Saturday, May 15, 2010

Sedikit tentang bontang dan kota impian

Ketika masa-masa SMP dan SMA dulu, saat saya masih sempat dan suka nonton serial amerika yang bersetting sebuah kota kecil yang tak terlalu hiruk, saya memimpikan bahwa tempat tinggal saya nantinya adalah kota semacam itu. Sebuah kota kecil dengan jalanan bagus tapi tak terlalu ramai, dengan toko-toko serba ada yang Tak terlalu besar tapi sudah cukup lengkap menyediakan kebutuhan sehari-hari. Sedang tempat tinggalnya adalah sebuah rumah dengan halamannya yang luas tanpa pagar jeruji tinggi yang melancip di ujungnya hingga tak terlalu ada sekat yang membatasi dengan lingkungan. Penduduk kota itu tak terlalu banyak, maka kemudian tak begitu mengherankan jika satu sama lain akan mudah untuk saling bertegur sapa. Satu sama lain sudah saling mengenal dengan baik. Saya membayangkan bahwa kota itu bukanlah sebuah kota tradisional dengan orang-orangnya yang masih terbelakang, tapi lebih dari itu adalah sebuah kota madani dengan orang-orangnya yang terdidik dan berbudaya. Rasa-rasanya hebat sekali.

Lalu satu-dua tahun yang lalu, saya sempat mendiskripsikan sebuah lingkungan harapan tempat saya kemudian meneruskan bertumbuh. Tulisan itu ada di sini , dan seperti mimpi menjadi nyatalah kala saya membacanya kembali dengan tempat saya berpijak sudah jauh berbeda. Lingkungan itu saya diskripsikan sebagai sebuah daerah yang dilingkupi hutan menghijau dengan hujan sering kali melanda. Tapi tidak seperti hujan pada pemberitaan di televisi yang seringkali menimbulkan genangan dimana-mana, atau banjir yang datang tiba-tiba, maka hujan di lingkungan hayalan itu adalah sebuah karunia yang disenangi. Orang-orang dengan syahdu menatap bulir-bulir air yang meluncur dari ketinggian di balik jendela kaca yang berkabut. Sementara yang lain, dari teras-teras rumah, dengan riangnya menubrukkan tangan tengadahnya dengan aliran air hujan yang meluncur dari atap. Lalu saling tersenyum satu sama lain saat percikannya menerpa muka. Sebab hujan di sana memang menyenangkan. Air hujan yang turun dengan derasnya akan cepat terserap ke dalam tanah, atau kalaupun tidak maka akan berlarian ke dalam saluran-saluran untuk berakhir di sebuah tempat khusus yang sudah tersediakan. Tak ada genangan, tak ada pula luapan. Selesai hujan, orang-orang bisa bersegera kembali melanjutkan kehidupan.

Kini, selang beberapa tahun dari mimpi-mimpi itu, ketika saya menemukan sebuah tempat baru untuk melanjutkan kehidupan, saya baru menyadari rasa-rasanya sebagian besar dari kriterian kota impian yang saya diskripsikan dahulu itu sudah terwujudkan oleh kota saya sekarang. Kotanya tak terlalu besar dengan jalanan yang lebih mudah dikatakan lengang. Hanya ada satu mall –dan saya harap tak akan bertambah lagi- yang sudah cukup untuk menyediakan kebutuhan, bukan keinginan. Penduduknya? Saya rasa tak terlalu banyak dan itupun dengan tingkat pendidikan yang lumayan.

Bontang nama kota itu. Baru kisaran 30 tahun usianya. Seiring dengan berdirinya LNG Badak di akhir 70an dan pupuk kaltim satu dua tahun berikutnya. Seb elumnya, hanya ada perkampungan kecil dengan penduduknya yang beberapa. Anda tak terlalu mendengar nama kota ini mungkin, kecuali beberapa dari anda yang menggemari sepak bola indonesia. Sebab saya pun begitu, mulanya mengenali kota ini pas jaman SD dulu, sebagai home bass salah satu peserta ligina.

Sudah tak terlalu banyak hutan di sini, tapi untuk sebuah diskripsi lingkungan impian yang saya sebutkan di awal, sepertinya bolehlah. Khusunya untuk lingkungan tempat saya tinggal. Lingkungan saya –sepertinya saya sudah terlalu sering mendiskripsikannya dalam tulisan-tulisan saya- adalah sebuah kawasan yang dipenuhi pohon-pohon tinggi dengan sebaran yang boleh dikatakan merata. Kita boleh saja menyebutnya dengan hutan. Ada jurang-jurang dengan pohon-pohon yang dirambati tanaman menjalar bahkan sampai puncaknya. Di pusatnya –kalau boleh dikatakan itu sebagai pusat-, ada sebuah danau pembuangan yang cukup cantik dengan geladak-geladak kayu di tepiannya yang sepertinya cocok digunakan untuk bercengkerama berdua sambil menikmati senja. Di danau itulah, saluran-saluran dari seluruh kawasan ini pada akhirnya bermuara.

Tak ada musim hujan di sini! Sebab memang hujan melanda sepanjang tahun. Meski dengan intensitas yang berbeda di tiap bulannya. Tapi tak usahlah merisaukan datangnya banjir, sebab untuk ukuran yang tak terlalu luar biasa, daerah-daerah terbuka sudah lebih dari cukup untuk menyerap air hujan yang turun. Kalaupun tidak, saluran-saluran pengumpul air masih berfungsi dengan baik untuk mengalirkannya ke danau buangan tadi. Baru kalau danau sudah tak mampu menampung lagi, maka akan meluap ke jurang sebelah dengan terlebih dahulu menyeberangi jalan. Tahun lalu, rasa-rasanya itu cuma terjadi sekali saja.

Maka, hendakkah kiranya saya menukarkan kenikmatan ini dengan hingar-bingar metropolitan? Rasa-rasanya tidak kalau hanya untuk mencari sebuah keramaian dan kemacetan. Hingga saya tersenyum saja kala jalan-jalan ke Samarinda beberapa minggu yang lalu, seorang teman nyeletuk berkata, “kayaklnya enak kalau pabriknya di sini” demi melihat keramaiannya. Maaf kawan, bagiku bontang lebih dari cukup, terlepas tak ada Gramedia di sini, terlepas tak ada bandara di sini…


(Dalam hujan lebat yang perlahan mereda)

21 comments:

HayaNajma SPS said...

kemaren baru kedatengan tamu dari bontang ^^
tinggal di bontang? kerja tho?

Siska Rostika said...

Suamiku dlu basenya di Tiara Surya, Mas Latief.. Skrg udah pndah ke tengah laut nginapnya.

Siska Rostika said...

Suamiku dlu basenya di Tiara Surya, Mas Latief.. Skrg udah pndah ke tengah laut nginapnya.

Rizky Rahmany said...

Ironis...

akuAi Semangka said...

Boleh juga neh kapan2 menikmati senja di Bontang. Setelah senja di Baluran tentunya. Hehe..

rahmah ... said...

kalau malam, banyak bontang loh di langit, hihi...

iqbal latif said...

@berry...>>untuk kedua pertanyaan di atas, inggih mb berry.. (sy manggilnya g mas lo!)
@bundananda...>> kerja dimana, mb?? yang biasa kan kerja di tengah laut terus nginepnya di darat... :)
@azurival..>> kenapa??
@akuai...>>jadi 5B-nya tambah bontang nih?? he he
@kakrahmah..>>he he..iya...apalagi di Bintang, kalau malam tambah banyak lagi bontangnya.. (lo?!)

fajar embun said...

saya sudah hampir 11 tahun meninggalkan kota kelahiran Bontang. ada kerinduan disana, kota yang Unik menurut saya.. dan semoga saya mampu kembali lagi ke sana setiap tahunnya... :)

iqbal latif said...

lo, mas bom2 asal bontang to??

fajar embun said...

iya ....hehee...

Manik Priandani said...

Alhamdulillah ....tak terasa hampir 20 tahun kehidupan kami (saya dan keluarga) jalani di sini. Hidup kami normal-normal saja. Sekali-kali mau melihat keramaian...ya ke Samarinda..ke Balikpapan...ataupun ke Jawa. Berangkat dan pulang kantor..lancar...tanpa dihadang kemacetan. Mungkin masalah sekolah untuk anak-anak saja yang tidak "seseru" di Jawa (di sini semangat berkompetisinya terasa kurang).

emilf f said...

Saya pernah mampir ke bontang saat perjalanan ke sangata, sayang belum sempat keliling, hanya dengar cerita beberapa teman tentang rumah makan terapungnya yang asyik, juga Sangkima. Salam kenal

dina riandani said...

tulisan2 tentang bontang selalu membuat saya kangen dengan kota kecil itu. hampir 19 thn tinggal dsana yang ada hanya kenangan2 indah dan rasanya 7 thn meninggalkannya (walaupun hampir tiap iedul fitri pulang k bontang) tidak sabar rasanya ingin kembali kesana... setuju dengan tulisan di atas, saya juga sangat suka saat2 hujan di bontang.

iqbal latif said...

berarti lahir di bontang?? setiap orang memang rindu kampung halamannya...

dina riandani said...

numpang lahir di balikpapan, maklum.. tahun 1985 di bontang blum ada sarana kesehatan yang memadai mungkin. sedangkan waktu itu dina diperkirakan punya berat badan lebih dari 4 kg, jadi deh usia kehamilan 8 bulan ibu ngungsi ke balikpapan yang memang semua keluarga ibu ada di balikpapan. pas usia 3 bulan baru balik ke bontang.. sejak itu sampai lulus SMU tinggal di bontang. afwan, jadi panjang ceritanya, intinya tetap kampung halaman yah? iya, semua orang rindu kampung halamannya... antm dimana kampung halamannya??

iqbal latif said...

Saya malang ke utara... Pasuruan tepatnya...


dan....lebaran ini, tak bisa berlebaran di kampung halaman..hmmmm

dina riandani said...

hmmmm.... sama niy, tahun ini juga lebaran ndak bisa pulang kampung.. harus di malang karena tugas jaga...
tapi, ndak apa2 kok.. insya Allah dimana pun kita, do'a keluarga selalu menyertai...
oia, antm di bontang kerja dimana? temen2 byk yang kerja balik ke btg setelah lulus kuliah, dina juga siy insya Allah inginnya balik ke btg..

iqbal latif said...

saya di perusahaan yang menyebut dirinya sebagai sahabat petani..he he

dina riandani said...

mm?? oiya ya, dilarang menyebut merk... yang lambangnya padi dan kapas bukan?? (he2.. ngawur...) ya, dimanapun kerjanya, alhamdulillah.. barakallahu.. kalau liat temen2 sdh pada kerja tu rasanya agak minder masih sekolah begini, tua di kampus dan rumah sakit..

iqbal latif said...

kalau dokter tua di rumah sakit ya wajar... sewajar saya yg mungkin bakalan tua di pabrik (meski g berharap)..... beberapa hari yg lalu dosennya ke Bontang tuh..!! Pak Arief Alamsyah

dina riandani said...

wah, iya ta?? acara apa pak?? kok tau kalau dr.arief alamsyah dosen ana??oia, tiap acara pasti ada curiculum vitaenya ya... he.. wah, sampai juga dr. arief ke kota kecil tercinta itu, prospek cerah nih..