Sunday, December 20, 2009

Pak Presiden!

Pak Presiden, kami tidak tahu apakah ini sebuah bentuk ketakberdayaan, semacam pengaduan anak kecil pada ibunya yang hatinya luka setelah diolok-olok teman sepermainan. Kami tak tahu. Kami hanya ingin menuliskannnya. Tak jadi soal apakah Anda yang terhormat berkesempatan untuk membacanya.

Pak Presiden, kami tumbuh seperti halnya kebanyakan anak-anak negeri ini tumbuh. Kami dilahirkan seperti halnya kebanyakan anak-anak masa itu dilahirkan. Kami dilahirkan di sebuah desa yang asri, banyak pepohonan menghijau memenuhi tiap jengkalnya, dan juga udaranya yang bersih meski itu bukan di lereng pegunungan. Kami juga dilahirkan di atas kasur, atau bahkan di atas balai-balai bambu yang generetakan kala diduduki. Entah, kami juga tak pernah bertanya tentang fakta sejarah ini pada orang tua kami. Tapi bukan di rumah sakit yang putih tentunya, Pak Presiden. Hanya dukun beranak yang menunggui persalinan itu, dan juga sebaris do’a dari orang-orang yang akan mencintai kami nantinya. Ibu kami, Pak Presiden, ibu kami meregang nyawa kala itu sebab tak ada alat-alat canggih di sampingnya yang siap difungsikan seandainya hal-hal buruk itu terjadi. Tapi ibu kami selalu yakin, mesti itu tak terucap, bahwa itu bukanlah sebuah perjudian. Sebab pilihannya adalah dua hal ini; mati sebagai syuhada atau hidup mulia membesarkan cinta. Dan dua-duanya agung.

Pak Presiden, kami melewati masa-masa balita dengan merangkak-rangkak di tanah. Mungkin sedikit ingusan, tapi tenanglah, itu tak pernah sampai meleleh menyentuh bibir atas kami. Tenang saja, sebab ibu-ibu kami akan selalu siap menghisap lalu meludahkanya kala kami belum mampu membuangnya sendiri. Itu fakta yang baru kami ketahui kala kami sudah besar. Sebuah tindakan yang terlihat menjijikkan, tapi tidak bagi seorang ibu. Lalu yang terjadi selanjutnya, kami bertumbuh di pematang sawah (-kami berlari-larian di sana-), di riak-riak sungai (-kami berenang-renang di sana dan amat gembira kala turun hujan saat aliran membesar dan beningnya tergantikan coklat-), juga di terangnya purnama (-itulah malam-malam indah sebab kita bisa berlarian di halaman. Tak ada listrik kala itu, Pak Presiden-).

Lalu kami mulai bersekolah, Pak Presiden. Mencintai guru-guru kami, meski terlihat kami sedikit bandel di kelas. Mereka orang-orang mulia, Pak Presiden. Tak salah jika kemudian beberapa di antara kami mulai bercita-cita menjadi seperti mereka. Ah, bukan karena mereka mulia saja yang menyebabkan kami memilih cita-cita itu waktu itu, tapi karena tak ada cita-cita lain yang terlihat nyata untuk kami rengkuh. Hanya ada petani di desa kami, Pak Presiden. Itu sudah menjadi profesi orang-orang tua kami. Dan sepanjang ingatan kami, tak ada teman sekelas yang waktu itu mengangkat tangan untuk ‘petani’ kala guru kami bertanya apa cita-cita kami. Tentunya Anda bertanya-tanya Pak Presiden, harusnya kami sudah mengenal astronot, direktur, pilot pesawat, manajer sebuah perusahaan, penulis, wartawan, atau profesi-profesi lain dari buku-buku yang kami baca. Benar Pak Presiden, harusnya kami sudah mengenal itu dari apa yang kami baca. Tapi sayang sekali, Pak, tak ada perpustakaan di sekolah kecil kami. Kami bukanlah sekelompok anak pedalaman beruntung yang ada mas-mas atau mbak-mbak mulia yang mencurahkan hidupnya dengan membangun perpustakaan di pelosok. Presiden sebelum Bapak, yang memerintah di masa-masa kecil kami, mungkin saja secara rutin telah mengirimi buku-buku bacaan ke sekolah-sekolah kami. Mungkin, hanya saja tak tersampaikan ke kami. Mungkin melapuk tertumpuk di lemari-lemari pengap dan terkunci. Mungkin juga masih tersegel dalam kardus-kardus yang sama sejak pertama kali paket itu datang, untuk selanjutnya teronggok di gudang sekolah yang gelap tak tertembus terangnya matahari. Mungkin, tapi kami tak pernah menyalahkan guru-guru kami.

Ya, Pak Presiden, kami tak pernah menyalahkan guru-guru kami. Tak pernah terpikirkan hal itu. Bagi kami, tanpa adanya perpustakaan di sekolah kami, guru-guru kami tetaplah mulia. Kami akan selalu menaruh hormat pada mereka, mengingat setiap petuahnya. Sebab ketika kami sekarang sudah lancar membaca, juga pandai menulis, merekalah yang pertama mengawalinya. Mereka jugalah yang tak jemu-jemunya mengajarakan hal-hal baik. Mengingatkan kami untuk rajin belajar, menghormati orang tua, suka menolong, berkata jujur, serta hal baik lainnya.

Lalu, Pak Presiden, beberapa di antara kami yang beruntung akan terus bersekolah. Tapi sisanya tidak, dan dengan besar hati harus merelakan cita-cita agungnya usai dengan cara yang terlampau prematur. Untuk berganti sebuah realita; terjun ke dunia kerja bagi yang putera, dan dinikahkan bagi yang puteri. Maka kemudian cita-cita itu mengumpul, dan dipanggul oleh beberapa di antara kami yang terus sekolah.

Akhirnya, tinggal segelintir saja dari beberapa itu yang tersisa. Ya, hanya segelintir saja yang tetap istiqomah memanggul cita-citanya. Terus bersekolah hingga menyelesaikan kuliah kependidikannya. Waktu wisuda itu terlaksana, Pak Presiden, betapa buncah hati kami membayangkan cita-cita itu segera mewujud. Seakan semuanya sudah tergapai. Dan lihatlah, Pak Presiden, mata ibu kami berkaca-kaca persis seperti halnya dulu ia pertama kali melihat kami muncul dari rahimnya. Barangkali apa yang dirasakan sudah melebihi apa yang kami rasakan.

Tapi, Pak Presiden, kami kemudian sadar, itu bukan akhir. Tapi lebih kepada sebuah awal. Betapa susahnya hanya untuk menjadi guru honorer. Setiap sekolah kami masuki, tapi ketidakadaan lowongan gurulah kabar yang kami terima. Lama, hingga kemudian kami menemukan sebuah sekolah. Terpelosok, tradisional, tak ada angkutan umum yang menjangkaunya, begitulah sedikit gambaran tentang sekolah itu. Tapi apa mau dikata, tak ada hal lain yang bisa kami lakukan selain menerimanya. Kami harus menjalaninya demi sebuah mimpi. Hingga kemudian kesadaran lain muncul, ternyata kami tak hanya butuh sematan kata mulia, tapi kamu juga butuh penghargaan dalam wujud lain yang lebih nayata. Ternyata, Pak Presiden, gaji guru honorer itu hanya cukup untuk ongkos transport menjangkau sekolah itu. Mungkin kami tak semulia guru-guru kami dulu, mungkin juga tak semulia Bu Muslimah guru Ikal. Tapi, Pak Presiden, bukankah ikhlas tidak melulu tak dibayar? Sebab untuk menghidupkan cita-cita kami, kami juga butuh hidup.

Ah, betapa bahagianya kami kala itu, Pak Presiden. Pengumuman itu akhirnya muncul juga; PENERIMAAN PEGAWAI NEGERI SIPIL. Dan yang lebih membahagiakan, ada 40 guru yang dibutuhkan. Kami yakin diterima, Pak Presiden. Entah darimana keyakinan itu muncul, tapi kami yakin begitu saja. Keyakinan yang kemudian tinggal keyakinan sebab ternyata kami gagal lolos. Kami masih harus menjadi guru honorer, minimal setahun lagi sampai tahun depan penerimaan ityu kembali dibuka. Tapi kami tak patah arang, kami tak pernah memadamkan cita-cita itu. Mungkin belum waktu kami. Tahun berikutnya, kami ikut lagi. Meski kemudian gagal lagi. Orang-orang sudah berprasangaka kalau kami akan jatuh, saat justru kami sedang berprasangka baik pada Pemilik Kehidupan bahwa memang tahun ini masih bukan tahun kami. Kami masih menunggu tahun depan. Tahun depan yang justru meremukkan hati kami. Sudah menjelang ujian kala seseorang datang menemui kami. Memperkenalkan diri, meyakinkan banyak hal, memeberi janji. Namun hanya satu simpulannya: bahwa ia bisa menjadikan kami guru negeri. Namun juga hanya ada satu syaratnya: kami mampu menyediakan tujuh puluh lima juta rupiah dalam lima hari. Ah, Pak Presiden, betapa kami hancur seketika. Berkeping-keping dan tak berbentuk. Sungguhkah, untuk menjadi seorang yang mulia terlebih dulu melalui sebuah rangkaian kebiadaban berencana? Kami jelas-jelas menolak. Bukan hanya karena tak mungkin mampu menyediakan uang sejumlah itu, tapi lebih kepada tuntutan hati bahwa ketidakbaikan di awal tak akan menghasilkan apa-apa selain ketakbaikan itu sendiri. Esoknya, kami masih menatap hari dengan optimisme, jauh-jauh mengenyahkan perkara tujuh puluh lima juta itu. Berat memang, tapi kami kemudian masih mampu membangun prasangka baik kalau orang yang ‘menawari’ kami itu tak lebih dari oknum-oknum tak bertanggung jawab yang memanfaatkan kesempatan. Dan tahukah Anda, Pak Presiden, prasangka baik kali ketiga ini ternyata lagi-lagi mengahasilkan hal yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya; kegagalan.

Kami masih terus berprasangka baik hingga akhirnya prasangka baik itu benar-benar mendapatkan ujian terberatnya. Dan kami ternyata kalah, Pak Presiden. Prasangka baik kami ternyata berbatas. Berduyun-duyun berita itu menyerbu, bertubi-tubu fakta itu terkuak; si A menjadi guru dengan membayar 100 juta, si B menjadi guru dengan 75 juta, si C lebih besar lagi dengan 110 juta, serta si D yang gagal jadi guru karena hanya mampu menyediakan 10 juta. Sayang sekali, Pak Presiden, tak ada cerita indah tentang gadis desa yang gigih bersekolah dan berhasil menjadi guru hanya karena otak dan hatinya. Tak ada. Seandainya ada, ah, kami mungkin masih punya persediaan prasangka baik untuk sebuah negeri yang lebih sering layak untuk diburuksangkai  ini. Mungkin, meski kami tak bisa sepenuhnya berjanji.

 

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Pak Presiden, jangan terlalu berkerut membaca tulisan saya di atas. Tulisan di atas hanyalah sebuah keluh kesah dari seseorang yang baru saja mendengar sebuah cerita tentang perlu uang sekian juta untuk menjadi ini, sekian juta untuk menjadi itu, sekian puluh juta untuk menjadi guru, sekian puluh juta untuk menjadi pegawai ini.

Sedih, Pak Presiden. Sedih! Bukan karena hanya masalah hilangnya hak-hak orang yang lain yang lebih mengutamakan nuraninya dalam berbuat,  juga bukan hanya masalah terberangusnya cita-cita sebagian besar anak negeri ini yang tak pernah punya uang sejumlah itu, tapi lebih karena menyadari bahwa di tangan guru-guru penyogok itulah masa depan anak-anak kami ikut terletak. Ah, bagaimana jadinya jika yang selalu mewanti-wanti anak kami untuk selalu jujur, untuk selalu tolong menolong sesama teman, untuk selalu menghormati hak orang lain, adalah orang yang terlebih dulu menculasi ratusan atau ribuan orang yang lain dengan uangnya. Apa jadinya, Pak Presiden? Apa jadinya kalau yang mendidik calon-calon penerus bangsa ini adalah orang-oreang culas macam itu, orang-orang yang mempercayai bahwa uang adalah solusi segalanya.

Hanya itu yang bisa saya lakukan, Pak Presiden. Menuliskannya. Berharap Anda membacanya. Meski kelihatannya mustahil.

Maafkan saya yang hanya mampu menambah panjang permasalahan anda.

(oh, ya..Jika Anda ingin tahu dari mana saya berasal, saya dari Pasuruan)