Sunday, December 9, 2007

PUISI KENANGAN

    

Gerimis Empat Tahun Lalu

Dari halaman yang dulu :

Sepasang kursi lapuk yang tak pernah

kita duduki membaurkan perjalanan, harapan,

dan catatan hidup yang lowong. Sejak seperti kemarin saja

karena gerimis telah menghantarkan kilatan

dan jalan yang licin tak mampu membendung konvoi mobil

yang melaju. Mungkinkah

kata-kata terpencil dari maknanya

di rahimnya sendiri


Dalam gerimis berbeda

dan bau tanah yang menidurkan lolongan serigala

semuanya telah menyaksikan pergumulan

pena menyergap nasib, atau

setumpuk buku telah penuh dengan aksara. Tapi kita

belum berujung

dan seorang dalam gerimis dahulu akan

melangkah dengan seragam putih bersih

di koridor rumah sakit yang riuh


Saat itu

jangan beri aku obat yang lain

ba’da sholat subuh

19 juni 2006

Pelajaran Dari Sebuah Sepak Bola

    

Pelajaran Dari Sebuah Sepak Bola

 

Sehari yang lalu, seperti biasa, karena memang hari Sabtu, sehabis subuh saya dan teman-teman kontrakan olah raga bersama. Seperti biasa pula, kami olah raga futsall di lapangan basket kampus. Selain untuk melemaskan otot-otot yang kaku, olahraga hari Sabtu ini sering kali saya gunakan sebagai refreshing, semacam pelepas beban-beban pikiran yang terakumulasi selama semingguan bergelut dengan rutinitas kuliah. Ada tawa di sana, sering kali gojlokan, atau bahkan joke-joke segar yang terlontar begitu saja. Dalam waktu yang kurang lebih sejam itulah kira-kira saya sejenak melupakan segala persoalan.

Namun sabtu kemarin berbeda, diri ini tak mampu bermain bola dengan lepas seperti sabtu-sabtu biasanya. Jarang sekali terdengar tawa, apalagi celetukan-celetukan kecil. Bukan karena Sabtu kemarin kita sedang malas bermain, justru sebaliknya, kita semangat sekali. Masalahnya (sebenarnya bukan masalah sih) adalah hari itu kami mengadakan pertandingan persahabatan melawan anak kajian Teknik Elektro. Walaupun pertandingannya bertajuk persahabatan, sebagai sarana mempererat ukhuwah, tapi namanya pertandingan ya tetap saja pertandingan, berbeda dengan sekedar permainan yang biasanya rutin kita lakukan tiap sabtu. Sedikit banyak tetap saja ada gengsi yang diperebutkan, tetap saja ada keinginan untuk menjadi pemenang. Sekecil apapun itu. Maka itulah sebenarnya inti dari ketidakbiasaan hari itu. Ketika seseorang ingin menampilkan suatu performa terbaik ia sering kali justru terjebak dalam permainan yang buruk, tergesa-gesa, dan tidak tenang. Kasus seperti inilah yang dalam pertandingan sebenarnya disebut oleh para komentator dengan sebutan bermain tidak lepas.

Sepak bola, ataupun olah raga turunannya :futsal, adalah permainan kolektif, sebuah contoh paling pas untuk menggambarkan sebuah kerja sama itu harus dilakukan. Tidak boleh ada yang merasa lebih penting dari yang lain, semuanya punya tugas dan fungsi masing-masing. Tapi yang perlu dicamkan dalam dada masing-masing pemain, hanya satu tujuannya : memenangkan pertandingan. Dan untuk memenangkan sebuah pertandingan maka jalannya hanya satu pula :mencetak gol lebih banyak daripada lawan.

Namun sayangnya prinsip itu mungkin yang saya lupakan sabtu kemarin. Entah mengapa diri ini merasa lebih hebat dari pada yang lain, meremehkan kemampuan teman sendiri. Maka selanjutnya yang terjadi adalah ketidak percayaan. Ketika saya membawa bola maka akan perlu berpikir dua kali untuk mengumpan pada teman. “Ah jangan-jangan kalau saya umpan nanti direbut lawan” begitulah mungkin yang terbersit dalam pikiran saya. Jadilah saya sabtu kemarin lebih sering mengiring bola sebdiri atau  sibuk melakukan tendangan-tendangan jarak jauh, padahal stamina saya terbatas. Tak selamanya saya bisa berlari dengan kencang , sedangkan pertahanan lawan juga tidak dijaga seorang. Akhirnya bisa ditebak, saya kelelahan sendiri. Sedangkan maksud untuk membobol gawang lawan tak kesampaian.

Hasil akhir pertandingan sabtu kemarin adalah 8-3. Sudah bisa diterka mungkin, kamilah yang kalah. Bukan kekalahan inilah yang sebenarnya yang saya sesalkan, tapi perasaan “lebih hebat” yang sempat terlintas dalam pikiran inilah yang sebenarnya saya sesalkan. Benar memang, ketiga gol yang kami ciptakan kesemuanya adalah gol saya, tapi dari ketiganya tak ada satupun yang benar-benar produk dari sebuah kerja sama. Ketiganya lahir dari sebuah solo run atau tendangan jarak jauh. Sepintas terlihat hebat , padahal peluang yang saya milki jauh lebih banyak dari gol yang saya ciptakan itu.

Sepak bola adalah sesuatu yang unik, sebuah gabungan antara seni dan olah raga. Disinilah potret kehidupan sosial bisa dilihat. Disini pula wajah dari sebuah organisasi dapat ditonton. Ada saat dimana kita harus percaya dengan kemampuan sendiri, dan ada saat pula kita harus percaya dengan kemampuan teman kita. Saat itulah bola amanah itu mesti kita umpankan. Di suatu waktu, kita mesti melakukan tendangan-tendangan jarak jauh, namun di saat yang lain kita mesti melakukan umpan-umpan terobosan. Perlu kejelian dalam menghadapi situasi. Perlu strategi-strategi. Tidak boleh ada monotonsi.

Sepak bola adalah sebuah olah raga dimana individu-individu yang terlihat berbeda kemampuannya disatukan dalam sebuah kesebelasan untuk mencapai tujuan bersama. Tidak ada yang perannya lebih penting dari yang lain.Sebelas orang itu masing-masing punya fungsi yang penting, tak boleh tercampur aduk. Hanya di saat-saat gentinglah seorang penjaga gawang dianggap perlu untuk maju kedepan tatkala memperoleh tendangan penjuru.

 

Griya Nurul ‘Ilmi

Ahad, 9 dec 07

Thursday, November 22, 2007

kawan!

kawan!   
bukankah bersama, kita pernah berjelaga    
menerjang jalanan  
membungkam waktu   
memungkinkan ketidakmungkinan   

bukankah kita pernah panik bersama   
berderai  
jatuh  
rapuh   
tersentak   
juga menghentak   

bukankah telah kita cicipi empat rasa kehidupan   
pun telah kita gerayangi ketujuh warna pelangi itu
  
bukankah kita telah benar-benar nyata adanya
   
maka mengapa esok tak mungkin kita rengkuh   
untuk kita jengkali likunya  
dengan air mata  
atau darah   
punya-punya kita sendiri
Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket          

Wednesday, November 21, 2007

TPI I 2006






ini adalah acara dauroh untuk angkatan 2006. waktu itu aku jadi PH-nya Kajian

PUISI TPI I 2006

    Iseng-iseng beberapa waktu lalu saya membuka flle saya di salah satu komputer teman saya. Ternyata dulu saya sempat menyalin puisi karya teman-teman peserta dan panitia pas acara Training Pendalaman Islam I buat angkatan 2006. sebagai catatan saja kalau puisi ini dibuat secara kroyokan, artinya setiap orang menuliskan satu baris dan digilir mirip estafet dengan tiap orang diberi waktu tertentu. saya tahu ini merupakan salah satu kenangan yang akan membuat kita terus ingat dengan nuansa yang ada waktu acara itu. maka untuk itu saya mencoba menyalinnya dalam blog saya ini agar bisa mengabadi.



Peserta Akhowat

Saat kuterjaga
Dalam lamunanku
Kudengar alunan tawa
Tawa yang penuh derita
Bersama berjuang demi Allah tercinta
Berjuang bersama teman tercinta
Teman-teman sekeyakinan
Dalam semangat Allahu Akbar....
Ku berjihad di jalan-Nya
Rasakan kehangatan bersama Islam
Mengalir lembut meniup nafasku
Islam itu indah, rasakan dengan nafasmu
Islam merasuk dalam relung hatiku
Rasakanlah…..
Dengan hati yang bersih
Dan beningnya jiwa
Serta dalamnya rasa cinta ini
Cinta kita kepada  Islam temanku
Hatiku tergetar jiwaku tergerak
Semoga diriku berubah setelah dating kebenaran
Ya Allah, sampaikan sinar Islam-Mu di hatiku
Agar kudapat hidayah-Mu
Bersatu bersama sahabat-sahabat baruku
Aku tak tahu apa yang akan terjadi  tanpamu sahabatku
Walaupun kita kan terpisah
Tapi kau mengharapkan kedekatanmu ya Nur sejati
Harapan yang selalu kubingkai dalam hati
Seperti ukiran di atas batu yang tak akan hilang
Tapi dalam hatiku……..
Islam, kaulah cintaku


Memori TPI I
3-5 Nopember 2006
Al-Muttaqien, Kenjeran
Surabaya




Peserta Ikhwan

Di hari ini…
Hatiku mulai terbuka
Akan datangnya agama
Agama yang ilahi
Seiring waktu pahami indahnya islam
Seiring nyamuk yang menggigit di malam hari
Seiring mentari yang terus menyinari
Menerangi hatiku yang sunyi
Pikiranku menerawangi malam
Butiran mutiara ilmu yang kutuai
Butiran padi yang kumakan
Enak dan nikmat sekali
Segalanya berasa di kos-kosan
Harus terlaksana selalu
Segala amanah yang dibebankan
Seperti surga yang menanti….
Adalah cobaan berat bagiku
Ketika berjalan meniti hidup
Yang penuh dengan liku
Liku-liku hidup yang silih berganti
Hari berganti hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun
Panasnya kenjeran takkan pernah menyurutkan derap langkah kami
Kuingin trus berkiprah, dengan TPI yang makin asyik aja
Allahu Akbar


Memori TPI I
3-5 Nopember 2006
Al-Muttaqien, Kenjeran
Surabaya



Panitia Ikhwan

Terteduh daun kelor
Selebar arti, memberi arti
Benarkah kita ingin menjadi accelerator
Atau menjadi benalu dalam hidup ini
Tapi aku ingin menjadi pecinta dakwahMu
Berjuang hanya mengharap ridho dari-Mu
Dalam naungan nurMu yang tiada pernah pudar
Secerah mentari pantai kenjeran indah
Ya Allah!!!
Kami bukanlah yang terbaik di barisanMu
Tapi kami disini
Memberi arti garis hidup yang sejengkal
Peace…………….
Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket


Memori TPI I
3-5 Nopember 2006
Al-Muttaqien, Kenjeran
Surabaya

Sunday, November 11, 2007

Persekabpas : Ada Dan Tiadanya


Dulu, sewaktu SD, pas pertama kalinya saya begitu tergila-gila pada sepak bola,  saya sering berandai-andai kapan kota saya, Pasuruan,  memilki sebuah klub sepak bola yang bisa berlaga di kompetisi tertinggi sepak bola Indonesia. Saat itu saya adalah penggemar  Persebaya surabaya, klub sepak bola yang notabene bukan dari kota asal saya . Hal itu terjadi karena memang saya tak punya alternative lain untuk bisa membela klub mana lagi karena waktu itu Persekabpas, klub asal kota saya, kalau tak saslah masih berlaga di divisi dua, atau bahkan di bawahnya. Di sebuah negara yang kompetisi tertinggginya saja masih belum begitu semarak, maka kompetisi divisi dua hanya menempati status tak terdengar sama sekali.

Andai-andai itu pada akhirnya tersimpan rapi dalam memori saya tanpa saya ungkit-ungkit lagi. Waktu terus bergulir dan format kompetisi sepak bola tanah air mengalami pergonta-gantian yang  sering kali membingungkan insan sepak bola tanah air. Kadang pergantian format itu menyenangkan beberapa pihak tapi membuat marah yang lain. Kadang juga sebaliknya . Kadang mengagetkan tapi tak jarang membuat kita geleng- geleng kepala .

Sudah menjadi hukum alam bahwa akan selalu ada perubahan seiring perjalanan waktu. Saat itu saya duduk di bangku SMA , dan waktu itu persekabpas sudah berlaga di divisi satu setelah sebelumnya menjadi juara divisi dua. Saat itu lagi-lagi PSSI membuat format baru liga. Kontestan liga Indonesia  ditambah, tak ada tim yang tedegradasi, dan semua tim divisi I yang masuk delapan besar otomatis promosi ke divisi utama. Ini tentu saja kejutan bagi perekabpas. Kami semua warga pasuruan sebenarnya sudah legowo kalau tim kami tak akan bisa menembus divisi utama untuk tahun ini, saat itu persekabpas kira-kira berada di peringkat tuju-an. Aturan lama bahwa hanya top four saja yang berhak promosi ke divisi utama.

Keputusan PSSI itu benar-benar membuat saya dan warga pasuruan lain bersorak. Bagai mimpi. Dua tahun lalu kami masih belaga di kompetisi divisi dua, belum terdengar, dan mungkin tak banyak yang tahu kalau tim ini ada. Tapi tiba-tiba saja kami sudah berada di level tertinggi kompetisi sepak bola tanah air. Sebuah perubahn yang cukup drastis. Menanjak, dengan tanjakan yang cukup tajam.

Kami pun mulai menikmati euphoria promosinya persekabpas ini. Tiba-tiba saja Pasuruan menjadi semarak dengan identitias liga indonesia. Makin banyak spanduk-sapanduk terpasang yang menunjukkkan hal-hal berbau ligina. Perubahan terjadi juga pada masyarakat Pasuruan. Dulu banyak elemen supporter Pasuruan yang termasuk dalam komunitas Bonek, penggemar fanatic persebaya. Dulu mereka rela berangkat ke Surabaya untuk membela persebaya berlaga di Gelora Sepuluh Nopember. Tapi hal itu sekarang sudah hampir tak terjadi lagi. Kini kami masyarakat Pasuruan menemukan tempat untuk menuangkan antusiasme kami kepada sepak bola. Adalah Persekabpas jawaban kami.

Maka beberapa waktu sore saat persekabpas bertanding adalah hari yang cukup menyibukkan bagi beberapa elemen masyarakat. Pasuruan mulai hidup dengan nuansa sepak bola. Kini kota kami tak hanya dikenal sebagai basis pendukung fanatic Gus Dur kala dulu Gus Dur diturunkan dari kursi presiden, atau sebagai kota asal Inul Daratista. Tapi kini kami mulai dikenal sebagai kota home base Persekabpas, kota tempat Siswato, Kasan Soleh, atau bahkan Subangkit lahir.

Maka pasuruan pun sejajar dengan kota-kota sepak bola lain. Sejajar dengan Kediri, Surabaya , Makasar dan kota-kota lain. Kini bukan lagi sebuah mimpi untk melihat tim sepak bola kami berlaga di tayangkan stasiun TV.

Dan puncaknya ketika persekabpas meghenyakkan public tanah air ketika melaju ke babak delapan besar. Pasuruan terhenyak, sore-sore menjadi sore yang lengang bagi Pasuruan karena orang-orang lebih memilih berdiam diri di rumah di depan TV menonton siaran langsung Persekabpas. Ttak kadang tiba-tiba teriakan menghentak bersamaan dari rumah-rumah tatkala persekabpas menjebol gawang lawan. Perbincangan pun mulai diisi dengan perbincangn kesuksesan Persekabpas.

Tahun demi tahun berjalan dan  kami mulai terbiasa dengan atmosfeer sepak bola di Pasuruan.

Tapi kemudian saya termenung ketika pada suatu kesempatan saya membaca sebuah ulasan seorang tokoh masyarakat Pasuruan yang mengeluhkan efek kehadiran Persekabpas. Ia mengeluhkan semakin jarangnya siswa yang masuk Sekolah madrasah (beginilah kami biasanya menyebut untuk sekolah agama yang dilaksanakan di sore hari) tatkala Persekabpas bertanding, jamaah sholat ashar pun semakin jarang, atau bahakan orang-orang lebih memilih untuk mengakhiri pekerjaannya lebih awal .

Pendapat tokoh itu pun bertarung dengan andai andai saya waktu SD dulu. Ah memang saya merasakan saat Persekabpas masuk divisi utama banyak sekali terjadi perubahan. Tapi sayangnya perubahan itu tak banyak yang bagus. Selain yang disebutkan sang tokoh itu masih banyak hal-hal lain yang sering terjadi. Para Sopir yang harus lewat bangil (artinya harus lewat depan stadion Pogar, tempat Persekabpas bertanding) sering mengeluh banyaknya elemen supporter yang meminta uanag seenakanya. Jika tak diberi maka tak bisa dijamin ia dan mobilnya dapat melintas dengan selamat. Dan yang membuat miris, oknum supporter yang melakukan itu tak jarang adalah anak-anak kecil yang belum mengenal asam asin kehgidupan.

Duh saya kemudian berpikir panjang apakan memang adanya Persekabpas ini memang bermanfaaat atsu memang kami saja yang belum siap secara mental dan sikap untuk menyambut kehadirannya. Apakah setiap kehadiran sebuah tim sepak bola harus diikuiti kelahiran sebuah elemen supporter yang brutal? Apakah untuk mendukung sebuah tim sepak bola maka kita boleh meninggalkan sekolah, boleh meningglkan rutinitas kita jama,ah ashar di masjid. Apakah adanya persekabpas ini telah mampu meningatkan produktivitas masyarakatnya, atau justru sebaliknya. Serta  secara keseluruhan adanya persekabpas ini apakah sebagai sebuah anugerah atau musibah bagi masyarakat Pasuruan. Saya tak tahu berapa APBD yang harus dikeluarkan untuk membiayai eksistensi Persekabpas di ligina, tapi yang saya tahu jika itu digunakan untuk membangun sarana pendidikan di daerah tertinggal di Pasuruan maka nilai itu akan sangat berati, berapapun jumlahnya.

Pertanyaan itu hanya melayang-layang di pikiran saya tanpa saya bisa menjawabnya sendiri. Saya cinta persekabpas, tapi saya juga cinta kehidupan masyarakat Pasuruan sedia kala. Saya cinta saat melihat anak-anak kecil berduyun-duyun mendatangi madrasahnya, saya cinta saat melihat masjid penuh oleh jamaah ashar, saya cinta saat meliuhat jalur Pasuruan-Surabaya lancar. Saya cinta saat tidak mendengar berita tewasnya seorang bocah yang terjatuh saat naik truk demi menuju stadion Pogar Bangil untuk menonton Persekabpas. Saya jadi berpikir  mungkinkah cinta-cinta saya ini dapat bergandengan tangan dan berjalan berdampingan?

Ah saya hanyalah seorang pemimpi

 

11 nopember 2007

Diposting Iqbal Latif

 

 

Wednesday, October 31, 2007

Belum Ada Judul

telah lama kutitipkan resah

sejak dulu yang terlalu lama untuk sebuah cerita

pada kata

pada bulan

dan kerlip bintang

sejak masa meranum di pojok beranda

                namun abjad yang membaris

                yang menyesaki mimpi, visi

      dan harapan di kemudian hari yang jauh

                harus akan menjauh

                menggores tanda titik penundaan

                atau penyudahan

                atau tidak untuk sebuah apa-apa

maka bermimpilah

untuk sebuah esok yang baru

yang akan mempertemukan kenangan, perjuangan

dan romantisme sejarah

serta kita berdiri sejajar di antara suarasuara syahdu

menginginkan hatihati baru

untuk yang biru

bersenyawa menciumi wewangi surga

Tuesday, October 30, 2007

Aku (Dulu) Anak Desa

    Dari sekian banyak anugerah yang telah diberikan Allah pada saya , seringkali saya bersyukur betapa sangat beruntungnya saya dilahirkan di sebuah keluarga sederhana dalam desa kecil yang kala itu masih tradisional, bukan di gang-gang sempit pinggiran kota atau dalam rumah-rumah besar berpagar tinggi di perumahan-perumahan elit. Saya sering kali termenung  membayangkan betapa itu telah memberi saya jalan untuk merasakan pengalaman-pengalaman hidup yang tak akan setiap orang mendapatkannya. Saya beruntung dilahirkan di sebuah tatanan yang tidak mengenal susu formula untuk bayinya. Maka ASI adalah adalah suatu pilihan utama, pertama, dan mungkin satu-satunya. Betapa beruntungnya saya merasakan ASI, karena tidak setiap bayi pernah minum air susu ibunya.

Lebih jauh dari itu saya sungguh beruntung bisa merasakan arti perjuangan, ketidakpunyaan, serta kebahagian-kebahagian sederhana dalam sebuah komunitas kecil yang guyup. Saya sungguh beruntung pernah merasakan kegelapan tanpa aliran listrik sehingga malam purnama adalah sebuah kebahagian tak terperikan sebagai suatu saat untuk bermain bentengan bersama teman-teman sekampung di halaman tetangga yang paling luas. Saya beruntung telah menghabiskan masa kecil saya dengan hal-hal kecil yang terlihat sederhana yang justru di kemudian hari saya syukuri. Bermandian di sungai sambil mencari koin, main-main di pematang sawah, mencari udang di sungai (kami dulu menyebutnya mentor), hujan-hujanan sambil mencium harumnya tanah di hujan perdana, serta hal lain adalah kebahagian-kebahagian masa kecil yang sering kali membuat saya tersenyum mengenangnya.

Itu memang semua terlihat biasa-biasa saja bagi sebagian orang , tapi bagi saya, itu semualah yang telah mengajarkan arti kesederhanaan hidup serta hakekat kebahagian sebenarnya. Disanalah saya tahu perjalanan sebulir nasi di kuali. Di sana pulalah saya belajar menghargai nilai koin menghitam 50 rupiah yang saya temukan di sungai, serta membaginya bersama teman sepermainan untuk dibelikan kerupuk di warung tetangga. Ah itu sungguh sederhana, teramat sederhana, tapi yang sederhana itulah yang mengajarkan saya, yang akan jadi pegangan hidup saya di kemudian hari.
Memang, untuk itu semua , banyak kompensasi-kompensasi lain yang harus saya bayar. Banyak mungkin mimpi-mimpi masa kanak-kanak yang tak bisa saya raih karena keterbatasan itu, Banyak pula sarana-sarana teknologi yang mungkin tak bisa saya nikmati sampai saya beranjak besar. Namun sekali lagi, itulah yang mendidik saya. Melalui itulah saya jadi lebih menghargai sebuah keberadaan karena saya telah merasakan bagaiman ketiadaan itu. Saya pun akan mudah sekali merelakan sebuah kehilangan karena saya telah tahu dan merasakan bagaimanakah tidak mempunyai itu.

Pasuruan

18 oktober 2007

 

Tuesday, October 23, 2007

Sebuah Pengalaman Dari Pengalaman

Beberapa hari yang lalu salah satu laboratorium penelitian di jurusan saya hampir saja terhenti aktivitasnya. Bukan masalah apa, seorang teman yang kebetulan melakukan penelitian disana mengatakan kalau computer satu-satunya di lab tersebut , satu-satunya fasilitas yang membuat ia tetapa betah di lab seharian (soalnya bisa buat ngenet), sedang rusak atau lebih tepatnya dirusakkan. Adalah teman saya yang satunya lagilah biang kerok dari kerusakaaan ini. Ceritanya bermula ketika ia memaksakan diri memasang memori yang jelas-jelas tidak setipe ke computer tersebut. Memang beberapa hari dari beberapa hari yang lalu itu itu si teman yang merusakkan ini mengeluhkan computer yang lemot saat digunakan ngenet, bahkan sering ngerestart sendiri. Letak permasalahannya ternyata ada pada memori computer tersebut yang cuma 128 MB. Entah kenapa waktu itu tiba-tiba saja teman saya ini puny aide untuk menambah memori computer tersebut saat melihat CPU lain di lab yang kebetulan tidak terpakai. Ia bongkar CPU tersebut dan mengambil memorinya. Sampai disini teman saya ini tidak melanjutkan rencananya hingga selang beberpa hari teman saya yang lain itu mengabarkan kerusakan computer di labnya. Ternyata rencana yang tak jadi itu ia realisasikan di waktu yang lain. Tapi sayangnya ia mendapatkan aroma benda hangus menyembul dari rangkaian dalam CPU tersebut.

Saya tak banyak komentar mengenai masalah ini karena memang saya tidak banyak tahu mengenai masalah computer dan perakitannya. Tapi yang jelas teman saya yang merusakkan itu harus bertanggung jawab untuk menormalkan kembali computer tersebut. Teman saya itu kemudian membawa computer tersebut ke salah satu tukang servis terdekat. Cerita ini terlihat biasa-biasa saja bagi saya sampai dua hari yang lalu saat teman yang merusakkan computer tersebut menceritakan apa latar belakang dibalik kenekatannya mengotak-atik computer tersebut. Saat itu kami sedang ngenet di computer himpunan yang memang koneksinya lumayan lebih cepat bila dibandingkan dengan yang ada di labnya. Teman saya ini bercerita bahwa kalau dulu sebenarnya computer himpunan itu juga tak kalah lemotnya , memorinya kala itu juga cuma 128 MB. Tapi kemudian teman saya ini bilang kalau ia berhasil mengupgradenya dengan cara menambah memori 128 MB, persis dengan apa yang ia lakukan pada computer lab. Tambahnya lagi waktu itu ia juga mencobanya berkali-kali, dengan sedikit memaksa, tapi akhirnya berhasil juga.

Dalam hati saya tersenyum sendiri mendengar cerita ini, benar mungkin apa yang diungkapkan Ary Ginanjar bahwa salah satu dari tujuh belenggu hati adalah pengalaman . Teman saya ini begitu nekatnya memaksakan memasang memori yang tidak setipe pada computer tersebut karena merasa punya pengalaman berhasil untuk kegiatan serupa terhadap computer lain. Artinya ia melakukannya tidak lebih karena kejernihan pikiran atau analisa mendalam, tapi lebih banyak didasari oleh pengalamannya. Tapi sayangnya teman saya ini mungkin gagal memaknai pengalamannya, ia mungkin lupa bahwa dulu, waktu ia berhasil , mungkin karena banyak factor lain yang sekarang tidak ada pada kasussnya, termasuk masalah kecocokan tipe memori tersebut. Ini mungkin yang dimaksud belenggu hati oleh Ary Ginanjar.

Setelah peristiwa ini mungkin teman saya tersebut akan lebih bijak dalam kasus yang serupa, karena ia telah memilki dua pengalaman mengenai masalah ini, yaitu pengalaman gagal dan juga berhasil. Teman saya ini sekarang bisa lebih jernih dalam mengambil sebuah sikap atap tiap fase kehidupannya.

Kita, secara sadar atau tidak, juga sering kali berlaku seperti teman saya ini. Kita sering kali bertindak hanya bermodalkan pengalaman semata. Kita terlalu mengagungkan sebuah semboyan “experience is the best teacher”, tapi kita lupa kalau pengalaman bisa juga menjadi penjerumus kalau kita gagal memaknai pengalaman tersebut. Sudah umum kalau kita akan takut melakukan suatu hal karena kita memilki pengalaman buruk mengenai hal tersebut, pun juga sebaliknya kita akan begitu beraninya bertindak tanpa piker panjang kalau kita memilki track record yang baik dalam menghadapi kasus yang serupa dengan itu. Kita tidak sadar bahwa pengalaman bukanlah sebuah kesimpulan yang absolut, bukan pula sebuah silogisme yang jika x maka y. Ada banyak variable yang menentukan ”jika x maka y” itu. Itu yang kita alpa untuk menganalisanya. Kita lebih sering membuat kesimpulan yang permanen untuk pengalaman kita itu, yang sayangnya sering kali membatasi langkah kita ke depannya.

Semoga setelah ini kita akan semakin arif memaknai setiap keeping-keping pengalaman yang mengiringi setiap langkah kita. Semoga kita akan menjadi sadar, bahwa selain Allah, tak ada yang absolute di dunia ini. Wallahu a’lam.

Griya BNI
Ahad, 6 oktober 07

Sunday, October 21, 2007

Kekuatan itu bernama do’a



Di SD saya dulu, ada sebuah peraturan bahwa setiap kelas, mulai dari kelas tiga ke atas, akan mendapat gilaran menjadi petugas upacara bendera setiap hari senin. Waktu itu saya sudah kelas tiga dan kebetulan juga menjadi ketua kelas. Tradisi yang berlaku adalah ketua kelas nantinya akan menjadi pemimpin upacara saat kelasnya mendapat giliran bertugas. Singkat cerita akhirnya kelas kami mendapat juga jatah bertugas itu. Hari itu hari jumat dan kami sudah memulai melakukan latihan.Dan, seperti yang diduga saya diplot menjadi pemimpin upacara.

Sampai latihan kedua berakhir di hari sabtu, saya belum bisa yakin kalau saya akan mampu mengemban amanah tersebut. Minggunya saya seharian penuh dibuat gelisah oleh kenyataan bahwa esok harinya, setelah bel dibunyikan, tepat pukul tujuh pagi, saya akan berdiri sendirian sambil berteriak lantang menyiapkan barisan yang terdiri atas warga sekolah. Saya merinding membayangkan bisa saja saya melakukan kesalahan dan menjadi bahan tertawaan seisi sekolah.

Puncaknya pas minggu malamnya, saya tidak bisa tidur, takut jika seandainya mata ini terpejam maka pagi akan segera menjelang. Semalaman saya hanya bias membolak-balikkan badan di kasur sambil memanjatkan do’a agar upacara bendera urung digelar, agar besok turun hujan, serta pengharapan lain yang intinya jangan sampai esok pagi saya berdiri di tengah lapangan menjadi orang yang paling diperhatikan selain pembina upacara. Semalaman saya membaca semua ayat-ayat al-qur’an yang saya hafal sambil memelas kepada Allah jangan sampai saya jadi pemimpin upacara esok pagi.

Dan esok pagi saya benar-benar yakin kekuatan do’a itu. Entah kenapa tiba-tiba sesaat sebelum upacara bendera dimulai, kepala sekolah menanyai kami apakah kami siap menjadi petugas upacara. Kami terdiam, tapi kepala sekolah menyimpulakn kediaman kami sebagai sebuah bentuk ketidaksiapan kami. Kemudian ibu kepala sekolah memerintahkan kelas lain yang lebih berpengalaman untuk untuk menggantikan posisi kami sebagai petuga supacara. Duh, tak terbayangkan perasaan yang melingkupi hati saya waktu itu, sebuah kelegaan khas seorang anak-anak, kebahagiaan, serta perasaan lain yang akana terlalu panjang jika harus dideskripsikan. Allah telah menjawab tuntas semuanya, dengan cara indah, di detik-detik akhir, dengan cara yang tak disangka-sangka.

Maka setelah itu saya tak pernah main-main dengan sebuah do’a. Setelah itu saya yakin seyakin-yakinnya bahwa Allah itu maha mendengar keluh kesah hambanya, yang tak pernah tertidur, yang akan selalu member yang terbaik dari yang hambanya pinta. Ada kkekuatan yang tertransfer saat kata-kata itu meluncur dari mulut seorang yang merendah, ada getar-getar semangat yang menjalar saat tangan ini tengadah, mulut ini terdiam, tapi hati ini ghemerisik memanjatkan pengharapan. Lalu akan ada kesejukan yang menerabas ke titik paling sensitive kemanusiaan kita saat gejolak itu mengembun membasahi pelupuk mata. Maka rasakanlah.

Ups, Anda ingin tahu bagaimana debut saya minggu depannya : sejak saat itu,saya menjadi pemimpin upacara tak tergantikan dalam kelas saya .


Griya BNI
8 oktober 2007




Dibalik Sebuah Kata

   

 jika tatapan lebih berbicara banyak dari sebuah kata-kata, maka itu jangan sampai menjadi panah-panah setan yang meracun hati. Sungguh, itupun bisa berbuah surge dalam bingkai mawadah warahmah”

Saya tidak sedang akan berbicara mengenai maksud dari kalimat diatas, siapa yang menulis, ataupun yang lain yang membahas khusus mengenai kalimat diatas. Saya hanya ingin berbicara kata, atau kalimat secara umum. Sejak dulu, entah apa ini sudah menjadi bagian integral dari diri saya atau tidak, saya suka sekali dengan sebuah kalimat-kalimat indah. Saya betah untuk membaca berulang-ulang atau melafalkannya berkali-kali satu kalimat bijak yang mempunya makna dalam yang tidak semua orang bisa memaknainya. Ada atau kalimat itu akan senantiasa menjadi penasehat yang tak pernah bosan mengingatkan saya, kapan saja, disaat gelap atau terang, disaat sempit atau lapang. getar sendiri saat kata itu terucap, semacam kenyamanan, atau sesuatu yang mengenergi. Saya akan sanggup berlama-lama membaca buku saat menemukan sebuah kalimat indah disana, tak jarang saya akan menyalinnya dalam buku pribadi saya, bahkan buku catatan kuliah saya. Bisa saja orang menganggap ini berlebihan tapi bagi saya ini adalah cara saya untuk menciptakan keadaan nyaman atau stabil di setiap saat, karena kata-kata

Saya juga suka mengarang kata-kata indah (minimal menurut penilaian saya), baik saya tuangkan dalam sebuah puisi, atau pesan singkat, atau bahakan dalam sebuah perbincangan singkat dengan seorang teman. Untuk bisa melahirkan satu buah kalimat itu saya bisa mencernanya cukup lama, memainkannya dulu dalam imaji, plus menimbang manfaat dan mudharatnya. Karena saya tahu betul makna dari sebuah kalimat itu dalam diri seseorang. Ini kelihatan sepele tapi sangat penting. Kesadaran saya tentang ini sangat berguna sekali bagi saya untuk memilah dan memilih kata apa yang harus saya ucapkan atau tulisakan Dan ujungnya  semoga ini sebagai  bentuk  usaha saya untuk senantiasa selalu nberkata yang ada manfaatnya.

Dalam hal hubungannya bagaiman sebuah kata bisa menginspirasi, saya punya cerita tentang ini. Ceritanya terjadi beberapa jam saat saya terpilih sebagai koordinator instruktur dalam orientasi mahasiswa baru (ormaba) 2006. Ini adalah sebuah beban berat karena di juruisan saya instrukturlah inti dari sebuah ormaba. Saat itu sudah sore dan keterpilihan saya itu masih cukup sesak memenuhi ruangan di kepala saya. Dan tahukah anda apa yang bisa membuat saya mantap dengan semua ini? Hanya sebuah SMS dari seorang karib saya. Isinya seperti ini :“jika menjadi koordinator instruktur adalah sebuah beban berat, maka jangan minta beban yang ringan, tapi mintalah punggung yang kuat agar bisa memanggul beban itu”. Sederhana kelihatannya, tapi bagi saya layaknya setitik nyala dalam kegelapan yang membutakan. Inilah mungkin yang namanya kalimat yang mengenergi dan menginspirasi.

 Maka setelah itu saya coba untuk tidak sembrono untuk memilih kata yang saya ucapkan atau tulis. Ketepatan saya memilih katalah yang akan menentukan seberapa menghunjamkah kalimat itu pada diri seseorang. Bahkan sebenarnya,  sebuah kalimat yang keluar dari diri sayalah yang punya andil besar dalam membangun nilai diri saya di mata orang lain. Jadi jangan heran kalau hanya untuk masalah meng-SMS teman untuk mengucapkan selamat ulang tahun  saja saya akan memikirkannya masak-masak. Saya tak ingin yang biasa-biasa saja karena saya tahu betul energy dari sebuah kata. Biar orang menganggap saya sok romantic. Itu jauh lebih baik dari pada dicap orang sebagai orang yang tidak memilki cita rasa kata tinggi.

“jika kau tak punya harap hari ini, berharaplah, malam ini, 19 bintang berkerlip megah di angkasa. Selamat ulang tahun”

Kalimat terakhir diatas  adalah kalimat yang saya SMS-kan pada seorang teman saat ia ulang tahun yang kesembilan belas. Saya tak tahu pasti perasaannya saat menerima SMS itu, tapi yang pasti saya punya niat baik dalam SMS itu. Dan itu saya kira lebih dari cukup.

 

Griya BNI

9 oktober 2007

 

Karena Itu Kau Jahit dengan Cinta

    

Karena Itu  Kau Jahit dengan Cinta

 

Saya sempat terkejut, ketika berjalan menyusuri sebuah lorong di kampus, saya menemukan sembulan-sembulan kecil benang di lipatan bawah celana dengan warna yang berbeda dengan warna celana itu. Aneh. Agak lama juga saya berpikir. Memang dulu saya pernah menjahit lipatan celana bagian kiri saya yang mengelupas dengan warna berbeda, tapi bukan warna ini. Lagipula saya telah menggantinya dengan warna yang pas dengan warna celana saya, dengan teknik menjahit manual yangh cukup lumayan bila dibandingkan dengan jahitan celana bagian kanan saya sekarang ini. Sampai……

Upss! secepat kilat saya buang pikiran itu dari dari kepala. Bukankah celana ini yang kemarin saya bawa puolang ke rumah, dicuci di rumah, dan berada di rumah selama kurang lebih dua hari. Jadi, ah tak salah lagi ada orang di rumah yang menjahitnya. Ada orang di rumah yang tak tega melihat lipatan celana saya itu mengelupas. Keempat kakak saya tak mungkin melakukannya, mereka semua laki-laki dan tak mungkin mengurusi hal-hal demikian. Hanya tiga orang perempuan yang mungkin berada di rumah. Kakak ipar saya tak mungkin melakukannya, sedangkan nenek….ia terlalu tua untuk melakukan pekerjaan serumit itu. Hanya tinggal satu orang yang mungkin melakukannya:  ibu.

Hati saya bergetar, bagaimana pikiran jahat itu melintas di benak saya, bagaiman mungkin saya, secara tak langsung mengolok  hasil pekerjaan ibu. Bukankah yang paling penting itu beliau lakukan dengan naluri keibuannya, dengan cinta, dengan ketulusan, dengan tanpa pengharapan lain kecuali bisa melakukan yang terbaik buat anaknya. Sesuatu yang tak akan bisa dilakukan  oleh penjahit profesianal sekalipun.

Saya tertekuk, lekuk. Hati ini lumer selumer-lumernya. Sekonyong-konyong pikiran ini dipenuhi senyum ibu, senyum yang merekah yang selalu ia persembahkan di saat kepulanggan saya , senyum yang selalu saya rindukan di saat-saat berat menghadapi gejolak hidup di perkuliahan. Senyum yang mengenergi.

Ah ibu, andai kau tahu betapa aku selalu merindu senyummu.Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

 

Sby,

090306

Semoga Itu Bukan Dirimu

   

 

Jika ada orang yang mengatakan “lakukanlah perjalanan jika ingin memperoleh pengalaman”, rasanya itu benar, minimal buat saya. Pernyataan itu saya buktiksn sendiri ketika saya dan beberapa teman kuliah seangkatan mengadakan kegiatan di sebuah kota yang jarang saya  kunjungi. Saya menginap di rumah salah satu teman laki-laki saya yang kebetulan berasal dari kota itu, sedangkan teman-teman saya yang perempuan menginap di rumah seorang teman yang yang juga berasal dari kota itu. Tapi bukan itu sebenarnya inti ceritanya. Ceritanya, atau sepetik pengalaman saya dimulai ketika kami (saya, dua orang teman, dan seorang yang member saya tumpangan menginap) pergi ke tempat teman-teman perempuan saya menginap yang merupakan rumah salah seorang teman saya itu. Seingat saya hari itu sudah sore dan kami hanya mampir sebentar setelah hampir setengah hari sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk kegiatan esok harinya. Untuk itulah saat itu kami hanya duduk di teras dan dan tidak masuk ke dalam. Sang tuan rumah (teman perempuan saya itu) seperti layaknya tuan-tuan rumah yang lain menghidangkan suguhan bagi tamu-tamunya. Sampai di sini berhenti.

Ceritanya dimulai ketika teman saya itu akan menghidangkan camilan bagi kami teman-temannya. Entah karena gugup atau karena terlalu bersemangat menyambut tamu, toples yang berisi camilan itu lepas dari tangannya, dan ada sebagian isinya tumpah ke lantai. Saya masih ingat isinya sejenis kerupuk dan rengginang. Seperti biasa, seperti orang-orang pada umumnya, teman saya tersebut segera memungut kembali cemilan yang tumpah ke lantai tersebut. Namun yang sedikit tidak biasa, ia tidak mengembalikannya ke toples, malah melangkah ke luar rumah dan membuang cemilan tersebut ke tempat sampah.

Beberapa orang mungkin menganggap itu wajar, tapi bagi saya tidak.

Saya melongo, terenyuh, tak tahu harus berbuat atau ngomong apa. Beginikah poteret kehidupan teman saya. Saya jadi merinding. Di rumah, jangankan memungut dan memakan kembali makanan yang jatuh ke lantai keramik licin seperti di rumah teman saya itu, saya saja pernah mencuci dan menggoreng kembali tempe yang jatuh ke lantai tanah ketika akan dipindah dari penggorengan ke piring. Terus memakannya. Jadi lauk makan yang tetap nikmat. Sehat! Terbukti saya bisa kuliah dengan teman-teman saya itu.

Setelah peristiwa itu saya jadi merenung sambil berharap semoga kejadian itu bukan murni dari diri teman saya itu, bukan atas dasar kebiasaannya. Tapi atas dasar tekanan sedang dilihat temannya, atas dasar perasaan untuk menampilkan tindakan sehigienis mungkin di hadapan teman-temannya. Saya jadi miris membayangkan jika itu benar-benar kebiasaannya, mengingat masih banyak orang yang mungkin belum pernah memakan cemilan itu. Orang-orang yang untuk mencari sesuap nasi saja sulit. Orang-orang yang mengharap uluran tangan kita.  Sedang kita?

Ah!

25 maret 2006

Friday, October 5, 2007

bapakku

Bapakku Tak Romantis

 

Berberapa hari ini entah mengapa saya memiliki banyak kegiatan yang memaksa saya untuk seharian berada di kampus. Dari pagi hingga maghrib. Maka untuk beberapa hari itu pun saya berbuka di masjid kampus yang memang menyediakan bungkusan nasi bagi mahasiswa yang ingin berbukan di sana. Karena tanggung, saya pun tak langsung pulang, saya tunggu sampai isya ‘ datang dan sekalian melaksanakan sholat tarawih di sana.

Sudah umum memasuki minggu terakhir bulan ramadhan, jamaah masjid-masjid mulai menyusut, tidak terkecuali masjid kampus saya. Tinggal beberapa shof saja yang tersisa. Ini membuat saya leluasa memandangi satu persatu jamaah yang ada. Persoalan amat-mengamati ini memang kebiasaan saya sejak dulu.

Tak tahu kenapa ketika pandangan saya tertuju pada sepasang bapak anak yang sedang berdampingan khusuk mendengar ceramah ustad sebelum sholat tarawih dimulai, hati ini bergemuruh. Ada rasa iri menyembul menyaksikan sang bapak dengan telaten membantu sang anak merangkum isi ceramah sang ustad. Si anak memegang buku sambil menulis, sedang sang bapak sesekali melihat hasil tulisan anaknya. Perhatian sekali sang bapak membimbing sang anak yang kelihatannya mendapat tugas dari sekolahnya tersebut.

Dan pikiran ini menerawang ke masa lalu, betapa diri ini jarang sekali merasakan momen-meomen seperti itu. Berdua. Berdua dengan bapak.

Sesaat saya tertegun, tapi cepat-cepat saya singkirkan perasaan itu jauh-jauh. Saya dan bapak cukup dekat, tapi kami bukanlah dua pribadi yang melekat. Saya memang jarang sekali merasakan momen-momen intim berdua dengan bapak. Seingat saya, saya juga  memang jarang atau bahkan tak pernah bermanja-manja atau bergelanjutan di pundak bapak. Bapak orang yang sangat kaku bahkan untuk kami anak-anaknya.

Pun juga sampai sekarang, sampai saya kuliah. Ketika saya pulang kerumah setelah tak pulang cukup lama, bapak hampir sama sekali tak memperlihatkan ekspresi yang berlebih ketika kami bertatapan. Hanya beberapa patah kata saja yang keluar dari mulutnya ketika saya cium tangannya. “Libur ta?” demikian kata yang sering meluncur dari mulutnya. Sangat berbeda jauh dengan ekspresi berbunga-bunga yang ditunjukkan ibu.

Tapi dengan kekakuannya itulah sebenarnya bapak menunjukkan kecintaannya. Bapak mungkin bukanlah bapak yang romantis bagi kamia anak-anaknya, tapi bapak adalah bapak yang selalu siap ketika kami butuh ketangguhannya. Bapak mungkin tak pernah membelai anak-anaknya yang akan berangkat tidur, tapi bapak akan siap mengayuh sepeda tuanya ketika kami anak-anaknya merengek minta dibelikan  buku untuk sekolah. Bapak mungkin tak pernah menemani kami mengerjakan PR sambil menanyai kami masalah-masalah pribadi, tapi bapak adalah orang pertama yang menawarkan diri membelikan obat saat kami anak-anaknya sakit.

Ah saya jadi teringat waktu kelas tiga SD dulu, ketika bapak dengan susah payah menjemput saya yang habis ikut gerak jalan dengan sepeda tuanya , saya buru-buru bilang “gak usah ,nanti dianterin pakai mobil” ketika bapak baru akan menghampiri. Merasa berdosa sekali saya ketika mengingat kembali peristiwa itu, betapa saya tak menghargai pengorbanan bapak hanya karena gengsi dengan teman-teman.

 Sungguh, sebenarnya bapak punya cara-cara sendiri untuk menunjukkan kecintaannya pada kami anak-anaknya.

Griya BNI,

5 oktober 2007

Buku Saya....................


Saya tak memilki banyak buku, tapi saya memilki banyak cerita dari sedikit buku saya itu.

Beberapa bulan yang lalu teman saya meminjam buku saya. Judulnya “hafalan sholat delisha”. Sebuah novel. Dengan senang hati saya meminjamkannya, karena entahlah saya senang bila ada orang yang meminjam buku saya apalagi terus ada yang mengapresiasi kalau buku saya itu bagus. Yang meminjam ini adalah perempuan. Biasanya saya cerewet terhadap orang yang meminjam buku saya. Ada banyak syarat yang biasa saya ajukan, satu: tidak boleh membaca buku saya sambil makan, dua: tidak boleh melipat halaman, tiga:tidak boleh kena minyak, air atau yang sejenisnya, empat; tidak boleh membaca buku saya sambil tiduran karena saya nggak mau buku saya jadi alas tidur. Tapi entahlah untuk kali itu saya tak cerewet seperti itu, karena yang meminjam perempuan yang pastinya sudah tahu bagaimana menjaga buku.

Lalu beberapa minggu lalu entah mengapa saya kangen dengan buku saya itu. Ada kerinduan untuk membacanya kembali. Buku ini adalah buku terbaik yang pernah saya baca. Saya sering membaca berulang-ulang buku yang saya anggap menarik.

Saya jadi ingat kalau buku saya itu masih dipinjam oleh teman saya itu. Saya pun menghubunginya, dan alhmadulilah ia masih ingat dan berjanji akan segera mengembalikan. Waktu itu teman saya ini bilang kalau bukunya masih tertinggal di rumahnya, sedangkan teman saya ini, seperti halnya saya, adalah seorang mahasiswa yang ngekos.

Namun tiba-tiba semingguan yang lalu teman saya ini bilang kalau bukumnya “ketlisut” dan ia sedang mencoba mencarinya. Deg hati saya berdetak. Pasti ada kelanjutan dari semua ini.

Benar saja beberapa hari kemudian teman saya ini memastikan kalau buku saya itu telah hilang. Dan ia berjanji akan segera menggantinya. Ah saya jadi yang tidak enak, pastinya teman saya itu merasa tidak enak sekali dengan saya. Pastinya ia menganggap saya marah. Ah saya menyesali mengapa tidak menanyakannya dari dulu-dulu hingga peristiwa ini tak terjadi.

Sebenarnya teman saya ini tak perlu mengganti buku saya itu. Secara fisik memang buku saya akan kembali, tapi secara historis tidak. Ada banyak cerita dari buku itu yang tidak akan kembali. Ada tetes air mata yang tak mungkin bisa berpindah ke dalam halaman demi halaman buku saya yang baru itu. Ada terlalu banyak kenangan, teramat banyak bahkan, yang nilainya jauh lebih tinggi dari nominal harga buku itu. Itu yang tak terbeli.

Saya tidak marah. Tidak pula kecewa. Hanya saja menyayangkan kenapa itu terjadi pada buku kesayangan saya itu (terus apa bedanya coba?).  Tapi yang jelas saya tak marah pada teman saya itu.

Semuanya sudah terjadi bukan.

2 oktober 2007

Thursday, September 27, 2007

Apakah makna ramadhan bagi kita?

Apakah makna ramadhan bagi kita?


Ramadhan? Apakah yang tiba-tiba menyeruak di pikiran kita saat mendengar kalimat itu. Apakah yang membayang-bayang dalam imaji kita saat itu di sebut , sebuah pikiran yang instan, sebuah pemikiran reflex, sebuah pemikiran yang tanpa melalui pemikiran. Langsung meluncur saja.
Dulu, ketika saya masih kecil, ramadhan identik dengan semangkok kolak, karena memang menu wajib di rumah waktu berbuka adalah kolak. Dulu juga, di pikiran saya, ramadhan adalah saat adu keras mengucapkan sholawat antar musholla tiap selesai dua rokaat sholat tarawih. Bagi teman-teman yang pernah tinggal di desa pasti mengerti tentang itu. Sekarang, entah tradisi itu masih ada atau tidak, karena sudah sangat jarang sekali, terutama 3 tahun belakangan ini, saya sholat tarawih di desa saya.
Lain halnya bagi pembuat chin cao (bener nggak namanya?) tetangga saya. Ramadhan adalah saat pesanan pembuatan chin cao naik berkali-kali lipat, yang artinya keuntungan juga naik berakali-kali lipat. Sudah jamak kalau di bulan ramadhan konsumsi es masyarakat meningkat, yang akhirnya berimbas pada kenaikan konsumsi cin cao sebagai  salah satu komponen dalam sebuah es. Sedangkan bagi tetangga saya yang berprofesi sebagai pembuat sofa (bekleeding, atau di tempat saya disebut mbursa’)ramadhan mempunyai nilai yang sangat luar biasa. Karena di ramadhan inilah, atau bahkan sebulan sebelum ramadhan, profesinya  banyak dicari juragan-juragan mebel. Para pembuat sofa ini, di bulan ramadhan, bahkan bisa bekerja sampai 24 jam kalau ia mau. Berbeda halnya dengan di bulan-bulan lain, ia harus siap-siap mencari profesi lain karena tak banyak yang mau membeli sofa kalau tidak mau lebaran. Namun ironisnya, para pembuat-pembuat sofa ini (minimal di daerah saya), yang rizqinya dimudahkan pas bulan ramadhan, justru banyak yang tidak menunaikan ibadah puasa. “nggak kuat” begitu mereka bilang.
Bagi petani, ramadhan mungkin tidak begitu berpengaruh pada profesinya, hanya mungkin sebuah harapan bahwa harga beberapa komoditas pertanian akan meningkat seiring kenaikan konsumsi penduduk (sudah pada tahu kan kalau pas ramadhan, konsumsi penduduk justru meningkat) terutama beberapa hari menjelang lebaran. Tapi konsekuensinya justru tambah berat, mereka harus berpanas-panasan, bergumul dengan lumpur tatkala tak boleh ada minuman untuk penetral haus. Maka jangan heran jika ada seorang imam tarawih musholla yang ketika  kepergok tetangganya sedang makan siang cuma bilang : “se’tas  galengan ndok, ndak kuat”. Galengan adalah suatu istilah untuk menggambarkan kegiatan membuat pematang sawah baru buat lahan padi sebelum lahan itu akan dibajak.
Sedangkan orang-orang tua di daerah saya sering kali mendesah pelan sambil berucap: “wes poso maneh yo!” saat menjelang bulan ramadhan. Saya tak menganggapnya sebagai sebuah bentuk ketidakbahagiaan menghadapi ramadhan, saya lebih menganggap itu sebagai bentuk ekspresi bahwa begitu cepatnya waktu berjalan, mungkin sebuah bentuk penyesalan atas apa-apa yang telah ia lakukan, bahwa tak banyak hal berarti yang telah ia lakukan sejak ramadhan kemarin sampai ramadhan memenjelang.
Lalu pertanyaanya sekarang, apakah makana ramadhan bagi kita? Adakah ramadhan telah mampu mempengaruhi hidup kita? Apakah ramadhan hanyalah suatu masa  saat makan sore jadi gratis karena tinggal menunggu adzan maghrib sambil memegang sebungkius nasi hasil pembagian ta’mir masjid?
Atau apakah yang lain?
Kita sudah cukup dewasa untuk memaknainya sendiri.
Griya BNI
25 september 2007

Monday, April 30, 2007