Saturday, April 28, 2012

(catatan perjalanan): di terminal bungurasih

Menulis Indonesia bagaikan mengisahkan sekelumit misteri yang rumit sekaligus menantang. Tak ubahnya mengupas sebiji bawang. Lapisan demi lapisan menguak sejarah, namun begitu terkuak mata kita perih karenanya. Tapi, biarlah mata ini perih. Yang terutama adalah saya berusaha mengelupasi lapisan-lapisan Indonesia. (Ahmad Yunus-Meraba Indonesia)

Siang hari yang Panas. Selalu, ketika pulang kampung seperti ini, pas menginjakkkan kaki di terminal Bungurasih Surabaya, akan ada perdebatan kecil dalam benak saya apakah akan naik bus patas ataukah bus biasa—bus yang selama kuliah dulu saya naiki saat pulang kampung. Saya tak tahu jelas bedanya. Sungguh. Sampai saat ini pun, saya belum pernah memutuskan untuk naik bus patas ketika pulang. Hanya, lewat reka-reka kecil saya, serta dari penampakannya, bus patas akan lebih nyaman dengan fasilitas AC, kepastian tempat duduk, serta tentunya tak akan ngetem sepanjang perjalanan. Meski, tentunya, dengan ongkos yang lebih mahal. Bahkan boleh jadi jauh lebih mahal.

Tak jauh sebenarnya jarak Surabaya-Pasuruan. Tak jauhnya itu, bisa kalian perkirakan dengan ongkos bus untuk menempuhnya yang hanya delapan ribu rupiah saja. Itu tentunya dengan bus biasa dengan armada yang semakin hari makin lusuh, lucek, dan menggerahkan kala dinaiki. Maka, karena dekatnya itulah kemudian membuat saya mendebat diri sendiri ketika ada keinginan untuk naik yang patas saja.

Entahlah, apakah ini subyektivitas saya saja. Kaca mata yang kini berbeda dengan ketika saya dulu masih menjadi anak kos yang berjuang untuk menyelesaikan kuliahnya. Hanya, akhir-akhir ini sepertinya saya melihat bus-bus yang melayani rute Surabaya-jember semakin hari kondisinya kian tak terawat. Jangan harap lagi ada bus Akas dengan kaca bertulikan “AC tariff biasa”. Tak ada. Yang ada, hanya bus-bus dari PO tak terkenal dengan tempat duduk yang sudah lusuh, dan gerahnya minta ampun ketika ngetem di siang yang terik.

Saya tak tahu, apakah rute Surabaya-Jember semakin tak menarik saja hingga tak banyak PO yang tertarik untuk meginvestasikan armada baru dengan fasilitas yang lebih baik. Sedangkan, minimal sepengamatan saya, rute ini selalu ramai, bahkan ketika jam dua dini hari ketika dulu saya sempat pulang jam segitu. Atau, apakah pemikiran seperti ini yang berlaku; ‘jika dengan armada yang asal-asalan saja masih ramai, kenapa pula memakai yang bagus-bagus?’

“Jangan manja!”, inilah kemudian yang berkelebat ketika ada keinginan untuk tidak memilih bus biasa dengan ongkos murah-meriah.”ketika dulu kau semasa kuliah dapat nyaman menaikinya, maka seharusnya sekarangpun kau masih tetap nyaman menaikinya”, demikian lanjut suara itu. “Tapi ini lain, aku sudah kelelahan melakukan perjalanan dari Bontang. Masa masih harus berlelah-lelah lagi di bus yang panas, dengan konsekuensi sewaktu-waktu mesti berdiri dengan tas punggung sarat beban kala ada ibu-ibu yang baru naik dan tak kebagian tempat duduk?”, suara lain kemudian menimpali.

Seru.

Tapi siang itu saya melangkah ke arah yang berbeda dengan sebelum-sebelumnya.Meninggalkan ruang tunggu terminal dengan tas punggung menggantung, tangan kanan menenteng tas bekal untuk kehidupan sepekan ke depan, serta tangan kiri menjinjing kresek berisi oleh-oleh; menuju pemberangkatan bus patas yang melewati Pasuruan. Para calo berteriak menawarkan jasa, tapi saya abaikan. Terus saja melangkah. Tepat di jalur bus patas itu, mata saya melirik sebuah bus yang tengah parkir menunggu penumpang. Tampilannya tak terlalu bagus, tapi sepertinya ada keteraturan di dalamnya. Hati saya gentar, satu dua mencoba berhitung, tapi kemudian kaki saya membelok ke kanan, menuju tempat pemberangkatan bus tarif biasa.

Bus masih kosong, saya langsung saja masuk di deretan kursi untuk dua orang, di bagian depan. Seketika badan terasa gerah. Tapi itu salah saya juga, di siang-siang yang terik khas Surabaya ini masih saja mengenakan jaket, menyamakannya dengan kondisi di pesawat. Sementara penumpang mulai banyak, petugas asongan bersahutan, dan pengamen bersura cempreng meningkahi suasana. Kerongkongan saya haus, tapi yang lewat justru penjual air mineral dingin. Panas-panas begini minum air dingin memang akan berasa nikmat, tapi saya menghindarinya. Tak baik saja, begitu pemahaman saya. Bisa-bisa kepala dibikin pening karenanya. Di Pabrik saya mengenal istilah cooling down, atau heating up yang pelan-pelan. Tak boleh serampangan menurunkan atau menaikkan temperature system sebab dapat merusak material. Maka logika yang sama harusnya juga berlaku untuk tubuh kita. E3ntahlah, kita memang sering concern merawat barangt-barang tapi tak benar-benar serius menjaga tubuh sendiri.

Tapi tak ada lagi penjual air mineral yang masuk. Tumben benar untuk suasana sepanas ini. Maka ketika pada akhirnya penjual air mineral kedua masuk, ketika bus sudah ramai oleh penumpang, mau tak mau, meski sama-sama dingin, akhirnya saya beli juga. ‘Dua ribu”, demikian sebutnya untuk harga sebotolnya. Saya keluarkan selembar uang, dan ia menerimanya. Saya buka tutup botol, lalu saya minum. Tapi tidak langsung tenggak dan mulus melalu kerongkongan. Saya biarkan air itu memenuhi mulut agar tak terlalu dingin ketika tertelan.

Haus sudah tertunaikan ketika kemudian saya sadar. Ah, menyesal sekali jadinya. Saya benar-benar tak teringat bahwa semalan istri memasukkan satu buah air mineral gelas dan teh kotak dalam tas, beberapa saat saja sebelum saya berangkat. Tapi sudah terlanjur. Tak apalah, mungkin ini rejekinya si penjual air mineral. Dan maksud baik istri, tentunya masih akan bermanfaat di kesempatan selanjutnya.

Bus malaju. Saya kemudian bersyukur tak ada penumpang lain yang duduk di samping saya. Bukan kenapa, hanya saja dengan barang bawaan yang banyak seperti ini, pastinya bakal semakin sesak jika tempat duduk ini diisi berdua. Tapi tentu saja bus ini masih harus berhenti di mulut terminal. Di sana, boleh dikatakan terminal kedua dimana banyak penumpang yang tak masuk ke terminal menunggu bus yang diingini.

Asongan masuk sambil menyampaikan berita ke sopir tentang bus lain dengan rute sama baru saja berangkat. Sopir diam, tak terlalu menanggapi. Tapi bagi saya, tentunya itu berita buruk. Jika sopir mengikuti informasi si tukang asongan, maka tentunya ia membiarkan busnya parkir lama, membuat jarak dengan bus sebelumnya menjadi melebar.

Saya salah! Si sopir justru tak memberhentikan busnya lama-lama. Terus saja bergerak meski pelan-pelan dan membiarkan kenek dan kondekturnya tertinggal. Saya bersorak dalam diam. Di sebuah system di mana variable waktu tak terlalu diperhatikan dalam keberangkatan sebuah bus, keputusan sopir untuk tak ngetem adalah anugerah. Jarak menuju Pasuruan menjadi semakin dekat.

Kenek dan kondektur akhirnya masuk. Merangsek ke depan dan terlibat adu mulut ringan dengan sopir. Rupanya, kenek dan kondektur termakan perkataan tukang asongan, tapi si sopir beranggapan lain. Menganggap informasi itu hanya bualan asongan untuk membuat sopir melamakan ngetem yang pada akhirnya menguntungkan dia yang berjualan makanan. Ehmm..benar-benar logika yang tak saya pikirkan sebelumnya.

Bus melaju cepat. Serampangan. Klakson berkali-kali ditekan dengan cara yang sama sekali tak elegan. Taka da yang namanya penumpang adalah konsumen yang berarti raja. Ia diburu untuk cepat naik ataupun turun. Waktu adalah uang. Semakin cepat penumpang turun atau naik, maka semakin banyak kemungkinan untuk mendapatkan penumpang lain. Maka kecepatan menjadi begitu penting,maka mengklakson segala yang menghalangi laju kendaraan juga teramat penting, maka nyawa, ah, entahlah, di manakah letaknya saat itu berada.

Saya kemudian terkantuk-kantuk. Kelelahan setelah melakukan perjalanan darat malam hari Bontang-Balikpapan semakin terasa. Sedikit terselip harap, semoga si sopir mengerti, bahwa rizki itu dari Allah. Hanya dari Allah. Itu saja.


Pasuruan
29April2012

14 comments:

iqbal latif said...

ah, saya sebenarnya tak terlalu suka membuat tulisan yang bikin tak optimis seperti ini. semoga saja tetap ada pelajarannya

Lailatul Qadr said...

Kapan aku bisa ke Bontang lagi, ya???

Prita Kusumaningsih said...

kalau ngajak istri, pilih yg patas ac saja. *pernah ngalami berdiri dari bungurasih - pasuruan*

Moes . said...

kalau mau ke arah solo jogja lebih baik naik Mira AC tarif biasa masbro..
kalau mau cepet gak berhenti2 naik EKA.
disarankan jangan naik Sumber Selamat kalau belum siap iman hehehe

Kalau mau ke arah Malang naik Restu Panda Masbro (AC dan nyaman).

Teguh Rasyid said...

Jadi agen ya, mas? hehe

fauziyyah arimi said...

komen pertama, jstru menekankan ini tulisan tidak optimis. semacam kalimat penjelas

tun hidayah said...

Kok istrinya ga diajak?

Moes . said...

Bukan agen.. tapi calo hahaha

iqbal latif said...

iya, budok..hehe

kalau perlu langsung naik taksi dari bandara :)

iqbal latif said...

berapa lama jadi kenek, mus?

iqbal latif said...

kayake teguh ini pelanggannya mus dulu :)

iqbal latif said...

terus kenapa?

:D

iqbal latif said...

tidak memungkinkan..

lagian ini juga mampir

Moes . said...

Hahahaha