Tuesday, October 7, 2008

anak-anak........

Jangan melarang, itu tidak efektif. Tapi alihkan perhatiannya.

Demikianlah kata ari nur, secara tak langsung, lewat tokoh rani dalam novelnya yang berjudul dilatasi memori. Saat itu rani mendapati anaknya, rifki, tak mau untuk mematikan televise. Padahal acara yang tayang hanyalah gossip-gosip sama telenovela. Seperti yang disebutkan di atas, rani tidak melarang anaknya itu serta merta, karena menurutnya, kalau dilarang rifki malah penasaran dan akan menonton secara sembunyi-sembunyi ketika orang tua tidak ada. Saat itu ia hanya mencoba mengalihkan perhatian anaknya itu. Menghindar pergi dan tak menemani anaknya itu nonton.

“kok mama pegi sih?”. Anaknya bertanya. (pancingan pertama berhasil).

“mama mau main.”

“aaa..mama sini, dooong!”

“nggak ah. Mama mau main.”

“main apa, ma?”. (pancingan kedua berhasil)

“makanya siniiii...ikut mama main”.

Demikianlah, akhirnya rifki terlupa dari televisinya. Rani dengan lihai mengalihkan perhatian anaknya itu, dengan hal yang lebih menarik mungkin dari sekedar nonton televise.

Dan begitulah, sampai saat ini sebenarnya saya tak pernah membaca buku yang spesifik memmbahas tentang psikologi anak serta tetak bengeknya. Tidak juga mengikuti kajian tentang itu. Hanya sekali dua kali saja kebetulan ketemu artikel tentang itu di media massa dan kemudian membacanya. Manggut-manggut sebentar. Dan, ya sudah! Cukup sebagai pengetahuan.

Saya percaya, bukan hal yang terpat lagi mendidik anak hanya dengan pelarangan-pelarangan tak berdasar, pembohongan-pembohongan gaya lama. Tidak, itu tak baik bagi perkembangan anak. Kejam sekali menurut saya orang tua yang melakukan itu pada anaknya.

Namun begitu, saya jarang atau bahkan belum pernah menerapkannya. Tentu saja, karena saya belum punya anak. Sebenarnya, hal yang disebutkan ari nur dalam novelnya itu banyak juga yang diterapkan masyarakat. Minimal masyarakat sekitar saya. Hanya saja cara pengalihan perhatiannya yang tidak benar. Karena caranya lagi-lagi menggunakan pembohongan. Tak ada cara jelek untuk menyampaikan hal baik, demikian salah satu pernyataan Mario Teguh dalam suatu acara di metro tv beberapa hari yang lalu. Karena, itu akan menyebabkan kebaikan itu jadi terlihat jelek.

cup..cup..cup...engkok lek gak meneng diparani wewe lo.”. Aduh, mana coba hubungan antara menangisnya anak dengan wewe tadi. Lagipula, ini secara tak langsung juga mengajarkan si anak untuk mempercayai hal-hal tahayul macam itu.

“gak bisa...mallnya kebakaran”. Ini adalah salah satu cara orangtua menenangkan anaknya yang merengek minta ke mall yang pernah saya dengar. Pembohongan. Pantas di negeri ini penuh dengan pembohong-pembohong wong sejak kecil sudah sering  dibohongi, demikian ucap salah satu pembicara dalam sebuah kajian yang saya ikuti. Sebenarya, anak juga mengerti apakah alasan itu cukup rasional apa nggak. Tapi kitalah yang begitu malasnya untuk memberikan pemahaman kepada anak-anak kita. Sulit memang, sulit karena itu itu tak jarang harus dilakukan di tengah kesibukan yang melelahkan. Tapi hasil yang akan diperoleh insyaallah  bakalan setimpal dengan usahanya.

Banyak sebenarnya contoh yang lain. Salah satu yang cukup populer di daerah saya adalah “orang gila”. Memanfaatkan orang gila untuk menakut-nakuti anak dengan harapan berhenti dari tangisnya. Tentu saja ini amat tak baik bagi psilokogi anak.

Tapi, meskipun tak setuju dengan hal-hal tersebut di atas, saya lebih sering tak bisa berbuat apa-apa (kadang karena memang bukan wilayah saya, kadang juga begitu jahatnya membatin kalau itu toh bukan anak saya, lagi malas). Hanya menggerutu dalam hati. Sampai lebaran kemarin kesempatan itu datang. Pagi hari ketika saya baca-baca di ruang tamu sambil ngemil kue lebaran, keponakan saya nangis. Umurnya masih lima tahun. Cewek. Dari rengekannya terdengar jelas kalau ia minta ke kolam renang. Di desa saya memang ada pemandian umum yang tiket masuknya sekitar 4000. Tentu saja ibunya menolak, pagi-pagi begini, lagipula ayahnya sudah berangkat kerja. Perasaan memang baru dua atau tiga hari yang lalu saja keponakan saya itu merengek minta kesana dan dituruti oleh orang tuanya. Tapi keponakan saya terus merengek, malah minta ayahnya suruh pulang. Gawat. Tentu saja ibunya yang sedang menyapu itu hanya ngomel-ngomel tak mengizinkan. Mengeluarkan kosakata yang tak sepantasnya diucapkan ke anak kecil. Beruntunglah, pagi itu saya lagi baik. Biasa-biasanya sih ikutan berpikir pendek marah-marah, atau minimal tak peduli. Cuek bebek. Saya pun mendekati keponakan saya itu. Alangkah jahatnya saya kalau tahu ilmunya tapi tak mengaplikasikannya.

Keponakan saya itu tiduran di ranjang sambil merengek. Menutup wajahnya dengan bantal. Bila itu sudah dilakukannya pertanda kalau ia lagi ngambek. Bakalan lama reda tangisnya. Saya pun menjajarinya tidur. Saya teringata bahwa awal-awal lebaran kemarin saya memdongengi keponakan saya ini tentang delisa, seorang tokoh rekaan dalam novel hafalan sholat delisa. Dan kemarin itu, cerita itu bersambung. Saya males waktu itu melanjutkannya. Maka saya pun menawarinya untuk melanjutkannya. Ia tak menolak juga tak mengiyakan. Sayapun mulai membisikkan kelanjutan cerita itu. Awalnya ia tak peduli, tetap menangis. Tapi saya teruskan. Hingga ketika saya sampai pada ketika tsunami menerjang, tangisnya mulai perlahan mereda dan ia merespon.

“keseret--??”. Ia bertanya.

inggih... keseret. Kesilep. Ngerti kesilep?”. Saya balik bertanya, mengajaknya  berpartisipasi dan berharap ia melupakan masalah kolam renang itu.

ngerti...ono ningsore banyu”. He..he. Saya tersesyum dalam hati, ternyata anak kecil punya definisi-definisi unik yang bahkan tak saya perkirakan sebelumnya. Usaha saya mulai menampakkan hasil.

Demikianlah, sampai akhirnya ia lupa sudah dengan kolam renang. Kembali bangkit dari ranjang dan mulai ceria. Saya tak menyangka bahwa urusan ini ternyata mudah saja. Cerita tadi, ternyata lebih menarik baginya, dibandingkan harus bersusah payah menangis tanpa kejelasan hasil .

Tapi siangnya saya terkaget. Saat itu saya tidur di kamar. Keponakan saya merengek lagi. Dan apa yang direngekkan membuat saya tersenyum geli.

“yahh....nang kolam”.

Ternyata, siang itu ayahnya hanya kerja setengah hari, mungkin karena hari pertama masuk.  Saya pun geleng-geleng kepala. Saya sungguh keliru, urusan kolam renang ini tidak benar-benar terlupa dari kehendaknya. Tadi pagi, usaha saya saya itu ternyata hanyalah penundaan saja.

Tapi siang itu saya tak bangkit. Tak lagi meneruskan sekuel lanjutan delisa tadi. Biarlah, lagian ke kolam renang itung-itung buat latihan renang baginya.

Beberapa saat kemudian terdengat suara sepeda terstarter. Sebelumnya, tangis keponakan saya itu reda. Dan tentu saja, redanya karena kehendaknya dituruti ayahnya.

 

 

 

14 comments:

sf.lussy dwiutami said...

Setuju... Jangan memberikan larangan tanpa alasan yg jls, apalagi ada bumbu bohongismenya segala.

Ada kejadian nyata nih : ada teman yg takut bgt sama cicak, ternyata penyebabnya sejak kecil klo g mau makan slalu diomongin gini sama ibunya : "klo gak mau makan, nanti ibu ambilin cicak nih"

AKP Yudi Randa said...

yudi malah belum baca novelnya..:D
pinjem dong..:D

utari ninghadiyati said...

wah latihan jadi orangtuanya sukses dong

iqbal latif said...

cicak?? yah emang kadang orangtua kreatif untuk gini2an...untuk nakuti. tapi sayangnya kreatifnya g pada tempatnya. bohong.

iqbal latif said...

pinjem di gramedia aja :)

iqbal latif said...

he he...kebetulan aja pagi itu muncul baiknya...kata keponakan saya itu..saya itu pamannya yang paling jahat :)

AKP Yudi Randa said...

masalahnya nggak dikasih pinjem mas..
melainkan ngasih dia duit hehehe

wahyu narulita dewi said...

wah habis baca jadi keinget sepupu2 aku yang kadang diboongin juga biar diem,,,
mmmm,,, bisa jadi referensi ni kalau pulang,,

iqbal latif said...

udah mau pulang yah???

fifi hasyim said...

memang, larangan itu gak efektif...(btw, ponakannya keren y....maw dengerin ceritaya delisa....tp pst gak pke nangis2 dgr critanya...he he...)

wahyu narulita dewi said...

Insya Allah desember tahun ini..Nambahin aja, kalau di Indo kebebasan dan memancing anak supaya bisa mengutarakan pendapat dan bertanya kadang kurang di hiraukan. Padahal menurut buku yang aku baca (lupa judulnya), dengan membiarkan mereka bertanya dan mengutarakan isi kepala mereka dapat memancing kecerdasan, apa lagi di usia balita.

iqbal latif said...

ya g pake nangis lah...justru yang semula nangis, saat denger cerita delisa...malah g nangis...
btw, anak kecil tuh keren juga daya tangkapanya, kemarin pas saya ceritain kirain cm masuk telinga kanan keluar telinga kiri. eh ternyata pas ditanyain ayahnya apa yg tadi diceritain aku...ia bisa ngutarain semua tuh apa yg aku ceritain. meski sepotong2

www.cuniq.co.cc (irma) said...

hihihi..... klo saya sih emg brusaha seideal mungkin pada anak saya (naufal 7m). no tv (skrg ini jarang sekali bayi g disetelin tv sama ibunya, mulai dari baby tv yang katanya bikin otak bebi pinter, padahal malah bikin bayi ketergantungan tv terlalu dini), makan sambil duduk tanpa digendong dll. sayangnya g da pelatihan jadi ibu buat para akhwat, paling paling pelatihannya cm jd istri solehah, tanpa tau jd ibu yg baik (jaman saya dulu sih, g tau sekarang. mungkin udah maju y?)

iqbal latif said...

pelatihan ayah buat para ikhwan juga g ada...
wkwkwkw