?
pak #wapres , anda bicara di depan dewan masjid Indonesia ya ? semoga masjid kampus, dan masjid dekat rumah saya tdk hadir dipertemuan itu
pak #wapres , anda pernah tidak hidup sepekan tanpa dengar azan. saya pernah pak, saya di portugal tdk dengar suara azan. saya rindu pak
sampai satu hari, di hari jumat,saya mencari2 dimana masjid di kota lisbon itu. dan saya menemukannya.azan berkumandang,air mata saya jatuh
saya rindu azan pak #wapres , ternyata ada bbrp mushola dan mesjid di sana. tp azan nya tdk dikeraskan. saya tdk ingin negeri kita spt itu
pak #wapres , bapak pernah lihat MTQ kan pak ? azan itu bukan utk dilombakan, bukan merdu2an aja pak.ini masalah jiwa yg disemai oleh azan
pak #wapres. pagi ini saya akan bicara di universitas tadulako,seminar besar. saya mohon izin utk mengkritik bapak di acara tsb nanti
pak #wapres , kebetulan saya jg sdh siap perbanyak flyer #indonesiatanpaJIL , apakah saya perlu mengaitkan ucapan bapak dgn flyer tsb ?
saya seorang muslim pak #wapres ,bapak saya juga.beliau selalu didik saya utk bergegas ke mesjid saat azan berkumandang.tunda semua kerjaan
pak #wapres , azan itu seruan dari Allah. muazin itu media nya saja. mic dan pengeras itu adalah sub-media nya saja. panggilan Allah pak
bapak #wapres kalau bicara di depan umum, pengennya mic nya keras atau sayup2 pak ?kalau sayup pada bisa denger gak pak ? apa jadi meresap?
kalau suara Allah saja dikecilkan suaranya. buat apa saya kenceng2 dengar suara bapak. suara pak #wapres lebih oke kalau lirih senyap pak
pak #wapres ,dulu saya masih agak bela bapak kalau bpk gak neolib banget.tapi sekarang saya harus tegas mengatakan bapak itu liberal banget
bapak #wapres , kalau bapak ingin suara azan sayup sayup. saya ingin suara bapak SENYAP .. boleh tidak pak ? ini aspirasi warga pak
pak #wapres . maaf pak. saya cinta sama bapak. maka nya saya ingatkan bapak. dgn cara yg halus. agar kita bersama di surga pak kelak. amiiin
pak #wapres . maaf pak. saya cinta sama bapak. maka nya saya ingatkan bapak. dgn cara yg halus. agar kita bersama di surga pak kelak. amiin
pak #wapres , kembalilah ke jalan ilahi pak. suara Allah itulah petunjuk kehidupan. hidup ini utk pecahkan soal kehidupan pak.
pak #wapres , saya bukan muslim radikal kok pak. saya cuma muslim biasa yg selalu rindu suara azan. yuk pak #wapres , kita dengerin azan
jangan lukai perasaan sesama muslim pak #wapres , bapak tokoh publik. bapak muslim kan ? mana ada muslim sejati minta azan di kecilkan . .
waktu SD saya ikut TPA, belajar ngaji. diminta latihan azan. saya di ingatkan guru ngaji saya “yusuf, kalau azan itu yg kenceng banget”
teman saya dipuji dan disemangati oleh guru ngaji saya pak #wapres,karena dia teriak keras saat azan. katanya “azan harus keras”
kenapa azan harus keras? kata guru ngaji saya, “supaya setan kabur terbirit birit” .. jd yg takut azan itu adalah setan pak #wapres .
kenapa azan harus keras? kata guru ngaji saya, “supaya setan kabur terbirit birit” jadi yg takut azan itu adalah setan pak #wapres .
ini pak #wapres kata sahabat saya –> @bintansholihat : udayusuf : saya yg perantau ini malah kangen bgt denger suara azan kenceng2 #wapres
pak #wapres , akibat pernyataan bapak.saya meniatkan diri utk membelikan masjid deket rumah saya sebuah speaker yg baru.doakan bisa terwujud
pak #wapres .. ketemuan yuk di istiqlal . kita belajar azan bareng. agar bapak bisa merasakan indahnya azan pak. makin keras makin sejuk
sekali lagi ya pak #wapres , saya mohon izin utk kritik bapak di depan 300 mahasiswa univ tadulako pagi ini. agar warga palu tau siapa bpk
pak #wapres , drpd minta kurangi volume azan. mending bapak minta kurangi volume suara diskotik, tempat dugem, atau konser konser gak jelas
pak #wapres :-) .. ah aku manggil2 pak wapres mulu. beliau dengar gak ya ? semoga. kan saya pakai “pengeras” suara bernama twitter hehe
pak #wapres .. tobat lah pak. kembali jalan yg benar jangan mencla mencle. fokus ke keahian bapak di bidang ekonomi.
kecuali bapak #wapres dpt membuktikan kaitan antara tingkat suara azan dgn pertumbuhan ekonomi sebuah negara ?
udahan dulu ya pak #wapres ,saya mau mandi,sarapan, lalu siap2 berkoar2 kritik bapak di mahasiswa se-palu. jangan di boikot ya acara saya
pak #wapres , sholat dhuha yuk. ini sholat gak pakai azan loh pak wapres :-)
Monday, April 30, 2012
(catatan pernikahan): kuper
Seperti yang sudah-sudah, kami berdua duduk di sofa. Saya memencet-mencet HP membuka FB sementara istri melakukan hal-hal biasa yang biasa ia lakukan saat kami nyantai saja di rumah. Sekitar sepekanan oasca kami menikah, pernah saya utarakan ke istri tentang rencana menikahnya seorang kawan karib saya sewaktu kuliah dulu dengan seorang akhwat IPB, di Jakarta. Maksud diutarakannya itupun hanya sebagai kabar saja, toh kami sepertinya tak mungkin mengahadiri pagelarannya. Bontang-Jakarta terlalu jauh untuk kami tempuh dalam dua hari libur kerja.
Pernikahan itupun sudah lewat, dan kalau saya tak salah sudah melewati bilangan tujuh hari. Beberapa foto acara pernikahan sudah mereka unggah di FB dan saya juga sudah melihat-lihatnya. Yang teranyar, yang baru saya lihat satu-dua hari ini, adalah foto mereka berdua kala bulan madu di Gili Trawangan, di Lombok sana. Saya juga sudah komentar di foto itu, hingga menjadi wajar saja jika foto itu kembali tampil di halaman pertama FB ketka saya membukanya kala itu. Maka, adalah keisengan saya mungkin bila kemudian mencoba menunjukkan foto itu pada istri. Maklum saja, belum pernah tercetuskan kata bulan madu di pembahasan hari-hari kami semenjak kami menikah 25 februari lalu.
“ini lo, foto temanku yang sedang bulan madu di Gili Trawangan”, begitu kira-kira ucap saya pada istri kala itu sembari memperlihatkan HP padanya.
“Gili trawangan? Di mana itu?, jawabnya singkat. Tidak terlalu ada wajah antusias dalam kalimatnya. Biasa saja. Seolah kalimat saya yang barusan tidak dimaksudkan untuk ‘menggodanya’.
“Gili Trawangan tak tahu?”, itulah kemudian jawaban saya. Maka kemudian meluncurlah ejekan canda saya. Tentang dia yang anak biologi, tentang dia yang ngakunya pecinta lingkungan, yang ngakunya suka segala hal yang berbau alam tak terkecuali laut dan segala sesuatu di dalamnya. Maka adalah sebuah hal yang aneh jika ia tak tahu Pulau Gili Trawangan yang terkenal akan keindahan lautnya itu.
“Untung, kan, istrinya kupernya bermanfaat? Coba kalau tahu Gili Trawangan, pasti sudah minta ke sana. Minta ini, minta itu”, jawabnya mantap.
Jawaban itu, tentu saja jawaban yang sama sekali tak saya prediksi. Jawaban yang bikin saya tersenyum, jawaban yang kemudian membuat kami larut dalam canda. Tapi tentu saja itu bukan jawaban harapan saya atas pembukaan kalimat dialog kecil ini. Sebab…..’ah, Sayang. Sekali waktu kau perlu meminta. Seorang suami akan merasa berharga kala mampu memenuhi permintaan istrinya. Bahkan permintaan-permintaan sederhana yang aku tahu kau tahu betul batasannya’
Pasuruan
30 April 2012
Pernikahan itupun sudah lewat, dan kalau saya tak salah sudah melewati bilangan tujuh hari. Beberapa foto acara pernikahan sudah mereka unggah di FB dan saya juga sudah melihat-lihatnya. Yang teranyar, yang baru saya lihat satu-dua hari ini, adalah foto mereka berdua kala bulan madu di Gili Trawangan, di Lombok sana. Saya juga sudah komentar di foto itu, hingga menjadi wajar saja jika foto itu kembali tampil di halaman pertama FB ketka saya membukanya kala itu. Maka, adalah keisengan saya mungkin bila kemudian mencoba menunjukkan foto itu pada istri. Maklum saja, belum pernah tercetuskan kata bulan madu di pembahasan hari-hari kami semenjak kami menikah 25 februari lalu.
“ini lo, foto temanku yang sedang bulan madu di Gili Trawangan”, begitu kira-kira ucap saya pada istri kala itu sembari memperlihatkan HP padanya.
“Gili trawangan? Di mana itu?, jawabnya singkat. Tidak terlalu ada wajah antusias dalam kalimatnya. Biasa saja. Seolah kalimat saya yang barusan tidak dimaksudkan untuk ‘menggodanya’.
“Gili Trawangan tak tahu?”, itulah kemudian jawaban saya. Maka kemudian meluncurlah ejekan canda saya. Tentang dia yang anak biologi, tentang dia yang ngakunya pecinta lingkungan, yang ngakunya suka segala hal yang berbau alam tak terkecuali laut dan segala sesuatu di dalamnya. Maka adalah sebuah hal yang aneh jika ia tak tahu Pulau Gili Trawangan yang terkenal akan keindahan lautnya itu.
“Untung, kan, istrinya kupernya bermanfaat? Coba kalau tahu Gili Trawangan, pasti sudah minta ke sana. Minta ini, minta itu”, jawabnya mantap.
Jawaban itu, tentu saja jawaban yang sama sekali tak saya prediksi. Jawaban yang bikin saya tersenyum, jawaban yang kemudian membuat kami larut dalam canda. Tapi tentu saja itu bukan jawaban harapan saya atas pembukaan kalimat dialog kecil ini. Sebab…..’ah, Sayang. Sekali waktu kau perlu meminta. Seorang suami akan merasa berharga kala mampu memenuhi permintaan istrinya. Bahkan permintaan-permintaan sederhana yang aku tahu kau tahu betul batasannya’
Pasuruan
30 April 2012
Sunday, April 29, 2012
Saturday, April 28, 2012
(catatan perjalanan): di terminal bungurasih
Menulis Indonesia bagaikan mengisahkan sekelumit misteri yang rumit sekaligus menantang. Tak ubahnya mengupas sebiji bawang. Lapisan demi lapisan menguak sejarah, namun begitu terkuak mata kita perih karenanya. Tapi, biarlah mata ini perih. Yang terutama adalah saya berusaha mengelupasi lapisan-lapisan Indonesia. (Ahmad Yunus-Meraba Indonesia)
Siang hari yang Panas. Selalu, ketika pulang kampung seperti ini, pas menginjakkkan kaki di terminal Bungurasih Surabaya, akan ada perdebatan kecil dalam benak saya apakah akan naik bus patas ataukah bus biasa—bus yang selama kuliah dulu saya naiki saat pulang kampung. Saya tak tahu jelas bedanya. Sungguh. Sampai saat ini pun, saya belum pernah memutuskan untuk naik bus patas ketika pulang. Hanya, lewat reka-reka kecil saya, serta dari penampakannya, bus patas akan lebih nyaman dengan fasilitas AC, kepastian tempat duduk, serta tentunya tak akan ngetem sepanjang perjalanan. Meski, tentunya, dengan ongkos yang lebih mahal. Bahkan boleh jadi jauh lebih mahal.
Tak jauh sebenarnya jarak Surabaya-Pasuruan. Tak jauhnya itu, bisa kalian perkirakan dengan ongkos bus untuk menempuhnya yang hanya delapan ribu rupiah saja. Itu tentunya dengan bus biasa dengan armada yang semakin hari makin lusuh, lucek, dan menggerahkan kala dinaiki. Maka, karena dekatnya itulah kemudian membuat saya mendebat diri sendiri ketika ada keinginan untuk naik yang patas saja.
Entahlah, apakah ini subyektivitas saya saja. Kaca mata yang kini berbeda dengan ketika saya dulu masih menjadi anak kos yang berjuang untuk menyelesaikan kuliahnya. Hanya, akhir-akhir ini sepertinya saya melihat bus-bus yang melayani rute Surabaya-jember semakin hari kondisinya kian tak terawat. Jangan harap lagi ada bus Akas dengan kaca bertulikan “AC tariff biasa”. Tak ada. Yang ada, hanya bus-bus dari PO tak terkenal dengan tempat duduk yang sudah lusuh, dan gerahnya minta ampun ketika ngetem di siang yang terik.
Saya tak tahu, apakah rute Surabaya-Jember semakin tak menarik saja hingga tak banyak PO yang tertarik untuk meginvestasikan armada baru dengan fasilitas yang lebih baik. Sedangkan, minimal sepengamatan saya, rute ini selalu ramai, bahkan ketika jam dua dini hari ketika dulu saya sempat pulang jam segitu. Atau, apakah pemikiran seperti ini yang berlaku; ‘jika dengan armada yang asal-asalan saja masih ramai, kenapa pula memakai yang bagus-bagus?’
“Jangan manja!”, inilah kemudian yang berkelebat ketika ada keinginan untuk tidak memilih bus biasa dengan ongkos murah-meriah.”ketika dulu kau semasa kuliah dapat nyaman menaikinya, maka seharusnya sekarangpun kau masih tetap nyaman menaikinya”, demikian lanjut suara itu. “Tapi ini lain, aku sudah kelelahan melakukan perjalanan dari Bontang. Masa masih harus berlelah-lelah lagi di bus yang panas, dengan konsekuensi sewaktu-waktu mesti berdiri dengan tas punggung sarat beban kala ada ibu-ibu yang baru naik dan tak kebagian tempat duduk?”, suara lain kemudian menimpali.
Seru.
Tapi siang itu saya melangkah ke arah yang berbeda dengan sebelum-sebelumnya.Meninggalkan ruang tunggu terminal dengan tas punggung menggantung, tangan kanan menenteng tas bekal untuk kehidupan sepekan ke depan, serta tangan kiri menjinjing kresek berisi oleh-oleh; menuju pemberangkatan bus patas yang melewati Pasuruan. Para calo berteriak menawarkan jasa, tapi saya abaikan. Terus saja melangkah. Tepat di jalur bus patas itu, mata saya melirik sebuah bus yang tengah parkir menunggu penumpang. Tampilannya tak terlalu bagus, tapi sepertinya ada keteraturan di dalamnya. Hati saya gentar, satu dua mencoba berhitung, tapi kemudian kaki saya membelok ke kanan, menuju tempat pemberangkatan bus tarif biasa.
Bus masih kosong, saya langsung saja masuk di deretan kursi untuk dua orang, di bagian depan. Seketika badan terasa gerah. Tapi itu salah saya juga, di siang-siang yang terik khas Surabaya ini masih saja mengenakan jaket, menyamakannya dengan kondisi di pesawat. Sementara penumpang mulai banyak, petugas asongan bersahutan, dan pengamen bersura cempreng meningkahi suasana. Kerongkongan saya haus, tapi yang lewat justru penjual air mineral dingin. Panas-panas begini minum air dingin memang akan berasa nikmat, tapi saya menghindarinya. Tak baik saja, begitu pemahaman saya. Bisa-bisa kepala dibikin pening karenanya. Di Pabrik saya mengenal istilah cooling down, atau heating up yang pelan-pelan. Tak boleh serampangan menurunkan atau menaikkan temperature system sebab dapat merusak material. Maka logika yang sama harusnya juga berlaku untuk tubuh kita. E3ntahlah, kita memang sering concern merawat barangt-barang tapi tak benar-benar serius menjaga tubuh sendiri.
Tapi tak ada lagi penjual air mineral yang masuk. Tumben benar untuk suasana sepanas ini. Maka ketika pada akhirnya penjual air mineral kedua masuk, ketika bus sudah ramai oleh penumpang, mau tak mau, meski sama-sama dingin, akhirnya saya beli juga. ‘Dua ribu”, demikian sebutnya untuk harga sebotolnya. Saya keluarkan selembar uang, dan ia menerimanya. Saya buka tutup botol, lalu saya minum. Tapi tidak langsung tenggak dan mulus melalu kerongkongan. Saya biarkan air itu memenuhi mulut agar tak terlalu dingin ketika tertelan.
Haus sudah tertunaikan ketika kemudian saya sadar. Ah, menyesal sekali jadinya. Saya benar-benar tak teringat bahwa semalan istri memasukkan satu buah air mineral gelas dan teh kotak dalam tas, beberapa saat saja sebelum saya berangkat. Tapi sudah terlanjur. Tak apalah, mungkin ini rejekinya si penjual air mineral. Dan maksud baik istri, tentunya masih akan bermanfaat di kesempatan selanjutnya.
Bus malaju. Saya kemudian bersyukur tak ada penumpang lain yang duduk di samping saya. Bukan kenapa, hanya saja dengan barang bawaan yang banyak seperti ini, pastinya bakal semakin sesak jika tempat duduk ini diisi berdua. Tapi tentu saja bus ini masih harus berhenti di mulut terminal. Di sana, boleh dikatakan terminal kedua dimana banyak penumpang yang tak masuk ke terminal menunggu bus yang diingini.
Asongan masuk sambil menyampaikan berita ke sopir tentang bus lain dengan rute sama baru saja berangkat. Sopir diam, tak terlalu menanggapi. Tapi bagi saya, tentunya itu berita buruk. Jika sopir mengikuti informasi si tukang asongan, maka tentunya ia membiarkan busnya parkir lama, membuat jarak dengan bus sebelumnya menjadi melebar.
Saya salah! Si sopir justru tak memberhentikan busnya lama-lama. Terus saja bergerak meski pelan-pelan dan membiarkan kenek dan kondekturnya tertinggal. Saya bersorak dalam diam. Di sebuah system di mana variable waktu tak terlalu diperhatikan dalam keberangkatan sebuah bus, keputusan sopir untuk tak ngetem adalah anugerah. Jarak menuju Pasuruan menjadi semakin dekat.
Kenek dan kondektur akhirnya masuk. Merangsek ke depan dan terlibat adu mulut ringan dengan sopir. Rupanya, kenek dan kondektur termakan perkataan tukang asongan, tapi si sopir beranggapan lain. Menganggap informasi itu hanya bualan asongan untuk membuat sopir melamakan ngetem yang pada akhirnya menguntungkan dia yang berjualan makanan. Ehmm..benar-benar logika yang tak saya pikirkan sebelumnya.
Bus melaju cepat. Serampangan. Klakson berkali-kali ditekan dengan cara yang sama sekali tak elegan. Taka da yang namanya penumpang adalah konsumen yang berarti raja. Ia diburu untuk cepat naik ataupun turun. Waktu adalah uang. Semakin cepat penumpang turun atau naik, maka semakin banyak kemungkinan untuk mendapatkan penumpang lain. Maka kecepatan menjadi begitu penting,maka mengklakson segala yang menghalangi laju kendaraan juga teramat penting, maka nyawa, ah, entahlah, di manakah letaknya saat itu berada.
Saya kemudian terkantuk-kantuk. Kelelahan setelah melakukan perjalanan darat malam hari Bontang-Balikpapan semakin terasa. Sedikit terselip harap, semoga si sopir mengerti, bahwa rizki itu dari Allah. Hanya dari Allah. Itu saja.
Pasuruan
29April2012
Siang hari yang Panas. Selalu, ketika pulang kampung seperti ini, pas menginjakkkan kaki di terminal Bungurasih Surabaya, akan ada perdebatan kecil dalam benak saya apakah akan naik bus patas ataukah bus biasa—bus yang selama kuliah dulu saya naiki saat pulang kampung. Saya tak tahu jelas bedanya. Sungguh. Sampai saat ini pun, saya belum pernah memutuskan untuk naik bus patas ketika pulang. Hanya, lewat reka-reka kecil saya, serta dari penampakannya, bus patas akan lebih nyaman dengan fasilitas AC, kepastian tempat duduk, serta tentunya tak akan ngetem sepanjang perjalanan. Meski, tentunya, dengan ongkos yang lebih mahal. Bahkan boleh jadi jauh lebih mahal.
Tak jauh sebenarnya jarak Surabaya-Pasuruan. Tak jauhnya itu, bisa kalian perkirakan dengan ongkos bus untuk menempuhnya yang hanya delapan ribu rupiah saja. Itu tentunya dengan bus biasa dengan armada yang semakin hari makin lusuh, lucek, dan menggerahkan kala dinaiki. Maka, karena dekatnya itulah kemudian membuat saya mendebat diri sendiri ketika ada keinginan untuk naik yang patas saja.
Entahlah, apakah ini subyektivitas saya saja. Kaca mata yang kini berbeda dengan ketika saya dulu masih menjadi anak kos yang berjuang untuk menyelesaikan kuliahnya. Hanya, akhir-akhir ini sepertinya saya melihat bus-bus yang melayani rute Surabaya-jember semakin hari kondisinya kian tak terawat. Jangan harap lagi ada bus Akas dengan kaca bertulikan “AC tariff biasa”. Tak ada. Yang ada, hanya bus-bus dari PO tak terkenal dengan tempat duduk yang sudah lusuh, dan gerahnya minta ampun ketika ngetem di siang yang terik.
Saya tak tahu, apakah rute Surabaya-Jember semakin tak menarik saja hingga tak banyak PO yang tertarik untuk meginvestasikan armada baru dengan fasilitas yang lebih baik. Sedangkan, minimal sepengamatan saya, rute ini selalu ramai, bahkan ketika jam dua dini hari ketika dulu saya sempat pulang jam segitu. Atau, apakah pemikiran seperti ini yang berlaku; ‘jika dengan armada yang asal-asalan saja masih ramai, kenapa pula memakai yang bagus-bagus?’
“Jangan manja!”, inilah kemudian yang berkelebat ketika ada keinginan untuk tidak memilih bus biasa dengan ongkos murah-meriah.”ketika dulu kau semasa kuliah dapat nyaman menaikinya, maka seharusnya sekarangpun kau masih tetap nyaman menaikinya”, demikian lanjut suara itu. “Tapi ini lain, aku sudah kelelahan melakukan perjalanan dari Bontang. Masa masih harus berlelah-lelah lagi di bus yang panas, dengan konsekuensi sewaktu-waktu mesti berdiri dengan tas punggung sarat beban kala ada ibu-ibu yang baru naik dan tak kebagian tempat duduk?”, suara lain kemudian menimpali.
Seru.
Tapi siang itu saya melangkah ke arah yang berbeda dengan sebelum-sebelumnya.Meninggalkan ruang tunggu terminal dengan tas punggung menggantung, tangan kanan menenteng tas bekal untuk kehidupan sepekan ke depan, serta tangan kiri menjinjing kresek berisi oleh-oleh; menuju pemberangkatan bus patas yang melewati Pasuruan. Para calo berteriak menawarkan jasa, tapi saya abaikan. Terus saja melangkah. Tepat di jalur bus patas itu, mata saya melirik sebuah bus yang tengah parkir menunggu penumpang. Tampilannya tak terlalu bagus, tapi sepertinya ada keteraturan di dalamnya. Hati saya gentar, satu dua mencoba berhitung, tapi kemudian kaki saya membelok ke kanan, menuju tempat pemberangkatan bus tarif biasa.
Bus masih kosong, saya langsung saja masuk di deretan kursi untuk dua orang, di bagian depan. Seketika badan terasa gerah. Tapi itu salah saya juga, di siang-siang yang terik khas Surabaya ini masih saja mengenakan jaket, menyamakannya dengan kondisi di pesawat. Sementara penumpang mulai banyak, petugas asongan bersahutan, dan pengamen bersura cempreng meningkahi suasana. Kerongkongan saya haus, tapi yang lewat justru penjual air mineral dingin. Panas-panas begini minum air dingin memang akan berasa nikmat, tapi saya menghindarinya. Tak baik saja, begitu pemahaman saya. Bisa-bisa kepala dibikin pening karenanya. Di Pabrik saya mengenal istilah cooling down, atau heating up yang pelan-pelan. Tak boleh serampangan menurunkan atau menaikkan temperature system sebab dapat merusak material. Maka logika yang sama harusnya juga berlaku untuk tubuh kita. E3ntahlah, kita memang sering concern merawat barangt-barang tapi tak benar-benar serius menjaga tubuh sendiri.
Tapi tak ada lagi penjual air mineral yang masuk. Tumben benar untuk suasana sepanas ini. Maka ketika pada akhirnya penjual air mineral kedua masuk, ketika bus sudah ramai oleh penumpang, mau tak mau, meski sama-sama dingin, akhirnya saya beli juga. ‘Dua ribu”, demikian sebutnya untuk harga sebotolnya. Saya keluarkan selembar uang, dan ia menerimanya. Saya buka tutup botol, lalu saya minum. Tapi tidak langsung tenggak dan mulus melalu kerongkongan. Saya biarkan air itu memenuhi mulut agar tak terlalu dingin ketika tertelan.
Haus sudah tertunaikan ketika kemudian saya sadar. Ah, menyesal sekali jadinya. Saya benar-benar tak teringat bahwa semalan istri memasukkan satu buah air mineral gelas dan teh kotak dalam tas, beberapa saat saja sebelum saya berangkat. Tapi sudah terlanjur. Tak apalah, mungkin ini rejekinya si penjual air mineral. Dan maksud baik istri, tentunya masih akan bermanfaat di kesempatan selanjutnya.
Bus malaju. Saya kemudian bersyukur tak ada penumpang lain yang duduk di samping saya. Bukan kenapa, hanya saja dengan barang bawaan yang banyak seperti ini, pastinya bakal semakin sesak jika tempat duduk ini diisi berdua. Tapi tentu saja bus ini masih harus berhenti di mulut terminal. Di sana, boleh dikatakan terminal kedua dimana banyak penumpang yang tak masuk ke terminal menunggu bus yang diingini.
Asongan masuk sambil menyampaikan berita ke sopir tentang bus lain dengan rute sama baru saja berangkat. Sopir diam, tak terlalu menanggapi. Tapi bagi saya, tentunya itu berita buruk. Jika sopir mengikuti informasi si tukang asongan, maka tentunya ia membiarkan busnya parkir lama, membuat jarak dengan bus sebelumnya menjadi melebar.
Saya salah! Si sopir justru tak memberhentikan busnya lama-lama. Terus saja bergerak meski pelan-pelan dan membiarkan kenek dan kondekturnya tertinggal. Saya bersorak dalam diam. Di sebuah system di mana variable waktu tak terlalu diperhatikan dalam keberangkatan sebuah bus, keputusan sopir untuk tak ngetem adalah anugerah. Jarak menuju Pasuruan menjadi semakin dekat.
Kenek dan kondektur akhirnya masuk. Merangsek ke depan dan terlibat adu mulut ringan dengan sopir. Rupanya, kenek dan kondektur termakan perkataan tukang asongan, tapi si sopir beranggapan lain. Menganggap informasi itu hanya bualan asongan untuk membuat sopir melamakan ngetem yang pada akhirnya menguntungkan dia yang berjualan makanan. Ehmm..benar-benar logika yang tak saya pikirkan sebelumnya.
Bus melaju cepat. Serampangan. Klakson berkali-kali ditekan dengan cara yang sama sekali tak elegan. Taka da yang namanya penumpang adalah konsumen yang berarti raja. Ia diburu untuk cepat naik ataupun turun. Waktu adalah uang. Semakin cepat penumpang turun atau naik, maka semakin banyak kemungkinan untuk mendapatkan penumpang lain. Maka kecepatan menjadi begitu penting,maka mengklakson segala yang menghalangi laju kendaraan juga teramat penting, maka nyawa, ah, entahlah, di manakah letaknya saat itu berada.
Saya kemudian terkantuk-kantuk. Kelelahan setelah melakukan perjalanan darat malam hari Bontang-Balikpapan semakin terasa. Sedikit terselip harap, semoga si sopir mengerti, bahwa rizki itu dari Allah. Hanya dari Allah. Itu saja.
Pasuruan
29April2012
Wednesday, April 25, 2012
(catatan pernikahan); kalimat-kalimatmu dua bulan ini
“tahu nggak?”, demikian istri saya memulai. Saat itu saya sudah siap dengan motor terstarter, dan istri baru saja menyamankan diri duduk di boncengan. “salah satu yang masuk dalam daftar impianku adalah memiliki kebun sayur dan tanaman langka sendiri”
“Dan Allah mengabulkannya dengan memberikan seorang suami yang suka berkebun”, ucap saya melanjutkan.
Memang, bukan tanpa alasan kalimat itu tiba-tiba tercetus. Di stang motor, dalam wadah kresek, memang sedang tergantung kompos yang baru saja saya beli di toko pertanian terdekat. Rencana saya memang ingin segera mengisi polibag-polibag kosong yang tersisa di rumah dengan media tanam agar bisa segera ditanami dengan sayur-sayuran yang diingini. Dan kalimat itu, adalah respon dari istri ketika saya kabarkan tentang apa saya lakukan barusan. Saat membeli kompos, istri memang tidak ikut dan memilih menunggu di rumah oraang tuanya, mertua saya. Itu pun karena saya membeli kompos sekalian sholat di masjid.
“Tahu impian lainnya?”, demikian istri melanjutkan ketika motor sudah seratusan meter meninggalkan halaman rumah mertua. “Yang pertama menunaikan haji ke Baitullah, yang kedua memiliki suami ahli ilmu, ahli ibadah, dan ahli Qur’an”
Mendadak sunyi. Kalimat itu begitu berat di dengar. Sementara motor terus melaju.
***
“Aku bersyukur memiliki suami yang mendukungku untuk hidup sederhana”
Kali ini latar meluncurnya kalimat ini adalah di sebuah acara pernikahan. Ini adalah gelaran pernikahan pertama yang kita datangi berdua sejak resmi menjadi suami-istri, hingga terasa istimewa.
“biasanya kalau mau ke nikahan seringnya dikomentari ibu, ‘baju ini jelek;, ‘jangan pakai ini’, ‘pinjam punya ibu saja lebih bagus’ “
Kalau tidak sedang di keramaian, ah, ingin rasanya melabuhkan kepalanya dalam dada. Persoalan ini mulanya sederhana saja. Sebelumnya, ketika hendak berangkat, ketika istri sedang memilih memakai baju yang mana untuk dikenakan ke pernikahan itu, dengan mantap saya mengiyakan ketika ia menawarkan sebuah gamis coklat biasa yang boleh jadi sebelumnya dikomentari terus oleh ibunya.
***
“Yang aku butuhkan memang yang tegas begini, yang tidak peragu. Biasanya kalau ngajak teman untuk beli ini itu seringnya sama-sama plin-plan dan tak bisa mengambil keputusan; ‘terserah kamu’, ‘boleh’, serta yang sejenis”
Kali ini persoalannya lain. Hari sudah beranjak larut untuk waktu Bontang. Saat itu kami sedang berdiri di dekat motor dan memasang helm. Baru saja kami membeli HP untuk mengganti HP istri yang sudah terlalu jadul dan telah masuk taraf menjengkelkan. Dan seperti biasa, istri memang menjadi si pehati-hati yang penuh pertimbangan ketika membeli sesuatu. Saya, sebagaimana biasanya, menjadi si tak pikir panjang yang lebih banyak bilang ‘ya, sudah, ini juga bagus’.
***
25 April 2012, tepat dua bulan sudah usia pernikahan kami. Benar, taaruf itu sepanjang waktu. Proses mengenal kepribadian pasangan itu sepanjang usia. Akan ada banyak hal-hal baru yang terus kita temui dari pasangan kita yang boleh jadi tak kita bayangkan, atau bahkan tak kita inginkan. Baik-buruk, menyenangkan-menjengkelkan, menerbitkan senyum-mengundang gelengan kepala, semuanya adalah keniscayaan yang bakal kita temui sebab pasangan kita bukanlah sesosok malaikat dengan paket kebaikannya. Maka, saya bersyukur sekali ketika kalimat-kalimat di atas meluncur dari lisan istri. Sebab dengan begitu, saya berharap, ia sedang sibuk untuk mempermukaankan kebaikan-kebaikan suaminya yang boleh jadi hanya satu dua itu, dan menenggelamkan dalam-dalam keburukan-keburukannya. Semoga itu bentuk syukur, semoga itu bentuk rasa terima kasih atas nikmat. Karena janji Allah pasti benar, Ia akan menambah nikmat hambanya yang pandai bersyukur.
Kantor Hijau
25feb12-25apr12: Sayang, sudahkan kita mengerti, kenapa menikah disebut sebagai penggenap agama?
“Dan Allah mengabulkannya dengan memberikan seorang suami yang suka berkebun”, ucap saya melanjutkan.
Memang, bukan tanpa alasan kalimat itu tiba-tiba tercetus. Di stang motor, dalam wadah kresek, memang sedang tergantung kompos yang baru saja saya beli di toko pertanian terdekat. Rencana saya memang ingin segera mengisi polibag-polibag kosong yang tersisa di rumah dengan media tanam agar bisa segera ditanami dengan sayur-sayuran yang diingini. Dan kalimat itu, adalah respon dari istri ketika saya kabarkan tentang apa saya lakukan barusan. Saat membeli kompos, istri memang tidak ikut dan memilih menunggu di rumah oraang tuanya, mertua saya. Itu pun karena saya membeli kompos sekalian sholat di masjid.
“Tahu impian lainnya?”, demikian istri melanjutkan ketika motor sudah seratusan meter meninggalkan halaman rumah mertua. “Yang pertama menunaikan haji ke Baitullah, yang kedua memiliki suami ahli ilmu, ahli ibadah, dan ahli Qur’an”
Mendadak sunyi. Kalimat itu begitu berat di dengar. Sementara motor terus melaju.
***
“Aku bersyukur memiliki suami yang mendukungku untuk hidup sederhana”
Kali ini latar meluncurnya kalimat ini adalah di sebuah acara pernikahan. Ini adalah gelaran pernikahan pertama yang kita datangi berdua sejak resmi menjadi suami-istri, hingga terasa istimewa.
“biasanya kalau mau ke nikahan seringnya dikomentari ibu, ‘baju ini jelek;, ‘jangan pakai ini’, ‘pinjam punya ibu saja lebih bagus’ “
Kalau tidak sedang di keramaian, ah, ingin rasanya melabuhkan kepalanya dalam dada. Persoalan ini mulanya sederhana saja. Sebelumnya, ketika hendak berangkat, ketika istri sedang memilih memakai baju yang mana untuk dikenakan ke pernikahan itu, dengan mantap saya mengiyakan ketika ia menawarkan sebuah gamis coklat biasa yang boleh jadi sebelumnya dikomentari terus oleh ibunya.
***
“Yang aku butuhkan memang yang tegas begini, yang tidak peragu. Biasanya kalau ngajak teman untuk beli ini itu seringnya sama-sama plin-plan dan tak bisa mengambil keputusan; ‘terserah kamu’, ‘boleh’, serta yang sejenis”
Kali ini persoalannya lain. Hari sudah beranjak larut untuk waktu Bontang. Saat itu kami sedang berdiri di dekat motor dan memasang helm. Baru saja kami membeli HP untuk mengganti HP istri yang sudah terlalu jadul dan telah masuk taraf menjengkelkan. Dan seperti biasa, istri memang menjadi si pehati-hati yang penuh pertimbangan ketika membeli sesuatu. Saya, sebagaimana biasanya, menjadi si tak pikir panjang yang lebih banyak bilang ‘ya, sudah, ini juga bagus’.
***
25 April 2012, tepat dua bulan sudah usia pernikahan kami. Benar, taaruf itu sepanjang waktu. Proses mengenal kepribadian pasangan itu sepanjang usia. Akan ada banyak hal-hal baru yang terus kita temui dari pasangan kita yang boleh jadi tak kita bayangkan, atau bahkan tak kita inginkan. Baik-buruk, menyenangkan-menjengkelkan, menerbitkan senyum-mengundang gelengan kepala, semuanya adalah keniscayaan yang bakal kita temui sebab pasangan kita bukanlah sesosok malaikat dengan paket kebaikannya. Maka, saya bersyukur sekali ketika kalimat-kalimat di atas meluncur dari lisan istri. Sebab dengan begitu, saya berharap, ia sedang sibuk untuk mempermukaankan kebaikan-kebaikan suaminya yang boleh jadi hanya satu dua itu, dan menenggelamkan dalam-dalam keburukan-keburukannya. Semoga itu bentuk syukur, semoga itu bentuk rasa terima kasih atas nikmat. Karena janji Allah pasti benar, Ia akan menambah nikmat hambanya yang pandai bersyukur.
Kantor Hijau
25feb12-25apr12: Sayang, sudahkan kita mengerti, kenapa menikah disebut sebagai penggenap agama?
Friday, April 20, 2012
Wednesday, April 18, 2012
Saturday, April 7, 2012
25 februari 2012 : iqbaru&ayuma
Tuesday, April 3, 2012
Friday, March 30, 2012
Wednesday, March 28, 2012
Sunday, March 25, 2012
Thursday, March 15, 2012
(diari pengantin): kado pernikahan dari Allah
“jangan berharap ke panitia, berharaplah pada Allah!”, demikianlah kira-kira ucap istri saya ketika panitia mulai bersiap mengundi kupon undian di acara jalan sehat itu. Memang, sabtu pagi itu, kami berdua tengah menghadiri jalan sehat yang diadakan unit kerja tempat kami bekerja. Nasi pecel dan krawu sudah kami tandaskan berdua, dan hanya urusan door prize saja yang tertinggal sebagai daya tarik ketika acara nyanyi-nyanyi sudah dimulai.
“Allah jauh lebih tahu apa yang kita butuhkan”, demikian lanjut perempuan yang baru sepekan menjadi penggenap agama itu.
“Kalau begitu berharap pada Allah semoga dapat door prize”, saya tersenyum, sedikit menggoda pernyataannya dengan pernyataan lain.
Sementara panitia sudah beres mengambil kupon door prize. Ada empat kupon yang sebelumnya sudah dimintakan untuk diambilkan oleh salah satu pimpinan. Tinggal mengumumkan saja. Pembawa acarapun sudah memegang empat kupon yang sudah diambil dan siap mengumumkan siapakah nama yang muncul.
“Depannya A, akhirnya I” Entahlah! Akan banyak kombinsai huruf yang bakal mengisi di antara kedua huruf itu, membentuk sebuah nama. Saya juga tak tahu dengan pasti bahwa nama istri saya sajalah yang memungkinkan. Tapi yang pasti, saya sudah GR duluan kalau itu pasti nama istri saya.
Dan benar! GR saya ternyata benar-benar berjawab kenyataan. Nama istri saya sempurna disebut dan berhak mendapatkan voucher belanja di sebuah swalayan dekat rumah kami. Barangkali inilah memang yang sedang kami butuhkan. Sebab sejak pindahan, kami belum juga berbelanja yang benar-benar belanja untuk keperluan domestik yang tentu saja akan banyak peningkatannya dibandingkan ketika saya (dan juga istri saya) masih lajang.
Kami berdua bersitatap, dan saya tahu, ia mempersilahkan saya untuk bangkit guna mengambil hadiahnya.
Demikianlah, voucher belanja 250.000 itu sempurna menjadi milik kami. Di urutan pertama yang disebut. Di saat-saat ketika beberapa saat sebelumnya kami memandang jam dinding yang menempel di dinding ruangan, dan mengobrolkan tentang sebuah fakta, bahwa tepat sepekan yang lalu, di detik-detik seperti ini, dua tangan saling menjabat dan kalimat ijab qobul telah diteguhkan untuk menandai sebuah ikatan; kami resmi menjadi suami-istri.
Pukul sepuluh pagi, acara belum sempurna usai, door prize utama juga belum dibagi, tapi kami mesti meninggalkan tempat sebab ada acara lain yang mesti dihadiri istri. Dan jalan kaki. Lokasi acara memang masih satu kompleks dengan rumah, hingga tak menjadi masalah lah untuk menempuh jarak antara rumah-lapangan tenis indor, tempat berlangsungnya acara, dengan jalan kaki saja . Selain, tentu saja, ada saat ketika kebersamaan dapat mengeliminasi lelah dan gerah (jalan kaki di siang hari normalnya panas dan melelahkan, kan?).
Belum jauh meninggalkan lokasi, sebuah sedan menepi. Saya kenal orangnya, tetangga depan rumah kami. Tapi kami menggeleng. Menolak dengan sopan tawaran untuk bareng. Kami memang ingin jalan kaki saat itu, menikmati waktu. Ada kalanya jarak menerbitkan rindu, dan ada kalanya kebersamaan menguatkan ikatan. Maka proporsi yang pas antara keduanya adalah formula yang mesti kita ketahui dengan sadar.
Tak lama, kami sampai juga di depan rumah. Lalu, lebih memilih duduk-duduk dulu di teras ketimbang langsung masuk rumah. Lagipula masih ada waktu, maka tak ada salahnya juga untuk sejenaik rehat dan memandang sekitaran. Ada tetanaman yang butuh dinikmati, ada sekitaran yang ternyata terlihat berbeda kala dipandang dalam keadaan yang beda. Maka saat itulah, saat kami masih duduk-duduk di teras, kami menyadari ada tas kresek warna hitam menggantung di gagang pintu rumah. Tentu saja dengan isinya. Tapi saya tak bingung, saya tahu benar apa artinya. Memang, hampir tiga tahun mendiami rumah ini, saya menyadari sudah menjadi kebiasaan di kompleks ini untuk menggantungkan sesuatu yang ingin di antarkan jika penghuninya sedang tak ada di rumah.
Saya kemudian melongok isinya dan menemukan sesisir pisang yang menggantung dalam kresek hitam itu. Alhamdulillah, sungguh alhamdulillah. Kami masih menduga-duga siapakah gerangan yang mengiriminya ketika tetangga depan rumah muncul dan menjawab semua dugaan-dugaan tadi. Iya, beliaulah yang menggantungkan pisang itu. Saya memang meninggalkan ponsel di rumah hingga tak bisa dihubungi.
“Tanaman sendiri, ya, bu?”, demikian tanya saya.
“iya, belakang rumah”
Demikianlah. Benar, memperoleh uluran silaturahim seorang tetangga memang akan selalu spesial, mendapat bingkisan pertemanan dari seorang saudara juga selalu istimewa, tapi menyadari bahwa itu adalah skenario indah yang dikreasikan Allah, adalah paket indah dengan daya kejut tersendiri. Belum hilang dari ingatan saya, beberapa hari sebelumnya, saat berkunjung ke rumah mertua, kami memperbincangkan ini. Saat itu istri mengambilkan pisang keju buatan adik untuk saya makan ketika saya nyelethuk bertanya; “bisa mbuat begini?”, yang langsung dijawab,“bisa”
Dan bla bla bla. Bertanya tentang resep, bertanya tentang cara membuat, yang ujung dari semua itu adalah : istri saya akan membuat pisang keju ini. Butuh keju, butuh gula merah, dan tentu saja butuh pisang. Maka menjadi alhamdulillah sekali, kala kehendak istri untuk membuatkan pisang keju demi memenuhi keinginan suami itu, tak butuh lama dijawab oleh Allah dengan mengirimkan seorang tetangga baik hati yang berbagi pisang hasil kebunnya. Ini mungkin ke-GR-an saya saja, tapi saya tak peduli. Sebab saya memandangnya lain; ini lah salah satu bentuk prasangka baik saya pada Allah banwa Dia akan memberi apa yang kita butuhkan dengan cara yang seringkali begitu manisnya.
Hanya itu? ternyata tidak! Setelah saya ingat, malam sebelumnya, usai beberapa hari sebelumnya istri membicarakan tentang cara mempercepat tahapan memasak, dengan memotong-motong sekaligus semua sayuran yang memungkinkan, untuk kemudian dimasukkan semacam tupperware dan disimpan di lemari es, seorang teman yang tak bisa ikut menghadiri acara pernikahan kami, datang dengan membawa kejutan lain. Adalah kado yang dibawanyalah kejutan itu. Persis dengan apa yang kita bicarakan, itulah yang ia bawa; seperangkat tupperware yang begitu pas untuk dijadikan tempat menyimpan sayur-sayur yang telah dipotong.
Begitulah, ada banyak keajaiban-keajaiban. Ada banyak cerita-cerita menyenangkan. Maka untuk semua itu, nikmat Tuhan yang manakah yang kami dustakan? Semoga saja tak.
“Allah jauh lebih tahu apa yang kita butuhkan”, demikian lanjut perempuan yang baru sepekan menjadi penggenap agama itu.
“Kalau begitu berharap pada Allah semoga dapat door prize”, saya tersenyum, sedikit menggoda pernyataannya dengan pernyataan lain.
Sementara panitia sudah beres mengambil kupon door prize. Ada empat kupon yang sebelumnya sudah dimintakan untuk diambilkan oleh salah satu pimpinan. Tinggal mengumumkan saja. Pembawa acarapun sudah memegang empat kupon yang sudah diambil dan siap mengumumkan siapakah nama yang muncul.
“Depannya A, akhirnya I” Entahlah! Akan banyak kombinsai huruf yang bakal mengisi di antara kedua huruf itu, membentuk sebuah nama. Saya juga tak tahu dengan pasti bahwa nama istri saya sajalah yang memungkinkan. Tapi yang pasti, saya sudah GR duluan kalau itu pasti nama istri saya.
Dan benar! GR saya ternyata benar-benar berjawab kenyataan. Nama istri saya sempurna disebut dan berhak mendapatkan voucher belanja di sebuah swalayan dekat rumah kami. Barangkali inilah memang yang sedang kami butuhkan. Sebab sejak pindahan, kami belum juga berbelanja yang benar-benar belanja untuk keperluan domestik yang tentu saja akan banyak peningkatannya dibandingkan ketika saya (dan juga istri saya) masih lajang.
Kami berdua bersitatap, dan saya tahu, ia mempersilahkan saya untuk bangkit guna mengambil hadiahnya.
Demikianlah, voucher belanja 250.000 itu sempurna menjadi milik kami. Di urutan pertama yang disebut. Di saat-saat ketika beberapa saat sebelumnya kami memandang jam dinding yang menempel di dinding ruangan, dan mengobrolkan tentang sebuah fakta, bahwa tepat sepekan yang lalu, di detik-detik seperti ini, dua tangan saling menjabat dan kalimat ijab qobul telah diteguhkan untuk menandai sebuah ikatan; kami resmi menjadi suami-istri.
Pukul sepuluh pagi, acara belum sempurna usai, door prize utama juga belum dibagi, tapi kami mesti meninggalkan tempat sebab ada acara lain yang mesti dihadiri istri. Dan jalan kaki. Lokasi acara memang masih satu kompleks dengan rumah, hingga tak menjadi masalah lah untuk menempuh jarak antara rumah-lapangan tenis indor, tempat berlangsungnya acara, dengan jalan kaki saja . Selain, tentu saja, ada saat ketika kebersamaan dapat mengeliminasi lelah dan gerah (jalan kaki di siang hari normalnya panas dan melelahkan, kan?).
Belum jauh meninggalkan lokasi, sebuah sedan menepi. Saya kenal orangnya, tetangga depan rumah kami. Tapi kami menggeleng. Menolak dengan sopan tawaran untuk bareng. Kami memang ingin jalan kaki saat itu, menikmati waktu. Ada kalanya jarak menerbitkan rindu, dan ada kalanya kebersamaan menguatkan ikatan. Maka proporsi yang pas antara keduanya adalah formula yang mesti kita ketahui dengan sadar.
Tak lama, kami sampai juga di depan rumah. Lalu, lebih memilih duduk-duduk dulu di teras ketimbang langsung masuk rumah. Lagipula masih ada waktu, maka tak ada salahnya juga untuk sejenaik rehat dan memandang sekitaran. Ada tetanaman yang butuh dinikmati, ada sekitaran yang ternyata terlihat berbeda kala dipandang dalam keadaan yang beda. Maka saat itulah, saat kami masih duduk-duduk di teras, kami menyadari ada tas kresek warna hitam menggantung di gagang pintu rumah. Tentu saja dengan isinya. Tapi saya tak bingung, saya tahu benar apa artinya. Memang, hampir tiga tahun mendiami rumah ini, saya menyadari sudah menjadi kebiasaan di kompleks ini untuk menggantungkan sesuatu yang ingin di antarkan jika penghuninya sedang tak ada di rumah.
Saya kemudian melongok isinya dan menemukan sesisir pisang yang menggantung dalam kresek hitam itu. Alhamdulillah, sungguh alhamdulillah. Kami masih menduga-duga siapakah gerangan yang mengiriminya ketika tetangga depan rumah muncul dan menjawab semua dugaan-dugaan tadi. Iya, beliaulah yang menggantungkan pisang itu. Saya memang meninggalkan ponsel di rumah hingga tak bisa dihubungi.
“Tanaman sendiri, ya, bu?”, demikian tanya saya.
“iya, belakang rumah”
Demikianlah. Benar, memperoleh uluran silaturahim seorang tetangga memang akan selalu spesial, mendapat bingkisan pertemanan dari seorang saudara juga selalu istimewa, tapi menyadari bahwa itu adalah skenario indah yang dikreasikan Allah, adalah paket indah dengan daya kejut tersendiri. Belum hilang dari ingatan saya, beberapa hari sebelumnya, saat berkunjung ke rumah mertua, kami memperbincangkan ini. Saat itu istri mengambilkan pisang keju buatan adik untuk saya makan ketika saya nyelethuk bertanya; “bisa mbuat begini?”, yang langsung dijawab,“bisa”
Dan bla bla bla. Bertanya tentang resep, bertanya tentang cara membuat, yang ujung dari semua itu adalah : istri saya akan membuat pisang keju ini. Butuh keju, butuh gula merah, dan tentu saja butuh pisang. Maka menjadi alhamdulillah sekali, kala kehendak istri untuk membuatkan pisang keju demi memenuhi keinginan suami itu, tak butuh lama dijawab oleh Allah dengan mengirimkan seorang tetangga baik hati yang berbagi pisang hasil kebunnya. Ini mungkin ke-GR-an saya saja, tapi saya tak peduli. Sebab saya memandangnya lain; ini lah salah satu bentuk prasangka baik saya pada Allah banwa Dia akan memberi apa yang kita butuhkan dengan cara yang seringkali begitu manisnya.
Hanya itu? ternyata tidak! Setelah saya ingat, malam sebelumnya, usai beberapa hari sebelumnya istri membicarakan tentang cara mempercepat tahapan memasak, dengan memotong-motong sekaligus semua sayuran yang memungkinkan, untuk kemudian dimasukkan semacam tupperware dan disimpan di lemari es, seorang teman yang tak bisa ikut menghadiri acara pernikahan kami, datang dengan membawa kejutan lain. Adalah kado yang dibawanyalah kejutan itu. Persis dengan apa yang kita bicarakan, itulah yang ia bawa; seperangkat tupperware yang begitu pas untuk dijadikan tempat menyimpan sayur-sayur yang telah dipotong.
Begitulah, ada banyak keajaiban-keajaiban. Ada banyak cerita-cerita menyenangkan. Maka untuk semua itu, nikmat Tuhan yang manakah yang kami dustakan? Semoga saja tak.
Monday, March 5, 2012
(diari pengantin): aku simak bacaaannya ya?
“Sudah jauh lebih baik bila dibandingkan dengan waktu pertemuan di rumah Bu Ucu”
Pada akhirnya, kalimat itulah yang keluar. Di hari kedua sejak akad itu diikrarkan, sekitar 27 jam dari saat seorang anak muda menjabat erat tangan seorang bapak di depannya. Di kamar pengantin yang didominasi warna putih, dengan hiasan yang belum juga dilepas. Kalian tahu, dengan desain ruangan yang serba tertutup, dengan AC yang sengaja tak dinyalakan, udara panas tentu saja dengan mudahnya membekap badan. Maka apabila kemudian seorang perempuan, dengan matanya yang ia harapkan terus kejora, ba’da dhuhur itu, meminta ijin untuk menyimak bacaan Al-Qurannya tepat ketika ia hendak duduk setelah mengambil mushaf, berlipat-lipatlah jadinya rasa gerah itu. Tapi, ia tahu, di sini lah letak keromantisan itu.
Ini memang yang pertama. Pertama kalinya sejak tak ada halangan lagi untuk bisa saling menyimak bacaan dengan jarak yang dekat dan rapat. Sebelumnya memang pernah, sekali, ketika perempuan itu memintanya untuk membacakan beberapa ayat Al-Quran. Dulu! Dulu, yang perempuan itu sebut dengan ‘pertemuan di rumah Bu Ucu’. Orang-orang lain, seringkali menyebut pertemuan itu sebagai taaruf.
Bahwa pernikahan adalah sebuah kemengenalan terus menerus, bahwa institusi pernikahan tak lain adalah sekolah tempat belajar-mengajar mesti terus ada dan berkelanjutan, ia tahu betul akan hal itu. Tapi merasainya langsung, memraktekkannya sendiri, mengejawantahkan apa-apa yang dulu sering kali hanya bisa ia baca lewat buku-buku pernikahan, adalah petualangan yang degup halus menyenangkannya ternyata melebihhi degup groginya. Menyimak perempuannya itu menyela dan membenarkan bacaannya, tak lain layaknya mendengar perempuan itu berkata ‘mari kita terus bertumbuh, aku ingin kau menjadi lebih baik selalu’. Maka harusnya, inilah sekolah paling menyenangkan itu. Dengan kurikulum dirancang sendiri, dengan waktu belajar tiap waktu. Tak ada guru tak ada murid, semuanya guru semuanya murid.
Begitulah, siang itu, keringat memang melelehi badan. Cuaca memang sedang panas-panasnya, bontang tak lagi diguyur hujan dalam beberapa hari terakhir—tak biasanya. Tapi tak ada alasan untuk mengeluh, sama sekali tak ada. Lihatlah, ada yang lebih menyenangkan untuk disyukuri. Perempuan itu masih duduk di sampingnya. Dengan kerling mata yang ia harap terus mengilhami. Dengan bibirr yang semoga tetap basah oleh kalimat-kalimat baik.
“Sudah jauh lebih baik bila dibandingkan dengan waktu pertemuan di rumah Bu Ucu”
“oh, ya? Berarti waktu itu jelek donk?” (Dalam hati: “padahal kata murobbiyah anti bagus”)
“he’e…panjang pendeknya banyak yang nggak pas”
“Tapi kenapa diterima?”
Perempuan itu tersenyum, bersiap meluncurkan jawaban.
Pada akhirnya, kalimat itulah yang keluar. Di hari kedua sejak akad itu diikrarkan, sekitar 27 jam dari saat seorang anak muda menjabat erat tangan seorang bapak di depannya. Di kamar pengantin yang didominasi warna putih, dengan hiasan yang belum juga dilepas. Kalian tahu, dengan desain ruangan yang serba tertutup, dengan AC yang sengaja tak dinyalakan, udara panas tentu saja dengan mudahnya membekap badan. Maka apabila kemudian seorang perempuan, dengan matanya yang ia harapkan terus kejora, ba’da dhuhur itu, meminta ijin untuk menyimak bacaan Al-Qurannya tepat ketika ia hendak duduk setelah mengambil mushaf, berlipat-lipatlah jadinya rasa gerah itu. Tapi, ia tahu, di sini lah letak keromantisan itu.
Ini memang yang pertama. Pertama kalinya sejak tak ada halangan lagi untuk bisa saling menyimak bacaan dengan jarak yang dekat dan rapat. Sebelumnya memang pernah, sekali, ketika perempuan itu memintanya untuk membacakan beberapa ayat Al-Quran. Dulu! Dulu, yang perempuan itu sebut dengan ‘pertemuan di rumah Bu Ucu’. Orang-orang lain, seringkali menyebut pertemuan itu sebagai taaruf.
Bahwa pernikahan adalah sebuah kemengenalan terus menerus, bahwa institusi pernikahan tak lain adalah sekolah tempat belajar-mengajar mesti terus ada dan berkelanjutan, ia tahu betul akan hal itu. Tapi merasainya langsung, memraktekkannya sendiri, mengejawantahkan apa-apa yang dulu sering kali hanya bisa ia baca lewat buku-buku pernikahan, adalah petualangan yang degup halus menyenangkannya ternyata melebihhi degup groginya. Menyimak perempuannya itu menyela dan membenarkan bacaannya, tak lain layaknya mendengar perempuan itu berkata ‘mari kita terus bertumbuh, aku ingin kau menjadi lebih baik selalu’. Maka harusnya, inilah sekolah paling menyenangkan itu. Dengan kurikulum dirancang sendiri, dengan waktu belajar tiap waktu. Tak ada guru tak ada murid, semuanya guru semuanya murid.
Begitulah, siang itu, keringat memang melelehi badan. Cuaca memang sedang panas-panasnya, bontang tak lagi diguyur hujan dalam beberapa hari terakhir—tak biasanya. Tapi tak ada alasan untuk mengeluh, sama sekali tak ada. Lihatlah, ada yang lebih menyenangkan untuk disyukuri. Perempuan itu masih duduk di sampingnya. Dengan kerling mata yang ia harap terus mengilhami. Dengan bibirr yang semoga tetap basah oleh kalimat-kalimat baik.
“Sudah jauh lebih baik bila dibandingkan dengan waktu pertemuan di rumah Bu Ucu”
“oh, ya? Berarti waktu itu jelek donk?” (Dalam hati: “padahal kata murobbiyah anti bagus”)
“he’e…panjang pendeknya banyak yang nggak pas”
“Tapi kenapa diterima?”
Perempuan itu tersenyum, bersiap meluncurkan jawaban.
Thursday, March 1, 2012
bookaholic; februari 2012
Ada banyak cerita, ada banyak kisah. Ada banyak momen-momen yang ingin terceritakan, terbekukan, untuk suatu saat dijenguk kembali, mungkin untuk meneguhkan kembali ikatan..
.
.
.
.
.
Tapi, februari ini, saya hanya ingin melaporkan ini:
.
.
.
.
.
Tapi, februari ini, saya hanya ingin melaporkan ini:
Aku, Kau dan Sepucuk Angpau Merah
(Tere Liye)
(Tere Liye)
itu, adalah buku yang sempat terselesaikan.... Sama sekali tak banyak, tapi saya benar-benar mensyukuri Februari ini.
Selamat Sore!
Yuk, bergegas pulang!
Yuk, bergegas pulang!
Monday, February 27, 2012
Thursday, February 16, 2012
-jejaring-
Tadi pagi saya dibuat takjub. Bukan hal spesial memang, hanya sebuah tawaran pertemanan yang muncul ketika saya membuka akun facebook menjelang jam blokir berdentang—jam tujuh pagi. Juga bukan tentang spesialnya orang yang mengajukan pertemanan itu. Rasa-rasanya, minimal sampai saat ini, tak pernah ada orang yang membuat saya bersorak atau bahagia secara berlebihan ketika namanya terpampang di daftar nama-nama yang mengajukan pertemanan di dunia maya ini.
Adalah dua nama yang masuk sebagai ‘mutual friends’ antara saya dengan si pengaju pertemanan inilah yang membuat saya tersenyum kecil pagi itu. Ah, dunia yang begitu luasnya, dengan manusia yang sudah mencapai milyaran ternyata tetap saja ada potongan-potongan kejadian yang membuat kita sekali lagi bergumam, ‘dunia sempit sekali’. Saya dan si pengaju pertemanan sudah lumayan lama terhubung lewat blog, tapi saya dan dia juga memiliki penghubung lain selain blog, yang dekat sekali dengan dunia nyata, adalah hal yang baru saya ketahui ketika mengeklik ‘mutual friends’ tadi.
Nama pertama yang muncul di mutual friends itu adalah seorang adik tingkat di kampus saya dulu. Perempuan, angkatan 2007, yang artinya berselisih tiga tingkat dengan saya. Tapi saya kenal baik dengannya. Waktu ORMABA, ia dan beberapa temannya tergabung dalam sebuah kelompok dimana saya menjadi SC-nya kala itu. Dan di pagi itu lah otak saya merangkai sebuah penjelasan, ‘bukankah teman ngeblog saya itu orang ponorogo? Bukankah adik tingkat saya itu juga orang ponorogo? Bukankah usia mereka sama? Bukankah?’. Demikianlah, saya sudah menyimpulkan sendiri bahkan sebelum teman ngeblog saya itu memberikan penjelasan langsung kalau adik tingkat saya itu adalah teman SMA-nya. Begitu sempitnya dunia.
Nama kedua adalah sosok yang bahkan saya belum pernah ketemu langsung dengan orangnya. Saya juga lupa bagaimanakah mulanya saya bisa terkoneksi dengannya di FB—entah saya yang ngeadd, ataukah dia. Tapi tentu saja saya tahu siapa dia, sangat tahu. Minimal saya sangat tahu dengan orang yang begitu spesial baginya. Ia adalah istri rekan kerja saya di Bontang. Boleh dikata pengantin baru. Orang Jogja atau Solo—entahlah, saya tak begitu tahu. Ternyata, demikian yang dikatakan teman ngeblog saya, ia adalah teman kakak tingkatnya sewaktu di STAN. STAN, memang alamamater teman ngblog saya itu. Begitu rumitnya sebuah jejaring.
Itu baru yang terlihat. Itu baru yang bisa kita klik lewat menu ‘mutual friends’. Boleh jadi, sebenarnya kita semua ini saling terhubung oleh sebuah jejaring yang sangat rumit. Orang nun jauh di sana, taruhlah di Papua, yang saya tak pernah bahkan untuk mendengar namanya, boleh jadi temannya si ini, yang si ini itu temannya si itu, yang si itu temannya si fulan, sedangkan si fulan suaminya si fulanah, dan si fulanan ini tak lain adalah kakak teman adik saya yang ada di kota x. Begitu seterusnya. Hingga apabila hubungan itu digambarkan, bahkan untuk melihatnya saja akan rumit.
Tapi saya tidak hendak berbicara hal itu. Saya akan berbicara hal lain, hal lain yang bila didekat-dekatkan, boleh jadi berhubungan dengan hal di atas. Hal tersebut, adalah apa yang sering disebut dengan butterfly effect. Bahwa, kepakan kupu-kupu kecil di belantara Borneo dapat menyebabkan Putting Beliung di Tasikmalaya. Bahwa, tindakan kecil kita boleh jadi berdampak besar bagi orang lain di sebuah tempat yang jauh dari kita.
Saya sedang memikirkan itu. Lebih tepatnya, kemarin, ketika menunggangi motor sepulang kerja, saat hendak mampir untuk membeli makan malam, pikiran itu selintas membayang. Bahwa tindakan teratur kita, yang terkesan biasa-biasa saja, semisal dimanakah membeli makanan untuk membeli makan malam, atau apakah membeli buah lokal atau import untuk memenuhi kebutuhan harian, boleh jadi akan bertumpuk-tumpuk dengan hal-hal sederhana lain membentuk akibat yang begitu rumit.
Tapi contohnya yang sama-sama sederhana saja. Ketika kita ingin membeli buah, keputusan kita apakah membeli di supermarket atau kah kios buah pinggir jalan, akan menentukan nasib banyak orang. Selanjutnya, ketika taruhlah kita memilih kios pinggir jalan, tentang buah apakah yang kita pilih, apakah buah-buahan lokal atau import, juga berdampak pada hal-hal lain yang ternyata tak sesederhana pilihan tersebut. Semua pasti mengerti ini. Keputusan kita untuk memebeli buah lokal, mungkin akan menjamin kelangsungan hidup seorang petani buah tua di pelosok desa nun jauh di sana. Tapi saya juga tahu, ada yang dengan ringannya berkata, ‘ah, persetan dengan akibat-akibatnya. Toh nggak berhubungan dengan gue. Gue pingin beli ini ya beli ini, ngapain ngurusin orang lain yang tak ada hubungannya dengan gue’.
Ah, ya, tak ada yang bisa memaksa kita untuk memikirkan itu semua kala mengambli sebuah tindakan. Tapi agaknya, kita perlu merenungkan ini sekali-dua barang sejenak, bahwa boleh jadi kerumitan-kerumitan yang membebat kita, adalah akibat tindakan sederhana dari orang lain nun jauh di sana. Bahwa seseorang yang nun jauh di sana, yang memperoleh kerumitan akibat pilihan sederhana kita, boleh jadi temannya si X, sedangkan si x itu kakaknya si anu, si anu keponakan jauhnya si itu, dan si itu teman kakak sepupunya si fulanah. Nama terakhir, si fulanah, boleh jadi tetangga dekat kita.
Kita memang tak pernah tahu dengan pasti akibat dari tindakan kita, tapi bertindak sebaik yang kita bisa, sebijak yang kita mampu, agaknya lebih tepat untuk dijadikan sebuah pilihan. Dan itu, semoga menjadi bekal jawaban, ketika kelak, segala tingkah laku kita dipertanyakan.
Wallahu a’lam.
Adalah dua nama yang masuk sebagai ‘mutual friends’ antara saya dengan si pengaju pertemanan inilah yang membuat saya tersenyum kecil pagi itu. Ah, dunia yang begitu luasnya, dengan manusia yang sudah mencapai milyaran ternyata tetap saja ada potongan-potongan kejadian yang membuat kita sekali lagi bergumam, ‘dunia sempit sekali’. Saya dan si pengaju pertemanan sudah lumayan lama terhubung lewat blog, tapi saya dan dia juga memiliki penghubung lain selain blog, yang dekat sekali dengan dunia nyata, adalah hal yang baru saya ketahui ketika mengeklik ‘mutual friends’ tadi.
Nama pertama yang muncul di mutual friends itu adalah seorang adik tingkat di kampus saya dulu. Perempuan, angkatan 2007, yang artinya berselisih tiga tingkat dengan saya. Tapi saya kenal baik dengannya. Waktu ORMABA, ia dan beberapa temannya tergabung dalam sebuah kelompok dimana saya menjadi SC-nya kala itu. Dan di pagi itu lah otak saya merangkai sebuah penjelasan, ‘bukankah teman ngeblog saya itu orang ponorogo? Bukankah adik tingkat saya itu juga orang ponorogo? Bukankah usia mereka sama? Bukankah?’. Demikianlah, saya sudah menyimpulkan sendiri bahkan sebelum teman ngeblog saya itu memberikan penjelasan langsung kalau adik tingkat saya itu adalah teman SMA-nya. Begitu sempitnya dunia.
Nama kedua adalah sosok yang bahkan saya belum pernah ketemu langsung dengan orangnya. Saya juga lupa bagaimanakah mulanya saya bisa terkoneksi dengannya di FB—entah saya yang ngeadd, ataukah dia. Tapi tentu saja saya tahu siapa dia, sangat tahu. Minimal saya sangat tahu dengan orang yang begitu spesial baginya. Ia adalah istri rekan kerja saya di Bontang. Boleh dikata pengantin baru. Orang Jogja atau Solo—entahlah, saya tak begitu tahu. Ternyata, demikian yang dikatakan teman ngeblog saya, ia adalah teman kakak tingkatnya sewaktu di STAN. STAN, memang alamamater teman ngblog saya itu. Begitu rumitnya sebuah jejaring.
Itu baru yang terlihat. Itu baru yang bisa kita klik lewat menu ‘mutual friends’. Boleh jadi, sebenarnya kita semua ini saling terhubung oleh sebuah jejaring yang sangat rumit. Orang nun jauh di sana, taruhlah di Papua, yang saya tak pernah bahkan untuk mendengar namanya, boleh jadi temannya si ini, yang si ini itu temannya si itu, yang si itu temannya si fulan, sedangkan si fulan suaminya si fulanah, dan si fulanan ini tak lain adalah kakak teman adik saya yang ada di kota x. Begitu seterusnya. Hingga apabila hubungan itu digambarkan, bahkan untuk melihatnya saja akan rumit.
Tapi saya tidak hendak berbicara hal itu. Saya akan berbicara hal lain, hal lain yang bila didekat-dekatkan, boleh jadi berhubungan dengan hal di atas. Hal tersebut, adalah apa yang sering disebut dengan butterfly effect. Bahwa, kepakan kupu-kupu kecil di belantara Borneo dapat menyebabkan Putting Beliung di Tasikmalaya. Bahwa, tindakan kecil kita boleh jadi berdampak besar bagi orang lain di sebuah tempat yang jauh dari kita.
Saya sedang memikirkan itu. Lebih tepatnya, kemarin, ketika menunggangi motor sepulang kerja, saat hendak mampir untuk membeli makan malam, pikiran itu selintas membayang. Bahwa tindakan teratur kita, yang terkesan biasa-biasa saja, semisal dimanakah membeli makanan untuk membeli makan malam, atau apakah membeli buah lokal atau import untuk memenuhi kebutuhan harian, boleh jadi akan bertumpuk-tumpuk dengan hal-hal sederhana lain membentuk akibat yang begitu rumit.
Tapi contohnya yang sama-sama sederhana saja. Ketika kita ingin membeli buah, keputusan kita apakah membeli di supermarket atau kah kios buah pinggir jalan, akan menentukan nasib banyak orang. Selanjutnya, ketika taruhlah kita memilih kios pinggir jalan, tentang buah apakah yang kita pilih, apakah buah-buahan lokal atau import, juga berdampak pada hal-hal lain yang ternyata tak sesederhana pilihan tersebut. Semua pasti mengerti ini. Keputusan kita untuk memebeli buah lokal, mungkin akan menjamin kelangsungan hidup seorang petani buah tua di pelosok desa nun jauh di sana. Tapi saya juga tahu, ada yang dengan ringannya berkata, ‘ah, persetan dengan akibat-akibatnya. Toh nggak berhubungan dengan gue. Gue pingin beli ini ya beli ini, ngapain ngurusin orang lain yang tak ada hubungannya dengan gue’.
Ah, ya, tak ada yang bisa memaksa kita untuk memikirkan itu semua kala mengambli sebuah tindakan. Tapi agaknya, kita perlu merenungkan ini sekali-dua barang sejenak, bahwa boleh jadi kerumitan-kerumitan yang membebat kita, adalah akibat tindakan sederhana dari orang lain nun jauh di sana. Bahwa seseorang yang nun jauh di sana, yang memperoleh kerumitan akibat pilihan sederhana kita, boleh jadi temannya si X, sedangkan si x itu kakaknya si anu, si anu keponakan jauhnya si itu, dan si itu teman kakak sepupunya si fulanah. Nama terakhir, si fulanah, boleh jadi tetangga dekat kita.
Kita memang tak pernah tahu dengan pasti akibat dari tindakan kita, tapi bertindak sebaik yang kita bisa, sebijak yang kita mampu, agaknya lebih tepat untuk dijadikan sebuah pilihan. Dan itu, semoga menjadi bekal jawaban, ketika kelak, segala tingkah laku kita dipertanyakan.
Wallahu a’lam.
Monday, February 13, 2012
Saturday, February 11, 2012
kawan, datanglah! : sebuah undangan
demi Yang mencipta
demi Yang Mengijabahi doadoa
Yaa Robbi....., perkenankanlah cinta merangkai sejarahnya
demi Yang Mengijabahi doadoa
Yaa Robbi....., perkenankanlah cinta merangkai sejarahnya
Ayu Mayangsari
(Biologi UGM 05)
&
Iqbal Latif
(Teknik Kimia ITS 04)
Untuk mengikuti sunnah Rosul-Mu dalam membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warrahmah, wadda’wah
Akad nikah:
Sabtu, 25 Februari 2011
Pukul 09.00 Wita
Bertempat di Jl Harimau LL/8 BTN PKT Bontang Kaltim
Walimatul Ursy:
Sabtu, 25 Februari 2011
Pukul 19.30 Wita
Bertempat di Gedung Wijaya Kusuma Bontang Kaltim
Adalah Kehormatan, adalah kebahagiaan, jika teman-teman berkenan hadir untuk memberikan doa keberkahan buat kami berdua.
ayu&iqbal
Kunjungi web pernikahan kami: keluargaalbanna.com
Friday, February 10, 2012
tentang koin dan kerikil
Bayangkanlah sebuah gedung tinggi yang tengah di bangun. Belum sempurna pengerjaannya, maka tak heran nampak pekerja yang masih sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ada yang memperbiki dasar, ada yang tengah menyempurnakan puncak. Ada yang bergelantungan, ada yang tekun menekuri beton. Dan, di antara semua itu, adalah seorang pekerja di lantai atas terlihat melongok ke bawah, menunduk-nunduk mencoba menarik perhatian rekan kerjanya yang kebetulan berada dua tingkat di bawahnya. Ia ada perlu kala itu, entah apa. Ia bisa saja memanggil namanya, tapi tak ia lekaukan. Tentu saja, sebab suara yang memang sangat berisik kala itu, memaksakan diri untuk meneriaki si teman, tak ada yang bisa didapati selain suara teriakan itu segera berbaur dengan suara-suara lain, tanpa sama sekali menjejak di telinga orang yang dimaksud.
Tapi ia kemudian merogoh sakunya. Kebetulan sekali, ada beberapa koin yang tersisa di sana. Tak berpikir lama, ia genggam koin itu dan kemudian ia lemparkan ke temannya yang sedang ada di bawah. Untungnya, si pelempar koin kita ini mungkin berbakat sekali melempar mangga di pohon sewaktu kecil dulu, hingga dengan jarak dua tingkat itu, koin yang ia lempar tepat mengenai bahu temannya yang dimaksud. Memang tak terlalu keras, tapi cukup memberi kesadaran buat temannya itu bahwa ada sesuatu yang menerpa bahunya.
‘oh, koin ternyata’, demikian lirih temannya itu kala menyadari apa yang menerpa bahunya itu adalah sebuah koin. Memasukkannya ke dalam kantong lalu kembali menruskan pekerjaannya. Tapi sama sekali, sama sekali ia tak berniat untuk sekedar mendongak untuk mengetahui siapakah gerangan yang telah menjatuhkan koin itu sehingga dapat ia miliki. Apakah ada seseorang yang sengaja melemparkannya, apakah ada seseorang yang tak sengaja menjatuhkannya, atau yang lain. Entahlah, ia tak berpikiran seperti itu.
Beberapa menit berlalu, satu lemparan koin kembali mengenai bahu si pekerja yang di bawah. Tapi sayang, sama seperti yang sudah-sudah, si pekerja di bawah hanya ber-oh ria, memasukkannya ke kantong, tanpa sama sekali tergerak untuk mendongak. Demikian seterusnya hingga si pekerja yang di atas menyadari tak ada koin lagi di sakunya.
Tapi kawan kita yang satu ini tentu saja tak habis akal. Dipungutnya kemudian sebuah kerikil yang memang banyak berserakan di lantai gedung. Ia genggam, dan ia mulai berancang-ancang untuk melempar. ‘Puk’, demikian akhirnya kerikil itu lagi-lagi menerpa bahu temannya yang di bawah. Dan tidak seperti yang sebelumnya, demi menyadari sebutir kerikil telah menerpa bahunya, untuk pertama kali dalam beberapa menit yang telah berlalu, ia mendongak ke atas. Mencoba mencari dengan matanya siapakah gerangan yang telah melemparkannya.
Saudaraku, jangan terlalu serius memasukakalkan sepotong cerita di atas. Terima saja, lalu jawab pertanyaan ini; Apakah kita si pekerja di bawah itu? Yang koin-koin kecil tak sanggup membuatnya untuk sekejap saja mendongak untuk menginsafi bahwa ada si baik hati yang telah bersedia melemparkan koinnya untuk kita. Apakah si pekerja di bawah itu? Yang butuh kerikil-kerikil untuk bisa menyadarkan bahwa ada seseorang di atas yang telah menegur dengan lemparnnya. Atau, bahkan mungkinkah kita melebihi si pekerja itu, yang butuh potongan besi besar, atau bebatuan pejal, yang baru menyadarkan kita untuk mendongak barang sejenak.
Saudaraku, sesungguhnya Allah tak henti-hentinya melemparkan koin-koin itu kepada kita. Setiap saat, setiap waktu. Ketika kita hendak berangkat kerja, Allah tiba-tiba memberhentikan rinai hujan. Ketika kita sedang lapar dan tak ada makanan siap makan di rumah, Alllah kemudian mengirim tetangga baik hati yang mengirim makanan kepada kita. Ketika dompet kita terjatuh, Allah siapkan si jujur di samping yang kemudian mengingatkan kita tentang itu. Itu mungkin hanyalah koin-koin yang dilempar, hanyalah nikmat-nikmat ‘kecil’ yang Allah hadirkan. Tapi, Saudaraku, pertanyaan yang penting dari ini, adakah itu telah mampu membuat kita untuk mendongak barang sebentar saja, bahwa ada dzat yang telah begitu berbaik hati mencukupi kehidupan kita?
Saudaraku, apakah kita si pekerja di bawah itu, yang membutuhkan kerikil-kerikil untuk menyadarkan diri? Apakah kita membutuhkan ujian-ujian kecil, kesusahan-kesusahan ringan, atau kemalangan-kemalangan untuk menyadarkan kita untuk mendongak dan mengingat, bahwa ada Allah yang Maha Berkehendak. Ataukah bahkan membutuhkan lebih? Apakah kita butuh orang-orang terdekat kita dimatikan, atau rumah-rumah megah kita hangus terbakar, atau kota kita rata disapu tsunami, atau yang lain. Apakah kita membutuhkan itu semua untuk sekedar mendongak dan mengingat Allah?
Saudaraku, kita semestinya tak membutuhkan ada koin-koin yang jatuh, atau kerikil-kerikil yang dilempar untuk bisa setiap saat mengingat Allah. Karena dengan mengingat ini saja, sudah jelas tertegaskan bahwa hati menjadi tenteram. Dan itulah kebahagiaan. Dan itulah apa yang dicari manusia. Dan itulah kebutuhan.
Tapi memang adakalanya kita lalai. Kita terlupa secara akut. Maka untuk itu, Saudaraku, kita mesti sering-sering berdoa, semoga koin-koin kecil saja sanggup membuat kita bersyukur, semoga kerikil-kerikil kecil membuat kita bersabar. Kedua-duanya, insyaAllah, sama-sama bentuk dari ketersadaran.
#terimakasih kepada seorang ustadz yang telah memberikan tausiyah ini sepekan yang lalu. Semoga jika ada kebaikan dari ini semua, amal kebaikan juga mengalir padanya#
Tapi ia kemudian merogoh sakunya. Kebetulan sekali, ada beberapa koin yang tersisa di sana. Tak berpikir lama, ia genggam koin itu dan kemudian ia lemparkan ke temannya yang sedang ada di bawah. Untungnya, si pelempar koin kita ini mungkin berbakat sekali melempar mangga di pohon sewaktu kecil dulu, hingga dengan jarak dua tingkat itu, koin yang ia lempar tepat mengenai bahu temannya yang dimaksud. Memang tak terlalu keras, tapi cukup memberi kesadaran buat temannya itu bahwa ada sesuatu yang menerpa bahunya.
‘oh, koin ternyata’, demikian lirih temannya itu kala menyadari apa yang menerpa bahunya itu adalah sebuah koin. Memasukkannya ke dalam kantong lalu kembali menruskan pekerjaannya. Tapi sama sekali, sama sekali ia tak berniat untuk sekedar mendongak untuk mengetahui siapakah gerangan yang telah menjatuhkan koin itu sehingga dapat ia miliki. Apakah ada seseorang yang sengaja melemparkannya, apakah ada seseorang yang tak sengaja menjatuhkannya, atau yang lain. Entahlah, ia tak berpikiran seperti itu.
Beberapa menit berlalu, satu lemparan koin kembali mengenai bahu si pekerja yang di bawah. Tapi sayang, sama seperti yang sudah-sudah, si pekerja di bawah hanya ber-oh ria, memasukkannya ke kantong, tanpa sama sekali tergerak untuk mendongak. Demikian seterusnya hingga si pekerja yang di atas menyadari tak ada koin lagi di sakunya.
Tapi kawan kita yang satu ini tentu saja tak habis akal. Dipungutnya kemudian sebuah kerikil yang memang banyak berserakan di lantai gedung. Ia genggam, dan ia mulai berancang-ancang untuk melempar. ‘Puk’, demikian akhirnya kerikil itu lagi-lagi menerpa bahu temannya yang di bawah. Dan tidak seperti yang sebelumnya, demi menyadari sebutir kerikil telah menerpa bahunya, untuk pertama kali dalam beberapa menit yang telah berlalu, ia mendongak ke atas. Mencoba mencari dengan matanya siapakah gerangan yang telah melemparkannya.
Saudaraku, jangan terlalu serius memasukakalkan sepotong cerita di atas. Terima saja, lalu jawab pertanyaan ini; Apakah kita si pekerja di bawah itu? Yang koin-koin kecil tak sanggup membuatnya untuk sekejap saja mendongak untuk menginsafi bahwa ada si baik hati yang telah bersedia melemparkan koinnya untuk kita. Apakah si pekerja di bawah itu? Yang butuh kerikil-kerikil untuk bisa menyadarkan bahwa ada seseorang di atas yang telah menegur dengan lemparnnya. Atau, bahkan mungkinkah kita melebihi si pekerja itu, yang butuh potongan besi besar, atau bebatuan pejal, yang baru menyadarkan kita untuk mendongak barang sejenak.
Saudaraku, sesungguhnya Allah tak henti-hentinya melemparkan koin-koin itu kepada kita. Setiap saat, setiap waktu. Ketika kita hendak berangkat kerja, Allah tiba-tiba memberhentikan rinai hujan. Ketika kita sedang lapar dan tak ada makanan siap makan di rumah, Alllah kemudian mengirim tetangga baik hati yang mengirim makanan kepada kita. Ketika dompet kita terjatuh, Allah siapkan si jujur di samping yang kemudian mengingatkan kita tentang itu. Itu mungkin hanyalah koin-koin yang dilempar, hanyalah nikmat-nikmat ‘kecil’ yang Allah hadirkan. Tapi, Saudaraku, pertanyaan yang penting dari ini, adakah itu telah mampu membuat kita untuk mendongak barang sebentar saja, bahwa ada dzat yang telah begitu berbaik hati mencukupi kehidupan kita?
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya......” (QS. An-Nahl: 18).
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)…” (QS. An-Nahl: 53)
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)…” (QS. An-Nahl: 53)
Saudaraku, apakah kita si pekerja di bawah itu, yang membutuhkan kerikil-kerikil untuk menyadarkan diri? Apakah kita membutuhkan ujian-ujian kecil, kesusahan-kesusahan ringan, atau kemalangan-kemalangan untuk menyadarkan kita untuk mendongak dan mengingat, bahwa ada Allah yang Maha Berkehendak. Ataukah bahkan membutuhkan lebih? Apakah kita butuh orang-orang terdekat kita dimatikan, atau rumah-rumah megah kita hangus terbakar, atau kota kita rata disapu tsunami, atau yang lain. Apakah kita membutuhkan itu semua untuk sekedar mendongak dan mengingat Allah?
Saudaraku, kita semestinya tak membutuhkan ada koin-koin yang jatuh, atau kerikil-kerikil yang dilempar untuk bisa setiap saat mengingat Allah. Karena dengan mengingat ini saja, sudah jelas tertegaskan bahwa hati menjadi tenteram. Dan itulah kebahagiaan. Dan itulah apa yang dicari manusia. Dan itulah kebutuhan.
Tapi memang adakalanya kita lalai. Kita terlupa secara akut. Maka untuk itu, Saudaraku, kita mesti sering-sering berdoa, semoga koin-koin kecil saja sanggup membuat kita bersyukur, semoga kerikil-kerikil kecil membuat kita bersabar. Kedua-duanya, insyaAllah, sama-sama bentuk dari ketersadaran.
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2999 dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu).
#terimakasih kepada seorang ustadz yang telah memberikan tausiyah ini sepekan yang lalu. Semoga jika ada kebaikan dari ini semua, amal kebaikan juga mengalir padanya#
Percayalah, kekhawatiran itu lebih banyak yang berlebihana
Semua ada masanya, semua ada penyelesaiannya. Dan percayalah, 95 % dari kekhawatiran itu sama sekali tak berdasar.
Ingatkah, kau? Kelas dua SD dulu, ketika masa-masa lucu nan menggemaskan itu, betapa kakak-kakak tingkat kelas tiga kerap kali menghembuskan tentang sebuah momok pada pelajaran berhitung kelas tiga. Adalah porogapit namanya. Konon, begitu yang dikatakan oleh kakak-kakak tingkat kala itu, materi itu begitu sulitnya hingga siapapun bakalan dibuat pusing olehnya. Kau, kala itu, lazimnya yang lain, juga dibuat sedikit gentar olehnya, meskipun ada rasa penasaran tentang seberapa sulitkah itu sebenarnya.
Di kelas dua SMA, kau tentunya masih ingat dengan jelas, peristiwa yang sama kembali berulang. Sejarah selalu berulang, begitu kata orang-orang, dan aku tahu kau mulai sedikit mempercayainya. Persis dengan peristiwa tahunan sebelumnya itu, lagi-lagi anak-anak kelas tiga meniupkan aroma yang sama; ‘hai kawan, diferensial ini tak ada apa-apanya. Kelak di kelas tiga kau akan menemukan tantangan yang sebenarnya. Integral namanya.’
Begitu juga masa kuliah, begitu juga masa-masa mencari kerja, begitu juga yang setahun yang lalu, begitu juga yang barusan. Bukankah kau dulu beberapa kali memikirkan tentang bagaimanakah cara mengerjakan skripsi ketika baru saja menginjak kuliah? Memikirkan yang tidak-tidak, sedikit ‘takut’. Juga tentang bagaimanakah kerja itu, tentang apakah kau masih sempat menonton sepakbola di sore hari.
Tetapi, kemudian kau tahu sendiri akhir dari itu semua. Mengerjakan porogapit di kelas tiga, sama mudahnya dengan menyelesaikan perkalian di kelas dua. Membabat habis soal-soal integral di kelas tiga, ternyata sama cepatnya dengan menuntaskan kasus-kasus diferensial di kelas dua. Begitu juga yang lainnya. Iya, benar, memang ada tekanan yang lebih, ada beban yang meningkat, tapi nyatanya itu hanyalah sebuah konsekuensi dari pertumbuhan. Tak ada masalah.
Maka kini, ketika ketakutan-ketakutan tentang sesuatu di depan itu tiba-tiba menghadang, kau tahu betul apa maknanya. Semisteri masa depan itu, semisteri itu pula ketakutan-ketakutan itu. Setakmenentu tentang hal-hal di depan, setak menentu itu pula kekhawatiran-kekhwatiran itu mestinya berlaku. Dan karena tabiat manusia yang memang kerap kali berlebihan untuk banyak hal, maka percayalah, 95 % dari ketakutan dan kekhwatiran itu sama sekali tak berdasar. Maka maju membawa serta semua yang kau punya, melakukan serta semua yang kau bisa, adalah jawaban terbaik untuk menghadapinya.
Begitupun sebaliknya. Hal yang sama ternyata berlaku tentang bayangan-bayangan keindahan di depan. Berlebihan, itu pula kata yang nyatanya masih berlaku. Tapi tentu saja, itu bukanlah larangan untuk sebuah harapan. Hanya, bersederhana saja untuk semua itu. Sebab memang harapan adalah pemantik untuk sebuah optimisme.
Itu saja. Kau jauh lebih tahu tentang ini itu. Berdoa sajalah! Sebab doa adalah senjata orang-orang beriman.
Selamat menghitung hari-hari!
Sunday, February 5, 2012
Friday, February 3, 2012
A
Begitulah perpisahan! Semeriah apapun kau mengemasnya, sekocak apapun kau membuat acaranya, akan selalu kau dapati jenak-jenak saat kau berdiam diri dengan hatimu dan bergumam, 'ah, inikah saat itu'.
Subscribe to:
Posts (Atom)