Sunday, November 11, 2007

Persekabpas : Ada Dan Tiadanya


Dulu, sewaktu SD, pas pertama kalinya saya begitu tergila-gila pada sepak bola,  saya sering berandai-andai kapan kota saya, Pasuruan,  memilki sebuah klub sepak bola yang bisa berlaga di kompetisi tertinggi sepak bola Indonesia. Saat itu saya adalah penggemar  Persebaya surabaya, klub sepak bola yang notabene bukan dari kota asal saya . Hal itu terjadi karena memang saya tak punya alternative lain untuk bisa membela klub mana lagi karena waktu itu Persekabpas, klub asal kota saya, kalau tak saslah masih berlaga di divisi dua, atau bahkan di bawahnya. Di sebuah negara yang kompetisi tertinggginya saja masih belum begitu semarak, maka kompetisi divisi dua hanya menempati status tak terdengar sama sekali.

Andai-andai itu pada akhirnya tersimpan rapi dalam memori saya tanpa saya ungkit-ungkit lagi. Waktu terus bergulir dan format kompetisi sepak bola tanah air mengalami pergonta-gantian yang  sering kali membingungkan insan sepak bola tanah air. Kadang pergantian format itu menyenangkan beberapa pihak tapi membuat marah yang lain. Kadang juga sebaliknya . Kadang mengagetkan tapi tak jarang membuat kita geleng- geleng kepala .

Sudah menjadi hukum alam bahwa akan selalu ada perubahan seiring perjalanan waktu. Saat itu saya duduk di bangku SMA , dan waktu itu persekabpas sudah berlaga di divisi satu setelah sebelumnya menjadi juara divisi dua. Saat itu lagi-lagi PSSI membuat format baru liga. Kontestan liga Indonesia  ditambah, tak ada tim yang tedegradasi, dan semua tim divisi I yang masuk delapan besar otomatis promosi ke divisi utama. Ini tentu saja kejutan bagi perekabpas. Kami semua warga pasuruan sebenarnya sudah legowo kalau tim kami tak akan bisa menembus divisi utama untuk tahun ini, saat itu persekabpas kira-kira berada di peringkat tuju-an. Aturan lama bahwa hanya top four saja yang berhak promosi ke divisi utama.

Keputusan PSSI itu benar-benar membuat saya dan warga pasuruan lain bersorak. Bagai mimpi. Dua tahun lalu kami masih belaga di kompetisi divisi dua, belum terdengar, dan mungkin tak banyak yang tahu kalau tim ini ada. Tapi tiba-tiba saja kami sudah berada di level tertinggi kompetisi sepak bola tanah air. Sebuah perubahn yang cukup drastis. Menanjak, dengan tanjakan yang cukup tajam.

Kami pun mulai menikmati euphoria promosinya persekabpas ini. Tiba-tiba saja Pasuruan menjadi semarak dengan identitias liga indonesia. Makin banyak spanduk-sapanduk terpasang yang menunjukkkan hal-hal berbau ligina. Perubahan terjadi juga pada masyarakat Pasuruan. Dulu banyak elemen supporter Pasuruan yang termasuk dalam komunitas Bonek, penggemar fanatic persebaya. Dulu mereka rela berangkat ke Surabaya untuk membela persebaya berlaga di Gelora Sepuluh Nopember. Tapi hal itu sekarang sudah hampir tak terjadi lagi. Kini kami masyarakat Pasuruan menemukan tempat untuk menuangkan antusiasme kami kepada sepak bola. Adalah Persekabpas jawaban kami.

Maka beberapa waktu sore saat persekabpas bertanding adalah hari yang cukup menyibukkan bagi beberapa elemen masyarakat. Pasuruan mulai hidup dengan nuansa sepak bola. Kini kota kami tak hanya dikenal sebagai basis pendukung fanatic Gus Dur kala dulu Gus Dur diturunkan dari kursi presiden, atau sebagai kota asal Inul Daratista. Tapi kini kami mulai dikenal sebagai kota home base Persekabpas, kota tempat Siswato, Kasan Soleh, atau bahkan Subangkit lahir.

Maka pasuruan pun sejajar dengan kota-kota sepak bola lain. Sejajar dengan Kediri, Surabaya , Makasar dan kota-kota lain. Kini bukan lagi sebuah mimpi untk melihat tim sepak bola kami berlaga di tayangkan stasiun TV.

Dan puncaknya ketika persekabpas meghenyakkan public tanah air ketika melaju ke babak delapan besar. Pasuruan terhenyak, sore-sore menjadi sore yang lengang bagi Pasuruan karena orang-orang lebih memilih berdiam diri di rumah di depan TV menonton siaran langsung Persekabpas. Ttak kadang tiba-tiba teriakan menghentak bersamaan dari rumah-rumah tatkala persekabpas menjebol gawang lawan. Perbincangan pun mulai diisi dengan perbincangn kesuksesan Persekabpas.

Tahun demi tahun berjalan dan  kami mulai terbiasa dengan atmosfeer sepak bola di Pasuruan.

Tapi kemudian saya termenung ketika pada suatu kesempatan saya membaca sebuah ulasan seorang tokoh masyarakat Pasuruan yang mengeluhkan efek kehadiran Persekabpas. Ia mengeluhkan semakin jarangnya siswa yang masuk Sekolah madrasah (beginilah kami biasanya menyebut untuk sekolah agama yang dilaksanakan di sore hari) tatkala Persekabpas bertanding, jamaah sholat ashar pun semakin jarang, atau bahakan orang-orang lebih memilih untuk mengakhiri pekerjaannya lebih awal .

Pendapat tokoh itu pun bertarung dengan andai andai saya waktu SD dulu. Ah memang saya merasakan saat Persekabpas masuk divisi utama banyak sekali terjadi perubahan. Tapi sayangnya perubahan itu tak banyak yang bagus. Selain yang disebutkan sang tokoh itu masih banyak hal-hal lain yang sering terjadi. Para Sopir yang harus lewat bangil (artinya harus lewat depan stadion Pogar, tempat Persekabpas bertanding) sering mengeluh banyaknya elemen supporter yang meminta uanag seenakanya. Jika tak diberi maka tak bisa dijamin ia dan mobilnya dapat melintas dengan selamat. Dan yang membuat miris, oknum supporter yang melakukan itu tak jarang adalah anak-anak kecil yang belum mengenal asam asin kehgidupan.

Duh saya kemudian berpikir panjang apakan memang adanya Persekabpas ini memang bermanfaaat atsu memang kami saja yang belum siap secara mental dan sikap untuk menyambut kehadirannya. Apakah setiap kehadiran sebuah tim sepak bola harus diikuiti kelahiran sebuah elemen supporter yang brutal? Apakah untuk mendukung sebuah tim sepak bola maka kita boleh meninggalkan sekolah, boleh meningglkan rutinitas kita jama,ah ashar di masjid. Apakah adanya persekabpas ini telah mampu meningatkan produktivitas masyarakatnya, atau justru sebaliknya. Serta  secara keseluruhan adanya persekabpas ini apakah sebagai sebuah anugerah atau musibah bagi masyarakat Pasuruan. Saya tak tahu berapa APBD yang harus dikeluarkan untuk membiayai eksistensi Persekabpas di ligina, tapi yang saya tahu jika itu digunakan untuk membangun sarana pendidikan di daerah tertinggal di Pasuruan maka nilai itu akan sangat berati, berapapun jumlahnya.

Pertanyaan itu hanya melayang-layang di pikiran saya tanpa saya bisa menjawabnya sendiri. Saya cinta persekabpas, tapi saya juga cinta kehidupan masyarakat Pasuruan sedia kala. Saya cinta saat melihat anak-anak kecil berduyun-duyun mendatangi madrasahnya, saya cinta saat melihat masjid penuh oleh jamaah ashar, saya cinta saat meliuhat jalur Pasuruan-Surabaya lancar. Saya cinta saat tidak mendengar berita tewasnya seorang bocah yang terjatuh saat naik truk demi menuju stadion Pogar Bangil untuk menonton Persekabpas. Saya jadi berpikir  mungkinkah cinta-cinta saya ini dapat bergandengan tangan dan berjalan berdampingan?

Ah saya hanyalah seorang pemimpi

 

11 nopember 2007

Diposting Iqbal Latif

 

 

No comments: