Monday, March 2, 2009

Negeri yang mencintai HUJAN

Apakah kau mencintai hujan? “TIDAK!”, kata itulah kira-kira yang bakal keluar dengan tegas dari mulutmu. Aku menduganya. Teramat yakin. Sebab seperti itulah yang kau ceritakan padaku. Kau bercerita bahwa hujan adalah malapetaka. Bagi negerimu, tentu saja. Hujanlah yang mengirim air untuk membanjiri pemukiman-pemukiman. Hujan pula yang merendam persawahan, lapangan tempat  anak-anak bermain, atau juga jalan-jalan tempat segala aktivitas bermula. Atau bahkan, yang dengan mata berapi kau menceritakan, hujan pula yang melongsorkan perbukitan-perbukitam, menimbuni rumah-rumah di bawahnya.

Aku tak menyalahkanmu kalau kau selanjutnya tak mecintai hujan. Itu hak pribadimu, meski aku bisa saja menyakinkanmu tentang banyak hal bahwa anggapan-anggapan yang kau utarakan padaku selama ini  keliru. Tapi sudahlah. Tak ada gunanya mungkin. Aku rasa kau tak akan pernah mau mendengarnya. Hanya saja, aku tak suka  kala kau mulai mengumpat saat hujan bermula. Karena tak begitulah memang seharusnya. Kau boleh tak suka, tapi tidak dengan cara mengumpatnya.

Baiklah, meski aku tak terlalu suka untuk melakukannya, aku akan menceritakannya. Aku akan menceritakan hujan di negeriku. Selama ini kau mungkin tidak begitu tahu bahwa hujan amat dicintai di negeriku. Orang boleh tak percaya, tapi memang begitulah kenyataannya. Kalau kau ikut-ikutan tak percaya, maka sekali-kali, berkunjunglah ke negeriku. Saat hujan mulai turun tentu saja. Maka akan kau temui anak-anak kecil riang bermain air yang mengucur dari talang-talang rumah. Bergembira menyambut hujan. Seolah mendapat berkah. Kau akan mendengar anak-anak kecil itu berteriak, “Udano seng deres, dandano seng pantes, nyambelo seng pedes”. Teramat bergembira. Sedang dibalik jendela-jendela kaca yang berembun, akan kau dapati orang-orang menatap hujan dengan syahdu. Berdiam diri laksana seorang kekasih yang merindu. Lalu bila kau terus berjalan, di rumah yang lain, tak jarang kau jumpai sejoli menatap hujan bersama, lewat jendela terbuka. Saling menempelkan pipi, teramat mesra,  dan membiarkan rintik air menyapu kedua wajah.

Apakah tak ada hal-hal mengerikan seperti yang kau ceritakan itu? Dengan amat menyesal aku katakan tidak. Mungkin pernah tapi dalam siklus yang teramat lama. Hujan identik dengan hal-hal baik. Amat baik bahkan untuk semua indera. Ketika hujan turun perdana, maka orang bersuka cita. Berebut membaui aroma tanah yang basah. Sedang tak tik tuk suara hujan menerpa genting di malam hari, adalah lagu nina bobok yang memanjakan telinga. Teramat romantis. Beberapa kali mungkin terdengar guruh, ataupun gelegar guntur. Tapi itu tbukan lagi hal yang menakutkan. Hanyalah sebuah pertanda. Sebagai pengingat. Dan seterusnya. Akan amat panjang jika aku ceritakan semuanya. Tapi satu hal, berjanjilah! Jika kau memang benar-benar datang, berjanjilah bergabung dengan orang-orang itu. Bergabunglah berdiri berjajar di emperan teras rumah, dan julurkan kedua tanganmu ke depan sejajar dada. Biarkan curahan hujan dari atap menerpa. Pejamkan mata, dan rasakan sensasinya.

Jadi pergilah ke negeriku. Kau tak akan kesulitan mencarinya. Sebuah negeri yang indah penuh pohon-pohon tinggi menjulang. Dikelilingi belantara lebat nan menghijau. Serta sungai-sungai jernih yang mengalir, yang kan membuatmu teringat akan kualitas surga. Sedang orang-orangnya, kau akan menemui orang-orang yang penuh senyum, ramah, dan amat santun bicaranya. Semuanya hidup dalam kemakmuran. Tentu saja makmur bukan berarti kaya, jika kaya yang kau maksud adalah capain-capain materi , luas tanah, atau nominal rupiah. Tapi, jika yang kau maksud dengan kaya adalah sikap hati untuk merasa cukup, pandai bersyukur, maka iya, mereka semua kaya. Bahkan teramat kaya.

Pada akhirnya aku tak berharap ketika kau telah berkunjung ke negeriku kau akan mencintai hujan. Aku hanya berharap kau mulai tak memaki hujan. Aku berharap kau mulai menanami tanahmu dengan pepohonan, membersihkan sampah-sampah, dan tak lagi serakah. Dan dengan itu, semoga hujan dengan sendirinya membuatmu jatuh cinta.

20 comments:

akuAi Semangka said...

Mungkin dia belum sadar, bahwa ada pelangi yang mengiringi hujan..

shofie syamwiel said...

ada apa dengan hujan????

iqbal latif said...

oh iyah yah...ada satu hal indah lagi dari hujan.....
(lama g liat pelangi euy!)

iqbal latif said...

wah ini yang komen kayaknya termasuk tokoh kamu di tulisan di atas... korban banjir

Lalu Abdul Fatah said...

Hujan bikin segar!
Hujan bikin rindu!
Hujan...saya suka hujan!

iqbal latif said...

kapan2 hujan2an bareng aja tah...

shofie syamwiel said...

hahaha..korban banjir...:D

Atik Savitri said...

Hujan.. saya jg menyukainya.. aroma harum tanahnya itu, hmm.. ^^

akuAi Semangka said...

eeeh??orang jawa ato sunda ini teh??

AKP Yudi Randa said...

mandi hujaaaaaaaaaaaaaaaaaan

iqbal latif said...

tapi kalo di kota gini g sepekat di desa baunya....terlalu banyak paving dan aspal

iqbal latif said...

Jawa! Jawa tulen...

iqbal latif said...

wah iyah yud...dulu pas kecil emang langsung bawa shampo mandi di pancuran dr talang...ha ha

Lalu Abdul Fatah said...

gak mau ujan di surabaya...
gak steril. hehehehe...

iqbal latif said...

ha ha..iyah tah...
tapi polusi di surabaya bs juga bergerak ke lombok lo..

dian purwitasari dewanti said...

hujan
indah
bagian penting dalam kehidupan
hawa segarnya menggugah semangat



iqbal latif said...

apa kabar dian??

dian purwitasari dewanti said...

alhamdulillah baek,...btw, dah di sebrang ya skrg...? sukses slalu ya.. ^_^

iqbal latif said...

seberang mana emang.....
baek..baek...
(amin..amin)

Amirah Mumtaz said...

there'll come the sun after the rain.. (hehehee...bener ga ya tulisannya :p)