Tuesday, July 1, 2008

Di UGM

Mari sejenak tidak membicarakan postingan sebelumnya. Bercerita tentang perjalanan. Perjalanan yang di awal keberangkatan sempat membuat tak enak. Gusar. Hal aneh untuk sebuah keberangkatan mungkin. Bukankah sebelum-belumnya perjalanan ke daerah baru akan selalu menyenangkan? Selalu tak sabar menunggu keberangkatan. Entahlah.....Tapi yang pasti, jam sebelas malam kala itu, saya sudah terduduk di bus patas Eka jurusan Magelang  Memandang jauh. Pada akhirnya saya pun harus berangkat. Sendiri.

****

Hari kedua di Joja. Wuihhh ada banyak sekali yang sebenarnya ingin saya tulis sejak saya pertama kali sampai di sini. Saat itu masih subuh, turun di perempatan Janti. Dingin, kontras sekali dengan Surabaya yang kayaknya selalu panas. Menghubungi teman untuk  minta dijemput. Agak lama juga menunggu, namun akhirnya sang temanpun muncul. Sudah lama sekali kami tak berjumpa, dan satu perbedaan yang amat mencolok yang langsung bisa saya tangkap dari teman SMA saya ini adalah : ia nampak gemuk kali ini. Semoga saja itu pertanda baik.

Sepintas melihat UGM sambil berkendara motor. Emmh ...lumayan. Lumayan bagus dan lumayan dingin ini badan.

Dan pembuktiannya adalah keesokan harinya. Kos teman saya ini lumayan jauh dari tempat yang ingin saya tuju di Jogja ini. Entah berapa ratus meter saya tak bisa menerkanya, tapi cukup melelahkan juga bagi yang ingin menempuhnya dengan jalan kaki. Perkecualian bagi saya. Sudah pernah saya ceritakan sebelumnya kalau saya adalah pecinta jalan kaki. Pejalan kaki yang tak menemukan kesunyiannya selama kuliah di ITS. Homogen, begitu kemarin saya bilang. Dan di Jogja ini, saya menemukan kembali indahnya berjalan kaki itu. Ah pertama kali saya melihatnya saya langsung suka dengan kota ini (minimal sekitar UGM ini). Saya menemukan apa yang tak bisa saya temukan di Surabaya. Saya bisa menatap apa yang hampir mustahil saya tatap di Surabaya. Dan sayapun kembali merasakan apa yang sudah sangat lama sekali tak saya rasakan.

Indah. Eksotis. Bagimana bisa ada hutan di tengah kota. Ya, benar-benar hutan. Karena terlihat kotor penuh dedaunan kering dasarnya. Pohon-pohon yang menjulang tinggi. Rapat. Ada beberapa bangau malah terlihat nangkring di salah satu puncak pohon tertinggi. Bersuara aneh. Pemandanga yang agak ganjil mengingat tak jauh di bawahnya adalah sebuah jalan yang cukup ramai dan penuh deru kendaraan bermotor. Itu semua adalah pemandangan yang terlihat di Fakultas Kehutanan UGM.

Trotoar yang lebar. Saya suka yang satu ini. Amat nyaman bagi pejalan kaki, terlepas saat sore hari saya sadari ternyata trotoar itu jadi tempat jualan PKL. Khusus hal ini memang kayaknya terjadi di semua kota. Ya, trotoar tadi, memang enak buat pejalan kaki. Pagar-pagar pinggir trotoar pun enak dipandang. Nampak kusam, tonjolan-tonjolan batu hitam; tapi terasa antik dan berkelas Belum pernah saya temui di Surabaya (atau memang karena saya belum keliling kota) trotoar yang senyaman ini. Trotoar di Surabaya sudah sempit, pavingnya banyak yang lepas pula. Terjungakat keatas dan rawan tersaruk. Membahayakan yang berjalan.

Dan bangunan-bangunanya. Inilah yang paling saya suka dari rangkaian perjalanan ini. Tinggi, megah, besar , kokoh. Tapi sekaligus artistik. Jauh dari kesan angkuh model bangunan-bangunan baru sekarang, tidak kakuh seperi kebanyakan bangunan di ITS. Semua bangunannya hampir begitu. Kantor pusatanya: wuih kereeen, pilar-pilar besar tinggi nan angun. Grahanya: ckckckck......, arsitekturnya, tangga-tangga tingginya, halaman luasnya. Masjid kampusnya: subhanallah sekali. Masjidnya mungkin kalah besar dengan masjid Manarul ’ilmi ITS, tapi untuk hal lain kayaknya MMI kalah telak. Masjid ini artistik, banyak warna dengan komposisi pas yang bisa kita lihat di dalam. Halamannya, pot-pot besar yang juga ternyata ada kran air, penataan bangunan pendukung, cara memasang tekel, bazar buku yang ternyata  setiap hari ada disana; itu semua keindahan yang bisa dinikmati di sana. Betah pokoknya berlama-lama. Bisa juga tiduran sambil menikmati semilir angin, berbantalkan jaket (*kebiasaan di ITS*)

 Banyak, banyak hal lain lagi yang mendukung saya untuk menyukai tempat ini. Tidak hanya tiga hal tadi. Banyak sekali pohon, di mana-mana pohon. Beraneka macam pohon. Tidak melulu pohon sono seperti di ITS. Bervariasi. Tapi yang sempat membuat saya berhenti sejenak untuk memandangnya lamat-lamat adalah dua pohon beringin yang saya temui saat saya berjalan menuju masjid. Pohonnya besar, rindang dengan akar gantungnya yang menjuntai. Bagian yang paling saya sukai adalah tempat duduk-duduk yang ada dibawah beringin itu. Ah nyaman sekali kelihatannya bisa duduk-duduk di sana. Teduh, lebar, pandangan luas, semilir angin membelai. Lain waktu akan saya coba., sambil makan dagangan kaki lima. Segera.

Yang terakhir dari keindahan yang bisa saya sebutkan adalah warung-warungnya. Menarik sekali. Unik-unik. Tidak namanya, tidak pula interiornya. Menunya juga. Sego macan-lah, sambel mercon-lah, oseng-oseng tulang ayam-lah, sego kucing-lah, serta lah-lah  yang lain. Tidak seperti di keputih, kayaknya saya tak akan kebingungan mencari menu yang sesuai. Tapi tidak tahu juga harganya, mahal atau tidak. Yang jelas kalau warung model angkringan kebanyakan murah. Saya sudah membuktikannya, satu porsi kecil nasi (karena porsinya kecil maka sering disebut nasi kucing) seribu rupiah. Tinggal pilih lauknya kemudian: telur seribu, sedangkan gorengan tiga ratus. Murah meriah. Bayangkan dengan mengambil lima macam lauk gorengan kita cukup bayar dua setengah. Tapi tentu saja gorengannya paling banter cuma tempe tahu tadi. Rasanyapun enak, tak semengerikan cerita-cerita yang dulu saya dengar.

 Upps, hampir kelupaan, ngomongin makanan, kemarin dan tadi saya melihat ada penjual kacang godok mangkal di sebuah pertigaan. Bukan kacang godoknya ini yang penting, kalo itu ma di depan Sakinah ada, tapi ternyata bapak penjual kacang godok ini juga menjual ketela rambat rebus. Lima ratus perumbi. Wah saya jadi berandai-andai jika saja bapak ini berjualan di keputih maka bakal jadi alternatif yang cukup jitu saat persediaan uang sedang sekarat. Saya telah mencobanya, satu umbi saja sudah kenyang. Dan, cukup lima ratus perak tadi. Sehat pula, kan tak digoreng?

Sebenarnya ini bukan kunjungan pertama saya ke Jogja. Kira-kira ini yang ketiga, terakhir kali pas rekreasi kelulusan SMP. Tapi ya itu tadi, baru kali ini saya tangkap keindahan Jogja, yang jauh dari kebisingan deru industri. Ah jadi ingat lagunya Katon. Pulang ke kotamu......ada...

7 comments:

AKP Yudi Randa said...

kapan ya ke bisa kejogja..:)

Fitria Amathonte said...

jogja
emang indah

jogja berhati nyaman
tuh semoboyan kota jogja
hehe

Kang Arul Khan said...

jogya i miss u

fifi hasyim said...

hmmm, joGja memang indah, smua org rata2 suka. Sy jg suka, tapi tidak terLaLu suka stLh d Sby. Sby jauh-jauh Lbh indah (hehehe...). KaLau Jogja mungkin punya siMboL kenyamanan (meNurut sy), Sby bErarti siMboL pErjuanGan (mNurut sy Lg), Sby kota pahLawan, meski paNas, tapi sy sangat2 menciNtainya, apaPun oRg biLang.
btw, Enak ni LibuRannya....? ckckckck.....kTemu JV (Justice Voice, itu Lho, grup nasyid) gak? hehehe.....haRusnya kMarEn nitip saLam (hehehe..yg ini bCanda, jGn cEramahi sy). Masjid d UGM kyk gMana? wuah....mz bnyK coMpare nich cRitanya (anak2 arsiTek skaLi2 ke UGM gtu biar Liat).....kaLo sy pEngennya, MMI tu gak didoMinasi Laki2, hiksss.....dr ujung kaNan mPe kiRi d MMI, sEtiap suDutnya! ckckck....
(*skaLi2, bikin postingan yG mEmbEdah kEuNikan Sby, keLebihan ITS, he2, pasti aDa baNyak haL yG oKe seLain 'paNas'-nya*)

Akhi Dirman Al-Amin said...

Yogya?! wah, banyak kenangan yang ingin kurangkai dalam cerita tentangnya.

'Titin Fatimah' said...

I love UGM, my lovely campus...!!! ^_^

ilalang hijau said...

jadi terprovokasi menyambangi Jogja suatu waktu nanti...:)