Sunday, December 7, 2008

BERKORBAN (Diilhami novel Bidadari-bidadari Surga)

Berangkat ke masjid kampus untuk sholat ied, entah mengapa  mengapa pikiran ini datang. Ternginang-ngiang. Tentang sepenggal kisah dalam novel bidadari-bidadri surga karya tere liye. Pingin nuliskannya lagi, dalam bahasa saya sendiri. Maka jadilah, sepulang sholat langsung ngidupin komputer. ngetik tak tek tok. hingga jadilah ini.

Bagi yang belum baca novelnya, silahkan baca. Pasti akan nemu sepotong pengorbanan Laisa.


********************************************************************



Bagi sebagian orang, malam ini mungkin telah larut. Saat dimana segala kerja dan pengharapan seharian tadi berkesudahan. Mungkin mengendap di alam mimpi. Berlanjut esok hari, saat embun berkilauan jernih di rimbun dedaunan. Lihatlah, di sana, di pemukiman seberang, sempurna senyap. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Sunyi. Tak ada suara. Hanya suara jangkrik saja yang sesekali bersautan, atau katak berkotek, atau mungkin kelebat kelelawar berebut jambu ranum di halaman. Semuanya telah bermimpi. Mimpi dalam sebenar-benar mimpi, dalam pengertian denotatif. Semuanya tertidur. Menghimpun tenaga untuk kerja esok hari, mengumpulkan energi yg tergerus penat seharian tadi.

Bagi sebagian orang yang lain, malam larut bukanlah kesudahan. Buktinya, lihatlah, di sana, di satu pemukiman yang lain, di satu rumah besar nan megah, nampak lampu masih menyala terang. Suara benda-benda yang digerakkan terdengar jelas. Menunjukkan eksistensi manusia-manusia yang masih terjaga. Kerja, kerja, dan mungkin kerja yang masih ada di benak. Tidak, bagi mereka malam bukanlah sebuah kesudahan, atau penundaan, malam hanyalah malam. Seperti waktu yang lain. Hanya masalah rotasi bumi. Hanya masalah pergiliran waktu antara bagian bumi yang satu dengan bagian yang lain. Mimpi-mimpi belum saatnya untuk diendapkan barang sejenak, dalam tidur lelap mungkin, untuk berganti dengan mimpi-mimpi yang lain. Tidak! Harapan masih terus saja bergelanjut manja di tangan-tangan, kaki-kaki, dan juga mata-mata mereka. Menggerakkan. Mengenergi.

Sedang di sebuah rumah yang lain, di perkampungan yang lain, di sebuah rumah yang terbilang serderhana (untuk tidak dikatakan jelek), mungkin tersederhana di pemukiman asri lereng gunung itu, seseorang juga sedang terjaga. Memang tak ada nyala yang menerangi, tak juga ada bunyi-bunyian yang berceloteh. Seseorang itu terduduk dalam kegelapam nan sunyi. Sendiri. Hei, apakah ia termasuk orang yang menganggap malam bukanlah sebuah kesudahan. Ah, rasanya tak juga. Kemarin, kemarinnya lagi, dan kemarin-kemarinnya lagi, seseorang itu, atau mungkin lebih tepatnya seorang perempuan itu , malam-malam begini telah tertidur. Rasa lelah bekerja seharian di areal persawahannya, tersengat matahari sesiangan, membuat ia lebih mudah terlelap, meski mungkin linu-linu di badannya sedikit mengganggu. Apalagi ranjangnya hanya balai-balai bambu tak berkasur.Ia sebenarnya percaya, bahwa malam laksana selimut, sebagai pelindung, tempat segala gundah itu mesti ditanggalkan sejenak, tempat pengharapan itu diletakkan sesaat. Dalam tidur-tidur lelap. Tapi tidak malam ini. Bagaimanalah, bagaimana mungkin ia bisa tertidur jika pikiran itu masih terus mengganggunya. Tak mampu ia letakkan barang sejenak. Bagaimana mungkin ia mampu terpejam jika seharian tadi bungsunya, Yashinta namanya, merajuk ingin sekolah. Ah, memang sudah waktunya gadis mungil itu memasuki bangku persekolahan. Bergabung dengan teman-teman sebayanya yang lain. Tapi konsekuensi dari itu semua sungguh berat. Bersekolah artinya tambahan biaya baru. Uang pendaftaran, seragam-seragan baru, sepatu-sepatu baru, dan nanti pada akhirnya SPP-SPP baru. Dan ia harus menangungnya sendiri. Ah andai suaminya masih berada di sisinya, masih diberi kesempatan menemani malam-malam panjangnya, mungkin keadaannya bisa lebih mudah. Sebenarnya mungkin keadaan tidak lebih baik, ekonomi mereka juga mungkin masih begini-begini saja, tetap mengandalkan sepetak sawah dan juga kerja keras mencari rotan di hutan, tapi setidaknya ia masih punya tempat untuk berbagi. Mentransfer kegelisahan, menyerap kedamaian dari tatap berwibawa suaminya. Tapi kali ini, ia hanya bisa bermonolog, atau berdialog dengan Robbnya. Menangis tanpa air mata. Meneguhkan diri sendiri.

Apakah hanya masalah Yashinta itu yang membebaninya? Sayang sekali tidak. Ia punya lima orang anak. Lima kilau permata buah cinta dia dengan suaminya. Dan semuanya masih bersekolah. Si sulung Laisa yang kelas lima SD, Dalimunte kelas tiga SD, juga Ikanuri dan Wibisana yang sama-sama kelas dua SD. Maka arti itu semuanya adalah : mereka juga butuh biaya. Sudah semingguan ini Ikanuri dan Wibisana merajuk minta uang SPP yang entah sudah menunggak berapa bulan. saat itu, ia hanya bisa memandang teduh, menjanjikan sebuah waktu dimana ia akan melunasi semuanya. Tapi tidak untuk saat ini. Panen jagungnya sedang tidak bagus, rotan pin tak banyak yang diperoleh. Sedang Laisa dan Dalimunte memang tak merajuk, tak mendesak-desak , tapi ia tahu, uang SPP mereka juga menunggak. Hanya karena keduanya memang anak yang baiklah (tapi bukan berarti Ika dan Wibi bukan anak yang baik), sudah mau mengerti bahwa itu tak ada gunanyalah, yang membedakannya. Mereka sadar bahwa itu hanya akan menambah beban ibunya. Suatu saat, saat rizqi itu datang, kata-kata manis ibunya itu pasti dengan sendirinya datang. Mengabarkan pembayaran SPP dengan mata berbinar. Saat ini yang dibutuhkan hanyalah bersabar.

Pffuhhhhh. Ia mendesah. Pelan, pelan saja. Tak akan ada yang mendengar. Dan mungkin tak akan ada yang sadar bahwa ada sesorang yang terduduk di ruang belakang itu. Tapi....., ppfffiihhh, ternyata ada juga desah lain. Di balik pintu.

emak belum tidur?”

oh kamu Lais, kok nggak tidur?” tergeragap

emak belum tidur?”

Menggeleng lemah. Tapi siapa yang mampu melihat gelengan itu dalam gulita seperti ini.

Mendekat, “emak mikiran yashinta ?”

Diam. Kelebat kelelawar sekali lagi terdengar di luar.

emak memikirkan seragam buat yashinta ya? Tentang darimana uang buat pendaftaran yashinta . Tentang cukupkah uang yang didapat untuk membiayai kami berlima kelak”

sebaiknya kita tidur Lais?”

Menggenggam tangan emaknya, diam sesaat, ingin mencoba berucap. Tapi urung. Kelu. Mencoba menatap lembut mata emaknya.

Ada apa Lais?”

mak...” menghela napas, “ jika memang inilah jalan yang terbaik, biarlah, biarlah Lais yang berhenti sekolah. Biar Lais yang akan membantu Mak bekerja di sawah, membantu Mak mencari rotan di hutan. Mungkin dengan itu keadaan bisa lebih baik. mungkin dengan ini beban yang ditanggung Mak bisa jauh berkurang”

TIDAK LAIS!” keras memotong.

demi Dali Mak, demi Ika dan Wibi, dan juga demi Yash. Biarlah seragam Lais dipakai Yashinta. Mungkin agak kebesaran, tapi Emak bisa mengecilkannya. Hanya ini mungkin yang bisa Lais berikan. hanya ini yang bisa Lais lakukan untuk mermbantu emak”

tak boleh ada anak emak yang berhenti sekolah Lais. Tidak juga kau! Biarlah hanya emak yang tak berpendidikan,. Biarlah hanya emak yang bodoh. Tapi tidak kalian Lais! Kalian harus sekolah. Karena dengan itulah janji kehidupan lebih baik akan berbaik hati menyapa”

tidak mak. Lais akan tetap bisa sekolah. Meski bukan dalam pengertian sekolah sebelumnya. Lais masih bisa baca-baca. Masih bisa pinjam buku dari teman-teman lais. Tentu saja lais masih bisa belajar di sela-sela membantu emak.” mendesah, “lagipula Lais perempuan Mak, biarlah Lais yang mengalah. Toh Lais sudah kelas lima. Sudah cukup. Sudah lebih dari Mak. Mungkin dengan melanjutkan pun Lais tidak akan bisa menjadi apa-apa. setidaknya dengan begini Lais bisa lebih bermanfaat”

Jangan berkata sepeti itu Lais. Setidaknya dengan kau tetap sekolah, kesempatan itu masih ada”

Mentap teguh kedua bola mata ibunya “biarlah satu kesempatan itu hilang mak. Tapi empat kesempatan lain serentak terbuka. Kesempatan untuk kehidupan yang lebih baik untuk adik-adik Lais”

Tidak lais. Biarlah hanya emak yang berkorban. Biarlah hanya emak yang akan bekerja lebih keras. Untuk kalian berlima”

Tidak mak. Ijinkan Lais. Demi adik-adik”

Lais—“. Terisak.

Ijinkan Lais Mak?”

Sunyi. Sepi. Hanya getar suara tertahan.

Maafkan Emak Lais? Maafkan emak?”

Malam itu. Di sepertiga malam-Mu Ya Allah. Di saksikan ribuan malaikat yang mengungkung langit desa, ibu anak berpeluk bertangisan. Sang Ibu menangis. Laisa terisak. Laisa memang sedih, sedih pada akhirnya harus meninggalkan bangku sekolah, tapi Laisa tak menyesal mengambil keputusan itu. Berat mungkin sebelum akhirnya keputusan itu terucap malam ini. Berhari-hari ia menimbang. Memikirkan baik-baik. Menjadi dewasa sebelum waktunya. Ya Allah, sebenarnya Lais ingin terus sekolah, merajut mimpi kanak-kanaknya, sekolah setinggi-tingginya. Tapi jika harapan itu harus mengorbankan mimpi-mimpi yang lain, jika keinginan pribadi itu membuat cita-cita adik-adiknya terbengkalai, biarlah, biarlah Lais yang pada akhirnya mengalah. Biarlah Lais yang berkorban demi bakat-bakat menjulang adik-adiknya. Sungguh, tak ada janji kehidupan yang lebih baik, tak ada harapan yang lebih memesona, selain melihat adik-adiknya tumbuh berkembang menjemput cita-cita megah mereka.

Masih lama menuju subuh. Tapi entahlah, di langit desa, tiba-tiba semburat keemasan menyala.Hewan-hewan malam serentak terpekur.








18 comments:

AKP Yudi Randa said...

dulu seorang anak aceh pernah dimarahi oleh ayahnya karena hendak pulang dari jakarta dan tak ingin lagi sekolah demi membantu ayahnya mencari uang agar bisa menyekolahkan adik2nya...
ya semuanya butuh pengorbanan mas..

mas dikau ini di surabaya or pasuruan?

iqbal latif said...

ya surabaya ya pasuruan. Rumah di pasuruan, kos di sby

AKP Yudi Randa said...

klo gitu..ntar daku ke surabaya nebeng ya mas ?hehehehe..:D

iqbal latif said...

boleh...
wah mau ke surabaya mana?? g ke jogja dulu...he he

fifi hasyim said...

T_T (jd kgn sm seseorang)

Anisa Nisa said...

T_T ikut2...

iqbal latif said...

seseorang?? pasti seseorang yg sering ditulis di mp

iqbal latif said...

kali ini mbak anis yg ikutan ayyu..he

ladies me said...

wahhh....bagus yah ceritanya....:(

iqbal latif said...

ada yg lbh bagus : novelnya...

ladies me said...

novel apa tuh mas iqbal????judulnya apa??bisa buat masukan buat daftar novel yang ntar bakalan aku beli...hehehe

iqbal latif said...

lo..judul novelnya kan ada di judul postingan ini...

ladies me said...

ow walah...walah....hihihi....iya kalau itu aku tau mas....aku lupa kalau cerita yang ditulis diatas itu versi tulisan pean sendiri.......maksudku yahhh novelnya itu ceritanya bagus gituloooo....hayahhhh...kok kata2ku mbulet gini tohhh....maap dah bikin bingung :">

AKP Yudi Randa said...

saya pengen kesubaya aja dulu..yang jauh..tapi belum tau kemana harus berteduh..

ali hadun said...

pengentotan

ali hadun said...

alhamdulilah,allah tidak henti2nya mengazab lo
maha besar allah pencipta tsunami dan berbagai azab.untuk bangsa terkutuk,bangsa laknatmu ya allah,bangsa yang telah kau buat bernasib baboe dan koelie,bangsa khadam dan khadamah,bangsa sitirahma lonte murahan
wahai kaum berhidung pesek,tuhan kurang suka dengan kalian
buktinya kalian sebagai insan yang serba dikurangi
hidung amblas kedalam.tubuh pendek kecil kurang gizi dan vitamin.
warna kulit kusam dekil tak sedap dipandang,otak dikurangi bodoh gak ketulungan.
walaupun mereka punya kaca tetapi mata mereka tak mampu melihatnya.
maha besar allah yang mencipta semua ini
alhamdulilah tuhan telah menhukum hamas dan melapangkan jalan bagi bani israel.
semoga tuhan terus melindungi umat pilihanmu ya tuhan dan berikanlah kebodohan kepada bangsa yang memang tidak kau sukai
berikanlah azabmu pada kaum ikut2an.sebagai mana tsunami dan gempa jokja.mereka adalah bangsa miskin dan bodoh.
doa.bukanlah senjata.akal fikiran dan kepandaian lebih ampuh.biarkanlah bangsa2 munafik itu bersetru satu sama lain.
amin ya robbal alamien

Cinderellanty Chan said...

Udah baca beberapa bulan lalu, bukunya OK... :)

iqbal latif said...

yup...setuju