Wednesday, March 28, 2012

Thursday, March 15, 2012

(diari pengantin): kado pernikahan dari Allah

“jangan berharap ke panitia, berharaplah pada Allah!”, demikianlah kira-kira ucap istri saya ketika panitia mulai bersiap mengundi kupon undian di acara jalan sehat itu. Memang, sabtu pagi itu, kami berdua tengah menghadiri jalan sehat yang diadakan unit kerja tempat kami bekerja. Nasi pecel dan krawu sudah kami tandaskan berdua, dan hanya urusan door prize saja yang tertinggal sebagai daya tarik ketika acara nyanyi-nyanyi sudah dimulai.

“Allah jauh lebih tahu apa yang kita butuhkan”, demikian lanjut perempuan yang baru sepekan menjadi penggenap agama itu.

“Kalau begitu berharap pada Allah semoga dapat door prize”, saya tersenyum, sedikit menggoda pernyataannya dengan pernyataan lain.

 Sementara panitia sudah beres mengambil kupon door prize. Ada empat kupon yang sebelumnya sudah dimintakan untuk diambilkan oleh salah satu pimpinan. Tinggal mengumumkan saja. Pembawa acarapun sudah memegang empat kupon yang sudah diambil dan siap mengumumkan siapakah nama yang muncul.

“Depannya A, akhirnya I” Entahlah! Akan banyak kombinsai huruf yang bakal mengisi di antara kedua huruf itu, membentuk sebuah nama. Saya juga tak tahu dengan pasti bahwa nama istri saya sajalah yang memungkinkan. Tapi yang pasti, saya sudah GR duluan kalau itu pasti nama istri saya.

Dan benar! GR saya ternyata benar-benar berjawab kenyataan. Nama istri saya sempurna disebut dan berhak mendapatkan voucher belanja di sebuah swalayan dekat rumah kami. Barangkali inilah memang yang sedang kami butuhkan. Sebab sejak pindahan, kami belum juga berbelanja yang benar-benar belanja untuk keperluan domestik yang tentu saja akan banyak peningkatannya dibandingkan ketika saya (dan juga istri saya) masih lajang.

Kami berdua bersitatap, dan saya tahu, ia mempersilahkan saya untuk bangkit guna mengambil hadiahnya.

Demikianlah, voucher belanja 250.000 itu sempurna menjadi milik kami. Di urutan pertama yang disebut. Di saat-saat ketika beberapa saat sebelumnya kami memandang jam dinding yang menempel di dinding ruangan, dan mengobrolkan tentang sebuah fakta, bahwa tepat sepekan yang lalu, di detik-detik seperti ini, dua tangan saling menjabat dan kalimat ijab qobul telah diteguhkan untuk menandai sebuah ikatan; kami resmi menjadi suami-istri.

Pukul sepuluh pagi, acara belum sempurna usai, door prize utama juga belum dibagi, tapi kami mesti meninggalkan tempat sebab ada acara lain yang mesti dihadiri istri. Dan jalan kaki. Lokasi acara memang masih satu kompleks dengan rumah, hingga tak menjadi masalah lah untuk menempuh jarak antara rumah-lapangan tenis indor, tempat berlangsungnya acara, dengan jalan kaki saja . Selain, tentu saja, ada saat ketika kebersamaan dapat mengeliminasi lelah dan gerah (jalan kaki di siang hari normalnya panas dan melelahkan, kan?).

Belum jauh meninggalkan lokasi, sebuah sedan menepi. Saya kenal orangnya, tetangga depan rumah kami. Tapi kami menggeleng. Menolak dengan sopan tawaran untuk bareng. Kami memang ingin jalan kaki saat itu, menikmati waktu. Ada kalanya jarak menerbitkan rindu, dan ada kalanya kebersamaan menguatkan ikatan. Maka proporsi yang pas antara keduanya adalah formula yang mesti kita ketahui dengan sadar.

Tak lama, kami sampai juga di depan rumah. Lalu, lebih memilih duduk-duduk dulu di teras ketimbang langsung masuk rumah. Lagipula masih ada waktu, maka tak ada salahnya juga untuk sejenaik rehat dan memandang sekitaran. Ada tetanaman yang butuh dinikmati, ada sekitaran yang ternyata terlihat berbeda kala dipandang dalam keadaan yang beda. Maka saat itulah, saat kami masih duduk-duduk di teras, kami menyadari ada tas kresek warna hitam menggantung di gagang pintu rumah. Tentu saja dengan isinya. Tapi saya tak bingung, saya tahu benar apa artinya. Memang, hampir tiga tahun mendiami rumah ini, saya menyadari sudah menjadi kebiasaan di kompleks ini untuk menggantungkan sesuatu yang ingin di antarkan jika penghuninya sedang tak ada di rumah.

Saya kemudian melongok isinya dan menemukan sesisir pisang yang menggantung dalam kresek hitam itu. Alhamdulillah, sungguh alhamdulillah. Kami masih menduga-duga siapakah gerangan yang mengiriminya ketika tetangga depan rumah muncul dan menjawab semua dugaan-dugaan tadi. Iya, beliaulah yang menggantungkan pisang itu. Saya memang meninggalkan ponsel di rumah hingga tak bisa dihubungi.

“Tanaman sendiri, ya, bu?”, demikian tanya saya.
“iya, belakang rumah”
Demikianlah. Benar, memperoleh uluran silaturahim seorang tetangga memang akan selalu spesial, mendapat bingkisan pertemanan dari seorang saudara juga selalu istimewa, tapi menyadari bahwa itu adalah skenario indah yang dikreasikan Allah, adalah paket indah dengan daya kejut tersendiri. Belum hilang dari ingatan saya, beberapa hari sebelumnya, saat berkunjung ke rumah mertua, kami memperbincangkan ini. Saat itu istri mengambilkan pisang keju buatan adik untuk saya makan ketika saya nyelethuk bertanya; “bisa mbuat begini?”, yang langsung dijawab,“bisa”

Dan bla bla bla. Bertanya tentang resep, bertanya tentang cara membuat, yang ujung dari semua itu adalah : istri saya akan membuat pisang keju ini. Butuh keju, butuh gula merah, dan tentu saja butuh pisang. Maka menjadi alhamdulillah sekali,  kala kehendak istri untuk membuatkan pisang keju demi memenuhi keinginan suami itu, tak butuh lama dijawab oleh Allah dengan mengirimkan seorang tetangga baik hati yang berbagi pisang hasil kebunnya. Ini mungkin ke-GR-an saya saja, tapi saya tak peduli. Sebab saya memandangnya lain; ini lah salah satu bentuk prasangka baik saya pada Allah banwa Dia akan memberi apa yang kita butuhkan dengan cara yang seringkali begitu manisnya.

Hanya itu? ternyata tidak! Setelah saya ingat, malam sebelumnya, usai beberapa hari sebelumnya istri membicarakan tentang cara mempercepat tahapan memasak, dengan memotong-motong sekaligus semua sayuran yang memungkinkan, untuk kemudian dimasukkan semacam tupperware dan disimpan di lemari es, seorang teman yang tak bisa ikut menghadiri acara pernikahan kami, datang dengan membawa kejutan lain. Adalah kado yang dibawanyalah kejutan itu. Persis dengan apa yang kita bicarakan, itulah yang ia bawa; seperangkat tupperware yang begitu pas untuk dijadikan tempat menyimpan sayur-sayur yang telah dipotong.

Begitulah, ada banyak keajaiban-keajaiban. Ada banyak cerita-cerita menyenangkan. Maka untuk semua itu, nikmat Tuhan yang manakah yang kami dustakan? Semoga saja tak.



Monday, March 5, 2012

(diari pengantin): aku simak bacaaannya ya?

“Sudah jauh lebih baik bila dibandingkan dengan waktu pertemuan di rumah Bu Ucu”

Pada akhirnya, kalimat itulah yang keluar. Di hari kedua sejak akad itu diikrarkan, sekitar 27 jam dari saat seorang anak muda menjabat erat tangan seorang bapak di depannya. Di kamar pengantin yang didominasi warna putih, dengan hiasan yang belum juga dilepas. Kalian tahu, dengan desain ruangan yang serba tertutup, dengan AC yang sengaja tak dinyalakan, udara panas tentu saja dengan mudahnya membekap badan. Maka apabila kemudian seorang perempuan, dengan matanya yang ia harapkan terus kejora, ba’da dhuhur itu, meminta ijin untuk menyimak bacaan Al-Qurannya tepat ketika ia hendak duduk setelah mengambil mushaf, berlipat-lipatlah jadinya rasa gerah itu. Tapi, ia tahu, di sini lah letak keromantisan itu.

Ini memang yang pertama. Pertama kalinya sejak tak ada halangan lagi untuk bisa saling menyimak bacaan dengan jarak yang dekat dan rapat. Sebelumnya memang pernah, sekali, ketika perempuan itu memintanya untuk membacakan beberapa ayat Al-Quran. Dulu! Dulu, yang perempuan itu sebut dengan ‘pertemuan di rumah Bu Ucu’. Orang-orang lain, seringkali menyebut pertemuan itu sebagai taaruf.

Bahwa pernikahan adalah sebuah kemengenalan terus menerus, bahwa institusi pernikahan tak lain adalah sekolah tempat belajar-mengajar mesti terus ada dan berkelanjutan, ia tahu betul akan hal itu. Tapi merasainya langsung, memraktekkannya sendiri, mengejawantahkan apa-apa yang dulu sering kali hanya bisa ia baca lewat buku-buku pernikahan, adalah petualangan yang degup halus menyenangkannya ternyata melebihhi degup groginya. Menyimak perempuannya itu menyela dan membenarkan bacaannya, tak lain layaknya mendengar perempuan itu berkata ‘mari kita terus bertumbuh, aku ingin kau menjadi lebih baik selalu’. Maka harusnya, inilah sekolah paling menyenangkan itu. Dengan kurikulum dirancang sendiri, dengan waktu belajar tiap waktu. Tak ada guru tak ada murid, semuanya guru semuanya murid.

Begitulah, siang itu, keringat memang melelehi badan. Cuaca memang sedang panas-panasnya, bontang tak lagi diguyur hujan dalam beberapa hari terakhir—tak biasanya. Tapi tak ada alasan untuk mengeluh, sama sekali tak ada. Lihatlah, ada yang lebih menyenangkan untuk disyukuri. Perempuan itu masih duduk di sampingnya. Dengan kerling mata yang ia harap terus mengilhami. Dengan bibirr yang semoga tetap basah oleh kalimat-kalimat baik.

“Sudah jauh lebih baik bila dibandingkan dengan waktu pertemuan di rumah Bu Ucu”

“oh, ya? Berarti waktu itu jelek donk?” (Dalam hati: “padahal kata murobbiyah anti bagus”)

“he’e…panjang pendeknya banyak yang nggak pas”

“Tapi kenapa diterima?”

Perempuan itu tersenyum, bersiap meluncurkan jawaban.


Thursday, March 1, 2012

bookaholic; februari 2012

Ada banyak cerita, ada banyak kisah. Ada banyak momen-momen yang ingin terceritakan, terbekukan, untuk suatu saat dijenguk kembali, mungkin untuk meneguhkan kembali ikatan..
.
.
.
.
.
Tapi, februari ini, saya hanya ingin melaporkan ini:

Aku, Kau dan Sepucuk Angpau Merah
(Tere Liye)

itu, adalah buku yang sempat terselesaikan.... Sama sekali tak banyak, tapi saya benar-benar mensyukuri Februari ini.


Selamat Sore!
Yuk, bergegas pulang!