Tuesday, September 27, 2011

alternatif transportasi jogja-cilacap apa saja ya? adakah mp-ers yang tinggal di sana?

adakah namaku dalam doamu?

“ah, ini berkat doa antum semua”

Ada sebuah kalimat yang dulu beberapa kali menyentil saya ketika kami sedang bersama-sama. Saat itu, seperti biasa saja sebenarnya, kami memperbincangkan ini itu. Tentang kuliah, tentang aktivitas, serta tentang-tentang yang lain yang tak terlalu spesial hingga tak sampai teringat. Sampai, di suatu titik, perbincangan itu menyentuh kepada sebuah topik tentang capaian-capain gemilangnya. Tentang keberhasilannya yang terasa wah, bagi kami teman-temannya. Biasa saja sebenarnya singgungan ini, hingga tanggapan bersahajanya menyuara; “ah, ini berkat doa antum semua”

Tak ada yang salah sebenarnya dengan jawaban itu. Sebab, keberhasilan kita, amat  mungkin sekali bukan karena usaha kita semata, atau doa-doa kita saja, tapi juga oleh sebab doa-doa orang sekitar yang tak terindera kita. Jika kemudian itu terasa menyentil di hati saya, permasalahan memang mungkin hanya ada pada saya semata. Keadaan memang jauh lebih menyentil ketika kau dihusnudzoni seseorang, padahal kau sama sekali tak pernah, atau amat jarang melakukan kebaikan yang dihusnudzonkan itu. Hmm..

Doa. Ini boleh jadi hal yang teramat sepele. Tapi, yang sepele ini lah yang barangkali seringkali terlalaikan. Bukankah teramat sering kita mendapatkan kalimat ini; “doakan, ya!”, atau, “Kawan, besok saya ujian, minta doanya, ya, semoga sukses”. Lalu kita pun menyanggupinya dengan kalimat pengiya, “insyaAllah”. Beres, berlalu. Tapi kemudian, pertanyaannya, dari sekian kali permintaan itu, berapakah kiranya yang berujung realisasi dimana kita menengadahkan tangan di ba’da sholat kita, menyebut namanya, sambil membayangkan wajah teman kita itu? Rasa-rasanya tak banyak.

Ah, maafkan saya. Sepertinya saya terlalu mengeneralisirkan persoalan dengan memakai kata ‘kita’ dalam pertanyaan itu. Harusnya itu ‘aku’, semestinya itu ‘saya’. Bukankah di awal sudah saya sebut jika permasalahan mungkin saja hanya pada saya. Maka jawaban ‘rasa-rasanya tak banyak’ itu memang jawaban saya. Saya kerap kali menyanggupi permintaan untuk mendoakan seorang kawan, tapi sekerap itu pula terlupakan begitu saja. Tak teringat lagi di ba’da sholat-sholat saya. Hanya ada ‘ny’,’qy’, ‘my’, dan huruf-huruf ya’ lainnya ; saya, saya, dan saya.

Ini mungkin tentang mencintai saudara seperjuangan seperti halnya mencintai diri sendiri, atau bahkan lebih. Maka, kalau begitu, ini juga tentang kehendak untuk melihat saudara-saudara seperjuangannya itu memperoleh kebaikan-kebaikan hidup, sebesar atau bahkan loebih besar dari yang diri ini dapat. Dan pada akhirnya, harusnya, jika rumusan itu yang berlaku, ini juga tentang doa untuk saudara seperjuangan yang sekerap lantunan doa untuk diri sendiri, atu bahkan lebih.

Ini kemudian boleh jadi akan terasa menyesakkan. Bagi saya yang kerap kali lalai mendoakan teman-teman perjuangan, bahkan yang dengan kesadaran telah mereka minta, harusnya ini membawa kepada perenungan dalam sebab ini bukanlah masalah yang enteng ternyata. Saat kau tak merasa perlu untuk mendoakan saudara-saudaramu, itu boleh jadi indikasi bahwa kau juga tak merasa punya kepentingan untuk menyaksikan kebaikan berhimpun di diri saudaramu itu. Maka selanjutnya, jika kau tak merasa perlu untuk mendapati saudaramu dalam kebaikan, tanda tanya besar mesti disematkan di dahimu apakah kau benar-benar mencintai saudaramu itu. Lalu, jawaban untuk itu mestinya kita eja perlahan, sembari merenungi  sabda nabi ini; ‘Seseorang diantara kalian tidak dikatakan beriman sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri”.

Saya terlalu berlebihan untuk ini mungkin, tapi percayalah, ada korelasi antara dua hal ini. Keadaan ketika kau duduk takjim menengadahkan tangan sembari menyebut nama teman-teman kita dalam sebuah doa panjang, itu berbeda dengan keadaan ketika kau hanya ‘mampu’ mendoai diri sendiri. Kita pasti tahu sendiri akan hal ini. Hati kita pasti merasakan.

Maka sekarang, renungilah diri kita. Betapa sering kita berada dalam sebuah keadaan terjepit, lemah, dan tak berdaya, dimana sepotong doa dari karib adalah peneguh yang meyakinkan kita bahwa kita akan mampu melampaui ini semua. Juga, bayangkanlah, saat kita tak merasa ‘cukup’ hanya dengan doa kita sendiri, lalu kita meraih ponsel, mengetik dengan tulus sebuah pesan permintaan doa, lalu mengirimkannya ke teman-teman terbaik kita. Rasakanlah, bahwa doa teman-teman kita itu ternyata begitu penting, hingga kesadaran yang samalah yang mesti terpatri saat seorang teman meminta doa kita. Bahkan, dengan tingkatan yang lebih, kesadaran bahwa doa kita di setiap saat juga penting bagi teman-teman kita, adalah simpul yang meneguhkan untuk kita tetap dalam lingkar kebaikan.

Demikianlah, sebab sesama kebaikan itu laksana kawan karib, maka mengusahakan istiqomah untuk sebuah kebaikan, sekecil apapun itu, adalah pemantik untuk menarik kebaikan lain melingkupi diri. Termasuk masalah berdoa ini. Termasuk masalah menyertakan nama orang-orang terdekat kita dalam munajat ba’da sholat-sholat kita ini. Maka, membayangkan ini terejawantah menyeluruh, seperti membayangkan sebuah jejaring imajiner yang kokoh, yang kait-mengait melintas jarak, menembus belantara, meyebrangi lautan. Sebuah jejaring yang menguhkan, atas kesadaran penjagaan, dalam nuansa iman. Sebuah jejaring yang kita namai dengan tiga huruf sederhana yang kerap terlupakan; doa.

wallahu a'lam






Saat lama tak menulis. Saat merasa menulis adalah sebuah kebaikan, maka mengusahakannya untuk tetap terjalani, adalah sebuah usaha juga untuk menarik kebaikan lain. insyaAllah

Monday, September 19, 2011

Friday, September 9, 2011

Saturday, September 3, 2011

Friday, September 2, 2011

selamat lebaran, hanna

Dear Hanna

Maafkan lah aku bila lebaran ini tak kau temukan namaku dari daftra sms yang masuk di ponselmu. Bukan berarti aku yang telah menjadi begitu angkuh, hingga untuk mengucapkan selamat lebaran saja, yang komplit dengan doa dan ucapan maafnya, aku sudah tak mau. Bukan begitu, Hanna. Hanya saja, entahlah, lebaran kali ini, tiba-tiba saja aku malas untuk membuatnya.

Kau pasti tahu ini, dulu, lebaran-lebaran yang lalu, aku selalu mempersiapkan dengan matang sms lebaran ini. Mengarangnya jauh-jauh hari agar terasa spesial dan tak basi. Sebab, seperti yang sering kubilang padamu, aku ingin orang-orang yang kukirimi tahu, bahwa mereka adalah spesial hingga tak layaklah jika sms forwardan yang aku kirim. Juga serius , Hanna. Persoalan ucapan selamat ini serius. Persoalan doa ini serius. Persoalan minta maaf ini juga teramat serius. Kau tahu, kan? Noda-noda yang kita lekatkan pada hati saudara-saudara kita itu, tak serta-merta terhapus hanya dengan meminta ampun pada Rabb-Mu, Rabb-ku.

Tapi lebaran ini, Hanna. Aku tak membuatnya, yang otomatis juga tak mengirimkannya. Bukan karena aku sibuk, Hanna. Apalah arti kesibukan ini bila dibandingkan dengan segala aktivitas hebatmu itu. Aku masih makan tepat waktu, masih sempat untuk membaca dan kadang nonton tv. Juga, tidur pun aku banyak tepatnya ketimbang terlambatnya. Aku hanya tak membuatnya, hanya tak mengirimkannya. Sesederhana itu memang.

Entahlah, Hanna. Aku tak ingin membuatnya saja. Bahkan ketika lebaran semakin mendekat dan tak ada tanda-tanda aku telah mempunyai kalimat spesial itu, aku biasa saja. Aku memang tak ada keinginan menggebu untuk membuatnya, hingga aku tak perlu merasa repot menyuling kata dalam imaji, atau mengutip kalimat dari buku, atau mencoba mentadaburi alam berharap ada kata-kata yang tersangkut dalamnya. Aku biasa saja. Hingga ketika H-1 versiku, yang mungkin saja hari H versimu, ketika seorang teman mengirimiku sms dengan isi menagih sms lebaran dariku agar dapat ia forwardkan, aku menjawabnya dengan dingin. “aku tak mbuat”, begitu jawabku.

Kau tak perlu tersenyum geli tentang ini, Hanna. SMS lebaran ini memang ternyata penting. Maka, karena pentingnya itu, kalimat spesial lah yang mesti terkirim. Tapi anehnya, Hanna, mereka justru main forward terhadap sms yang mereka anggap bagus. Beberapa kali aku mendapatinya, yang parahnya, ada yang bahkan lupa untuk mengedit nama. Menggelikan memang. Bukankah ucapan selamat ini, doa dan permintaan maaf ini, adalah sesuatu yang spesial kata mereka. Maka dari dalam diri lah itu harusnya tercipta. Sesederhana apapun itu.

Tapi lupakan tentang itu! Tiap orang punya pandangan sendiri tentang ini. Aku tak berhak menilainya. Marilah kembali kita bicarakan hal di awal tadi. Jadi, masihkah kau menyimpan sms lebaranku dari tahun-tahun yang lalu? Atau justru kau telah menjadi seperti orang-orang yang kita bicarakan tadi, yang meneruskan sms itu ke teman-temanmu yang lain? Ha ha, kalau benar begitu, aku mesti tertawa untuk itu.

“minal aidin walfaizin. Mohon maaf lahir dan batin”

Aku mendapatkan sms itu di hari kedua lebaran, Hanna. Ringkas, padat. Aku tersenyum karenanya. Aku tahu betul si pengirimnya, amat mengenalnya. Dan sms itu, sungguh-sungguh dia betul. SMS-nya seringkas orangnya. Maka sms seperti ini lah, Hanna, SMS yang seharusnya. SMS yang menggambarkan siapa kau. Apa adanya kau. Bukan orang lain. SMS seperti itu lah, yang kemudian menciptakan jenak bagi si penerima, untuk mencermatinya sekilas. Bukan langsung men-delete-nya.

Selamat lebaran, Hanna! Bila aku tak menyampaikannya lewat sms, baiklah, aku sampaikan saja lewat ini. Selamat lebaran! Semoga Allah menerima ibadah kita, puasa kita, sholat kita, tilawah kita. Semoga Allah memasukkan kita sebagai golongan hamba-hambanya yang bertakwa, yang tak hanya generasi ramadhani, tapi juga generasi rabbani. Yang nuansa ramadhan senantiasa menginspirasi sebelas bulan berikutnya.

Juga maafkan aku, Hanna. Atas kesalahanku yang kau sadari maupun tak. Ini rumit, Hanna. Aku yakin, kau akan dengan mudah memaafkanku atas kata-kataku yang kadang tak terkontrol, atas kesalahan-kesalahan yang nampak itu. Tak kupintakan maaf pun, dengan kebesaran hatimu itu, aku yakin kau telah memaafkannya, lalu melupakannya. Tapi atas kesalahan yang mungkin tak kau sadari, aku merasa perlu menegaskannya; maafkanlah aku. Sepertinya banyak sekali prasangka baikmu yang sama sekali tak kutunaikan. Banyak pula harapan-harapan indahmu tentangku yang tak jua aku wujudkan. Aku bahkan menjauh darinya. Tak juga berbenah. Tak segera bangkit.

Namun begitu, jangan lelah untuk berprasangka baik, Hanna. Aku hanya perlu lebih tekun, lalu berdoa seperti sahabat Abu bakar berdoa, “ya Allah, jadikanlah aku lebih baik dari semua yang mereka sangkakan, dan ampuni aku atas aib-aib yang tak mereka tahu”


Seperti itu, Hanna. Selamat lebaran. Selamat liburan juga. Nikmatilah liburan yang tersisa bersama keluarga. Bukankah senin ini kau sudah harus kembali masuk kerja. Ah, itu pun jika kau memang selama ini dari senin sampai jumat terikat kerja seperti yang lainnya.

Salam


***
Kecubung 17

'the blind side'. Ah, sepertinya ini film bgz

bookaholic; agustus 2011

Baiklah, memang tak ada satu pun buku yang terselesaikan untuk bulan ini. Tak ada satu pun. Saya tak akan berbelit-belit dengan mengalamatkan ketiadaan ini karena ramadhan, atau karena saya  harus lebih mementingkan tilawah. Toh, tak ada gunanya. Yang perlu saya perhatikan untuk ke depannya adalah, bagaimana tilawahnya seperti pas ramadhan, membacanya seperti sebelum ramadhan. Atau bahkan lebih.

Tapi agar postingan ini tak sepi-sepi amat, ini dia daftar buku yang sempat saya baca-baca sekilas .
  • Think Dinar – Endy J Kurniawan. Sebenarnya buku ini sudah dibaca sejak sebelum Ramadhan. Dibeli pas ke Jakarta akibat heboh investasi emas. Mulanya, ingin saya tuntaskan pas ramadhan, tapi nggak jadi saya lanjutkan, sebab pas membaca ini, kok jadi terasa ngurus uang melulu (ini subyektivitas saya saja). Tak pas banget lah dengan nuansa Ramadhan.
  • Islam Liberal 101 – Akmal Sjafril. Nah, ini adalah buku yang saya harapkan sebagai pengganti buku pertama itu. Sudah saya baca beberapa bagiannya. Mungkin sudah dapat seperempat dari total halaman buku. Tapi lagi-lagi tak mampu diselesaikan. Bahkan tak banyak kemajuan dari segi jumlah halaman yang terbaca. Sedikit payah memang.
  • Komitmen Dai Sejati – Muhammad Abduh. Aduh, gimana, ya. Maksud hati ingin membaca buku yang sesuai dengan nuansa Ramadhan ini. Mumpung kondisi sedang bagus. Tapi apa daya, hanya mampu dibuka-buka halamannya.
  • 2 – Donny Dhirgantara. Mungkin anda menduga kalau dengan buku fiksi, minat baca saya bakalan naik. Sebab, saya juga berpikiran begitu. Hingga saya ambil lah buku ini dari lemari. Tapi ternyata oh ternyata, nasibnya nggak ada bedanya dengan yang sebelumnya
  • Yang Galau Yang Meracau – Fahd Djibran. Kalau ini mulai membacanya pas setelah lebaran, jadinya belum selesai.. He he

Oke-oke. Segitu saja. Sampai jumpa di Bookaholic edisi Sepetember. Semoga lebih baik hasilnya.

-surat imajiner-

Dear Hanna

Apakah kau punya kehendak, Hanna?

Ah, pertanyaan macam apa itu? Kau boleh saja menertawaiku dengan pertanyaan balik itu. Sebab bumi yang telah sesak ini, sejatinya memang bertambah sesak dengan kehendak dari tiap-tiap makhluk yang menghuninya. Tak terkontrol, tak terredam, kecuali oleh kehendak lain untuk menghentikan kehendak itu. Perbukitan itu, kau bisa lihat, kan? Mulanya sebuah padang tanaman yang melapangkan pandang, bertahun-tahun yang lalu.  Begitu nyaman melihatnya, begitu asri merasainya, hingga orang-orang dari negeri gurun itu terkesima lalu berteriak, “inilah surga! Inlah surga!”.

Tapi Hanna, seperti yang sudah kusebutkan, pemandangan itu hanya berjudul ‘mulanya’. Hanya sebuah masa lalu yang meninggalkan kenangan di benak orang-orang yang sempat merasainya. Kini, seperti yang telah kau ketahui, ada kehendak yang telah meluluhlantakkan bangunan alam itu. Ada kehendak dari manusia siluman yang membabat tetanamannya, atau kehendak dari orang-orang berduit yang memenuhi bebukit itu dengan vila-vila indah nan gemerlap.  Membuat semakin sempit ruang buat burung bernyanyi, membuat semakin terbatas untuk air hujan meresap. Sesak, sesesak dada orang-orang yang dipenuhi kehendak.

Sayangnya, Hanna, tak ada yang benar-benar serius berkehendak untuk menghentikan kehendak liar itu. Tak ada. Meski banjir kian merajalela, meski teriakan dari orang-orang kian menggema, tak ada yang berubah. Orang-orang itu, orang-orang yang kehendaknya adalah titah, masih biasa-biasa saja seolah semuanya baik-baik saja. Tak ada gurat khawatir, lebih-lebih aksi nyata. Semuanya serba mudah. Entahlah, aku juga tak cukup sakti untuk mengetahui apa yang benar-benar menjadi kehendaknya.

Kehendak, Hanna. Kehendak. Akhir-akhir ini aku banyak merenungkannya. Aku masih ingat, tak banyak kehendak yang memenuhi dadaku ketika aku masih seorang kanak-kanak. Kalau tidak sebuah es wawan, mungkin hanya mainan murahan yang tengah kukehendaki kala itu. Remeh-temeh saja. Begitu sederhananya. Hingga kalaupun tak kesampaian mendapatinya, ya sudah. Tak apa. Atau mungkin paling banter hanya akan menangis. Lalu lupa. Lalu bermain. Lalu tertawa lagi. Selesai. Sesederhana itu memang.

Tapi sekarang, Hanna, begitu luar biasanya kehendak itu menjejali mimpi malam-malam. Membuatku kadangkala berpikir, atas dasar apa kehendak itu begitu saja menghuni ruang batinku. Apakah hanya nafsu belaka, remeh temeh duniawi, keisengan, atau apa. Apakah kehendak itu telah benar, apakah kehendak itu sudah baik. Atau, ah, aku bahkan telah sungguh-sungguh jarang mempertanyakannya.

Hanna, pertanyaan ini mungkin menyulitkan, tapi aku mesti sering-sering menggumamkannya; apakah kehendak-Nya telah menjadi kehendakku? Memalukan sekali kala pertanyaan ini mengemuka. Malu pada diri sendiri, juga tentunya malu pada-Nya. Betapa diri ini, Hanna, betapa kehendak yang telah melekat dengan liat ini, seringkali hanyalah sekumpulan remeh-temeh dunia, hanyalah sejumput kesenangan sesaat. Tak lebih. Hanyalah kehendak yang berdasar tafsir pribadi yang individualistik dan dangkal.

Sungguh tak ada bedanya kalau begitu, Hanna. Tak ada bedanya aku dengan yang kusebutkan di mula. Barangkali kehendakku sama liarnya dengan kehendak mereka, boleh jadi kehendakku sama individualisnya dengan kehendak orang-orang itu. Hanya salurannya saja yang berbeda, hanya daya jangkaunya saja yang tak sama. Amat mungkin, Hanna, jika aku seberkuasa mereka, aku akan lebih parah dari mereka. Bahkan jauh lebih parah.

Hanna, belakangan ini ada kehendak-kehendak lagi menghuni benakku. Ada beberapa, menjadi sebuah paket yang aku harap mewujud satu. Aku boleh jadi  telah bersikap atas dasar kehendak itu. Yang aku harapkan benar, tepat, juga baik. Hingga aku mesti sering-sering berdoa karenanya, agar kehendak-kehendak itu juga benar. Agar kehendak-kehendak itu memang representasi dari kehendakNya.  Sebab hanya dengan itu lah, Hanna, langkah yang diambil juga menjadi benar.

Maka demikianlah. Doakan aku, Hanna. Sebab boleh jadi bukan karena doaku lah semua ini terkabul. Tapi justru oleh karena doa orang-orang sepertimulah, orang-orang yang ikhlas berdoa untuk saudaranya, semuanya menyata. Semuanya menjelma.


Bontang
2 Agustus 2011