Thursday, September 25, 2008

K-E-P-E-R-G-I-A-N (catatan detik-detik terakhir seorang kawan)

            Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu atas debu

Dan duka maha tuan bertakhta

(Nisan, Chairil Anwar)

 

 

Suatu ketika, dalam sebuah ceramah terawih di masjid kampus UGM, menkominfo, Pak Nuh, pernah menyatakan bahwa semakin puncak kebutuhan seorang manusia maka semakin sedikit orang-orang yang bisa berpartisipasi untuk bisa memenuhi kebutuhan itu. Dalam bahasa matematika, pernyataan ini dinyatakan  dengan saat dy/dx mendekati 0. Ada banyak sekali kebutuhan manusia, tak terhitung malah. Berbeda antara satu manusia dengan manusia lain. Kitapun kemudian sepertinya berlomba-lomba untuk mencoba memenuhi kebutuhan  itu. Dengan usaha kita sendiri, tapi yang lebih sering melalui bantuan orang lain. Dengan tanpa mengeluarkan sepeser uangpun, tapi tak jarang pula dengan mengorbankan tak terkira harta kita. Namun, pernahkah kita mencoba merenungi, apakah sebenarnya kebutuhan puncak kita itu. Makan? Kalau kita mengikuti pernyataan Pak Nuh diatas, rasa-rasanya tidak, teramat tidak malah. Banyak sekali orang-orang yang berperan untuk memenuhi kebutuhan kita itu; ada pak tani, ada si pembuat piring, kadang ibu yang telah memasakkan kita, terkadang pula pelayan restoran yang dengan ramah mengantarkan pesanan kita. Tidur? Lagi-lagi tidak. Bukankah banyak sekali yang berperan sampai kita bisa tidur dengan lelap. Saat itu, pak Nuh mengungkapkan, bahwa salah satu kebutuhan puncak kita itu adalah sakaratul maut. Bagaimana menjemput kematian dengan khusnul khotimah. Cobalah kita hitung, atau bayangkan, berapa kiranya orang yang mampu membimbing seorang yang mau meninggal dengan kalimat tauhid. Setelah itu, kita akan tahu sendiri jawabannya.

Kematian. Lagi-lagi kematian yang harus saya tulis. Apa mau dikata, memang inilah yang benar-benar terjadi. Memang inilah yang sedang mengaduk-aduk emosi saya kali ini. Benar-benar mengaduk. Hingga saat ini.

Kemarin, hari rabu, sekitar jam sepuluh pagi, sebuah SMS masuk ke ponsel saya. Isinya singkat, tepat, mengena. ”Bal bisa ke RS? Sekarang Ari buruk banget. Please”. Deg. Seketika saya merinding, terbengong sesaat. Berbagai macam pikiran berkelebat. Sudah sebulan lebih teman saya itu diopname di RS. Dengan hasil diagnosa penyakit yang gonta-ganti mulai dari amnesia plastis, leukimia, hingga MDS. Sudah berbagai macam SMS dan perbincangan mengenai dia selama ini. Sebelum-sebelumnya saya tak seperti ini.Tapi sms kali ini..sangat berbeda. Saya galau.  Kontrakan sepi, semua sudah berangkat ke kampus. Saya kemudian menghubungi seorang teman. Mengabarkan ini. Mengajaknya untuk ke RS. Tak bisa. Ia ada keperluan ke Dosen. Saya hubungi teman satunya. Tak bisa juga. Ada kuliah sebentar lagi. Teman saya yang ketiga kemudian saya hubungi. Alhamdulillah bisa.

Tapi kemudian ia tak kunjung datang menjemput saya. Hati ini sudah galau, tak sabar lagi. Entah apakah ini efek relativitas waktu atau tidak. Yang pasti menunggu kali itu terasa lama sekali. Saya coba menenangkan diri dengan membaca Al-qur’an. Tapi suara saya bergetar. Ya Allah...ada apa ini.

Alhamdulillah kemudian suara motor terdengar. Teman saya datang. Saya pun bergegas mengambil helm. Segera meluncur ke RS Dr Soetomo.

Baru saja keluar dari area ITS, teman saya SMS. ”Bal, bawa teman-teman yang banyak ke RS”. Ya Allah, ini pasti serius. SMS pendek seringkali dikirimkan oleh seseorang yang sudah tak tahu lagi harus menuliskan apa. Entah apa yang terpikirkan saya kala itu. Tak tahu sudah. Semuanya berebut memenuhi pikiran. Mata saya  mulai memanas.

Hanya tiga orang teman lelaki yang ada di luar ruangan ketika kami tiba di RS itu. Tak ada muka optimis sama sekali di wajah mereka. Saya bergegas masuk. Suasana sebenarnya sepi, sudah sedikit pasien yang diopname di ruangan lebar itu. Tapi seketika itu menjadi tidak. Ada badai yang mengguruh. Hanya ada bapak dan ibunya disana. Mengapit di kedua sisi. Ah saya tak mampu menatap, tak mampu lagi menatap ibu yang sudah sebulan lebih menjaga anaknya di RS ini. Ya Allah, matanya merah. Merah dan berair. Apa gerangan yang sedang berkecamuk di dadanya? Apa kiranya harapan yang mulai perlahan terhapus dari hatinya. Ah, siapakah orang yang tahan melihat seorang ibu yang menangis untuk anaknya.

Dan teman saya, Bustari, nampak tersengal kesulitan bernafas. Berbagai peralatan medis memenuhi hidungnya. Sang bapak, ya sang bapak yang terlihat pendiam di tiap kali kunjungan saya ke situ, nampak telaten membisikkan kalimat tauhid di telinga teman saya itu. Duhai, apakah yang kau bayangkan saat seseorang sudah membisikkan kalimat itu. Persis di dekat telinga. Dengan sura perlahan. Dengan suara yang dipenuhi sesenggukan. Dan di depanmu, penuh oleh pemandangan yang teramat menggetarkan. Seorang bapak yang dulu mungkin telah mengumandangkan adzan di hari pertama teman saya itu (dalam nuansa yang diliputi keharuan mungkin), hari ini....... membisikkan kalimat tauhid di telinga anaknya itu dengan nuansa berbeda.

Tapi kemudian saya mencoba mendekat. Menyentuh tangan kanannya. Pias. Dingin. Sudah teramat dekat mungkin. Kedua orang tuanya menoleh. Menggumamkan sesuatu. Tapi suaranya gentar. ”Perutnya kembung dan keras”. Saya raba perutnya. Benar. Kenapa jadi begini? Saya pegang kembali tangannya. Mencoba menggenggam. Mencoba berpartisipasi memenuhi kebutuhannya. (*saat itu, saat itulah Ya Allah. Hamba merasa begitu tak berdaya. Merasa kecil. Merasa hina. Apalah artinya kami. Betapa sombongnya kami,....yang baru saja ini, atau kemarin, atau seminggu yang lalu, atau setahun yang lalu, atau bahkan di setiap hari kami, kami melupakanMU*).

Saya lalu beringsut mundur. Mencoba mencari keterangan dari teman yang lebih dulu datang.

”Hati dan limpanya dipenuhi darah kotor. Itu darah kotornya sedang disedot lewat selang yang merah muda. Semakin banyak yang dikeluarkan semakin baik. Tekanan darahnya 90/60. Nadinya 40, padahal normalnya itu sekitar 16-25.”

Apa artinya itu? Tak banyak yang terpikirkan. Tapi kemudian yang terlihat para medis terlihat bergegas menghampiri. Menyuntikkan sesuatu. Mengambil sampel darah. Tiga sampai empat orang yang menangani. Bersamaan dengan itu ketua jurusan dan rombongan datang. Keadaan tak banyak berubah. Menit-menit berjalan mencekam. Aura murung menyelimuti.

Satu persatu kemudian teman-teman datang. SMS-SMS itu telah menyebar dengan cepat. Sementara keadaan kian memburuk. Mata-mata mulai memerah. Air mata mulai banyak merembes. Ya Allah!!! Dia teman kami. Bagaimanakah ini?

Dan tiba-tiba suara mengeras. Suara ibu teman saya itu. Tak jelas lagi yang dia ucapkan. Tangis telah mengaburkan semua. Teman saya itu mulai tak tersengal lagi. Tapi ini pertanda yang sangat buruk sekali. Dan tangis itu....amat memilukan mendengarnya, amat menyesakkan melihatnya. Bagaimanalah? Ia seorang ibu, seorang ibu yang telah melahirkannya, yang telah merawatnya dengan cinta, yang pastinya telah betapa merindunya tahun-tahun belakangan ini menanti bungsunya pulang membawa gelar ST. Dan hari ini.........

Lalu tangis itu pecah sempurna sudah. Innaa lillahi wa innaa ilayhi roji’un. Teman kami , saudara kami yang bersahaja, sie perijinan tangguh kami, pemain futsall kami yang selalu bersemangat, komting thermodinamika I kami, teman begadang mengerjakan laporan, koordinator latihan bulu tangkis kami, tempat kami ngutang beli pulsa, menghembuskan nafas terakhirnya. Di sepuluh hari ramadhan ini.

SMS duka bergerak cepat. Suara-suara bergetar mengabarkan berita. Berita cepat terkirim. Forward! Forward! SMS yang sama memenuhi inbox. Dihapus, datang lagi. Ah siapa lagi yang peduli pulsa. Semua dikabari. Entah sudah tahu atau belum, entah sudah mendengar atau tidak. Berita duka itu menyerbu.

Mata kamipun basah. Sakit. Tertunduk.

Ya Allah, sungguh! Di bulan ramadhan ini, seperti halnya berita itu yang deras menyerbu, maka begitupula deraskanlah ampunanMu. Atas mungkin kelalaian yang ia lakukan. Atas kesalahan yang ia perbuat. Bukankah ini adalah bulan penuh maghfiroh ya Allah? Bukankah ampunanmu deras menyerbu bumi? Jika toh, jika toh memang ia punya salah pada kami, kami ikhlas Ya Allah. Kami ikhlas. Mudahkanlah jalannya! Sama halnya ia dulu telah banyak memudahkan urusan kami.

Selamat jalan kawan! Sungguh, tekkim 2004 kehilangan salah satu komponen terbaiknya.

 

 

 

20 comments:

An Diana said...

inaalillahi...al-fatihah...temannya kena kanker hati bukan?soalnya keadaannya persis dengan almarhumah mama...

megia utari said...

Innaalillahi wa inna ilayhi roji'un...
Semoga Alloh menerima segala amal ibadah akh Bustari..
di lapangkan kuburnya......
Amin ya Rabbal alamin...

semoga keluarga dan sahabat yg ditinggalkan tabah dan tawakal

iqbal latif said...

gag tw pasti, pertama didiagnosa amnesia plastis, terus leukimia, terus mds. yang pasti trombositnya drop banget

An Diana said...

ic...semoga Allah mengangkat segala dosa dengan sakit danwafatnya..amien...

iqbal latif said...

amin..terima kasih
salam kenal

Likah - Syafa Azizah said...

semoga semua diberikan ketabahan dan ia pun mendapatkan yang terbaik di sisi-Nya...

iqbal latif said...

amin...amin...terima kasih do'anya.
oh ya..jenazahnya sudah diterbangkan ke bengkulu

Budi Setiawan said...

Innalillahi wa innaillaihi rojiun. Semoga kepergian teman antum di bulan baik ini, adalah jalan terbaik untuk teman antum tersebut.

iqbal latif said...

amin..semoga...

fifi hasyim said...

Semua akan kembali padaNya. Semoga mz Bustari diberikan tempat terbaik disisi-Nya. amien.

iqbal latif said...

y,y,y dan akan sampai juga giliran kita.
seorang teman kemarin mengatakan " ya gmana lagi bal...namanya juga manusia".

Atik Savitri said...

Innalillahi wa Innaillahi Rajiun.. Air mata saya meleleh membaca tulisan antm. Bgmn tidak, ktika siang itu sy di angkot P menuju Karang Menjangan, sy bertemu dg seorg mhswi TekKim smster akhir yg bercerita bhw temannya meninggal krn leukimia. Dia crta bhw tmnnya anak perantauan dari Bengkulu dan sudah sebulan ini masuk rmh sakit. Ya, Allah.. wkt itu sy merenung..ikut berduka cita. Usianya mungkin seperti sy, dan saya b'pikir dia akhwat (af1 klo trnyata sy slh),.. memikirkan perjuangannya melawan penyakit,, T_T Ya Allah.. kita tak pernah tau akan 'dipundut' sama Allah kpn.. maka selayaknya kita semua slalu m'persiapkan utk itu..
Smg Allah melapangkan kuburnya, mengampuni dosa2nya, dan menerima semua amal ibadahnya. Amiin..

iqbal latif said...

baru kali ini saya kehilangan seseorang yang bs dikatakan dekat dg saya. Aduh pernah kita nglembur bareng ngerjain laporan di kamar saya. saya g tdur semaleman, tapi akhirnya dy kecapekan juga. Tertidur. baru esok paginya dy menawarkan diri untuk yg ngeprint laporan. sy tdr. Dan siangnya, eh ternyata yg keprint justru yang salah. sempet dimarahin asisten tp cm bs nyengir sj sambil sibuk njelasin kalau itu kesalahan teknis. Untung saja asistennya g marah.
fyuh....!

wahyu narulita dewi said...

Innalillahi Wa Innaillaihi Rajiun. Semoga amal ibadahnya diterima dan dosa2nya diampuni oleh Allah..
Aku merinding saat membaca, teringat bahwa kematian tak memandang umur..uhh dosa yang masih menggunung.
eh maaf, kak bustari itu yang mana ya??

iqbal latif said...

itu..sudah saya pasang fotonya. yang pake jeans dan kaos putih. bersendekap.

Fauzi anwaR said...

bal,hri ini (5-11-'08) dah 40 hari bustari meninggal. emang sakit banget kehilangan teman di masa muda, mbayangin harapan yang dah tergantung. tapi Alloh pasti pnya rencana terbaik.
I'm really cry read your postings,rasane masih baru banget, qta kumpul 2 di taman,bhkan sebulan sakitnya qta ngrasa menjadi satu angkatan yang kmpak banget.
smoga Bustari diberi jalan terbaik,amiiin.

galuh wirama said...

Merasa kembali ke waktu itu.... Sedih bal membaca tulisan ini.... Mengingatkan akan kehilangan salah satu keluarga k-44 kita....
Berkaca-kaca membaca ini... mengingatkanku sosok yg sudah 2 tahunan ini tiada.... Semoga Bustari selalu diberi kelancaran dan kemudahan di sisi-Nya... Amin....

iqbal latif said...

membaca ini, wir..bahkan aku diingatkan oleh tulisanku sendiri...


--inilah gunanya menulis--

akuAi Semangka said...

tandai dulu--

akuAi Semangka said...

3 tahun berlalu... Tapi tulisan ini tetap hidup. Sebuah renungan yang baik.