Rating: | ★★★★ |
Category: | Books |
Genre: | Parenting & Families |
Author: | Neno Warisman |
Learning by doing itu juga tak benar. Sungguh buruk efeknya. Cukuplah kiranya belajar sambil mengerjakan ujian sebagai contohnya. Sangat tidak efektif. Menghabiskan waktu, grogi, keringetan, tergesa-gesa, dan rawan toleh kanan-kiri. Berbeda halnya jika pemahaman itu telah tertanam dalam di diri kita, telah kita pelajari dengan tekun sebelum-sebelumnya, maka kita akan memasuki ruang ujian dengan ketenangan yang luar biasa, dengan kepercayaan diri yang menyala, dan senyum. Sebab yang bakal tersoalkan selanjutnya, hanyalah pengembangan dari pemahaman yang sudah terinternalisasi. Ah, mudah saja! Begitu kiranya.
Begitu juga saat saya membaca ‘Matahari Odi Bersinar karena Maghfi’ ini. Berharap bakal ada pemahaman yang lebih dulu terbangun jauh hari sebelum medan itu benar-benar tergelar.Berharap bakal ada ilmu yang lebih dulu tertanam sebelum amal itu mau tak mau mesti terlakukan. Dan benar saja! Bertajuk sebagai sebuah buku pengasuhan anak yang menggetarkan, buku ini akan menggiring anda ke sebuah pemahaman, bahwa menjadi ibu, atau orang tua, sungguh adalah sebuah profesi mulia yang sama sekali tak bisa disepelekan. Ada tanggung jawab di sana. Sebuah tanggung jawab untuk mengantarkan buah-buah hati kita menuju jalan cinta. Sebuah seni.
Mbak Neno Warisman, penulis buku ini, sungguh dengan indah menyajikan 23 opera keluarga –begitu beliau menyebut tulisan-tulisannya kali ini- dalam buku ini dengan hati. Dengan bahasa yang lincah dan penuturan yang ekspresif, mbak neno berhasil menyajikan penggal-penggal kehidupan rumah tangganya bersama tiga buah hatinya dengan sukses. Sebuah celoteh anak-anak biasa sebenarnya. Tapi, di tangan seorang ibu yang paham betul tentang kesempatan sekecil apapun mesti direbut, maka celoteh atau tingkah pola ketiga buah hatinya itu bisa menjadi jalan untuk sebuah pemahaman tentang ketauhidan atau kearifan.
Lihatlah di opera pertama! Mbak neno bercerita tentang puteri keduanyanya yang bertanya tentang nabi Musa. “Bu, emangnya nabi Musa ketemu Tuhan?”, begitu tanya puterinya. Akuilah kawan, bukankah itu pertanyaan hebat untuk anak sekecil itu? pertanyaan yang seringkali tinggal perrtanyaan karena teralamatkan kepada orang tua yang tak paham benar bahwa keingintahuan anak harus tertuntaskan dengan sebuah jawaban benar dan memuasakan untuk anak seusianya. Tapi alhamdulillah, pertanyaan tadi mampir ke telinga seorang bunda yang ‘benar’. Maka itu mejadi golden opportunity baginya yang harus segera direbut. Mbak neno kemudian berhasil menggiring pertanyaan tadi ke sebuah pemahaman tentang tauhid dengan dialog-dialognya yang memikat. Duh, saya kemudian berpikir, bukannya masalah tauhid inilah yang bertahun-tahun digarap nabi terhadap sahabat-sahabatnya, maka harusnya ini pulalah yang pertama kali kita tanamkan kepada anak-anak kita.
Di opera lainnya, kita dapat membaca tentang penanaman pemahaman itu bahkan dapat lewat hal yang remeh temeh macam permainan ular tangga. Bermula tentang keengganan Maghfi, si tengah, yang enggan untuk ikut main ular tangga lagi sebab seringkali ia lah yang jadi si kalah itu. Tak pernah sama sekali ia menang. Saya tercenung membaca ini sebab sering juga keponakan saya mengajak saya main ular tangga ini dan tak pernah terpikirkan sama sekali bahwa media itu amat sangat bisa untuk dijadikan media pemahaman. Tapi mbaka Neno, dengan subhanallah sekali berhasil menangkap gelagat itu dan mengonversikannya dengan sebuah pemahaman tentang –lagi-lagi- katauhidan.
“Fi…bunda ngerti apa yang Maghfi rasakan…,tapi Fi, selama main ular tangga kan Maghfi belum pernah berdoa sungguh-sungguh kepada Allah.. Iya kan?”, demikian kata mbak Neno.
“Aku berdoa..”
“iya, tapi belum sungguh-sungguh, kan”
Subhanallah, demikianlah, walaupun beresiko, dialog itu berujung dengan sebuah kemenangan perdana Maghfi di arena ular tangga. Sebuah kemenangan yang anehnya juga dirayakan teman sepermainannya. Rupanya, teman sepermainannya juga bosan melihat maghfi yang selalu menderita kekalahan.
Dan masih banyak lagi.
Di buku ini pula, mbak Neno bercerita tentang sebuah konflik yang terjadi di anak-anak dengan bagaimanakah harus diselesaikan. Tentang bagaimana ia menghadapi anak pertamanya yang seolah cuek bebek melihat ibunya tergolek lemah tiga hari di ranjang, tentang si sulung yang minjam uang dari adiknya dan seolah-olah sok lupa dengan hutangnya itu, juga tentang si bungsu yang merasa terkucilkan karena mbaknya lebih banyak teman dari pada dia, dan tentang yang lain. Sebuah penyelesaian-penyelesaian yang hanya bisa sanggup diselesaikan oleh ibu-ibu yang mau repot demi perkembangan anaknya.
Membaca buku ini, saya harus menyediakan jeda yang lumayan sering tiap kali menyusuri kalimat-kalimatnya. Untuk sebuah senyum kecil, atau untuk sebuah rasa haru yang diam-diam menelisik, atau untuk sebuah keheningan yang sengaja saya ciptakan untuk mengunyahnya. Tak bisa tidak, buku ini mengajarkan kembali tentang keajaiban dunia anak-anak yang sayang sekali seringkali termarjinalkan oleh ulah orang-orang macam kita, orang dewasa. Padahal, jika itu bisa tereksplorasi lebih dalam, dari rumah-rumah mungil kita, bukan tak mungkin akan tumbuh pemimpin-pemimpin masa depan yang tak hanya berbadan kuat, berakhlak mulia, tapi juga betauhid jempolan. Bukankah itu bisa jadi anak-anak kita? Belajarlah!!
3 comments:
ingin beli buku ini
di parcelbuku.com-nya mb sinta kayaknya ada buku ini...
oh udah ente bahas yak... ^^
sip2... :)
Post a Comment