Wednesday, November 19, 2008

Cerita Tentang Partneran Tugas Akhir

Dulu, ketika masih aktif bersama-sama teman lab mengerjakan tugas akhir, salah seorang teman laboratorium tiba-tiba ngomel-ngomel. Saya yang sedang ngenet tentu saja kaget. Sempat tersenyum sambil menggoda teman saya itu. Tapi nggak mempan. Saya pun diam.

Ternyata temen lab saya itu sedang marah-marah pada partner tugas akhirnya yang notabene teman lab saya juga. Tak perlu saya sebutkan alasan marahnya, tapi yang pasti, setahu saya ini adalah kemarahannya yang pertama  pada partnernya semenjak kami bekerja bersama di lab ini. Sebelum-sebelumnya tak pernah saya lihat ia mengeluh meski lebih sering kerja sendirian. Jarang sekali terlihat ia murung, tertekan atau yang lain ketika ia harus mengerjakan rangkaian tugas akhir sendiri, sementara saya dan teman yang lain bisa mengerjakannya berdua. Ada satu hal memang yang membuat partnernya tidak bisa intens mengerjakan tugas akhir di lab.

Berpartner adalah sebuah keniscayaan di jurusanku  bagi seorang mahasiswa yang mengambil tugas akhir. Dan ini terserah. Artinya terserah, kita bebas menentukan partner kita sendiri. Maka tak heran, jauh-jauh bulan sebelum seseorang mengambil tugas akhir, sudah bisa diketahui kalau ini partnernya ini, kalau itu partnernya itu. Ini tentu saja sangat baik karena sedari awal kita sudah bisa berkomitmen, sudah bisa menjajaki, melakukan penyesuaian-penyesuaian...pemahaman-pemahaman. Setahun selanjutnyalah medan tarung sebenarnya. Saat kita berkolaborasi mengerjakan tugas akhir..melewati malam-malam bersama penuh tekanan..menjalani dan menyelesaikan konflik-konflik kecil.

Dulu, saya sempat bingung juga harus berpartner dengan siapa. Bukan karena saya tak punya pilihan atau tak seorangpun yang mau berpartner dengan saya. Tapi justru karena saat itu dihadapkan pada tiga pilihan sekaligus. Ceritanya begini : bayangkanlah ada empat orang mahasiswa yang mau tugas akhir. Mereka berteman, erat bahkan. Bukan suatu hal yang aneh jika keempatnya berkumpul bersama dan asyik bercanda. Antar individunya pun berteman. Si ini sering jalan dengan si ini, tapi juga sering makan bareng si itu, tapi juga nggak jarang belajar bersama si satunya. Pokoknya mereka berteman akrab. Saling tahu pribadi masing-masing. Dan insyaallah sudah saling mngerti.

Masalahnya adalah, sampai menjelang akhir-akhir semester enam (artinya mendekati tugas akhir), keempatnya tak pernah menegaskan diri siapa partnernya siapa. Desas-desus di luar mungkin menyebutkan kalau A partnernya B, sedang C partnernya D, tapi di antara kami berempat belum ada ketegasan itu. Rumit jadinya. Jika diperbolehkan partnerannya empat orang ya mungkin lebih baik kita berempat saja.

Lalu jalan keluar muncul. Harus ada ketegasan. Kita kemudian syuro. Berempat saja. Lucu mengingatnya saat semua dari kami sama-sama berucap : tak masalah saya berpartner dengan siapa. Maka tambah rumitlah jadinya. Tak mungkin apabila serta merta langsung diputuskan begitu saja. Bingung..sempat buntu, hingga kemudian kita menganalisa plus minus apabila A sama B, A sama C, A sama D, dan seterusnya. Dan seterusnya.

Sempat alot. Bahkan sampai perlu jeda sholat. Sebenarnya masalahnya adalah pada ketidakenakan. Satu sama lain tak enak untuk langsung menegaskan akan berpartner dengan siapa. Semuanya hanya bisa menunggu. Maka waktu sholat itulah, sebelum syuro lagi, diadakan lobi. Pembicaraan dua orang saja. Ngomong baik-baik dan apa adanya.  Tapi omong-omongan santai inilah yang pada akhirnya menghasilkan sebuah keputusan, yang selanjutnya diomongkan resmi. Sampai terjadilah kesepakatan itu. Saya berpartner dengan partner saya yang sekarang (atau mungkin dulu, karena sekarang sudah lulus).

Sungguh, masa-masa berpartner adalah masa-masa saling memahami. Memahami kalau seandainya partner kita nggak bisa setiap saat di lab, memaklumu setiap kali partner kita nggak bisa bareng-bareng mengerjakan tugas akhir karena harus ngelesi mungkin. Maka kedekatan sedari awal menjadi penting. Agar kita mengenal partner kita, bukan hanya luar-luarnya saja. Tapi luar dalam. Agar kesepahaman itu tercipta. Minimal kita sudah pernah bepergian, menginap, dan melakukan transaksi ekonomi dengan dia.

Lalu keterbukaan. Kita paham karena kita tahu. Dan kita tahu tentang partner kita karena partner kita terbuka. Maka apabila terjadi apa-apa pada kita, yang langsung ataupun tidak langsung bakal berimplikasi (buruk) pada tugas akhir, partner kitalah yang pertama kali harus tahu. Jangan sampai ia menyimpulkan sendiri, jangan sampai ia tahu dari orang lain. Bakal buruk jadinya. Hal-hal kecil macam keterlambatanpun kita beritahukan. Agar tak muncul prasangka lebih dulu.

Dan pada akhirnya kebersamaan. Kebersamaan yang harus senantiasa dipupuk. Bukan hanya sebuah kebersamaan kaku sebuah hubungan kerja, tapi lebih dari itu. Kebersamaan dalam keseharian. Bersama untuk makan malam, bersama sholat berjamaah ke majid, atau bersama belanja ke mall. Karena, kalau itu hanyalah sebuah kebersamaan kerja, maka prinsip untung rugi lah yang sering berlaku. Aku lebih banyak kerja dari pada kau. Kau lebih sering ngempi dari pada ngerjain tugas akhir. Tadi giliranku, sekarang giliranmu. Serta ungkapan-ungkapan sejenis. Buruk jadinya. Tak ada kesenangan dalam mengerjakan. Nggak ikhlas.

Maka sekarang, setelah setahun melewati masa-masa berpartner itu, saya menyadari gejolak di sana-sini itu dulu juga sering terjadi. Sering juga iri masalah pembagian kerja, berdebat panjang, atau ketidaksukaan pada beberapa kebiasaan partner.Tapi minimal dengan tiga prinsip di atas, itu semua bisa diredam. Bisa diminimalisir. Sebisa mungkin kita tak marah, tak pernah juga membicarakan keburukan-keburukan partner dengan teman yang lain. Biarlah itu kita simpan sendiri. Kita komunikasikan dengan bahasa-bahasa kita sendiri. Saling menyemangati. Juga sebisa mungkin untuk senantiasa menyeimbangi. Di saat partner sedang down, maka mau tak mau, kitalah yang harus tetap semangat. Seberat apapun itu.

Lalu teman laboratorium saya yang marah tadi, mungkin sudah sangat keterlaluan sekali. Tak bisa dibendung dalam tekanan yang kian menikam. Tapi saya yakin, waktu itu, itu tak bertahan lama. Sebentar lagi mereka akan baikan kembali. Lewat penjelasan-penjelasan, ucapan maaf, serta genggaman tangan mungkin. Dan benar saja, tak perlu lama setelah kejadian itu, mereka sudah terlihat tertawa-tawa bersama.

 

4 comments:

HayaNajma SPS said...

^^

Fauzi anwaR said...

pabrik-pabrik, emang kudu kompak neh. setelah dijalani step-by step beru ketauan kesulitan yang ad (ga kepikir sebelumnya), belum lagi nyesuaiin kebiasaan dengan partner. matur suwun masukannya,

rike rahayu said...

dalam persahabatan&persaudaraan, salah satu yang terpenting saling berkomunikasi.......
hmmmm iya kan ukhty utami...
afwan numpang nyapa partner ana yang lagi sibuk di pare...

iqbal latif said...

uow..utami di pare nih???