Tuesday, August 19, 2008

Pulang Kampung dan Episode Penuh Ngilu

Sabtu, ahad, senin kemarin, setelah berkali-kali ditanyai kapan pulang, akhirnya saya menghabiskan liburan di rumah. Menikmati detik-detik proklamasi di kampung halaman sambil mencoba menghabiskan buku-buku yang telah saya beli sebelumnya. Waktu awal-awal kuliah, saya selalu rutin pulang seminggu sekali. Naik bus. Tiga jam sudah sampai. Jadi tidak sampai tercipta kondisi dimana saya begitu rindunya akan suasana rumah beserta penghuni-penghuninya. Namun seiring berjalannya waktu dan semakin banyaknya tuntutan lain yang mendesak untuk segera ditunaikan, jadual mingguan itupun pada akhirnya menggeser. Mulanya dua mingguan, berganti bulanan, dua bulanan, hingga sampai pada tahap sekarang : saya tak pernah menghitung atau membuat periodisasi kepulangan. Terserah keinginan. Plus kapan waktu luang. Bisa dua minggu, atau bisa juga berbulan-bulan.

Selalu, tiap kali pulang kampung, saya akan selalu mencari hal-hal yang tak bisa saya dapatkan selama ngekos di Surabaya. Apa saja. Mulai dari makanan sampai kegiatan.  Untuk makanan, sebisa mungkin saya akan menghindari telur dan variannya. Ini sudah menjadi makanan kebangsaan dan mungkin tiap hari saya mengonsumsinya. Amat tidak spesiallah kalau pulang-pulang saya masih saja makan makanan ini. Paling yang sering saya buru saat pulang adalah ikan. Mungkin saat ngekos saya masih sering beli makan dengan menu ikan, tapi tetap saja belum asyik kalau bukan menu khas rumah. Kepala tongkol jumbo yang dicincang kecil-kecil dimasak krengsengan warna hitam, itulah favorit saya.

Masalah kegiatan, ada banyak sekali kegiatan yang dapat saya lakukan di kampung saya yang tak mungkin saya lakukan saat ngekos. Dulu-dulu saya suka pergi ke sawah. Menyaksikan hamparan menghijau, ibu-ibu berbaris menanam padi sambil ngegosip, atau favorit saya: memandangi cabai yang beranjak menua dan menghitung berapa gerangan jumlah cabai setanaman. Atau favorit saya yang lain : menanm singkong di tepi-tepi pematang. Uigh menyenangkan sekali, apalagi dulu. Dulu memang saya bisa tiap hari ke sawah dan bisa menyaksikan perkembanagn tanama yang kita tanam. Menyaksikan tahap-tahapnya. Mulai dari tanaman itu memasuku fase vegetative hingga generative. Fase tumbuh hingga berbuah. Hingga panen. Layaknya seorang ibu membesarkan bayinya.  Ada degup-degup kekhawatiran, tak jarang pula kebahagiaan. Tapi yang pasti mengasyikkan.

Pulangnya dari sawah, saya masih kerap mencari sayur sendiri (terutama sayur-sayur yang tak ada di kota) untuk dimasak.

Ada masih banyak hal lain selain itu yang bisa dilakukan di kampung, sama halnya juga ada banyak hal lain juga yang tidak bisa saya lakukan saat saya di kampung. Kegiatan di kampung yang bisa dilakukan itu lebih banyak kegiatan yang membutuhkan interaksi alam, sedangkan yang tidak adalah yang membutuhkan teknologi. Yang paling saya rindukan saat saya sudah lama di rumah adalah ngenet. Saya yang sudah trerbiasa ngenet hampir tiap hari, jadi seperti ada yang kurang saat beberapa hari tak menyambangi dunia maya itu. Fenomena ini seringkali menimbulkan pemikiran dalam diri ini, atau sekedar angan-angan, atau impian, bahwa mungkin akan indah sekali saat saya bisa menggabungkan keduanya. Saat saya bisa menikmati suasana pedesaan yang segar tapi saya juga tak ketinggalan akses terhadap teknologi. Bisa seharian di sawah tapi pulangnya bisa langsung konek dengan mp. Kapan itu? Suatu saat nanti.

Dan, satu hal yang saya nantikan tapi kadang juga membuat harap-harap cemas adalah saat saya bertanya keadaan terkini. Biasa-biasanya akan selalu ada kejutan. Entah mengenakkan atau tidak. Berita tentang kematian warga kampung seringkali adalah berita yang mengejutlkan bagi saya, meski kematian itu sendiri bukanlah hal yang mengejutkan. Dan kemarin, ada banyak sekali berita yang kurang mengenakkan. Pertama tentang seorang tetangga, masih kecil, entah saya kurang tahu sedang duduk di SD kelas berapa. Dulu-dulu yang saya tahu memang ia tergolong nakal, tak takut orang, tapi saya tak menyangka saja bahwa tindakannya bakal sejauh ini. Kemarin, saya mendengar bahwa ia bersama dua teman kecilnya mencuri potongan rel yang dipasang sebagai jalan lori yang mengangkut tebangan tebu di sawah. Itu mungkin kriminal anak-anak biasa bagi sebagian orang, tapi lihat dulu apa tindakan yang ia perlihatkan selanjutnya. Dengan rasa bangga tanpa rasa bersalah ia menceritakan bagaimana ia mencuri potongan rel tersebut di hadapan polisi. Ya polisi, sosok yang oleh orang dewasa sendiri kerap ditakuti. Mungkin masih mending saat kita melakukan kejahatan, kita sadar bahwa apa yang kita lakukan itu salah, bukan suatu tindakan yang baik. Tapi ini, ah saat kesadaran itu hilang, saat rasa bersalah itu telah tercerabut dari diri, apalagi yang bisa diharapkan.

Lalu saya pun makin merinding kala mendengar untuk apa uang yang ia peroleh dari hasil penjualan batangan rel ke tukang rongsokan itu. Rokok. Y a Allah bahkan  ia belum menyelesaikan SD-nya, bahkan seperti baru kemarin saja saya melihatnya berlarian di halaman sambil telanjang, tapi kini. Ah dengan bangganya ia menghisap batangan laknat itu, sambil membagikan batangan lain ke teman-teman kecilnya. Memprovokasi. Mau jadi apa desa ini kelak. Desa yang dulu saya anggap desa ideal.  Desa yang agamis, tentram, dengan tenggang rasa yang tinggi.

Dan hati ini makin ngilu kala menyadari sebuah kata : ketakberdayaan. Sungguh tak bergunalah saya, dengan bersekolah tinggi-tinggi, tak mampu mencerahkan lingkup terkecil ini. Desa ini.

 

(sebenarnya masih ada hal mengilukan kedua, ketiga yang kemarin saya dengar, tapi akan sangat panjang kalau saya ceritakan semuanya)

10 comments:

Yayan Suyanto said...

Semoga banyak kebaikan di hari ini dan di hari-hari mendatang

abdul halim said...

mulai dari hal yang kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai saat ini

Chifrul S said...

Dunia selalu berubah...Dan yang lebih berbahaya adalah jika kita menggunakan metode berpikir "masa kemarin"....

iqbal latif said...

semoga pak....segera

iqbal latif said...

yuk dimulai....

iqbal latif said...

chip, saya pengen sebenarnya berbuat lebih bg masyarakat di sekitarku.. tapi itu...ketakberdayaan....apa ya yang bs saya lakukan. saya sepertintya g punya pengaruh apa2. maka sejauh ini yg bs saya lakukan hanya mencoba memberi yg terbaik yang bs saya lakukan... aduh mungkin di lingkungan rumah sy dianggap anak gmana gt...rumahan, pekerjaannya paling ke sawah, ke musholla
aduh g ngerti deh

utari ninghadiyati said...

terkadang ketika dihadapkan pada keadaan yang buruk kita merasa semua sia-sia. tapi belum tentu karena masih ada masa depan. berarti masih ada kesempatan untuk berbuat lebih bagi orang lain dan kampung halaman

iqbal latif said...

iya..ya, harapan itu masih ada. selalu

fifi hasyim said...

hmm....
...there'is a bright future...if u can change it (he3x, gak jelas...y)

oCha's zone said...

to be continued..